Analisis Kebijakan Pencegahan Transmisi dan Penanggulangan HIV Positif dan AIDS di Propinsi Jawa Barat

Analisis Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan
Human Immuno Deficiency Virus dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome
di Provinsi Jawa Barat

Eka Nurhayati1, Deni K. Sunjaya2,, Irvan Afriandi2

Universitas Islam Bandung1, Universitas Padjadjaran2


 

  Latar Belakang :

Prevalensi infeksi HIV/AIDS di Provinsi Jawa Barat merupakan yang tertinggi keempat di Indonesia. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan beberapa kebijakan pencegahan dan penanggulangan infeksi HIV/AIDS untuk menekan laju epideminya diantaranya Perda No.12 Tahun 2012, Pergub No.78 Tahun 2010 dan Renstra Penanggulangan HIV/AIDS 2009-2013.
 

  Tujuan :

Penelitian dilaksanakan untuk mengidentifikasi masalah kebijakan pencegahan dan penanggulangan infeksi HIV/AIDS di Provinsi Jawa Barat dengan melakukan analysis of policyterhadap kebijakan yang ada serta memberikan rekomendasi kebijakan.
 

  Metode :

Penelitiandilakukan dengan metode kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada pihakterkait, observasi, serta telaah dokumen.
 

  Hasil :

Penelitian menunjukkan bahwa output yang ingin dicapai adalah perubahan perilaku berisiko, kepatuhan minum obat dan reduksi stigma dan diskriminasi. Analysis of policy berdasarkan segitiga kebijakan menunjukkan bahwa proses penyusunan kebijakan belum melibatkan banyak pakar terkait, belum adanya aturan proporsi pendanaan yang jelas serta masih tingginya stigma dan diskriminasi. Analysis for policy merekomendasikan agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan pembagian proporsi pendanaan serta menyusun instrumen kebijakan yang mengatur stigma dan diskriminasi.
 

  Kesimpulan:

Kebijakan pencegahan dan penanggulangan Infeksi HIV/AIDS di Provinsi Jawa Barat belum optimal sebab belum didukung oleh aturan yang jelas mengenai pembagian proporsi pendanaan sehingga terjadi ketergantungan pendanaan serta ketiadaan instrumen kebijakan yang mengatur stigma dan diskriminasi.
 

  Saran :

Perlu segera dilakukan revisi pada Perda dan Pergub terkait proporsi pendanaan serta stigma dan diskriminasi. Renstra 2014-2018 harus memuat langkah strategis pembagian proporsi pendanaan dan reduksi stigma dan diskriminasi.

Kata Kunci : Infeksi HIV/AIDS, kebijakan, pencegahan transmisi, penanggulangan, Jawa Barat.

Powerpoint  

 

ANALISIS KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN KOTA BENGKULU DALAM UPAYA EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS PELAYANAN DI PUSKESMAS

ANALISIS KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN KOTA BENGKULU
DALAM UPAYA EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS PELAYANAN DI PUSKESMAS

Yandrizal, Betri Anita, Desri Suryani

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Bengkulu


 Latar Belakang

Peraturan Walikota Bengkulu Nomor : 13 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Biaya Jaminan Kesehatan Kota (Jamkeskot) Kota Bengkulu yang dikelola oleh Bagian Kesejahtraan Rakyat Sekretariat Pemerintah Kota Bengkulu. Besarnya biaya pelayanan kesehatan rujukan di Rumah Sakit Umum Provinsi, dapat diefisiensikan dengan mengoptimalkan peran puskesmas sebagai pelayanan kesehatan kuratif dan promotif, preventif. Sehingga dapat menurunkan jumlah kunjungan berobat dan rujukan ke rumah sakit.
 

 Tujuan penelitian

Melakukan analisis kebijakan Jaminan Kesehatan Kota dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kesehatan dasar dan upaya kesehatan masyarakat yang dapat menurunkan jumlah kunjungan berobat dan rujukan ke rumah sakit.
 

 Metode

Jenis Penelitian ini non eksperimental atau disebut juga penelitian kualitatif, sedangkan berdasarkan tujuan, jenis penelitian ini eksploratif (penjelajahan), untuk menemukan area baru yaitu peran Pemerintah Kota, Badan Penyelenggara untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kesehatan di Puskesmas.

Unit Analisis : 1) Puskesmas 20 Unit, 2) Penyelenggaran : PT. Askes 2 orang dan Bag. Kesra 2 orang; 3) Pemerintah Kota : Kelapa Bag. Kesra 1 orang, Dinas Kesehatan Kota Bengkulu 2 orang. Instrument adalah : 1) Pedoman Kuesioner. Pengumpulan data dengan cara : 1) Wawancara; 2) Observasi dokumen .
 

 Hasil dan Diskusi

Kebijakan Jamkeskot Bengkulu dilaksanakan belum menerapkan prinsip asuransi, dimana penyelenggara berfungsi mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan yang diberikan baik di pelayanan dasar/primer maupun di pelayanan rujukan.
 

 Kesimpulan

Puskesmas merujuk pasien sebagian besar (67%) masih berwenang puskesmas melakukan pengobatan, Puskesmas merujuk karena peralatan dan obat yang terbatas di Puskesmas, Pasien yang dirujukan sebagian memaksa untuk dirujuk karena pelayanan gratis dipuskesmas kurang berkualitas, Bagian kesra belum optimal melakukan koordinas dengan Dinas Kesehatan Kota untuk melakukan pembinaan kepada Puskesmas dalam upaya peningkatan efektifitas pelayanan. Pelaksanaan Jamkeskot Belum menerapkan prinsip jaminan kesehatan sosial.

Saran : Pemerintah Kota membentuk Tim untuk melakukan bimbingan teknis kepada puskesmas agar merujuk pasien yang benar-benar karena tidak berwenang lagi, melengkapi peralatan medis dan obat-obatan dengan sumber dana dari APBD Kota Bengkulu, mengusulkan APBD Provinsi dan Dana. Puskesmas memberi penyuluhan Perilaku hidup bersih dan KIE Gizi secara rutin setiap posyandu. Dinas Kesehatan Kota memberi bimbingan teknis penyusunan POA kegiatan promotif dan preventif seingga lebih focus dalam upaya pengendalian penyebab penyakit yang banyak diderita masyarakat. Memperbaiki kebijakan jamkeskot dengan menyerahkan pengelolaan kepada badan penyelenggara, sehingga pelaksanaan jamkeskot dapat menerapkan prinsip asuransi yang kuat membantu yang lemah, yang sehat membantu yang sakit, yang kaya membantu yang miskin serta dapat mengendalikan mutu dan biaya pelayanan.

Kata Kunci : Kebijakan Kesehatan, Jaminan Kesehatan, Pengendali pelayanan

Powerpoint 

STUDI PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERDA JAMINAN KESEHATAN DAERAH SUMATERA BARAT SAKATO DALAM MENGHADAPI UU SJSN DAN UU BPJS TAHUN 2013

STUDI PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERDA JAMINAN KESEHATAN DAERAH SUMATERA BARAT
SAKATO DALAM MENGHADAPI UU SJSN DAN UU BPJS TAHUN 2013

Tuty Ernawati

UPTD Balai Kesehatan Indera Masyarakat Sumbar


 Latar Belakang

Jaminan kesehatan daerah merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah salah satunya Provinsi Sumatera Barat dimana tujuan dari program Jamkesda adalah untuk meningkatkan aksesbilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin atau mendekati miskin yang tidak tertampung dalam kuota jamkesmas yang diselenggarakan sejak tahun 2007, pelaksanaan jamkesda dari tahun 2007 s/d tahun 2011 diatur dalam Peraturan Gubernur Sumatera Barat no 40 dan no 41 tahun 2007 dan setelah berjalan lima tahun, masih ditemui kendala dalam pelaksanaannya, dan pada Tahun 2011 DPRD Provinsi Sumbar dengan hak inisiatifnya mengesahkan peraturan Daerah nomor 10 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Sumatera Barat Sakato sehingga sejak Tahun 2012 pelaksanaan jamkesda Sakato mengacu pada perda tersebut.
 

 Tujuan penelitian

Mengevaluasi pelaksanaaan kebijakan Peraturan Daerah tentang Jaminan Kesehatan Sumatera Barat Sakato Tahun 2013.
 

 Metode

Merupakan penelitian analisis diskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus. Pengumpulan data di lakukan di Dinas Kesehatan Provinsi/Dinas Kesehatan Kab/Kota terpilih, PT Askes, Pemda/Bappeda, PPK. Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara mendalam, sedangkan data sekunder melalui telaah dokumen.
 

 Hasil

Pelaksanaan kebijakan peraturan daerah tentang Penyelenggaran Jamkesda Sumatera Barat Sakato, peserta jamkesda adalah setiap orang yang belum mempunyai jaminan kesehatan, berdomisili di Provinsi Sumatera Barat dengan jumlah peserta sampai Tahun 2013 sebesar 24,90 % yang ditetapkan Bupati/Walikota setempat. Penduduk Provinsi Sumatera Barat yang memiliki Jaminan kesehatan sampai tahun 2013 mencapai 67,07 %.

Pembiayaan Jaminan kesehatan Sumbar sakato bersumber dari APBD Propinsi dan APBD kabupaten/Kota dengan sharing Dana 40 % dan 60 % , dengan premi sebesar Rp.6.000 / bulan / orang dan di tempatkan satu rekening Bapel yaitu PT Askes, premi yang rendah belum dapat memberikan manfaat pelayanan kesehatan yang komprehensif. Pemberi Pelayanan Kesehatan masih terbatas di Wilayah Provinsi Sumatera Barat serta terbatas pada fasilitas kesehatan milik pemerintah, untuk menghadapi UU SJSN dan BPJS ke depan perlu keterlibatkan fasilitas kesehatan swasta, Rasio SDM Kesehatan sudah cukup tetapi penyebarannya belum merata, rencana kenaikan premi pada bulan Oktober 2013 menjadi Rp. 12.000,- masih dirasakan berat oleh kabupaten/kota, dan masih belum berfungsinya Tim monitoring dan Evaluasi di Setiap tingkat Administratif.

Kesiapan menghadapi Universal Coverage dan UU BPJS yang perlu di lakukan secara bertahap antara lain : peningkatan sarana & prasarana pelayanan kesehatan, peningkatan kualitas & kuantitas SDM di PPK ( Puskesmas dan Rumah sakit), ketersediaan obat, penunjang medik dan alkes, penataan pelayanan kesehatan terstruktur & berjenjang peningkatan Standar Pelayanan Medik & Alkes, Kurangnya sosialisasi mengakibatkan ketidak tahuan masyarakat akan Jaminan kesehatan Sumbar Sakato, sehingga kebijakan yang ada perlu disesuaikan dengan berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi untuk menghadapi berlakunya UU SJSN dan UU BPJS pada 1 Januari 2014.
 

 Kesimpulan

Pelaksanaan Kebijakan Jamkes Sumbar Sakato sudah dilaksanakan, dan masih perlu perbaikan dan koreksi , ada beberapa pernyataan saling bertentangan. Kepesertaan belum sesuai kriteria sehingga masih banyak masyarakat miskin yang belum mendapatkan jaminan kesehatan daerah. Kualitas pelayanan masih belum sesuai harapan masyarakat, premi masih rendah, jumlah fasilitas kesehatan terbatas, tenaga kesehatan yang tidak merata akan memicu ketimpangan distribusi dana. Peran Pemerintah daerah memberikan perhatian lebih pada fasilitas pelayanan kesehatan dalam menghadapi UU BPJS yang dimulai 1 Januari 2014.
 

 Saran

Perlunya dievaluasi kebijakan Jamkesda Sumbar Sakato, agar antara kebijakan-kebijakan yang disusun tidak saling bertentangan. Perlu dukungan Pemda untuk membentuk Tim Monev Jamkesda sehingga semua pihak mempunyai rasa tanggung jawab bersama. Perlu ketegasan dari pemangku kebijakan agar semua fasilitas kesehatan khususnya Swasta ikut berpartispasi dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk menghadapi berlakunya UU BPJS pada 1 Januari 2014

Kata Kunci: Perda Jamkesda, kepesertaan, pembiayaan kesehatan, PPK

Powerpoint 

HUBUNGAN DESENTRALISASI FISKAL DI BIDANG KESEHATAN DENGAN CAKUPAN IMUNISASI ANAK DI INDONESIA

HUBUNGAN DESENTRALISASI FISKAL DI BIDANG KESEHATAN
DENGAN CAKUPAN IMUNISASI ANAK DI INDONESIA

Asri Maharani1, Gindo Tampubolon2
1 Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang
2 Institute for Social Change, University of Manchester


 Latar belakang

Beberapa penelitian terdahulu telah mendokumentasikan hubungan antara cakupan imunisasi pada anak dengan faktor-faktor demografi, sosio-ekonomi, serta akses terhadap fasilitas kesehatan. Namun hubungan antara desentralisasi fiskal dan cakupan imunisasi pada anak belum banyak diketahui.
 

 Tujuan

Untuk mengetahui hubungan antara desentralisasi fiskal di bidang kesehatan dan cakupan imunisasi anak di Indonesia.
 

 Metode

Studi ini menggunakan analisa multilevel untuk mengetahui hubungan tersebut dan imputasi multipel untuk menganalisa data yang tidak lengkap. Data yang digunakan pada studi ini adalah data Susenas tahun 2004 sampai dengan 2011, data Podes dan data keuangan pemerintah daerah pada tahun yang sama.
 

 Hasil

Terdapat peningkatan cakupan imunisasi anak yang signifikan setelah desentralisasi. Besarnya anggaran pemerintah daerah di bidang kesehatan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan cakupan imunisasi anak, sedangkan kepadatan fasilitas kesehatan dan paramedis (per 1000 populasi) memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadan status imunisasi anak.
 

 Kesimpulan

Desentralisasi fiskal di bidang kesehatan tidak berpengaruh terhadap peningkatan cakupan imunisasi pada anak di Indonesia.
 

 Saran

Dalam penerapan desentralisasi, pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih besar pada ketersediaan layanan kesehatan (jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan) dan bukan hanya pada besarnya anggaran kesehatan saja.

Kata kunci : imunisasi, desentralisasi fiskal, multilevel, imputasi multipel

Powerpoint 

PERAN JAMPERSAL DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN REPRODUKSI MASYARAKAT

PERAN JAMPERSAL DALAM MENINGKATKAN
KESEHATAN REPRODUKSI MASYARAKAT

Rina Nuryati, Mubasysyir Hasanbasri, Mohammad Hakimi

1Puskesmas Panjatan 1 Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta
2Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, FK UGM Yogyakarta
3Kesehatan Ibu dan Anak, FK UGM Yogyakarta


 Latar Belakang

Saat ini jaminan kesehatan sosial sangat diharapkan masyarakat. Masyarakat Indonesia sedang dilanda euphoria pemanfaatan jaminan kesehatan. Jampersal merupakan salah satu program jaminan kesehatan. Paket pelayanan Jampersal meliputi antenatal care, persalinan, kontrol bayi, kontrol nifas dan keluarga berencana. Dengan melaksanakan seluruh paket Jampersal diharapkan terjadi juga pembatasan atau penjarangan kelahiran sehingga dapat menurunkan kejadian "4 terlalu ". Pelayanan KB pasca salin pada pasien Jampersal sampai saat ini belum mendapat banyak perhatian.
 

 Tujuan

Penelitian ini akan melihat seberapa jauh peran Jampersal dalam meningkatkan kesehatan reproduksi masyarakat.
 

 Metode

Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan rancangan studi kasus yaitu pelayanan KB pasca salin. Subyek penelitian ini adalah pasien Jampersal di wilayah kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta yang sudah melewati 42 hari postpartum, bidan, PLKB, kepala puskesmas, dan kepala seksi kesga dinas kesehatan. Pengambilan data dengan wawancara mendalam dan data skunder.
 

 Hasil

Penelitian ini menunjukkan bahwa cakupan KB pasca salin paling rendah capaiannya dibanding indikator lain. Beberapa alasan pasien tidak melaksanakan KB pasca salin adalah kekhawatiran terhadap efek samping, suami belum mengajak hubungan seks, repot mengurus anak, masih menyusui, dan kurangnya dukungan dari suami. Sementara dari sisi provider, bidan mengatakan tidak bisa memaksa seseorang untuk ber-KB karena hal ini akan bertentangan dengan hak kesehatan reproduksi.
 

 Kesimpulan

Jampersal baru memberi penekanan pada pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, namun kurang menekankan kualitas pelayanan KB pasca salin.
 

 Saran

Agar kesehatan reproduksi masyarakat dapat meningkat diperlukan konseling KB yang berkualitas dan kompetensi provider yang handal dalam pelaksanaan konseling tersebut.

Kata Kunci : Jampersal, KB pasca salin, kesehatan reproduksi

Powerpoint 

ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGEMBANGAN 'JAMSOSKES SUMSEL SEMESTA' MENYAMBUT UNIVERSAL HEALTH COVERAGE

ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM PENGEMBANGAN 'JAMSOSKES SUMSEL SEMESTA'
MENYAMBUT UNIVERSAL HEALTH COVERAGE

Misnaniarti

Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya


 Latar Belakang

Program Jamsoskes Sumsel Semesta merupakan program berobat gratis untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat Sumsel yang belum mempunyai jaminan kesehatan. Sementara itu, mulai tahun 2014 Pemerintah akan menyelenggarakan jaminan kesehatan secara menyeluruh (Universal Health Coverage) sesuai amanat UU SJSN. Diketahui dalam penyelenggaraan asuransi sosial tidak boleh ada duplikat jaminan, sehingga tidak boleh ada masyarakat yang terjamin oleh dua program dengan tujuan berspekulasi untuk mencari untung. Oleh karena itu, eksistensi penyelenggaraan Jamsoskes perlu ditinjau lagi, apakah masih tepat keberadaannya.
 

 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui rencana pengembangan kebijakan penyelenggaraan Jamsoskes Sumsel Semesta dalam menyambut Universal Health Coverage.
 

 Metode

Merupakan riset kebijakan secara kualitatif dengan desain exploratory pada penyelenggaraan Jamsoskes di Sumsel, yang difokuskan pada isi kebijakan, konteks, pelaku, dan proses kebijakan. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan observasi. Sumber informasi diperoleh dari informan kunci yang dipilih dengan teknik purposive berdasarkan pertimbangan tertentu. Analisis yang digunakan adalah analisis of policy.
 

 Hasil

Diketahui bahwa Pemprov Sumsel tetap akan menyelenggarakan Program Jamsoskes dengan pengelolaan seperti sekarang yaitu dikelola oleh Dinas Kesehatan pada tahun 2014 mendatang. Beberapa pertimbangan yang dikemukakan oleh aktor pemangku kebijakan antara lain dengan alasan untuk efisiensi dan fleksibelitas serta belum mencakup semua masyarakat. Selain itu dalam Perpres Nomor 12 tahun 2013 masih memberi peluang Jamkesda tetap berkembang sampai tahun 2019. Pengembangan yang dilakukan dalam Jamsoskes ini antara lain pada peningkatan mutu dan jumlah pemberi pelayanan kesehatan. Persiapan yang dilakukan adalah koordinasi dengan BPJS terkait jumlah PBI. Hambatan antara lain perilaku masyarakat yang lebih memilih berobat ke rumah sakit sehingga dapat mengganggu sistem rujukan.
 

 Kesimpulan

Belum banyak upaya pengembangan yang dilakukan oleh Pemerintah daerah pada kebijakan Jamsoskes dalam rangka persiapan menghadapi Universal Health Coverage 2014.
 

 Saran

Diharapkan Pemprov Sumsel dapat mengembangkan upaya-upaya pelayanan di Jamsoskes sebagai penyesuaian dalam menyambut pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional tahap kedua, misalnya dengan menambah benefit pelayanan berupa pelayanan yang bersifat komplementer dan atau suplementer..

Kata Kunci : Kebijakan, Jaminan Kesehatan, Jamsoskes, Efisiensi

Powerpoint 

DAMPAK ASKESKIN TERHADAP KUNJUNGAN KE PUSKESMAS/PUSTU DAN RSU PEMERINTAH OLEH INDIVIDU DEWASA: STUDI KASUS DATA IFLS 2000 DAN 2007

DAMPAK ASKESKIN TERHADAP KUNJUNGAN KE PUSKESMAS/PUSTU
DAN RSU PEMERINTAH OLEH INDIVIDU DEWASA:
STUDI KASUS DATA IFLS 2000 DAN 2007

Edy Purwanto & Fajar Suminto

SurveyMETER


 Latar Belakang

Tahun 2005 pemerintah mengalokasikan subsidi BBM untuk sektor kesehatan menjadi Program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin). Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Tujuan akhir adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
 

 Tujuan

Analisis ini mempunyai tujuan utama untuk mengetahui dampak Askeskin terhadap kunjungan ke Puskesmas/Pustu dan RSU Pemerintah oleh individu dewasa.
 

 Metode

Analisis ini menggunakan data Indonesia Family Life Survey / IFLS tahun 2000 dan 2007. Sampel terdiri dari individu berumur 15 tahun atau lebih berjumlah 19.226 dan dapat diwawancara pada tahun 2000 maupun 2007. Variabel dependen yang digunakan adalah kunjungan rawat jalan sebulan terakhir ke Puskesmas/Pustu dan Rumah Sakit Umum Pemerintah serta kunjungan rawat inap selama setahun terakhir di Rumah Sakit Umum Pemerintah. Variabel independen utama adalah kepemilikan Askeskin dan dikontrol dengan faktor demografi seperti jenis kelamin, pendidikan, status menikah, kota-desa, morbiditas dan penyakit kronis. Untuk menjawab tujuan utama dalam analisis ini digunakan metode analisis data panel fixed effect.
 

 Hasil

Hasil analisis menunjukkan bahwa pada periode tahun 2000 dan 2007 telah terjadi peningkatan kunjungan rawat jalan maupun rawat inap di RSU pemerintah masing-masing dengan koefesien 0,003 dan signifikan pada level 10%. Askeskin telah meningkatkan kunjungan rawat jalan ke Puskesmas/Pustu dan RSU pemerintah namun tidak signifikan. Dampak Askeskin paling besar terjadi pada peningkatan rawat inap di RSU pemerintah dengan koefesien sebesar 0,014 dan signifikan pada level 1%. Faktor lain yang cukup signifikan dalam peningkatan kunjungan ke Puskesmas/Pustu dan RSU pemerintah adalah gejala penyakit maupun penyakit kronis yang diderita dengan koefesien rata-rata 0,02.
 

 Kesimpulan

Askeskin telah memberikan dampak yang besar pada peningkatan kunjungan rawat inap di RSU pemerintah. Namun Askeskin memberikan dampak yang kurang signifikan pada peningkatan kunjungan rawat jalan di awal-awal dimulainya program ini.
 

 Saran

Pemberian program Askeskin atau program sejenis perlu dikembangkan karena sangat bermanfaat pada peningkatan kunjungan rawat inap di RSU pemerintah. Untuk lebih meningkatkan pemanfaatan Askeskin pada kunjungan rawat jalan, perlu dikembangkan cakupan penggunaan Askeskin. Askeskin tidak hanya berlaku untuk pengobatan penyakit yang diderita, tetapi juga dapat digunakan untuk pemeriksaan kesehatan meskipun belum ada gejala yang dirasakan maupun penyakit kronis yang telah timbul.

Kata Kunci : Askeskin, IFLS, fixed effect

Powerpoint 

ASSESSMENT PROGRAM JAMINAN PERSALINAN (JAMPERSAL) DAN RENCANA TINDAK LANJUTNYA DI KABUPATEN BREBES TAHUN 2013

ASSESSMENT PROGRAM JAMINAN PERSALINAN (JAMPERSAL)
DAN RENCANA TINDAK LANJUTNYA DI KABUPATEN BREBES TAHUN 2013

Chriswardani S. Anneke Suparwati dan L.Ratna Kartikawulan

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro


  Latar belakang

Jumlah kematian ibu (bersalin) di Kabupaten Brebes tertinggi di Jawa Tengah (2010) dan urutan lima besar (2011 dan 2012). Jampersal telah dilaksanakan sejak tahun 2011 dan cakupan program KIA sudah tinggi. Diperlukan assessment Jampersal dari aspek pelayanan KIA dan pembiayaannya. Hasil assessment akan ditindaklanjuti dengan kegiatan- kegiatan dalam kerangka kerjasama kemitraan Pemda Propinsi Jawa Tengah dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro dengan Unicef.
 

 Tujuan

Diperoleh hasil assessment pelaksanaan program Jampersal dan mengidentifikasi rencana tindakan intervensi untuk meningkatkan kinerja Jampersal di Kabupaten Brebes
 

 Metode

Studi kualitatif ini dilaksanakan dengan informan dua Kabid (Kesga dan PMK), Kasi KIA dan pengelola Jampersal di Dinas Kesehatan, Ketua IBI, RSUD, RS swasta, Kepala Puskesmas, Bidan Praktek Swasta dan bidan desa.
 

 Hasil

Di Kabupaten Brebes Jampersal bersifat wajib utk bidan desa tetapi sukarela untuk bidan praktek swasta. Besar tarif Jampersal diatas tarif Perda tetapi masih dibawah rata-rata tarif persalinan umum. Pembayaran klaim terlalu lama karena masalah verifikasi dan persyaratan yang rumit. Bidan cenderung mudah merujuk pasien ke rumah sakit. Puskesmas PONED merasa merugi karena Perda mengharuskan mereka menerima 60% (jasa medis) dan tarif partus resiko sama dengan partus normal. Sebagian bidan memungut biaya tambahan untuk biaya rawat karena pasien menginap di rumah bersalinnya. Beberapa persalinan nakes di rumah pasien dibayar klaimnya oleh Dinas Kesehatan. RSUD tidak memungut biaya tambahan pada pasien Jampersal, Tim Jampersal Kabupaten Brebes sudah dibentuk tetapi belum maksimal perannya dan koordinasi kerja dua bidang di Dinas Kesehatan belum optimal. Seperti halnya Jamkesmas, dana yang turun dari pusat harus masuk Kas Daerah dan tidak langsung dikelola Dinas Kesehatan dan rumah sakit dan hal ini menyebabkan keterlambatan pemakaian dan berkurangnya serapan anggaran. Diperlukan dana pendamping dari APBD Brebes untuk biaya operasional lain yang belum ada di pedoman pelaksanaan Jampersal. Penerimaan jumlah dan jenis obat oleh bidan tidak sesuai dengan kebutuhan yang diajukan.

Ibu bersalin sering menolak dipasang IUD dan menginginkan implant atau suntik sehingga pasien harus mengeluarkan biaya tambahan. Peran IBI sebatas sosialisasi Jampersal, memotivasi dan menampung keluhan bidan kemudian menyampaikan masalah tersebut kepada yang berwenang. IBI mensyaratkan lulus pelatihan APN untuk penerbitan SIPB. Dinas Kesehatan menyatakan bidan yang MOU Jampersal tidak boleh memungut pembayaran sepeserpun karena Jampersal untuk semua masyarakat, bidan mempertanyakan pasien umum non Jampersal yang mampu dan mau membayar. Jumlah pasien persalinan di BPS menurun, tetapi meningkat pada bidan desa. BPS yang tidak MOU jampersal menyatakan tidak ada keharusan dari pihak Dinas Kesehatan, bila ikut Jampersal tidak menguntungkan secara finansial, proses klaim biaya dan persyaratannya rumit sedangkan mereka mempunyai pasien umum yang mampu membayar. RS swasta belum melaksanakan MOU karena masih membangun tambahan bangsal persalinan. Sosialisasi Jampersal kepada masyarakat dirasakan masih sangat kurang.
 

 Kesimpulan

Pelaksanaan Jampersal di Kabupaten Brebes masih memerlukan upaya optimalisasi serapan anggaran, kerjasama dan koordinasi Tim Jampersal, kerjasama dengan lintas sektor terkait khususnya IBI serta sosialisasi kepada masyarakat.
 

 Saran

  1. Perumusan dan sosialisasi kesepahaman antara Dinas Kesehatan dengan organisasi IBI tentang Jampersal untuk semua masyarakat atau hanya untuk maskin
  2. Penyusunan Perbup untuk kriteria peserta Jampersal yang tidak boleh dipungut biaya tambahan pelayanan pada pelayanan bidan, puskesmas dan rumah sakit,
  3. Advokasi pengusulan dana pendamping jampersal dari APBD,
  4. Pembentukan tim verifikasi Jampersal ,
  5. Optimalisasi koordinasi dua bidang di Dinas Kesehatan yang menangani Jampersal.
  6. Model sosialisasi Jampersal pada kelompok sasaran.
     

Kata kunci : jaminan persalinan, bidan desa,ibu bersalin.

Powepoint