VIDEO: Kemenkes Dukung Imbauan Presiden Soal Berobat di Dalam Negeri

Guna merealisasikan hal tersebut, Kemenkes berjanji segera membenahi birokrasi dan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Kementerian Kesehatan menyambut baik pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal imbauan berobat di dalam negeri. Apalagi, selama ini banyak masyarakat yang harus menanggung biaya karena terpaksa berobat ke luar negeri.

Guna merealisasikan hal tersebut, Kemenkes berjanji segera membenahi birokrasi dan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Menurut Wakil Menteri Kesehatan, Ali Gufron, meski Indonesia baru memiliki sembilan rumah sakit yang memenuhi persyaratan dan akreditasi internasional, namun dari segi sumber daya sudah mulai diberlakukan aturan ketat.

Seperti uji kompetensi bagi para dokter lulusan baru, dan adanya akreditasi internasional bagi tenaga kesehatan. Klik disini untuk melihat video.

(Beritasatu.com)

Partisipasi Asuransi Kesehatan Rendah Karena Pengawasan Lemah

Rendahnya jumlah pekerja yang terlindungi jaminan atau asuransi bukan karena beban iuran terlalu berat bagi pemberi kerja, tetapi karena fungsi pengawasan pemerintah lemah

Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menilai lemahnya mekanisme pengawasan dan sanksi yang diterapkan oleh pemerintah terhadap pengusaha menyebabkan angka partisipasi terhadap iuran jaminan kesehatan menjadi rendah.

"Rendahnya jumlah pekerja yang terlindungi jaminan atau asuransi bukan karena beban iuran terlalu berat bagi pemberi kerja, tetapi karena fungsi pengawasan pemerintah lemah, sehingga mereka bisa kucing-kucingan tidak membayar," ujar presiden KAJS Said Iqbal, hari ini.

Sebelumnya wakil menteri kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengatakan di Indonesia masih sedikit sekali pekerja yang terlindungi jaminan kesehatan karena pengusaha merasa terbebani harus membayari iuran sepenuhnya.

Oleh karena itu dalam pelaksanaan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 1 Januari mendatang, Kemenkes mengusulkan pembayaran premi dibagi tiga persen dari pemberi kerja dan dua persen dari gaji pekerja.

Said mengatakan KAJS tetap menolak usulan tersebut karena selama ini pengusaha sudah membayar penuh premi sebanyak tiga persen bagi pekerja lajang dan enam persen bagi pekerja yang telah berkeluarga.

"Saya paham bahwa pembayaran premi harus mengikuti sistem co-sharing seperti amanah Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional," ujarnya.

Menurut Said dengan skema pembayaran yang diusung pemerintah sekarang, sama saja dengan membuat pekerja menanggung premi 100 persen.

"Bagian yang dibayarkan pengusaha itu juga didapat dari tenaga pekerja alias labor cost, kalau setelah memberi tenaga pekerja masih harus dipotong gajinya sama saja mereka menanggung semuanya," ujarnya.

Said juga membantah kalau pengusaha akan terbebani kalau mereka harus menanggung pembayaran premi secara penuh.

"Buktinya sekarang banyak pengusaha yang membayar premi yang bahkan lebih besar dari enam persen," tukasnya. (Beritasatu.com)

Menuju Jaminan Kesehatan Semesta

Jaminan kesehatan kedepan akan mencakup seluruh rakyat Indonesia. Semua penduduk wajib ikut dan wajib bayar iuran, sedang yang tidak mampu iurannya dibayar Pemerintah.

Adalah suatu keharusan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan akan dilaksanakan mulai 1 Januari 2014 mendatang. Langkah ini akan memuluskan jalan Indonesia menuju Jaminan Kesehatan Semesta (JKS) atau Universal Health Coverage (UHC).

Namun, upaya ini tidaklah mudah. Kalau bicara tentang UHC, paling tidak ada tiga dimensi yang harus dipenuhi. Pertama, seberapa luas cakupan peserta yang akan dijamin. Kemudian, seberapa dalam manfaat pelayanan kesehatan yang akan dijamin. Terakhir, seberapa besar proporsi urun biaya yang masih harus dikeluarkan oleh peserta jaminan kesehatan ketika mendapatkan manfaat.

Idealnya, ketiga dimensi itu harus terpenuhi. Namun, mengingat keterbatasan yang ada, tidak mungkin memenuhi ketiga dimensi tersebut secara bersamaan di awal penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional. Oleh karenanya, Pemerintah memprioritaskan upaya perluasan cakupan kepesertaan terlebih dahulu, tetapi tetap dengan memperhatikan kedua dimensi yang lain.

Menurut Wakil Menteri Kesehatan RI Ali Ghufron Mukti, sebenarnya Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan sejak 2009 menginginkan seluruh masyarakat itu memiliki jaminan kesehatan pada tahun 2014. Namun, terkendala dengan belum adanya Badan Penyelenggara dan peraturan terkait lainnya. Dengan telah diundangkannya UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS, maka upaya untuk mencapai kepesertaan jaminan kesehatan nasional itu akan diakselerasi.

"Kami berkeinginan secepat mungkin penduduk Indonesia itu bisa mengakses pelayanan kesehatan tanpa beban biaya besar dan bisa mencapai derajad kesehatan yang setinggi-tingginya," ujar Wamenkes.

Selain itu, pencapaian JKS saat ini sudah menjadi prioritas global. Hal tersebut menjadi tema utama pada World Health Assembly ke-65 di Jenewa, yang berlangsung tanggal 21-26 Mei 2012 lalu. Upaya pencapaiannya sama pentingnya dengan pencapaian sasaran dalam Millenium Development Goals (MDGs). UHC ini bisa menjadi salah satu indikator penting untuk mengukur sejauh mana kinerja Indonesia dalam menjamin kesehatan penduduknya. Bahkan kemungkinan akan menjadi prioritas global pada era setelah prioritas MDGs berakhir.

MEMPERLUAS CAKUPAN

Saat ini sekitar 63,5 persen penduduk Indonesia atau 151,5 juta jiwa telah mempunyai jaminan kesehatan dengan berbagai cara penjaminan. Itu termasuk para peserta Jamkesmas, Jamkesda, Askes, PNS Pensiunan dan Veteran, TNI POLRI aktif, Jamsostek, jaminan oleh perusahaan dan individu peserta jaminan kesehatan dari perusahaan asuransi kesehatan swasta. Artinya, masih terdapat 37 persen penduduk atau 87 juta jiwa yang belum tercakup dalam jaminan kesehatan.

Menurut Wamenkes, Pemerintah memiliki target untuk mencapai UHC secepatnya. Jika memungkinkan, akhir 2014 nanti minimal bisa mencakup 71 persen penduduk atau 174,5 juta jiwa. Artinya, mulai sekarang sampai dengan akhir 2014 harus ada upaya untuk meningkatkan kepesertaan sebesar 7 persen penduduk atau sekitar 23 juta jiwa.

Penambahan peserta sebesar 23 juta jiwa sampai dengan 2014 itu rencananya meliputi 19,6 juta jiwa dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan 3,4 juta jiwa peserta dari kelompok pekerja penerima upah yang pada saat ini masih belum mempunyai jaminan kesehatan.

Untuk menambah cakupan peserta, Pemerintah akan terus mendorong kepesertaan pekerja penerima upah (formal) yang diperkirakan jumlah totalnya mencapai 70 juta jiwa. Saat ini pekerja formal yang menjadi peserta Jamsostek baru mencapai 6 jutaan, dan yang mendapat jaminan dari perusahaan mencapai 15 jutaan.

Selain itu, Pemerintah juga akan menambah jumlah peserta PBI. Peserta PBI adalah peserta jaminan kesehatan yang iurannya dibayar oleh Pemerintah. Saat ini ada 76,4 juta peserta PBI melalui Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Untuk peserta PBI tahun 2013, Pemerintah menambah jumlah sasarannya menjadi 86,4 juta jiwa. Tahun 2014 diharapkan jumlah peserta PBI mencapai 96 juta. Data sasaran PBI ini telah tersedia sesuai hasil identifikasi TNP2K bersama BPS.

KEPESERTAAN DAN IURAN

Kepesertaan Jaminan Kesehatan ini bersifat wajib. Jadi, seluruh masyarakat di Indonesia harus ikut program jaminan kesehatan ini. Diharapkan Jaminan Kesehatan telah mencapai kepesertaan semesta atau Universal Health Coverage (UHC) paling lambat pada tahun 2019.

Dengan semua penduduk menjadi peserta jaminan kesehatan akan terjadi subsidi silang antara peserta yang sehat kepada yang sakit, peserta yang muda kepada yang tua, dan peserta yang kaya kepada yang miskin. Dan, yang penting diketahui masyarakat, jaminan kesehatan ini tidak gratis. Prinsipnya semua orang yang akan menjadi peserta jaminan kesehatan wajib membayar iuran.

Bagi pekerja penerima upah (pekerja swasta, PNS, TNI POLRI aktif, pensiunan dan veteran) iurannya ditanggung oleh pekerja dan pemberi kerja.

Lantas bagaimana dengan kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu membayar iuran? Mereka iurannya akan dibayar oleh Pemerintah sebagai peserta PBI. Adapun penetapan kepesertaan PBI akan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah yang rancangannya kini tengah terus dimatangkan.

Sedangkan besaran iuran bagi peserta PBI dan proporsi iuran yang ditanggung oleh pekerja dan pemberi kerja saat ini masih terus digodok dan akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden yang rancangannya masih sedang disiapkan.

Sementara itu, bagi pekerja bukan penerima upah yang tidak terkena wajib pajak diusulkan masuk dalam PBI. Secara teknis, sulit untuk mengumpulkan iuran dari kelompok pekerja bukan penerima upah. Terlebih sistem pembayaran pajak yang ada saat ini masih belum mencakup seluruh pekerja. Bisa jadi biaya untuk mengumpulkannya sama besarnya dengan besaran iuran itu sendiri.

Namun demikian, menurut Wamenkes, pada saatnya nanti Indonesia akan mencapai kondisi dimana sistem pembayaran pajak makin baik. Dengan begitu, kelompok pekerja bukan penerima upah ini secara bertahap akan membayar sendiri iurannya. Tentunya setelah semua sistem pembayaran telah disiapkan dengan baik oleh BPJS dan besaran biaya mengumpulkan iuran sudah efektif. Di sisi lain untuk pekerja bukan penerima upah namun menjadi wajib pajak akan dicarikan jalan keluarnya. (news.okezone.com)

Kapasitas Terbatas, Pasien Melonjak

Jakarta – Jelang diberlakukannya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan 1 Januari 2012 mendatang, diperkirakan bakal terjadi lonjakan jumlah pasien karena semua orang bisa berobat gratis.

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Dr. Chazali H Situmorang, Apt, MSc, dalam diskusi 'Transformasi BPJS, sampai di mana?' bersama Forum Wartawan Kesra (Forwara), Selasa di Jakarta. (aby)

"Untuk mengantisipasi lonjakan pasien, sementara kapasitas sarana kesehatan terbatas, pemerintah harus segera mendekati pihak swasta agar berinvestasi dan membangun berbagai fasilitas kesehatan," ujar Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Dr. Chazali H Situmorang, Apt, MSc, dalam diskusi 'Transformasi BPJS, sampai di mana?' bersama Forum Wartawan Kesra (Forwara), Selasa (31/7) di Jakarta.

Menurut Chazali, meski Kementerian Kesehatan tidak bisa mengatur rumah sakit swasta, namun BPJS dapat bekerjasama dengan semua jenis rumah sakit, baik swasta maupun milik negara.

"Undang-undang menyatakan, rumah sakit manapun harus menyediakan layanan komprehensif, mulai dari promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif," ujarnya.

Chazali mengatakan, dengan dana terbatas, pemerintah tidak akan bisa mengantisipasi lonjakan ini. "Puskesmas kita terbatas, kalau mau dipaksakan, tetap saja anggaran pemerintah terbatas. Saya dengar tahun 2013 anggaran untuk fasilitas kesehatan hanya akan ditambah Rp1 triliun, berarti sangat terbatas," urainya.

Chazali mengatakan pemerintah harus meyakinkan pihak swasta untuk membangun rumah sakit di tempat-tempat yang disetujui pemerintah. Pihak swasta diberi kemudahan perijinan. Asal jangan membangun RS di Ibukota Jakarta karena sudah kelebihan supply.

Dia mengatakan pihak swasta harus dibuat tertarik berinvestasi, karenanya pemerintah harus mempermudah semua perijinan. "Pemda harus sediakan lahan, sediakan sumber daya manusianya, kirim dokter-dokter ke sana," katanya lagi.

Menurut Chazali dengan pertimbangan menarik investor swasta pula maka diharapkan iuran jaminan kesehatan sebesar Rp27.000, jauh lebih besar dibanding iuran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang hanya Rp6.500 per orang per bulan.

Chazali memperkirakan, pada Januari 2013 sebanyak 130 juta rakyat Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan yang mencakup semua jenis penyakit seumur hidup. Diharapkan di tahun 2019 semua rakyat Indonesia sudah menjadi anggota BPJS.

Chazali mengatakan, jika disepakati iuran jamkes sebesar Rp27.000 ribu maka diperkirakan dalam satu tahun Indonesia akan mendapat dana kesehatan sebesar Rp31 triliun.

"Angka Rp31 triliun itu relatif tidak besar dibanding sekitar Rp1400 triliun APBN saat ini. Apalagi jika mempertimbangkan aspek kesehatan sebagai investasi kemajuan bangsa," kata Chazali.

Menurutnya, program kesehatan tidak hanya aspek kuratif, tetapi juga promotif dan preventif. Karenanya, pelaksanaan program jaminan kesehatan akan tergantung pada kesediaan pemerintah untuk mengucurkan dana ini. "Jangan melihat orang miskin sebagai beban. Jika ingin mereka membayar, jadikan mereka aset masa depan bangsa agar tidak miskin lagi," tegasnya.

Pelaksanaan jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan sejauh ini dinilai Chazali tidak terlalu menghadapi masalah. Karenanya, ia yakin pada 2014 BPJS Kesehatan bisa langsung 'berlari'.

Drg. Moeryono Aladin, menambahkan, meski ini wajib, masyarakat mampu boleh saja mengikuti jaminan kesehatan lain. Di sini lah letak sistem gotong royong BPJS Kesehatan.

"Iurannya wajib bagi semua masyarakat, tapi bagi masyarakat mampu yang tidak mau menerima manfaat dari BPJS Kesehatan, ya diperbolehkan," ujarnya.

Ia memastikan, pengelolaan BPJS Kesehatan tidak akan dikuasai asing. Sebagai amanat UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS, maka pihak-pihak asing tidak ada celah untuk menguasai BPJS ini.

"Lain lagi ceritanya kalau masyarakat ingin menggunakan asuransi komersial milik asing," tambahnya.

Jika BPJS Kesehatan tidak ada masalah pada 2014, lain halnya dengan BPJS Ketenagakerjaan. Variabel permasalahan di ketenagakerjaan lebih kompleks dibandingkan kesehatan, dengan empat program dan skema yang berbeda.

"Sejauh ini masih terus dibahas mengenai porsi iuran yang dibayarkan antara pemberi kerja dan pekerja," tambah Chazali.

Dalam program Jamsostek selama ini yang membayar iuran adalah pemberi kerja. Namun, ini sebesarnya dana dari pekerja. Cuma soal teknis administrasi dan secara akuntansi saja.

Menjelang 2015, satu hal yang paling mendesak dalam Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yakni jaminan pensiun. "Ini tidak boleh ditunda karena akan ada lost opportunity, padahal ada sekitar 120 juta orang angkatan kerja di Indonesia. (poskotanews.com)

Menjelang Berlakunya BPJS, Perlu Banyak RS Swasta

Dengan pemberlakuan BPJS Kesehatan Januari 2014 mendatang diperkirakan akan ada lonjakan pasien karena semua orang bisa berobat.

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, Chazali H Situmorang mengatakan pemerintah harus mulai mendekati pihak swasta untuk berinvestasi di bidang fasilitas kesehatan dalam rangka mengantisipasi pemberlakuan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) 2014 mendatang.

Menurut Chazali, meski Kementerian Kesehatan tidak bisa mengatur Rumah Sakit Swasta namun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat mengadakan kerjasama dengan semua jenis rumah sakit, baik swasta maupun milik negara.

"Undang-undang menyatakan, rumah sakit manapun harus menyediakan layanan komprehensif, mulai dari promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif," ujarnya.

Chazali mengatakan, dengan pemberlakuan BPJS Kesehatan Januari 2014 mendatang diperkirakan akan ada lonjakan pasien karena semua orang bisa berobat.

Menurutnya, dengan dana terbatas, pemerintah tidak akan bisa mengantisipasi lonjakan ini.

"Puskesmas kita terbatas, kalau mau dipaksakan kan anggaran pemerintah terbatas, saya dengar tahun 2013 anggaran untuk fasilitas kesehatan hanya akan ditambah Rp1 triliun, hanya sampai di mana itu?" tanyanya.

Chazali mengatakan pemerintah harus meyakinkan pihak swasta untuk membangun rumah sakit di tempat-tempat yang disetujui pemerintah.

"Jangan lagi bangun rumah sakit di DKI Jakarta yang sudah berlebihan," kata Chazali.

Lebih lanjut ia mengatakan agar pihak swasta tertarik berinvestasi maka pemerintah harus memberi kemudahan perizinan.

"Pemda harus sediakan lahan, sediakan sumber daya manusianya, kirim dokter-dokter ke sana," katanya lagi.

Menurut Chazali dengan pertimbangan menarik investor swasta pula maka diputuskan iuran jaminan kesehatan sebesar Rp 17.000, jauh lebih besar dibanding iuran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang hanya Rp6.500 per orang per bulan.

Chazali memperkirakan, pada Januari 2013 sebanyak 130 juta rakyat Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan yang mencakup semua jenis penyakit seumur hidup.

Diharapkan di tahun 2019 semua rakyat Indonesia sudah menjadi anggota BPJS.

Chazali mengatakan, jika disepakati iuran jamkes sebesar Rp27.000 ribu maka diperkirakan dalam satu tahun Indonesia akan mendapat dana kesehatan sebesar Rp79 triliun. (beritasatu.com)

Rokok Membodohi Masyarakat

JAKARTA (Pos Kota) – Indonesia terus menjadi tertawaan pegiat anti rokok internasional. Dari seluruh negara di Asia Tenggara, Indonesia dinilai paling bebas mengedarkan dan mengebulkan asap rokok di mana pun. Rokok membuat masyarakat Indonesia bodoh.

Padahal negara tetangga Singapura saja menerapkan aturan sangat ketat terhadap industri rokok agar penduduknya terhindar dari racun rokok mematikan.

Pegiat antirokok internasional, Dr Stephen Carr Leon melihat rokok bisa menjadi alat pembodohan suatu bangsa dan negara. "Dan rokok melahirkan suatu generasi bodo.

"Lihat saja Indonesia. Jika Anda ke Jakarta, atau wilayah manapun di Indonesia, di mana saja Anda berada, dari restoran, teater, kebun bunga hingga ke musium, hidung Anda akan segera mencium bau asap rokok! Berapa harga rokok? Cuma 70 cent (Rp9000)," sesalnya.

Padahal di Singapura harga sebungkus rokok mencapai Rp80 ribu. Di Malaysia Rp65 ribu, di Thailand Rp50 ribu dan di Filipina Rp55 ribu. Artinya, pemerintah Indonesia tidak melindungi warganya dari bahaya racun nikotin.

Menurut dia, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia dalam hal jumlah perokok. Sekitar 80 juta penduduk Indonesia merokok. Kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok tiap tahun mencapai 629.948 orang atau 1.372 orang per hari. Bahkan, kerugian akibat rokok melebihi pendapatan cukai. Tahun 2011 cukai rokok sebesar Rp62 triliun. Tetapi biaya pengobatan penyakit akibat rokok mencapai Rp310 triliun atau 5 kali lipat cukai rokok. Konsumsi rokok tahun 2008 mencapai 240 miliar batang per hari atau 658 juta batang per hari. Ini berarti 330 miliar 'dibakar' oleh perokok Indonesia dalam sehari.

CANDU WARGA MISKIN

Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD menuturkan pendapatan yang dihabiskan orang miskin untuk membeli rokok sebesar 19 persen. Sementara itu biaya kesehatan, warga miskin hanya menghabiskan 2,5 persen dari total pengeluarannya.

"Untuk orang miskin, sekitar 11-19 persen uangnya habis untuk rokok, sedangkan untuk kesehatan dia cuma 2,5 persen Kalau mereka kemudian bisa tidak merokok, uang yang 19 persen itu tidak lagi keluar," ungkap Gufron.

Dia mengakui, pemerintah terus mengkampanyekan antirokok, agar masyarakat cenderung berperilaku hidup sehat. "Kita berpromosi agar warga berperilaku hidup sehat, tidak terkena penyakit kanker paru dll. Kongkretnya kita terus berpromosi lintas sektor, dengan LSM dengan Puskesmas," katanya.

Gufron mengatakan, pihaknya berupaya pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tembakau agar segera dilaksanakan. "Termasuk mengupayakan RPP Tembakau disahkan secepat mungkin, kemudian kita buat klinik juga," tambahnya.

Data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan sumbangan beras, rokok hingga belanja untuk perumahan dan pendidikan masih menjadi penyumbang utama kemiskinan. Jika pengeluaran salah satu komoditi itu ditekan maka, jumlah kemiskinan bisa dikurangi.

"Kalau kampanye anti rokok bisa dijalanin itu bisa mengurangi kemiskinian juga, karena rokok termasuk pengeluaran walau tak ada kalori," kata Kepala BPS Suryamin, kemarin. (postkotanews.com)

Menkes: 13 Daerah Di Aceh Bermasalah Kesehatan

Banda Aceh ( Beritasore ) : Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menyebutkan terdapat 13 dari sebanyak 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh masih bermasalah dengan kesehatan. "Kami berharap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dapat memberikan perhatian serius terhadap daerah-daerah yang bermasalah itu agar terjadi percepatan pembangunan kesehatan," katanya di Banda Aceh, Rabu [25/07] .

Hal tersebut disampaikan di sela-sela membuka rapat kerja kesehatan daerah Provinsi Aceh dan pembinaan terpadu kementerian kesehatan. Dikatakannya peningkatan capaian persalinan oleh tenaga kesehatan belum diikuti peningkatan cakupan imunisasi dan angka kematian ibu di tahun 2011 di sejumlah kabupaten lebih besar dibanding kelahiran hidup.

Selanjutnya, sebaran tenaga kesehatan masih belum merata, terutama tenaga bidan di daerah terpencil dan sistem pencatatan serta pelaporan perlu ditingkatkan sehingga dapat memberiikan gambaran permasalahan sesungguhnya.

Karenanya, ia berharap para kepala daerah di Aceh agar meningkatkan alokasi anggaran melalui APBD dalam pembiayaan kesehatan menyusul semakin meningkatnya kemampuan daerah. "Peningkatan kemampuan daerah dalam pembiayaan kesehatan dapat ditingkatkan melalui APBD menyusul semakin berkurangnya kontribusi APBN," katanya.

Disebutkannya, pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan mengalokasikan anggaran untuk mendukung upaya pembangunan kesehatan di Aceh sebesar Rp 242,568 miliar. Adapun alokasi anggaran itu tersebar dalam beberapa bidang yakni dana tugas pembantuan bidang kesehatan, dekonsentrasi dan alokasi khusus (DAK).

Di pihak lain, Menkes menyebutkan program asuransi Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang bersifat lintas sosial ekonomi berpeluang menjadi contoh pengelolaan jaminan sosial yang dibutuhkan masyarakat.

Disebutkannya hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010 Aceh mengalami peningkatan Indek Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dari 0,4 (2007) menjadi 0,55 2010. Prevalensi gizi buruk dan kurang menurun dari 25,51 persen menjadi 23,7 persen, cakupan persalinan dengan tenaga kesehatan meningkat dari 76,9 persen menjadi 91,70 persen dan cakupan sanitasi terjadi peningkatan dari 33,06 persen menjadi 52,1 persen.

MDGs Terhambat Kasus HIV/AIDS

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan target pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) bagi Indonesia terhambat masalah penurunan kasus HIV/AIDS yang kasusnya terus meningkat.

"Sebenarnya beberapa bidang kesehatan kita masih bisa mencapai target MDGs pada 2015. Tapi yang membuat kita sulit dengan masih meningkatnya HIV/AIDS dan penyebarannya sudah seluruh wilayah," katanya di Banda Aceh, Rabu.

Hal itu disampaikan Menkes Nafsiah Mboi seusai membuka rapat kerja kesehatan daerah se Provinsi Aceh dan pembinaan terpadu Kementerian Kesehatan.

Selain masalah HIV/AIDS, menteri juga menyebutkan kendala lain Indonesia untuk mencapai target MDGs 2015 masalah tingginya angka kematian ibu yang melahirkan. "Khusus AKI yang melahirkan, terutama bagi ibu-ibu di daerah terpencil dan di wilayah-wilayah kepulauan ke depan akan disediakan pelayanan melalui program jaminan persalinan. Dengan itu diharapkan di masa yang akan datang AKI bukan masalah lagi," katanya menambahkan.

Menkes menjelaskan kesulitan menurunkan angka HIV/AIDS yakni adanya prilaku seks berisiko yang semakin meningkat, sebaliknya rendahnya penggunaan kondom. "Pencegahan penyebaran HIV/AIDS bagi pelaku seks berisiko tidak ada lain kecuali dengan penggunaan kondom. Jika penyebaran HIV/AIDS melalui jarum suntik narkoba sudah mulai menurun dengan adanya jarum suntik steril," kata dia menambahkan.

Akan tetapi, Nafsiah Mboi juga menjelaskan penyebab lain dari penyebaran kasus HIV/AIDS melalui peredaran obat-obatan penambah nafsu seks, akibatnya terjadi seks berisiko. "Sebagai penggantinya, sekarang dengan obat-obat perangsang seks berupa 'ATL' yang berkembang dimana-mana sehingga terjadi hubungan seks berisiko. Semuanya itu harus diantisipasi sendiri oleh masyarakat," kata dia menambahkan.

Terkait dengan penuntasan penyakit malaria sebagai salah satu indikator capaian target MDGs, Nafsiah menyatakan hingga kini bukan lagi sebuah masalah bagi Indonesia.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sebanyak 201 kasus HIV/AIDS ditemukan di tahun 2001. Kemudian kasusnya terus meningkat dan menjadi 21.770 kasus di tahun 2010. Penyebaran kasus HIV/AIDS hampir terdapat di semua provinsi di Indonesia, namun yang cukup besar antara lain terdapat DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Papua, berdasarkan data 2010 itu.

HIV Tantangan Tersulit Indonesia Mencapai MDGs 2015

News.okezobe - ACEH ,Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan penularan HIV Aids di Tanah Air memasuki tahap serius. Hal ini menjadi tantangan tersulit dalam mencapai Millennium Development Goals (MDGs) 2015.

"Yang masih sulit sekali adalah HIV Aids," kata Nafsiah kepada wartawan usai membuka Rapat Kerja Kesehatan Daerah Aceh di Hotel Hermes Palace, Band Aceh, Rabu (25/7/2012).

Masih tingginya angka kematian ibu melahirkan juga menjadi tantangan serius, di samping penularan virus Tuberculosis (TB), Demam Berdarah Degue dan Malaria. Permasalahan ini bisa diatasi dengan memperluas pelayanan kesehatan.

Nafsiah mengaku angka kematian ibu melahirkan masih sangat tinggi terutama di daerah-daerah terpencil dan kepualauan, yang masih sulit mengakses layanan kesehatan medis. "Tetapi dengan adanya jaminan persalinan, maka insya Allah bisa dikejar," ujarnya.

Sementara permasalahan HIV Aids masih sangat susah untuk diatasi, karena meningkatnya kecenderungan perilaku seks berisiko di tengah masyarakat, sedangkan kesadaran menggunakan kondom masih rendah. "Kalau sudah seks berisiko tidak ada jalan lain, kecuali penggunaan kondom," sebut Nafsiah.

Dari tahun ke tahun, kasus HIV dan Aids terus meningkat. Dia mencotohkan Provinsi Aceh pada 2011 ditemukan 112 kasus HIV, angka ini meningkat dibanding pada 2010 yang hanya ditemukan 71 kasus dan pada 2009 dengan 49 kasus.

Penularan HIV saat ini, disebabkan perilaku seks berisiko, sementara penggunaan narkoba suntik dan heroin dinilai mulai menurun dengan adanya program-program layanan alat suntik steril dan terapi metadon.

Maraknya pergaulan bebas remaja yang sering diistilahkan Hubungan Tanpa Status (HTS) juga mendorong perilaku seks berisiko. Ditambah kecenderungan mengonsumsi obat perangsang nafsu seks sebagai pengganti narkoba. "Ini yang berkembang dimana-mana, sehingga terjadi hubungan seks yang berisiko," sebut Menkes.