Obat Generik Berlogo Bukan Obat Orang Miskin

JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak komentar beragam di masyarakat ketika bicara soal obat generik. Dalam survei kecil-kecilan yang dilakukan Kompas.com di sejumlah apotek di kawasan Jakarta Timur, 13 dari 20 orang menganggap obat generik sebagai obat kelas dua, dan kurang berkhasiat ketimbang obat bermerek atau branded.

"Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta untuk mendapatkan resep obat generik dari dokter"

-- Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto

Seperti diungkapkan Doni (24), yang ditemui saat hendak menebus obat di apotek untuk orangtuanya yang sedang sakit. Pria lajang ini mengatakan, "Ya lebih bagus obat bermerek lah, soalnya dia punya merek. Kalau generik kan nggak punya."

Sikap berbeda ditunjukkan Gunawan (34), seorang karyawan bank swasta di Jakarta. Dengan mantap ia mengatakan tak ada perbedaan antara obat generik dan bermerek. "Sama saja. Malah kalau berobat saya minta biar diresepin obat generik. Udah murah, khasiatnya sama aja," katanya.

Rini (23) seorang asisten apoteker yang bekerja di salah satu apotek di kawasan Pramuka, mengatakan bahwa obat generik saat ini sudah lebih banyak dicari ketimbang obat bermerek. Meski begitu, pihaknya tetap membatasi untuk menjual obat generik. Ia beralasan, keuntungan yang didapat dari menjual obat generik tidak sebesar jika menjual obat bermerek. "Ya mau gimana lagi, kita kan juga perlu untung mas," katanya, saat ditemui beberapa waktu lalu.

Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, mitos yang berkembang bahwa obat generik adalah obat kelas dua dan tak berkualitas memang masih melekat. Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu. Padahal, faktanya tidak demikian.

Minimnya informasi seputar obat adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Anggapan ini, kata Linda, tak hanya merugikan pemerintah, tetapi juga pasien karena pembiayaan obat tak efisien. Linda mengatakan, selisih harga obat generik dan bermerk bisa mencapai hampir 20-30 kali lipat. Hal ini tentu memberatkan pasien yang seharusnya bisa membeli obat dengan murah.

Berlogo dan bermerek

Masyarakat, lanjut Linda, perlu memahami bahwa di pasaran terdapat dua jenis obat generik, yaitu obat generik yang dijual tanpa merek biasa disebut Obat Generik Berlogo (OGB) dan obat generik bermerek. OGB merupakan program pemerintah yang diluncurkan pada 1989 dengan tujuan memberi alternatif bagi masyarakat, dengan kualitas terjamin, harga terjangkau, dan ketersediaan obat yang cukup.

Dinamakan OGB karena obat ini ditandai dengan logo lingkaran hijau bergaris putih dengan tulisan "generik" di bagian tengahnya. Dari sisi zat aktifnya atau komponen utama obat, antara obat generik (baik berlogo maupun bermerek dagang), persis sama dengan obat paten.

Yang juga perlu dipahami adalah OGB dan obat generik bermerek hanya berbeda dari segi kemasan dan harga. "OGB cenderung murah karena tak memerlukan biaya promosi yang besar. Pengetahuan yang benar akan membuat masyarakat mendapatkan pengobatan yang murah dan bermutu," jelasnya.

Sedangkan obat generik bermerek yang lebih umum disebut obat bermerek adalah obat yang diberi merek dagang. Contoh, OGB untuk obat penurun kolesterol adalah Simvastatin, sedang obat generik bermerknya ada yang memiliki nama dagang Cholestat.

Linda menambahkan, struktur industri obat di beberapa negara maju hanya mengenal dua jenis obat, yaitu obat paten dan generik. Obat paten adalah obat originator yang dibuat produsen berdasarkan riset. Mereka mendapat hak paten dan produknya tidak boleh ditiru pihak lain. Masa paten obat biasanya hingga 15 tahun. Sedangkan obat generik berarti copy dari obat originator yang habis masa patennya. Kendati hanya meng-copy, kualitas kedua jenis obat harus sama. Namun di beberapa negara, termasuk Indonesia, selain obat paten dan generik, terdapat pula di antara keduanya obat generik bermerek yang dijual lebih mahal.

"Masyarakat maupun tenaga kesehatan tak perlu meragukan mutu obat generik berlogo (OGB), karena harganya yang murah. Anggapan bahwa OGB adalah obat orang miskin tidaklah benar," katanya.

Menurut Linda, penjualan obat generik di Tanah Air masih sangat rendah ketimbang negara lain yang sudah bisa mencapai di atas 70 persen. Hal ini karena penggunaan obat generik di negara maju didukung kesadaran dokter, kuatnya posisi pemerintah terhadap dokter dan industri farmasi, serta tersedianya sistem pembiayaan kesehatan.

"Porsi penjualan obat generik baik bermerek dan berlogo mencapai 80 persen dan paten sekitar 20 persen. Namun obat generik berlogo hanya menyumbang sekitar 10 persen sedangkan obat bermerk secara nilai mewakili 70 persen dari total pasar farmasi nasional." katanya.

Peran dokter

Untuk meningkatkan penggunaan obat generik di masyarakat, salah satu faktor yang sangat berperan adalah dokter. Diakui Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto, dokter berpengaruh besar karena menuliskan resep obat. IDI, kata Slamet, selalu mengimbau kepada para anggotanya untuk meresepkan obat generik dan mengingatkan pada kode etik larangan menjalin kontrak dengan penyedia obat. Apabila terbukti ada anggotanya yang terlibat, maka akan diberikan sanksi berupa pembinaan.

"Tak dapat dipungkiri bahwa masih ada tenaga medis yang memberikan resep obat generik bermerek. Ke depan, hal-hal seperti ini diharapkan tidak lagi terjadi," katanya.

Slamet menambahkan, sejauh ini IDI sudah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan menyurati pemerintah agar semua obat bermerk diberikan logo obat generik. Dengan demikian, masyarakat mengetahui bahwa komposisi dan khasiat obat bermerek dan obat generik sama. "Ini disebabkan kesalahan pemerintah yang membedakan antara obat generik berlogo dengan obat generik bermerek, seharusnya obat ini tidak boleh dibedakan, karena kedua obat ini isi dan khasiatnya sama persis, yang beda hanyanya bungkusnya saja," tegasnya.

Selain itu, peranan apoteker di instalasi farmasi juga sangat penting untuk bisa memberikan penerangan kepada masyarakat agar memilih obat generik serta berkonsultasi dengan dokter dan pasien untuk mengganti penggunaan obat paten dengan obat generik yang sepadan. "Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta untuk mendapatkan resep obat generik dari dokter. Masyarakat pun seharusnya bisa bertanya kepada apoteker untuk mendapatkan obat generik jika membeli obat atau menebus resep dari dokter," jelasnya.

Hanya 20 persen di apotik

Slamet juga mengamati bahwa masih banyak apotek yang tidak menyediakan obat generik. Kondisi ini menurutnya harus mendapat perhatian dari pemerintah, mengingat sudah ada Permenkes yang mengatur obat generik. "Apotek harus direformasi. Penyediaan obat generik di apotek cuma 10-20 persen," katanya.

Seharusnya, kata Slamet, ketersediaan obat generik di apotek harus di atas 50 persen. Sementara untuk setiap rumah sakit, minimal harus menyediakan 80 persen obat generik, sehingga ketika dokter meresepkan obat generik, masyarakat dapat dengan mudah mendapatkannya. "Ini juga kesalahan pemerintah yang tak membuat regulasi mengenai ketentuan di apotek, harusnya semua apotek diwajibkan minimal menyediakan obat generik minimal 70 persen. Produsen obat juga harus memproduksi minimal 70 persen obat generik," ujarnya.

Namun hal itu disanggah oleh Linda. Menurutnya, pemerintah memang belum mengatur hal ini, tetai di beberapa daerah pemerintah telah menyediakan apotek khusus obat generik, meski jumlahnya masih sangat terbatas.

Linda menambahkan, pemerintah akan terus berupaya untuk menghilangkan stigma negatif tentang obat generik dengan melakukan revitalisasi dan reposisi OGB, dengan mengedepankan bahwa tak ada perbedaan antara OGB dan obat generik bermerek dengan kandungan zat aktif yang sama, dalam hal mutu, khasiat dan keamanan.

"Revitalisasi obat generik dilakukan dengan berbagai intervensi, dari hulu sampai ke hilir," ujarnya

Di hulu atau dari sisi penyediaan, pemerintah mendorong industri farmasi di Indonesia memproduksi OGB melalui penetapan harga obat generik yang lebih akomodatif, pelaksanaan fast track registrasi obat generik, mendorong agar kemasan obat generik lebih attractive dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Di sektor hilir, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penggunaan OGB, misalnya dengan menerbitkan Keputusan Menkes tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Kebijakan ini diharapkan menjadi angin segar bagi sebagian besar masyarakat.

Butuh Undang-undang Berkendara Bagi Penderita Epilepsi

surabayapost - Menurut medis, penderita epilepsi dilarang berkendara meskipun kondisinya sudah terkontrol. Sebab, pemicu kekambuhannya pun umum dirasakan orang normal, seperti stress, keletihan, menstruasi untuk penderita perempuan, hingga cahaya yang berkedip. Sayangnya, di kepolisian belum ada undang-udang yang mengatur ini. Penderita epilepsi masih gampang mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM).

OLEH: FEBY ADITYA KURNIAWAN - AMINULLAH

Berdasarkan data di RSU dr Soetomo penderita epilepsi di tahun 2011 berjumlah 225 pasien sementara di tahun 2012 ini hingga Bulan Juni pasien berjumlah 105 orang. Menurut dr Sonny Soebjanto, epilepsi dapat terkontrol asalkan minum Obat Anti Epilepsi (OAE) secara teratur. "Walaupun sudah terkontrol pasien epilepsi ini tetap belum sembuh 100 persen jadi seharusnya tetap dilarang untuk berkendara ataupun bekerja di tempat yang berbahaya," ujar dokter yang berpraktek di Klinik Samaria.

"OAE hanya bisa mengobati penderita epilepsi sebesar 70 sampai 80 persen saja. Penderita epilepsi masih bisa kambuh, apalagi ketika usianya memasuki usia 60 tahun, frekuensinya bakal semakin sering," imbuh alumnus Unair Surabaya itu.

Menurut dua, walau sudah meminum OAE rutin selama bertahun-tahun penderita epilepsi tetap dilarang aktivitas berkendara, kalaupun dirasa sudah dapat terkontrol, tetap harus ada yang mendampingi jika berkendara, apalagi di Indonesia ini masih belum ada standar yang mengatur berkendara untuk pasien epilepsi.

Sama halnya untuk masalah pekerjaan, penderita epilepsi terkontrol tetap tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas lapangan yang membahayakan. Pekerjaan yang disarankan adalah pekerjaan yang di dalam ruangan dan di belakang meja.

Penyebab kekambuhan dari pasien epilepsi tersebut bisa bermacam-macam tergantung kondisi tertentu seperti stress, gangguan emosional, kelelahan, alcohol, obat-obatan, cahaya yang berkedip dan menstruasi. "Jika nekat berkendara bisa mengancam keselamatan penderita epilepsi itu sendiri ataupun orang lain di sekitarnya," tandasnya.

"Penderita epilepsi jarang ada yang meninggal karena kambuh dan kejang yang berkepanjangan. Paling sering terjadi adalah penderita epilepsi yang kambuh ketika dia sedang beraktivitas seperti berkendara ataupun bekerja di tempat yang berbahaya sehingga menyebabkan kecelakaan dan mengakibatkan meninggal dunia," tambah Sonny.

Lebih lanjut dijelaskannya, di Inggris penderita epilepsi dinyatakan boleh berkendara jika tidak mengalami serangan selama 2 tahun atau lebih, ketika berkendara muncul serangan maka akan langsung dilarang berkendara lagi selama 6-12 bulan ke depan. Pemberian SIM ketika penderita sudah 5 tahun tidak mengalami kejang, sementara di Indonesia belum ada aturan yang mengatur tentang berkendara bagi penderita epilepsy," tandasnya.

Hal itu juga dibenarkan oleh Dr. dr. Kurnia Kusumastuti SpS (K), dokter spesialis di Divisi Epilepsi RSU dr Soetomo. Menurutnya, penderita epilepsi di dunia medis tetap dilarang untuk berkendara. Namun, tambahnya, yang berhak mengeluarkan SIM adalah kepolisian. Tapi di Indonesia belum ada undang-undang atau aturan khusus terkait pengendara epilepsi. "Mestinya ada aturan tentang ini," tandasnya.

Sementara itu, penyebab seseorang menderita epilepsi bermacam-macam, bisa karena kelainan genetik, trauma kepala, infeksi dan tumor otak, reaksi obat yang berlebihan, stroke serta kelainan metabolisme tubuh. Orang bisa diindikasikan epilepsi jika mengalami kejang dua kali berturut-turut dalam waktu yang berdekatan namun harus dilakukan pemeriksaan EEG (alat perekam listrik di otak) untuk memastikannya.

Karena itu, penderita epilepsi dianjurkan untuk tetap minum obat meskipun puasa. Tapi cara minumnya diubah. "Misal dosis 3 obat satu hari bisa diminum 2 kali namun sekali minum 1,5 pil, dengan cara seperti itu tidak akan menggangu puasa dan tetap sehat. Juga hindari berpanasan di bulan puasa karena bisa dehidrasi dan menyebabkan kejang," ujar Sonny kembali.

Sementara itu, Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas (Kanit Laka) Polrestabes Surabaya, AKP Dwi Agung membenarkan jika penderita epilepsi berbahaya untuk berkendara. "Di dalam undang-undang memang tidak diatur secara khusus, tapi ketika mengajukan permohonan SIM, kondisinya harus benar-benar sehat," ujarya. Tapi, berdasarkan data selama ini, tambahnya, tidak ada kecelakaan yang dipicu akibat epilepsi.*

Ada Ruang Merokok, Ruang Menyusui Kenapa Tidak?

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menyesalkan, hingga kini banyak fasilitas umum maupun gedung perkantoran yang belum memenuhi kewajiban menyediakan ruangan khusus ibu menyusui. Menurutnya sangat tidak rasional jika di tempat umum disediakan ruang khusus untuk merokok atau smoking area, tapi ruang khusus ibu menyusui tidak ada.

"Kenapa untuk orang merokok ada? Kenapa untuk orang menyusui tidak? Itu kan tidak rasional," kata Arist di kantor Komnas Perlindungan Anak, Jakarta Timur, Senin (23/7/2012).

Dalam memperingati Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada hari ini, 23 Juli 2012, Arist meminta pada tempat-tempat kerja untuk dapat memenuhi peraturan tersebut. Hal tersebut guna memenuhi hak anak atas kesehatan. Seperti diketahui, Undang Undang Ketenagakerjaan mewajibkan industri atau tempat bekerja untuk menyediakan tempat bagi ibu untuk menyusui anaknya. Namun menurut Arist, penegakan hukum di lapangan masih sangat lemah.

"Banyak perusahaan yang tidak memenuhi, seperti yang ada pada Undang-undang Tenaga Kerja, terkait pada tempat kerja harus memberikan tempat menyusui untuk ibu, lalu bahkan tempat penitipan. Itu belum," terangnya.

Selain itu, adanya tempat penitipan bayi juga belum banyak dipenuhi. Padahal, tempat tersebut agar anak-anak bisa terselamatkan dari ancaman penculikan, saat bayi ditinggal bekerja,

Penyediaan ruang menyusui bagi para ibu sangat penting dalam mewujudkan program pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara eksklusif selama 6 bulan. Pemberian ASI secara eksklusif terbukti dapat berperan menurunkan angka kematian bayi. Pemerintah pun sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 33 tahun 2012 untuk menjamin ASI eksklusif. Tetapi menurut Arist, hal-hal yang mendukung peraturan tersebut pun belum terpenuhi.

TEKNOLOGI INFORMASI: Investasi Di Sektor Kesehatan Mulai Tumbuh

Jakarta (bisnis.com) - Investasi teknologi dan informasi sektor kesehatan di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang diperkirakan tumbuh karena dorongan investasi peralatan medis dan disusunnya eHealth.

Lembaga riset IDC menilai tingkat adopsi teknologi informasi (TI) sektor kesehatan di Indonesia saat ini berada di tahap baru lahir, dengan fokus utama investasi di peralatan medis.

Ketika itu berjalan, pemerintah berinisiatif meningkatkan daya saing global dengan cara menyusun eHealth.

"Dengan menghubungkan eGovernment ke eHealth yang dimulai dengan menyimpan data kesehatan pada kartu identitas elektronik untuk setiap warga negara, Indonesia telah mengambil langkah besar ke arah digitalisasi kesehatan," kata Sash Mukherjee, Senior Market Analyst IDC Health Insights Asia Pasifik, dalam siaran pers yang diterima Bisnis, kamis (19/7/2012).

Menurut Mukherjeen, di Indonesia investasi di bidang infrastruktur dasar baru berada di tahap awal dan memiliki sedikit peninggalan infrastruktur.

"Indonesia akan mendapatkan keuntungan dari investasi pada kemampuan canggih seperti repositori data sentral, pertukaran informasi kesehatan, dan analisis terpadu," ujarnya.

Infrastruktur TI sektor kesehatan akan mendorong investasi TI kesehatan di Indonesia pada 2012 hingga 2013 dan meningkatkan kepuasan pasien.

Untuk mewujudkan perbaikan standar penyediaan layanan kesehatan, penting mempertahankan pasien dalam negeri agar dapat berkontribusi pada pendapatan negara dari kesehatan.

Pasien, bagaimanapun, akan terus berusaha mencari pengobatan di luar negeri, sampai mereka melihat perbaikan layanan kesehatan di dalam negeri.

Bila layanan kesehatan di Indonesia lebih baik, jumlah warga Indonesia yang mencari pengobatan di luar negeri dapat ditekan.

Dokter Kurang Ramah, Warga Berobat ke Malaysia

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah harus memiliki kemauan politik (political will) yang kuat untuk menyediakan layanan kesehatan yang prima dan terjangkau sehingga masyarakat tidak perlu berobat ke Malaysia atau negara lain.

"Sekarang persoalannya, mau atau tidak pemerintah menyediakan layanan kesehatan prima dengan biaya murah. Kalau bisa, saya yakin sedikit sekali orang Indonesia yang berobat ke luar negeri," kata Prof Dr Hasbullah Thabrany dari Center for Health Economics and Policy, Universitas Indonesia, di Jakarta, Rabu (18/7), ketika diminta tanggapannya oleh Suara Karya seputar makin maraknya warga Indonesia yang berobat ke Malaysia.

Prof Hasbullah menambahkan, dari segi kualitas, dokter Indonesia sebenarnya tidak kalah dibanding dokter Malaysia. Namun sayangnya, dokter Indonesia terlalu banyak yang nyambi dengan bekerja di beberapa rumah sakit. Akibatnya, waktu percakapan dengan dokter terasa sangat sempit dan terburu-buru. Pasien pun kemudian merasa tidak puas.

"Ini berbeda dengan dokter Malaysia yang hanya bekerja di satu rumah sakit. Mereka bisa terfokus terhadap pasien. Mereka punya banyak waktu bagi pasien yang bertanya seputar penyakitnya. Pasien merasa benar-benar dilayani. Ini yang sulit didapatkan dari layanan rumah sakit di dalam negeri," tutur Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu.

Maraknya warga Indonesia berobat ke Malaysia sebelumnya disinggung Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Prof Ali Ghufron Mukti. Menurut Wakil Menkes, dokter maupun teknologi kesehatan Indonesia tidak kalah dibanding Malaysia. Bahkan dokter Malaysia pun banyak lulusan perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia.

"Saya heran, banyak pasien yang memilih berobat ke Malaysia. Padahal, dokter di sana itu lulusan Indonesia juga. Saat ini paling tidak ada sekitar 200 sampai 400 dokter Malaysia lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta," kata Ali Ghufron di Solo, Selasa (17/7).

Wakil Menkes mengakui, salah satu kelemahan rumah sakit di Tanah Air adalah minimnya kerja sama tim saat menangani pasien. "Rumah sakit Indonesia tampaknya harus banyak belajar dari Malaysia, terutama soal bagaimana memberikan pelayanan yang prima," ucapnya.

Malaysia saat ini memang tergolong sukses dalam menyediakan program wisata kesehatan bagi penduduk Indonesia, yang sangat mendambakan layanan prima dengan harga murah. Situs malaysiahealthcare .com mencatat kunjungan turis untuk wisata kesehatan Malaysia ini secara statistik terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2007 saja tercatat 386.000 turis yang berobat ke Malaysia, dan meningkat menjadi 410.000 pada tahun 2009. Dari total kunjungan wisata berobat itu, 70 persennya adalah dari Indonesia.

Pendapatan yang diperoleh Malaysia dari sektor wisata kesehatan ini juga relatif lumayan. Pada tahun 2006 tercatat Malaysia memperoleh 167 juta ringgit atau 480 miliar rupiah lebih dari sektor ini dan meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, diprediksi mencapai 6 triliun rupiah lebih tahun 2010.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Rusdi Lamsudin, menilai kondisi semacam itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Sebab, dampak yang timbul bisa berupa masalah ekonomi maupun harga diri para dokter Indonesia.

"Berapa devisa negara yang terbuang ke luar negeri untuk tindakan yang sebenarnya bisa dilakukan dalam negeri? Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus," ucap Rusdi di Yogyakarta kemarin.

Wamen: Dokter Lulusan Indonesia Banyak di Luar Negeri

Metrotvnews.com, Solo: Banyak dokter yang praktik di luar negeri lulusan dari universitas di Indonesia. "Untuk itu saya juga heran dengan banyaknya pasien dari Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri," kata Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti di sela-sela meresmikan Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) di Rumah Sakit Dr Moewardi, Solo, Jawa Tengah, Selasa (17/7).

"Apalagi ada pasien Indonesia yang dikirim ke Malaysia, padahal dokter-dokter di sana itu juga banyak hasil didikan dari Indonesia," tambahnya.

Ia menyebutkan pada 1998, lebih dari 180 pasien dari Indonesia yang dirujuk ke rumah sakit di Malaysia. "Saya enggak tahu sekarang ini sudah berapa banyak," katanya.

Dari sisi teknologi dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, Indonesia tidak kalah dari Malaysia. Satu hal yang membedakan RS di Malaysia dan Indonesia yakni dalam hal packaging dan kerja sama tim dalam melayani pasien.

Ia berharap dalam memberikan Pelayanan Jantung Terpadu di RS Dr Moewardi ini bisa kompak dan dengan baik, agar para pasien itu tidak lari keluar negeri.

Karena itulah, ia menyambut baik peresmian PJT RS Dr Moewardi memiliki fasilitas yang lengkap untuk melayani pasien gangguan jantung. "Makanya, nanti tidak perlu lagi orang Indonesia berobat ke luar negeri," katanya.

Diakuinya, saat ini penyakit jantung masih menjadi momok dan salah satu penyakit pembunuh terbesar di Indonesia.

Keberadaan layanan penanganan pasien jantung secara terpadu menjadi suatu hal yang mutlak keberadaannya di Indonesia. Menurut dia, langkah antisipasi perlu dilakukan mengingat jumlah jumlah penderita penyakit jantung diprediksi akan terus meningkat.

"Terlebih di negara berkembang, termasuk Indonesia," katanya.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memprediksikan pada tahun 2030 mendatang penderita gangguan jantung bisa mencapai 23 juta jiwa di dunia. Enam juta di antaranya karena kardiovaskuler atau gangguan sistem metabolisme dalam tubuh. Dari jumlah tersebut diprediksikan juga bahwa 76 persen atau 17,5 juta kasus penyakit jantung akan terjadi di negara berkembang.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, penyakit jantung masih menjadi penyebab utama kematian di Indonesia dengan angka prevalensi mencapai 7,2 persen. Sebagian besar kasus kematian akibat penyakit jantung tersebut terjadi pada pasien perokok.

"Faktor yang mempengaruhi risiko terjadinya gangguan Kardiovaskuler lebih pada pola hidup atau perilaku seseorang. Mulai dari pola makannya, faktor risiko rokok maupun kurang olahraga," katanya

Petani & Industri Rokok Linting Gugat UU Kesehatan

INILAH.COM, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang atas Pemohon, Suyanto, Iteng Achmad Surowi, Akhmad dan Galih Aji Prasongko yang juga pemilik industri rokok linting atas judicial review atau uji materi Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 116 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap UUD 1945, Senin (16/7/2012).

"Saudara dikasih kesempatan 14 hari selambat-lambatnya untuk memperbaiki permohonan. Kalau misalnya 14 hari Saudara tidak memperbaiki permohonan, maka berarti Saudara tetap dengan permohonan semula," terang Ketua Majelis Mahkamah, Akil Mochtar, didampingi dua anggota majelis, Achmad Sodiki dan Maria Farida Indrati.

Kuasa hukum pemohon, Pradnanda Berbudy, sebelumnya mengungkapkan bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah petani tembakau, Pemohon III adalah pemilik industri pelinting rokok dan Pemohon IV adalah perokok.

Dimana dengan pemberlakuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 116 UU Kesehatan, Pemohon beranggapan tidak ada jaminan akan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi terhadap tembakau dan produk tembakau atau rokok serta berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi dengan menjadi petani tembakau, serta berwiraswasta di bidang industri rokok, dan melakukan kegiatan merokok tidak mempunyai kepastian hukum di Indonesia.

"Baju uji secara formal, bahwa pembentukan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, melanggar asas kejelasan tujuan. Yang kedua, Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan untuk Pasal 116 Undang-Undang Kesehatan melanggar asas pembentukan, asas kejelasan rumusan," terangnya.

Pasal 113 ayat (1), ungkap Nanda, disebutkan bahwa pengamanan penggunaan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

Sedangkan ketentuan Pasal 113 ayat (2) disebutkan bahwa zat adiktif sebagaimana di ayat (1) meliputi tembakau yang mengandung tembakau pada cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaanya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

Rumusan pada ayat (1) dan ayat (2) itu dinilai menimbulkan pertanyaan, apakah tujuan dari penggunaan bahan yang menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, dan masyarakat atau penggunanya ditujukan untuk penggunaan yang dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya?

"Bahan zat adiktif sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), secara jelas dan nyata berbeda dengan apa yang dimaksud pada ayat (2). Dengan demikian, Pasal 113 ayat (1) dan (2) secara jelas dan nyata melanggar ketentuan Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, yaitu dalam pembentukan tidak memenuhi asas kejelasan tujuan," ucapnya.

Selain itu, Pemohon juga menganggap Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 116 UU Kesehatan melanggar asas pembentukan, asas kejelasan rumusan. Karena bila dicermati secara jelas penormaan yang terkandung dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan, secara jelas dan nyata tidak memenuhi asas kejelasan rumusan.

Rumusan Pasal 113 ayat (2) tersebut menyatakan bahwa zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif bagi penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

Hal yang sama ada pada rumusan Pasal 113 ayat (2), apakah zat adiktif yang dimaksud meliputi tembakau, produk tembakau padat, cair, dan gas atau tembakau produk yang mengandung tembakau yang berbentuk padat, cair, dan gas? Rumusan yang menurutnya mengandung suatu tafsir dan pemahaman yang bias, artinya ketentuan ini tidak memenuhi kejelasan rumusan dari suatu pembentukan perundang-undangan.

Secara materiil, Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 116 UU Kesehatan menurut Pemohon tidak memberikan jaminan atas pemberian manfaat dari teknologi, serta tidak memberikan jaminan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dan berpotensi menyebabkan terjadinya ketidakpastian dan keadilan hukum yang merupakan hak asasi. Batu ujinya adalah Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (5) UUD 1945,

Ketua Mahkamah, Akil Mochtar, mengingatkan bahwa Pasal 113 yang diajukan Pemohon secara formal pernah di uji di MK. Bedanya, batu uji yang diajukan Pemohon kali ini berbeda dengan batu uji sebelumnya. Ia mengungkapkan bahwa pengujian formal berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga harus memenuhi tata cara dan syarat-syarat yang ditentukan oleh UUD 1945 yang kemudian ditindaklanjuti oleh UU.

"Saudara gunakan Pasal 28C kemerdekaan berserikat. Kemudian Pasal 28D ayat (1) pengakuan dan jaminan kepastian hukum yang adil. Pasal 28G perlindungan terhadap hak. Pasal 31 ayat (5) memajukan pengetahuan dan teknologi, dan nilai-nilai agama. Itu hubungannya apa dengan pengujian formal?," tandasnya.

"Alasan-alasan permohonan Saudara belum menerangkan tentang pertentangan norma. Apa yang menjadi masalah konstitusional dari norma itu ? Saudara lebih banyak menguraikan tentang industri rokok, penelitian mengenai tembakau, produk tembakau dan belum terdapat argumentasi konstitusionalnya," tambah Akil

Australia Bantu Perempuan Indonesia AUS$ 60 Juta

JAKARTA - MICOM: Australia memberikan bantuan senilai AUS$60 juta untuk program pemberdayaan perempuan Indonesia untuk pengentasan kemiskinan selama empat tahun ke depan. Program tersebut akan membantu sekitar 3 juta perempuan Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan, perencanaan keluarga, dan perlindungan kekerasan rumah tangga.

Menteri Luar Negri Australia Bob Carr mengatakan bahwa Indonesia terus menunjukkan kemajuan dalam memperjuangkan hak, pendidikan, dan lapangan kerja bagi perempuan. "Hampir separuh murid sekolah adalah perempuan dan ada lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang terdaftar di perguruan tinggi Indonesia tetapi masih banyak yang harus dilakukan terutama di daerah terpencil dan wilayah timur Indonesia di mana tingkat melek huruf, pendapatan, dan kesehatan perempuan masih buruk," tuturnya, dalam konferensi pers pertemuan bilateral dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Kepala Bappenas) Armida Alisjahbana di Kantor Bappenas, Jakarta, Senin (16/7).

Carr melihat perempuan Indonesia 30 kali lebih berisiko meninggal saat melahirkan dibandingkan perempuan Australia. Selain itu, banyak perempuan yang belum bisa menyuarakan pendapat mereka dalam pengambilan keputusan.

"Inilah mengapa kami mengulurkan tangan kepada 3 juta perempuan Indonesia, membantu mereka dengan pekerjaan, program-program antikekerasan, dan pilihan kapan dan berapa anak yang mereka inginkan," katanya.

Menurut Carr, bantuan terhadap perempuan Indonesia termasuk dalam komitmen dukungan (hibah) pemerintah Australia kepada Indonesia periode tahun 2012-2013 yang totalnya mencapai AUS$ 578,4 juta yang disalurkan melalui pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat.

Alokasi terbesar diberikan kepada sektor pendidikan 42%, kemudian infrastruktur 26%, kesehatan 17%, pemerintahan 7%, kemanusiaan dan bencana 3%, serta sektor lain 5%.

Sementara, Armida menyampaikan seluruh bantuan pemerintah Australia akan disalurkan untuk pembangunan sumber daya manusia seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

Terkait pengentasan kemiskinan, bantuan akan berupa pembangunan infrastruktur penyediaan air bersih dan aksesibilitas jalan untuk beberapa daerah Indonesia timur.

"Untuk 2012-2013, September nanti akan ada pembicaraan di working level. Deputi Pendanaan (Bappenas) dan Australia akan membahasnya secara detail," katanya.

Pada pertemuan kali ini, kedua pemerintah juga menyepakati kerja sama baru. Selain pemberdayaan perempuan, Indonesia dan Australia bekerja sama pelaksanaan riset dan studi untuk perumusan kebijakan publik dalam knowledge sector initiative program.

"Kita memiliki pemahaman yang sama bahwa kerja sama pembangunan di masa datang perlu diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan pertukaran pengetahuan. Kerja sama pembangunan ini juga harus memberikan kontribusi pada peningkatan hubungan perdagangan dan investasi antara kedua negara dan mendukung kerja sama di sektor lainnya seperti yang diamanatkan joint communique kedua kepala pemerintahan di Darwin 3 Juli lalu," tutur Armida.