Obat Generik Berlogo Bukan Obat Orang Miskin
JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak komentar beragam di masyarakat ketika bicara soal obat generik. Dalam survei kecil-kecilan yang dilakukan Kompas.com di sejumlah apotek di kawasan Jakarta Timur, 13 dari 20 orang menganggap obat generik sebagai obat kelas dua, dan kurang berkhasiat ketimbang obat bermerek atau branded.
"Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta untuk mendapatkan resep obat generik dari dokter"
-- Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto
Seperti diungkapkan Doni (24), yang ditemui saat hendak menebus obat di apotek untuk orangtuanya yang sedang sakit. Pria lajang ini mengatakan, "Ya lebih bagus obat bermerek lah, soalnya dia punya merek. Kalau generik kan nggak punya."
Sikap berbeda ditunjukkan Gunawan (34), seorang karyawan bank swasta di Jakarta. Dengan mantap ia mengatakan tak ada perbedaan antara obat generik dan bermerek. "Sama saja. Malah kalau berobat saya minta biar diresepin obat generik. Udah murah, khasiatnya sama aja," katanya.
Rini (23) seorang asisten apoteker yang bekerja di salah satu apotek di kawasan Pramuka, mengatakan bahwa obat generik saat ini sudah lebih banyak dicari ketimbang obat bermerek. Meski begitu, pihaknya tetap membatasi untuk menjual obat generik. Ia beralasan, keuntungan yang didapat dari menjual obat generik tidak sebesar jika menjual obat bermerek. "Ya mau gimana lagi, kita kan juga perlu untung mas," katanya, saat ditemui beberapa waktu lalu.
Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, mitos yang berkembang bahwa obat generik adalah obat kelas dua dan tak berkualitas memang masih melekat. Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu. Padahal, faktanya tidak demikian.
Minimnya informasi seputar obat adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Anggapan ini, kata Linda, tak hanya merugikan pemerintah, tetapi juga pasien karena pembiayaan obat tak efisien. Linda mengatakan, selisih harga obat generik dan bermerk bisa mencapai hampir 20-30 kali lipat. Hal ini tentu memberatkan pasien yang seharusnya bisa membeli obat dengan murah.
Berlogo dan bermerek
Masyarakat, lanjut Linda, perlu memahami bahwa di pasaran terdapat dua jenis obat generik, yaitu obat generik yang dijual tanpa merek biasa disebut Obat Generik Berlogo (OGB) dan obat generik bermerek. OGB merupakan program pemerintah yang diluncurkan pada 1989 dengan tujuan memberi alternatif bagi masyarakat, dengan kualitas terjamin, harga terjangkau, dan ketersediaan obat yang cukup.
Dinamakan OGB karena obat ini ditandai dengan logo lingkaran hijau bergaris putih dengan tulisan "generik" di bagian tengahnya. Dari sisi zat aktifnya atau komponen utama obat, antara obat generik (baik berlogo maupun bermerek dagang), persis sama dengan obat paten.
Yang juga perlu dipahami adalah OGB dan obat generik bermerek hanya berbeda dari segi kemasan dan harga. "OGB cenderung murah karena tak memerlukan biaya promosi yang besar. Pengetahuan yang benar akan membuat masyarakat mendapatkan pengobatan yang murah dan bermutu," jelasnya.
Sedangkan obat generik bermerek yang lebih umum disebut obat bermerek adalah obat yang diberi merek dagang. Contoh, OGB untuk obat penurun kolesterol adalah Simvastatin, sedang obat generik bermerknya ada yang memiliki nama dagang Cholestat.
Linda menambahkan, struktur industri obat di beberapa negara maju hanya mengenal dua jenis obat, yaitu obat paten dan generik. Obat paten adalah obat originator yang dibuat produsen berdasarkan riset. Mereka mendapat hak paten dan produknya tidak boleh ditiru pihak lain. Masa paten obat biasanya hingga 15 tahun. Sedangkan obat generik berarti copy dari obat originator yang habis masa patennya. Kendati hanya meng-copy, kualitas kedua jenis obat harus sama. Namun di beberapa negara, termasuk Indonesia, selain obat paten dan generik, terdapat pula di antara keduanya obat generik bermerek yang dijual lebih mahal.
"Masyarakat maupun tenaga kesehatan tak perlu meragukan mutu obat generik berlogo (OGB), karena harganya yang murah. Anggapan bahwa OGB adalah obat orang miskin tidaklah benar," katanya.
Menurut Linda, penjualan obat generik di Tanah Air masih sangat rendah ketimbang negara lain yang sudah bisa mencapai di atas 70 persen. Hal ini karena penggunaan obat generik di negara maju didukung kesadaran dokter, kuatnya posisi pemerintah terhadap dokter dan industri farmasi, serta tersedianya sistem pembiayaan kesehatan.
"Porsi penjualan obat generik baik bermerek dan berlogo mencapai 80 persen dan paten sekitar 20 persen. Namun obat generik berlogo hanya menyumbang sekitar 10 persen sedangkan obat bermerk secara nilai mewakili 70 persen dari total pasar farmasi nasional." katanya.
Peran dokter
Untuk meningkatkan penggunaan obat generik di masyarakat, salah satu faktor yang sangat berperan adalah dokter. Diakui Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto, dokter berpengaruh besar karena menuliskan resep obat. IDI, kata Slamet, selalu mengimbau kepada para anggotanya untuk meresepkan obat generik dan mengingatkan pada kode etik larangan menjalin kontrak dengan penyedia obat. Apabila terbukti ada anggotanya yang terlibat, maka akan diberikan sanksi berupa pembinaan.
"Tak dapat dipungkiri bahwa masih ada tenaga medis yang memberikan resep obat generik bermerek. Ke depan, hal-hal seperti ini diharapkan tidak lagi terjadi," katanya.
Slamet menambahkan, sejauh ini IDI sudah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan menyurati pemerintah agar semua obat bermerk diberikan logo obat generik. Dengan demikian, masyarakat mengetahui bahwa komposisi dan khasiat obat bermerek dan obat generik sama. "Ini disebabkan kesalahan pemerintah yang membedakan antara obat generik berlogo dengan obat generik bermerek, seharusnya obat ini tidak boleh dibedakan, karena kedua obat ini isi dan khasiatnya sama persis, yang beda hanyanya bungkusnya saja," tegasnya.
Selain itu, peranan apoteker di instalasi farmasi juga sangat penting untuk bisa memberikan penerangan kepada masyarakat agar memilih obat generik serta berkonsultasi dengan dokter dan pasien untuk mengganti penggunaan obat paten dengan obat generik yang sepadan. "Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta untuk mendapatkan resep obat generik dari dokter. Masyarakat pun seharusnya bisa bertanya kepada apoteker untuk mendapatkan obat generik jika membeli obat atau menebus resep dari dokter," jelasnya.
Hanya 20 persen di apotik
Slamet juga mengamati bahwa masih banyak apotek yang tidak menyediakan obat generik. Kondisi ini menurutnya harus mendapat perhatian dari pemerintah, mengingat sudah ada Permenkes yang mengatur obat generik. "Apotek harus direformasi. Penyediaan obat generik di apotek cuma 10-20 persen," katanya.
Seharusnya, kata Slamet, ketersediaan obat generik di apotek harus di atas 50 persen. Sementara untuk setiap rumah sakit, minimal harus menyediakan 80 persen obat generik, sehingga ketika dokter meresepkan obat generik, masyarakat dapat dengan mudah mendapatkannya. "Ini juga kesalahan pemerintah yang tak membuat regulasi mengenai ketentuan di apotek, harusnya semua apotek diwajibkan minimal menyediakan obat generik minimal 70 persen. Produsen obat juga harus memproduksi minimal 70 persen obat generik," ujarnya.
Namun hal itu disanggah oleh Linda. Menurutnya, pemerintah memang belum mengatur hal ini, tetai di beberapa daerah pemerintah telah menyediakan apotek khusus obat generik, meski jumlahnya masih sangat terbatas.
Linda menambahkan, pemerintah akan terus berupaya untuk menghilangkan stigma negatif tentang obat generik dengan melakukan revitalisasi dan reposisi OGB, dengan mengedepankan bahwa tak ada perbedaan antara OGB dan obat generik bermerek dengan kandungan zat aktif yang sama, dalam hal mutu, khasiat dan keamanan.
"Revitalisasi obat generik dilakukan dengan berbagai intervensi, dari hulu sampai ke hilir," ujarnya
Di hulu atau dari sisi penyediaan, pemerintah mendorong industri farmasi di Indonesia memproduksi OGB melalui penetapan harga obat generik yang lebih akomodatif, pelaksanaan fast track registrasi obat generik, mendorong agar kemasan obat generik lebih attractive dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Di sektor hilir, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penggunaan OGB, misalnya dengan menerbitkan Keputusan Menkes tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Kebijakan ini diharapkan menjadi angin segar bagi sebagian besar masyarakat.