Pelaksanaan Jamsos Nasional Butuh Pemimpin Kuat

JAKARTA - MICOM: Diperlukan kepemimpinan yang kuat untuk melaksanakan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) karena kompleksnya permasalahan dan besarnya dampak pada sistem keuangan negara dan potensi munculnya prokontra pada masyarakat.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJNS) Djoko Sungkono di Jakarta, Rabu (27/6), mengatakan pemangku kepentingan atas pelaksanaan SJSN sangat banyak dan kompleks.

"Jika disederhanakan hanya dua, yakni pemerintah yang menjalankan amanat negara (UUD) dan rakyat," kata Djoko.

Dijelaskannya, SJSN mengubah sistem jaminan sosial yang selama ini parsial menjadi komprehensif dan masif. "Jika sebelumnya dilaksanakan lembaga penyelenggara tertentu untuk kelompok masyarakat tertentu," maka ke depan akan menjadi dua saja yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada 2029.

Pada cakupan kepesertaan, semula jaminan kesehatan hanya dinikmati oleh PNS, TNI, Polri, masyarakat miskin tak mampu melalui jamkesmas dan pekerja swasta maka ke depan semua kelompok masyarakat akan menikmati jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan paling lambat pada 1 Januari 2014.

Pemerintah akan menanggung iuran warga miskin dan tak mampu sementara pekerja dan pemberi kerja membayar iuran sendiri. Prokontra yang muncul adalah besaran iuran dan menentukan batas miskin dan tak mampu suatu kelompok masyarakat. Besaran kelompok ini akan menentu biaya yang dikeluarkan pemerintah melalui APBN setiap tahunnya. DJSN sudah mengusulkan besaran bantuan iuran senilai Rp27.000 per orang.

Sedangkan pada program jaminan sosial bagi pekerja akan mengalami transformasi, yakni jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) yang selama ini diselenggarakan PT Jamsostek akan bermigrasi ke BPJS Kesehatan.

Kekhawatiran pekerja, mereka tidak mendapat kualitas pelayanan yang sama dengan besaran iuran Rp19.000 perbulan sementara iuran Jaminan Kesehatan nasional Rp27.000. Perbedaan itu ada pada pelayanan kesehatan untuk penyakit HIV/AIDS yang tidak ditanggung PT Askes saat ini. PT Askes akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan paling lambat pada 1 Januari 2014.

Kontroversi yang berpotensi muncul juga pada pelaksanaan program Jaminan Pensiun yang saat ini masih sangat sedikit dinikmati oleh pekerja swasta. Jaminan Pensiun direspon positif banyak kalangan pekerja, namun potensi tarik menarik akan sangat besar jika tidak dilakukan penyelarasan peraturan perundangan yang akan menjadi acuan pelaksanaannya.

Pemerintah Alokasikan Rp4 Triliun untuk BPJS

investor.co.id - Pemerintah akan mengalokasikan Rp4 triliun untuk modal awal dua badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) dalam perluasan kantor pelayanan.

"Masing-masing badan penyelenggara akan mendapat Rp2 triliun untuk peningkatan kualitas pelayanan dengan membuka kantor cabang di setiap kabupaten dan kota," kata anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Bambang Purwoko di Jakarta, Minggu.

Ia menjelaskan, dengan berlakunya pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional dimulai 1 Januari 2014 maka setiap warga negara harus mendapat pelayanan maksimal.

Pada 1 Januari 2014 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan melaksanakan pelayanan kesehatan bagi setiap warga negara. Warga yang mampu (pekerja dan profesional) akan membayar iuran sedangkan warga yang miskin dan tak mampu akan dibayar oleh negara.

Pada 1 Juli 2015 BPJS Ketenagakerjaan akan mulai beroperasi dan setiap pekerja yang mempunyai hubungan kerja secara formal berhak mendapat perlindungan dari risiko kerja.

Perlindungan berupa Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun. Konsekwensinya BPJS Ketenagakerjaan juga harus memiliki kantor di setiap kabupaten dan kota.

PT Askes akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan PT Jamsostek bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan.

Menjawab pertanyaan, Purwoko mengatakan dalam peraturan perundangan pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk membayar iuran pekerja untuk ikut program jaminan sosial tenaga kerja, termasuk pada pekerja sektor informal.

"Pemberi kerja (pengusaha) yang berhak membayar iuran jaminan sosial. Terkait pekerja informal maka mereka mengikuti program peserta mandiri," kata Purwoko.

Tugas utama BPJS Ketenagakerjaan memastikan semua pekerja formal menjadi peserta karena saat ini baru sepertiga yang menjadi peserta aktif. "Oleh karena itu BPJS Ketenagakerjaan memiliki wewenang pengawasan (labor inspector) agar jumlah kepesertaan meningkat dan maksimal," kata Purwoko.

Dia memperkirakan akan banyak lapangan kerja baru karena kedua BPJS harus memilki kantor di setiap kabupaten dan kota. Di sisi lain akan terjadi kesadaran baru dari masyarakat untuk menjadi peserta jaminan sosial

Penggunaan Dana SJSN Cukup Bila Efisien

Pikiran-rakyat.com - Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh berpendapat sebetulnya untuk rakyat perkotaan, terutama yang pelayanan perorangan dengan menggunakan dana Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), cukup bila dilakukan secara efisien.

Artinya, negara cukup mengeluarkan dana untuk kesehatan masyarakat seperti air bersih, gizi masyarakat, kesehatan lingkungan, pemberantasan demam berdarah, dan sebagainya. "Karena itu negara memiliki kewajiban berat untuk memaksimalkan dana untuk daerah pedesaan dan pulau-pulau kecil," katanya di Jakarta, Minggu (24/6/12).

Pada kedua areal tersebut, lanjutnya, tidak cukup hanya mengandalkan dana SJSN/BPJS untuk kesehatan perorangan sebab membutuhkan fasilitas penunjang, transportasi, dan tunjangan berupa insentif. Kesulitan bagi tenaga profesional yang ditugaskan ke daerah sulit. "Tunjangan kesulitan juga harus diberikan bagi yang bekerja di sektor kesehatan masyarakat (puskesmas)," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Program Lembaga Katalog Indonesia Jamsari meminta Komitmen Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi, untuk fokus pada pemenuhan rasa keadilan masyarakat akan pelayanan kesehatan ketimbang membuat kebijakan yang justru menuai pro kontra di masyarakat.

Jamsari berpendapat Menkes semestinya memprioritaskan program pemerataan pelayanan kesehatan dalam rangka pemenuhan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menkes seharusnya lebih menekankan penguatan layanan garda terdepan, artinya layanan kesehatan masyarakat dengan ujung tombak puskesmas dan klinik dokter keluarga sebagai ujung tombak layanan kesehatan perorangan. "Pembangunan rumah sakit penting tapi memaksimalkan layanan terdepan akan lebih penting lagi," katanya.

Menurut Jamsari, harus dibuat sistem baru yang bisa memaksimalkan klinik dokter keluarga sebagai ujung tombak pelayanan perorangan dan memaksimalkan fungsi puskesmas untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Juga agar rumah sakit dimaksimalkan hanya menangani pasien rujukan yang dirujuk dari klinik dokter keluarga.

Ketika RS masih memerankan diri sebagai layanan primer maka berarti pemborosan biaya akan selalu terjadi. "Intinya fokus saja pada pemenuhan rasa keadilan masyarakat akan pelayan kesehatan," tegasnya.

Komisi IX akan Panggil Menkes Terkait Vaksin Flu Burung

MICOM - Komisi IX berencana akan memanggil Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi untuk meminta pejelasan terkait pembahasan anggaran proyek pabrik vaksin flu burung yang saat ini tengah memasuki tahap penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan terdapat proyek senilai Rp1,3 triliun untuk pembangunan sarana dan prasarana pembuatan vaksin flu burung.

Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning mengatakan pemanggilan itu untuk mengklarifikasi tentang alasan proyek dengan pengajuan anggaran yang semula ditolak fraksi, tetapi pembangunannya tetap berjalan.

Menurut Ribka, pengadaan peralatan pabrik itu dimenangkan oleh PT Anugerah Nusantara yang ternyata milik mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin sebelum kampanye 2009.

"Waktu itu saya menolak dan tidak ada proyek flu burung. Saya ingat dulu ada tatib jika hal tersebut darurat kan mau kampanye dan bisa dibahas di luar komisi. Terus saya bilang kalau yang namanya darurat itu bencana, jadi saya tetap menolak," kata Ribka di DPR RI, Kamis (21/6).

Ribka pun berencana untuk membentuk panitia kerja Komisi IX terkait permasalahan ini.

"Secara pribadi saya berpendapat untuk bentuk panja flu burung setelah memanggil Menkes, dan dirjen utk menjelaskan soal mekanisme flu burung," cetus Ribka.

Hasil audit BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 693,2 miliar dari proyek pengadaan vaksin flu burung yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan menggunakan anggaran tahun jamak (multiyears) 2008-2010 senilai Rp 1,3 triliun. Selain itu, BPK menemukan adanya kerja sama tidak sehat antara Kementerian Kesehatan, perusahaan swasta AN, seorang politisi DPR berinisial MNZ, BUMN PT BF, serta sebuah universitas negeri di Jawa Timur.

Dari hasil temuan BPK tersebut, ditemukan tiga masalah yaitu pengadaan peralatan dan fasilitas gedung produksi vaksin di PT Bio Farma dan chicken breading. Selain itu, sebagian besar peralatan belum terpasang dan cenderung terbengkalai dan sebagian peralatan riset di universitas negeri di Jawa Timur itu tidak bisa mendukung kegiatan riset pengadaan vaksin flu burung.

Tidak Aksesi FCTC Akan Rugi

Tindakan Indonesia tidak mengaksesi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control) akan merugikan upaya pengendalian dampak tembakau.

Selengkapnya