Kemenkes Bahas Penghapusan dan Penarikan Alkes Bermerkuri di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

JAKARTA - Merkuri merupakan bahan berbahaya dan beracun yang menjadi isu internasional, karena potensi dampaknya yang sangat besar terutama dampak kesehatan.

Bentuk dampak kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat terpajan oleh merkuri antara lain adalah kerusakan sistem saraf pusat, ginjal, paru-paru, khususnya dampak terhadap janin berupa kelumpuhan otak, gangguan ginjal, sistem syaraf, menurunnya kecerdasan, cacat mental, serta kebutaan.

Demikian disampaikan Dirjen Kesmas dr. Kirana Pritasari, MQIH pada acara Workshop Sinergi dan Kolaborasi Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan Penghapusan dan Penarikan Alat Kesehatan Bermerkuri di Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Jakarta (30/7).

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri mengatur tata kelola merkuri yang harus dilakukan oleh negara pihak yang mengikuti Konvensi Minamata untuk melindungi kesehatan dan lingkungan.

Partisipasi aktif Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan peraturan ini adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2019 tentang Pengurangan dan Penghapusan Merkuri baru saja dikeluarkan pada bulan April 2019.

Amanah untuk sektor kesehatan yang tertuang di dalam Peraturan Presiden tersebut adalah penghapusan merkuri di Pertambangan Emas Skala Kecil dan kesehatan.

Di Pertambangan Emas Skala Kecil, Kementerian kesehatan berperan sebagai sektor pendukung terutama dalam kampanye stop merkuri.

Sedangkan untuk bidang kesehatan, Kementerian Kesehatan sebagai sektor utama dalam penghapusan merkuri yang diarahkan pada alat kesehatan bermerkuri dimana ditargetkan 100% fasilitas pelayanan kesehatan tidak lagi menggunakannya pada akhir tahun 2020.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam percepatan penghapusan alat kesehatan bermerkuri di Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah dengan melakukan workshop sinergi dan kolaborasi pemangku kepentingan dalam pelaksanaan penghapusan dan penarikan alat kesehatan bermerkuri. Tujuan dari pertemuan ini adalah mewujudkan penghapusan alat kesehatan bermerkuri di Fasilitas Pelayanan Kesehatan pada tahun 2020 sebagai salah satu upaya melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Sedangkan tujuan khususnya yakni:

  1. Tersosialisasinya Peraturan Presiden nomor 21 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM)
  2. Sinergitas dan kolaborasi para pemangku kepentingan dalam pelaksanaan penghapusan dan penarikan alat kesehatan bermerkuri di fasilitas pelayanan kesehatan.
  3. Diperolehnya komitmen pemangku kepentingan dalam percepatan pelaksanaan penghapusan alat kesehatan bermerkuri di fasilitas pelayanan kesehatan
  4. Diperolehnya masukan terhadap rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang mekanisme penghapusan dan penarikan alat kesehatan bermerkuri di fasilitas pelayanan kesehatan.

Peserta yang diundang dalam pertemuan ini berasal dari lintas program pada Kementerian kesehatan, Kementerian dan Lembaga lain, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota terpilih, Fasilitas Pelayanan Kesehatan (seperti rumah sakit,

Balai Besar Laboratorium Kesehatan, Pusat Kesehatan Masyarakat, klinik), serta organisasi profesi, perguruan tinggi, perhimpunan dan asosiasi Rumah Sakit, Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati merkuri, serta media massa.

Dalam acara ini hadir sejumlah pembicara, yaitu Dirjen Kesehatan Masyarakat dan Direktur Fasyankes serta Sekretaris Ditjen Pengelolaan Sampah dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan tentang Kebijakan dan Strategi dalam Penghapusan dan penarikan Alat Kesehatan Bermerkuri di fasilitas pelayanan Kesehatan.

Menutup kegiatan ini dilakukan Komitmen Bersama dengan pemangku kepentingan dan pemasangan PIN penghapusan Alkes bermerkuri sebagai launching dimulainya pelaksanaan penghapusan alat kesehatan bermerkuri di fasilitas pelayanan kesehatan.

sumber: https://www.tribunnews.com/kesehatan/2019/07/30/kemenkes-bahas-penghapusan-dan-penarikan-alkes-bermerkuri-di-fasilitas-pelayanan-kesehatan

 

 

Bali Peringkat Tertinggi IPKM 2018

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI resmi mengeluarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2018 pada Senin, 15 Juli 2019. Provinsi Bali menduduki peringkat tertinggi.

Menurut Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, IKPM dikeluarkannya untuk melihat perkembangan status kesehatan masyarakat kabupaten dan kota di Indonesia. IKPM juga berfungsi mengetahui pencapaian kesehatan di suatu wilayah.

“Untuk mengetahui pencapaian pembangunan kesehatan, perlu adanya satu indikator kunci yang menggambarkan sampai tingkat kabupaten/kota. Untuk keperluan itulah, Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) disusun dan dikembangkan,” ungkap Nila pada Senin, 15 Juli 2019.

Nila mengatakan data IPKM 2018 merupakan informasi yang dapat dimanfaatkan. Indikator-indikator penyusun IPKM juga mencerminkan capaian program dan sebagai potret capaian pembangunan kesehatan di suatu wilayah.

Misalnya saat Riskesdas dilakukan pada tahun 2007, 2013 dan 2018. Hasilnya sudah dimanfaatkan bersama untuk masukan perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan.

Kepala Badan Litbangkes, Siswanto, mengatakan IPKM 2018 disusun dengan memanfaatkan sumber data Riskesdas 2018, Susenas Maret 2018 terintegrasi Riskesdas 2018, dan pendataan Potensi Desa (Podes) 2018. Secara umum nilai IPKM tahun 2018 mengalami peningkatan dibandingkan IPKM tahun 2013.

“Meskipun mengalami peningkatan, namun pada sub indeks penyakit tidak menular mengalami penurunan,” ujarnya.

Dia melanjutkan, IPKM 2018 dihitung dengan menggunakan model IPKM yang dikembangkan tahun 2013. Indeks ini mengikutsertakan 30 indikator kesehatan yang dikelompokan menjadi 7 sub indeks.

IPKM 2018 juga menyajikan capaian IPKM Tahun 2013 dan 2018. Di buku itu juga disebutkan capaian sub indeks penyusun IPKM dan kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/kota dalam provinsi.

Sementara itu, Provinsi Bali menempati peringkat tertinggi IPKM 2018. Sementara peringkat terendahnya adalah Provinsi Papua.

Siswanto mengatakan, kesenjangan pada tahun 2018 terlihat lebar di Provinsi Papua. Hal ini, kata dia, harus menjadi perhatian karena selama periode lima tahun, Provinsi Papua tidak mengalami peningkatan bahkan kesenjangannya masih lebar.

Selin itu, diketahui juga 10 kabupaten/kota yang mencapai IPKM tertinggi yakni Gianyar, Solok, Kota Magelang, Tabanan, Kota Denpasar, Badung, Kota Salatiga, Sarolangun, Sleman, dan Kota Blitar. Sementara 10 kabupaten/kota yang mencapai IPKM terendah adalah Pegunungan Arfak, Deiyai, Yalimo, Mamberamo Raya, Puncak, Pegunungan Bintang, Nduga, Tolikara, Dogiyai, dan Paniai.

"Hasil tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintah pusat untuk memberikan advokasi masalah spesifik ke pemerintah daerah. Sedangkan untuk pemerintah daerah bisa digunakan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan kinerja program dimasing-masing daerah," tandasnya.

sumber: https://www.medcom.id/rona/kesehatan/GNGjqxLK-bali-tertinggi-di-indeks-pembangunan-kesehatan-masyarakat-ipkm-2018

 

Kemendagri Ingatkan Pemda Segera Terapkan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

JAKARTA--- Kementerian Dalam Negeri mengingatkan pemerintah daerah supaya segera menyusun dan mempercepat penerbitan kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan aturan KTR di sekolah.

Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Muhammad Hudori menyatakan kewajiban Pemda menerapkan Kawasan Tanpa Rokok diatur dalam Undang-Undang No.36/2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau Bagi Kesehatan dan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/Pb/I2011 Nomor 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

Hudori menjelaskan konsumsi tembakau di Indonesia juga masih cenderung tinggi. Menurut data yang dilansir Tobbaco Control Support Center pada 2015, konsumsi rokok rata-rata per orang per hari sebanyak 12,3 batang atau 369 batang per bulan pada 2013.

“Konsumsi tembakau ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku merokok. Perilaku merokok berkaitan dengan kemiskinan lantaran karena untuk membeli rokok, seorang individu maupun keluarga harus mengurangi penggunaan sumber daya yang terbatas untuk keperluan lain yang lebih penting seperti pendidikan, makanan berkualitas, dan pelayanan kesehatan,” kata Hudori seperti dikutip dari keterangan tertulis yang dirilis di laman Sekretariat Kabinet, Jumat (12/7/2019).

Lebih lanjut, Hudori menilai beban biaya yang berkaitan dengan penyakit akibat rokok akan lebih mahal dibandingkan dengan uang yang sudah dibelanjakan untuk rokok. Tidak hanya biaya pengobatan melainkan juga biaya hilangnya hari atau waktu produktivitas untuk bekerja bagi usia pekerja.

Berkaitan dengan penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Hudori mengingatkan Pemerintah Daerah empat hal antara lain supaya Pemda menyusun dan mempercepat penerbitan kebijakan tentang KTR baik berupa Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah serta menerapkan aturan KTR di sekolah.

Di samping itu, Hudori juga mengingatkan supaya Pemda memperkuat upaya promotif dan preventif melalui kegiatan penyuluhan dan edukasi secara berkelanjutan bagi anak-anak dan remaja usia sekolah berkaitan dengan dampak negatif akibat bahaya rokok. Pemda juga diharapkan melibatkan peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat setempat dalam mengkampanyekan kebijakan tentang KTR.

Pemda juga diharapkan menyediakan tempat khusus untuk merokok berupa ruang terbuka yang berhubungan langsung dengan udara luar.

https://kabar24.bisnis.com/read/20190712/15/1123627/kemendagri-ingatkan-pemda-segera-terapkan-kebijakan-kawasan-tanpa-rokok

 

Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian

Jakarta: Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) meneliti produk tembakau alternatif, Risk Assessment of E-Liquid dan Oral Health Findings. Penelitian ini diharap dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan mengenai produk tembakau alternatif.

Peneliti YPKP Amaliya berdasarkan sejumlah kajian ilmiah, produk dari hasil pengembangan inovasi teknologi tersebut tidak memiliki kandungan zat berbahaya seperti TAR. Dia menjelaskan masyarakat belum mengetahui adanya perbedaaan mendasar secara ilmiah antara produk tembakau alternatif dan rokok.

Menurutnya pada produk tembakau aternatif tidak ada proses pembakaran tembakau. Hal ini tentunya, berbanding terbalik dengan rokok, yang pada pembakarannya menghasilkan TAR.

"Produk tembakau alternatif dapat dikonsumsi dengan berbagai cara, seperti dikunyah, ditempel, dan dipanaskan. Proses yang tidak melewati pembakaran ini mengeliminasi kandungan senyawa kimia berbahaya seperti TAR, yang terbentuk dari hasil pembakaran," kata Amaliya di Jakarta, Rabu, 10 Juli 2019.

Berdasarkan data National Cancer Institute Amerika Serikat, TAR mengandung berbagai senyawa karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker. Hampir dari 7.000 bahan kimia yang ada di dalam rokok, 2.000 di antaranya terdapat pada TAR. Amaliya menjelaskan ketika asap rokok dihirup TAR dapat membentuk lapisan lengket di bagian dalam paru-paru.

"Kondisi tersebut dapat merusak paru-paru, menyebabkan kanker, emfisema, atau masalah paru-paru lainnya. Menghirup asap tembakau yang dibakar juga menyebabkan jenis kanker lain, termasuk kanker mulut dan tenggorokan," ujarnya.

Dengan tidak menghasilkan TAR, produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok. Hal ini, kata Amaliya, diperkuat dengan kajian ilmiah yang dilakukan Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris 2018 lalu yang berjudul "Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Product 2018".

"Produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan hingga 95 persen lebih rendah daripada rokok yang dibakar," kata dia.

Pada tahun yang sama, Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) juga mempublikasikan hasil penelitian terkait produk tembakau alternatif, yaitu produk tembakau yang dipanaskan, yang menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran. Hasil penelitian menyatakan produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-99 persen dibandingkan rokok.

Dengan manfaat yang diberikan dari produk tembakau alternatif, Inggris, Jepang, Kanada, dan Selandia Baru kini menggunakannya sebagai salah satu alternatif untuk menekan angka prevalensi perokok. Amaliya mengajak pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan kajian terhadap produk tembakau alternatif.

Oleh karena itu pemerintah juga harus menyosialisasikan hasil kajian ilmiah tersebut kepada masyarakat. Sehingga nantinya, masyarakat mengetahui secara jelas perbedaan antara produk tembakau alternatif dan rokok. Dengan begitu, perokok dewasa diharapkan beralih ke produk tembakau alternatif karena lebih minim risiko kesehatan dibandingkan rokok.

"Pemerintah diharapkan untuk merumuskan kerangka peraturan berdasarkan bukti ilmiah yang spesifik dan sesuai dengan proporsi risiko untuk produk tembakau alternatif dan mendorong perokok yang tidak dapat atau tidak ingin berhenti merokok untuk beralih ke produk tembakau alternatif," tutupnya.

sumber: https://www.medcom.id/ekonomi/mikro/GNlYJd2b-kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian

 

Dukung JKN-KIS, Pemda Diminta Terlibat Petakan Kelas RS

JAKARTA -- Pemerintah daerah (Pemda) diminta terlibat dalam mendukung keberlangsungan program jaminan kesehatan nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Peran Pemda antara lain ikut memetakan kelas Rumah Sakit (RS), khususnya yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, pemetaan kelas RS menjadi bagian dari delapan bauran kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menjaga keberlangsungan program JKN-KIS. Pembenahan kelas RS diperlukan untuk menghindari overpaid dalam pengeluaraan pembiayaan kesehatan.

"Jadi kelas RS harus pas," katanya saat ditemui usai rapat koordinasi tingkat menteri mengenai BPJS Kesehatan di Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) di Jakarta, Senin (8/7) lalu.

Sebab, dia melanjutkan, adanya perbedaan kelas rumah sakit membuat adanya selisih harga dan efeknya BPJS Kesehatan harus mengganti klaim lebih besar. Dia mengakui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan penataan kelas RS. Sebab pihak yang berwenang menurunkan dan menaikkan kelas RS ialah Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah melalui dinas kesehatan.

"Sedangkan Pemda bisa bersama dengan Kemenkes ikut menata kelas RS ini karena daerah yang memiliki wewenang bekerja sama dengan rumah sakit di daerah. Oleh karena itu, perlu koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan," ujarnya.

Di tempat yang sama, menteri kesehatan Nila F Moeloek menambahkan, pihaknya telah menyusun pemetaan kelas RS. Kebijakan ini merupakan bagian dari bauran kebijakan.

"Pemetaan kelas RS ini akan dilanjutkan," ujarnya. N Rr Laeny Sulistyawati

 sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/pucgya423/dukung-jknkis-pemda-diminta-terlibat-petakan-kelas-rs

 

Gizi Buruk dan Kekerdilan Jadi PR Pemerintahan Baru

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan masalah gizi buruk hingga kekerdilan (stunting) masih menjadi pekerjaan rumah ke depan bagi kepemimpinan baru. Pemerintah ke depan perlu fokus dan lebih gencar melakukan program promotif dan preventif di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan posyandu.

"Pekerjaan rumah (PR) berat tentang masalah gizi yaitu gizi buruk, gizi kurang dan kekerdilan serta membengkaknya kasus penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke, jantung dan sebagainya. PR lama juga masih jadi beban yaitu penyakit infeksi seperti TBC dan AIDS," kata Ketua IDI Daeng Mohammad Faqih, Kamis (4/7).

Daeng menuturkan yang penting segera ditangani juga adalah pembenahan sistem pelayanan dengan Jaminan Kesehatan Nasional. "Jangan sampai BPJS Kesehatan gagal bayar atau kesulitan pembayaran ke fasilitas pelayanan, karena akan menyebabkan rentetan panjang pada kualitas pelayanan, keamanan pasien (patient safety), kualitas dan penghargaan kepada SDM kesehatan, dan masalah industri pendukung lainnya terutama sektor industri turunan industri obat dan alat kesehatan yang rentan terpukul," tuturnya.

Untuk itu, Daeng mengatakan harus segera ada kebijakan agar aliran pembayaran ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) tidak terganggu atau tertunda. "Kalaupun ada kebijakan utang untuk menutup defisit, maka baiknya buat kebijakan yang berhutang adalah BPJSKesehatan bukan fasilitas kesehatannya," ujarnya.

Lebih lanjut Daeng mengatakan perlu segera evaluasi dan koreksi kecukupan dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesuai prinsip-prinsip rasional dan keekonomian untuk menjamin JKN yang baik dan berkelanjutan.

sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/pu3r56328/gizi-buruk-dan-kekerdilan-jadi-pr-pemerintahan-baru

 

Kominfo Usul Iklan di Media Online Tak Menampilkan Aktivitas Merokok

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengusulkan agar pembatasan iklan rokok di media online diselaraskan dengan di media konvensional. Dengan begitu, iklan rokok di media online tidak boleh mempertontonkan aktivitas merokok.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Produk Tembakau. Aturan ini sudah diterapkan di media konvensional seperti televisi. “Saya rasa di media online seharusnya sama,” kata Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kominfo Semuel Abrijani di kantornya, Jakarta, Selasa (2/7).

Kebijakan terkait pembatasan iklan rokok di media online ini masih dibahas di Kementerian Kominfo dan Kementerian Kesehatan. Semuel usul agar industri seperti produsen rokok, pemilik media, dan penyedia layanan iklan turut berdiskusi terkait aturan ini.

Untuk sementara, kementeriannya usul agar pembatasan iklan rokok di media online disesuaikan dengan media konvensional. “Misalnya, waktu penayangan iklan rokok di media online sama seperti di televisi, pukul 21.30 sampai 05.00. Intinya, harus mengikuti PP tentang rokok," katanya.

Usulan tersebut berlaku untuk semua kategori media online termasuk yang berupa video streaming, seperti di YouTube. Semuel pun menegaskan, kementeriannya siap memblokir konten di internet yang melanggar peraturan terkait iklan rokok, sesuai rekomendasi Kementerian Kesehatan.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu menambahkan, ada 114 kanal di Facebook, Instagram, dan YouTube yang diblokir karena memuat iklan rokok. Iklan tersebut dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 46 ayat 3 butir c. Kementeriannya sudah dua kali bertemu dengan Kementerian Kesehatan guna mengkaji regulasi terkait pembatasan iklan rokok di media online. Selain itu, pertemuan ini membahas pemblokiran iklan rokok.

sumber: https://katadata.co.id/berita/2019/07/02/kominfo-usul-aturan-iklan-rokok-di-media-online-dan-konvensional-sama 

 

 

Ini Tugas yang Diberikan Menteri Kesehatan Kepada Kepala BKKBN yang Baru

Setelah enam bulan kosong, akhirnya jabatan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diisi.

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek melantik mantan Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo sebagai kepala lembaga tersebut di kantor pusat BKKBN, Jalan Permata Nomer 1, Jakarta Timur, Senin (1/7/2019).

Nila berharap, Hasto Wardoyo bisa mengerjakan tugas-tugas BKKBN secara baik.

Tugas-tugas tersebut di antaranya, menurunkan angka kenaikan jumlah penduduk secara signifikan.

"Seperti kita ketahui, jabatan kepala BKKBN mengalami kekosongan selama enam bulan. Dan pada hari ini kita bersyukur bahwa kepala BKKBN, Hasto Wardoyo dapat saya Lantik. Dengan adanya kepala BKKBN, saya berharap agar pelaksanaan program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga dapat berjalan lebih maju. Dan dapat dilakukan inovasi, sehingga laju pertumbuhan penduduk saat ini yang masih tinggi, dapat menurun sesuai dengan sasaran RPJMN," kata Nila F. Moeloek dalam sambutannya.

Nila juga berpesan agar penggunaan kontrasepsi secara konsisten yang terbukti berhasil mengurangi angka kelahiran, terus dikembangkan melalui inovasi teknologi.

Nila memberikan tugas ke Hasto agar mempopulerkan kembali program kependudukan, program keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBK) sehingga para pemerintah daerah memberikan dukungan maksimal untuk keberhasilan program tersebut.

"Dalam kurun sepuluh tahun terakhir, capaian program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga atau KKBK dianggap kurang populer hingga saat ini dan kurang mendapat dukungan sumber daya yang memadai dari pemerintah daerah," tambah Nila.

Menanggapi hal tersebut, Hasto menyatakan akan segera berkoordinasi dengan kepala daerah untuk suksesnya program tersebut.

"Pertama yang saya akan lakukan ke daerah-daerah tapi tidak berasumsi dulu, kita lihat dulu. Tiap daerah-daerah itu kan beda-beda. Kalau kita dengan kepala daerah telah sepakat mengenai data kependudukan, berapa angka kelahiran, berapa angka kematian, baru lah kita mulai cari teknis yang cocok untuk suksesnya program KKBK," kata Hasto Wardoyo.

Selain itu, hal yang akan dilakukan pada saat awal menjabat yaitu penataan anggaran.

Dia mengatakan, selama ini anggaran hanya diratakan di tiap sektor dan ujungnya tak banyak menghasilkan produk kebijakan yang baik untuk masyarakat. Karena itu dia akan segera menata anggaran dengan cara membuat prioritas.

"Selanjutnya menata anggaran. Selama ini kan anggaran rata tapi tak menghasilkan apa-apa toh. Nah nanti saya akan buat prioritas, kalau nanti ternyata prioritasnya untuk pengembangan kontrasepsi nah pasti sektor itu yang paling besar. Tapi kita lihat nanti lah apa yang jadi prioritas, ini kan saya baru dilantik," kata Hasto Wardoyo.

sumber: http://www.tribunnews.com/kesehatan/2019/07/02/ini-tugas-yang-diberikan-menteri-kesehatan-kepada-kepala-bkkbn-yang-baru