Anggaran Kesehatan Lebih Kecil Dari Subsidi BBM

Jakarta - Anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati menilai bahwa anggaran pemerintah untuk kesehatan dianggap lebih kecil dari subsidi bahan bakar minyak (BBM). Nilai tersebut dianggap tidak adil bagi masyarakat miskin.

"Saya prihatin, anggaran kesehatan justru lebih kecil dibanding anggaran untuk subsidi BBM. Padahal subsidi BBM tersebut tida semua dirasakan oleh seluruh masyarakat miskin," kata Okky saat diskusi "Indonesia Menuju Era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial" di kantor BPK Jakarta, Kamis (27/9/2012).

Saat ini, pemerintah sedang mengalokasikan anggaran Rp 25 triliun untuk investasi awal Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Lembaga tersebut sebagai penjamin sosial kesehatan masyarakat di masa depan.

Di sisi lain, pemerintah juga mengalokasikan subsidi BBM sebesar Rp 163 triliun. Menurut Okky, anggaran tersebut dinilai tidak adil karena jumlahnya tidak sebanding, padahal sama-sama untuk rakyat miskin.

"Tapi bantuan untuk kesehatan ini memang bisa dirasakan oleh masyarakat miskin. Kalau subsidi BBM, tidak semua masyarakat miskin bisa menikmati," jelasnya.

Sehingga ia mendesak agar pemerintah menaikkan anggaran untuk BPJS tersebut. Menurutnya, jumlah anggaran tersebut belum sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 bahwa anggaran kesehatan seharusnya sebesar 5 persen dari APBN. "Ini malah hanya 2 koma sekian persen saja dari APBN. Ini masih jauh," jelasnya.

Sekadar catatan, Presiden SBY pada rapat kabinet Agustus lalu menganggap bahwa anggaran BPJS itu sudah besar. Sehingga anggaran tersebut harus dialokasikan untuk sebesar-besarnya bagi masyarakat yang membutuhkan. Kebijakan BPJS Kesehatan ini tidak lain untuk membangun keadilan khususnya untuk kesehatan.

"Saudara yang mampu wajib menjalankan asuransi sesuai kemampuan. Namun, pembayaran premi asuransi bagi masyarakat miskin akan ditanggung negara," jelasnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengaku sampai saat ini masih menghitung besaran angka investasi awal BPJS Kesehatan ini. "Jadi masih dihitung. Sekarang kita masih melihat beberapa angka yang pas," jelasnya.

Yang pasti, Agus menambahkan akan mempertimbangkan sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang sudah ada. Mengingat Jamkesmas dengan iuran Rp 7.000.

Ditambahkan oleh Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, pemerintah kini tengah mempersiapkan semua sarana dan fasilitas menjelang diberlakukannya BPJS Kesehatan 2014.

"Kita siapkan semua sarana jadi supaya rakyat memiliki akses pada upaya preventif, promotif maupun kuratif. Karena itu dengan upaya Puskesmas keliling, rumah sakit bergerak, rumah sakit pratama dan sebagainya ditambah," jelasnya.

Setidaknya masih ada 100.000 tempat tidur yang masih kurang untuk kelas tiga. Selanjutnya, masih kekurangan jumlah dokter gigi mencapai 4000 orang. "Kalau dokter umum sudah oke cuma distribusinya yang masih kurang baik," katanya.

Kemudian menyangkut jumlah peserta program Jamkesmas, Nafsiah menjelaskan dengan dana yang ada sekarang hanya mampu melindungi 63 persen rakyat. Masih ada 37 persen yang belum terlindungi.

"Makanya tadi kita minta tambahan dana kalau bisa. Sehingga pada tahun 2014 kepersertaan sebagian besar sudah tercover," ujarnya.

(sumber : bisniskeuangan.kompas.com)

Pola Pendidikan Dokter Harus Diubah

Bandung - Pola pendidikan kedokteran di Indonesia harus mulai dialihkan, dari rumah sakit pindah ke lingkungan masyarakat seperti klinik pengobatan. Sehingga dokter tak lagi hanya memberikan obat ketika sakit saja, namun kini dokter harus mulai terjun ke masyarakat untuk mengajak warga masyarakat agar tetap sehat.

Hal tersebut diungkapkan Dekan Fakultas Kedokteran Unpad, Prof.Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr yang ditemui usai Seminar Neyrosains tentang Learning dan Memory dalam rangka Lustrum Fakultas Kedokteran kerjasama Fak Kedokteran dan Fakultas Psikologi Unpad di Auditorium Gedung Rumah Sakit Pendidikan EIKMEN 38, kemarin(25/9).

"Sekarang umumnya masyarakat datang ke dokter karena sakit, jika paradigma itu terus dipupuk baik di tingkat dokter atau pun masyarakat, maka kami tidak bisa menjamin seberapa kuat dan tahannya dokter bisa terus menangani berbagai penyakit di masyarakat. Apalagi saat ini penyakit bekembang terus dan dengan rencana jaminan kesehatan bagi semua warga akan membuat dokter kewalahan karena warga tidak akan memperdulikan lagi kesehatan karena mereka berpikir sakit apapun ringan atau berat akan langsung ke dokter," paparnya.

Oleh karenannya untuk megantisipasi hal tersebut, maka saat ini pendidikan Kedokteran mulai di ubah dari pola pembelajan di rumah sakit kini menjadipola pembelajaran langsung terjun ke masyarakat untuk mengetahui berbagai permasalahan kesehatan di masyarakat dan penyelesaiannya.

"Bagaimana membuat orang sehat itu intinya sekarang, pendidikan kedokteran di RS harus diubah bergeser ke rumah sakit, kelinik harus diubah menjaga kesehatan. Pola sisi lain membuat orang sehat, pola hidup sehat sangat penting karena perkembangan penyakit makin berkembang," paparnya.

Selain itu dunia kedokteran pun harus mulai maumengambangkan vaksin yang disesuaikan dengan karakteristik dan pengengembangan penyakit di masyarakat dan kondisi lingkungan sendiri, "itu menjadi salah satu keunggulan biologi syang harus kita jaga dan kembangkan," paparnya.

Prof Try juga mengungkapkan jika pendidikan tidak mengalami perubahan maka rasio jumlah dokter yang diprediksi akan terpenuhi pada rasio 1:2500 di tahun 2014 tidak akan tercapai. Karena jumlah warga yang berobat degan jumlah dokter spesialis dan umum akan kembali tidak seimbang. Bahkan dikatakan Try pendidikan tersebut sudah diterapkan di FK Unpad dan sudah menuaikan hasi

(sumber : jpnn.com)

Pemerintah Tidak Fokus Atur Regulasi Kesehatan

Jakarta - Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai, pemerintah tak pernah fokus membuat regulasi kesehatan, karena lebih banyak mengatur pertanian, industri, dan tata niaga tembakau dan rokok.

Penilaian tersebut disampaikan peneliti IGJ Salamuddin Daeng, di Jakarta, Senin (24/9). Menurutnya, aturan yang dibuat pemerintah adalah seperangkat regulasi yang berisikan tentang pengetatan produksi, standarisasi bagi industri, serta merek dan label yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah kesehatan.

"Aturan sebagaimana yang termaktub dalam RPP Tembakau, termasuk aturan yang dibuat oleh berbagai pemerintah daerah, akan semakin memperkuat dominasi perusahaan-perusahaan besar asing dalam industri ini. Sebagaimana kita ketahui, bahwa perusahaan rokok dari AS, Eropa, Jepang, China tengah berusaha mengejar pasar Indonesia," bebernya.

Daeng mengatakan, perjanjian perdagangan bebas yang ditandatangani antara Indonesia-China (ACFTA), Indonesia-Jepang (IJEPA) Indonesia-AS (OPIC), dan Indonesia-Uni Eopa (CEPA) semakin membuka ekspansi perdagangan negara-negara maju ke Indonesia, termasuk perdagangan tembakau dan produk tembakau.

Ia menilai, China dan AS merupakan negara yang haus dengan pasar tembakau Indonesia. China adalah produsen tembakau dan rokok terbesar di dunia, sekitar 35-40 persen pasar tembakau global dikendalikan oleh China. Sementara AS, merupakan produsen terbesar lainnya, di mana perusahaan-perusahaan asal negara adi daya tersebut sangat agresif dalam menguasai perusahaan tembakau nasional di berbagai negara.

"Salah satu yang paling agresif adalah Philip Morris," ungkapnya.

Sikap pemerintah Indonesia yang sibuk membuat persyaratan yang ketat bagi pertanian dan industri nasional, mendapat tanggapan peneliti ReIde Indonesia, Agus Surono. Menurutnya, sikap pemerintah tersebut justru akan memukul pasokan bagi industri kretek besar dan menghancurkan industri skala kecil. Di lain sisi, impor tembakau dan produk tembakau tidak terbendung akibat perdagangan bebas tersebut.

Agus mengatakan, dalam rangka membendung impor, seharusnya pemerintah memperkuat pertanian dan melindungi industri nasional, baik melalui kebijakan subsidi pertanian, bea masuk dan hambatan non tarif lainnya.

"Hal ini mengingat perekonomian Indonesia telah dirugikan sangat besar akibat impor produk pertanian termasuk tembakau yang selama ini telah menciptakan kerugian yang besar bagi petani," tegasnya.

Dengan demikian, imbuhnya, dapat disimpulkan, bahwa regulasi anti tembakau bagi kesehatan telah menyimpang dari tujuan yang sebenarnya yakni untuk memperbaiki kesehatan.

"Seharusnya pemerintah fokus mengatur tentang pembatasan konsumsi tembakau bagi anak-anak di bawah umur, menyediakan ruang boleh merokok pada setiap tempat umum sehingga tidak timbul prasangka dalam masyarakat kita," pungkasnya.

(gatra.com)

Askes Manfaatkan E-KTP

SEMARANG - PT Askes (Persero) yang berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 1 Januari 2014 akan memanfaatkan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sebagai identitas tunggal peserta.

"PT Askes wajib memberikan nomor identitas tunggal dan kami akan menggunakan e-KTP," kata Direktur Utama PT Askes (Persero) I Gede Subawa di Semarang, Ahad (23/9). I Gede Subawa mengatakan bahwa e-KTP tidak hanya berlaku sebagai nomor induk kependudukan, tetapi juga bisa dimanfaatkan peserta untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

Pemanfaatan e-KTP tersebut bagian dari kesiapan PT Askes menjadi BPJS Kesehatan, selain upaya lain seperti peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan membangun sistem. Saat ini jumlah peserta Askes sekitar 16,3 juta dan setelah berubah menjadi BPJS Kesehatan diperkirakan meningkat menjadi 125 juta hingga 130 juta orang.

Perkiraan jumlah peserta tersebut karena merupakan akumulasi dari jumlah penerima layanan Jamkesmas 96 juta, Askes 16,3 hingga 17 juta, Jamsostek 10 juta, TNI-Polri dan keluarga serta PNS sebanyak 5-6 juta, serta dari perusahaan yang belum masuk Askes.

Untuk premi, pada tahun lalu sebanyak Rp7 triliun dan tahun ini diperkirakan mencapai Rp9,5 triliun dengan 85 persen di antaranya untuk biaya pelayanan. "Sementara untuk cadangan perusahaan yang diinvestasikan saat ini mencapai Rp8,5 triliun," katanya.

Ia menambahkan dengan PT Askes berubah menjadi BPJS Kesehatan, jumlah sumber daya manusia juga akan ditambah. Jika saat ini jumlahnya ada sekitar 2.975, pada tahun 2014 bisa menjadi sekitar 6.000 orang.

(Sumber : Republika.co.id)

35 Persen Dokter Tidak Lulus Kompetensi

Dari 72 kampus kedokteran di Indonesia baru sekitar 14 fakultas yang mendapatkan akreditasi A. Ketua Komite Internsip Dokter Indonesia Profesor Mulyohadi Ali, dr SpF (K) mengatakan 35 persen dokter di Indonesia tidak lulus uji kompetensi.

Hal tersebut dikarenakan masih rendahnya sumber daya manusia serta kelengkapan fasilitas pendidikan di Indonesia. Saat ini banyak kampus Fakultas Kedokteran di Indonesia terakreditasi C yang merupakan akreditasi terendah untuk kelengkapan fasilitas dan tenaga pengajar.

Kondisi tersebut mendorong terciptanya lulusan kedokteran yang belum bisa memenuhi syarat kelulusan uji kompetensi sehingga dikhawatirkan akan bisa menghambat perkembangan peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga kemampuan para dokter.

"Uji kompetensi merupakan syarat untuk bisa mendapatkan izin praktik kedokteran, sehingga bila tidak lulus uji kompetensi dokter bersangkutan harus dikembalikan ke kampus untuk kembali dibina," katanya.

Dari 72 kampus kedokteran di Indonesia baru sekitar 14 fakultas yang mendapatkan akreditasi A dan sisanya akredetasi B dan paling banyak adalah C.

Setiap tahunnya, kata dia, secara nasional dilakukan uji kompetensi antara 7.000 hingga 7.500 dokter, dari jumlah tersebut rata-rata yang tidak lulus 30-35 persen.

"Yang tidak lulus harus kembali mengikuti uji kompetensi di waktu selanjutnya, bahkan ada yang pernah ikut uji tersebut hingga 17 kali," katanya.

Kompetensi dokter adalah kemampuan dokter dalam melakukan praktik profesi kedokteran yang meliputi ranah kognitif, psikomotor, dan afektif.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah kurikulum yang menitikberatkan kepada kompetensi dokter sesuai dengan standar kompetensi dokter yang ditetapkan oleh KKI dan sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi yang dikeluarkan oleh Kolegium.

Setelah lulus uji kompetensi Surat Tanda Registrasi (STR) dokter adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter sesuai ketentuan perundang-undangan.

Saat ini, tambah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya tersebut, di Indonesia terdapat 100 ribu dokter yang terdaftar di regristasi konsil kedokteran Indonesia.

(Beritasatu.com)

Industri Tembakau Nonrokok

BELUM reda keresahan petani tembakau menghadapi kejatuhan harga, World Tobacco menunjuk Indonesia menjadi tuan rumah World Tobacco Asia 2012 yang diagendakan digelar di Balai Sidang Jakarta Convention Centre mulai hari ini hingga Jumat lusa. Ini untuk kali kedua kita menjadi tuan rumah pertemuan perusahaan tembakau bertaraf internasional, sekaligus ajang peringatan ke-40 industri tembakau sedunia.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, Indonesia menempati peringkat ke-7 sebagai produsen tembakau dengan kapasitas rata-rata produksi 165 ribu ton per tahun. Adapun China merupakan produsen sekaligus pasar rokok terbesar di dunia. Untuk negara berkembang, Indonesia menjadi negara paling pesat pertumbuhan jumlah perokok. Saat ini jumlah perokok di Indonesia 57 juta orang, 36% dari jumlah penduduk.

Data di Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah perokok perempuan dan anak-anak di Indonesia mengalami kenaikan signifikan, mencapai angka 6% atau hampir empat kali lipat dibanding data survei nasional 2007 dengan kisaran angka 1-1,5%.

Dirjen Badan Kesehatan Dunia (WHO) Margareth Chan mengecam keras perusahaan rokok sebagai industri yang menghasilkan keuntungan bagi pemilik tetapi merusak kesehatan, bahkan bisa menjadi pembunuh bagi konsumen mereka. Chan meminta semua negara terus menekan perusahaan rokok yang mencoba melunakkan gerakan antimerokok yang dikampanyekan lembaganya.

Melalui peraturan pemerintah tentang perlindungan terhadap zat adiktif dalam tembakau, yang lebih dikenal dengan RPP tentang Tembakau, pemerintah kita berupaya merespons positif kampanya antimerokok yang disuarakan WHO. Peraturan yang berisi 8 bab dalam 65 pasal, secara lengkap mengatur dari bahan, produksi, distribusi, larangan iklan, pengenaan cukai yang tinggi, hingga pengaturan kawasan bebas asap rokok.

Namun kalangan industri tembakau menganggap peraturan itu sebagai pesanan pihak luar yang ingin mematikan industri rokok di Tanah Air. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi meminta pemerintah lebih bijak dengan cukup memberi tahu akibat buruk merokok tanpa harus mematikan industrinya. Hal itu mengingat hingga saat ini sektor tembakau dan ikutannya menyokong 10-15% pendapatan nasional.

Paparan itu sekaligus menggambarkan betapa tembakau menghadirkan dilema. Di satu sisi kita tidak ingin industri rokok gulung tikar karena berarti menambah angka pengangguran, tetapi di sisi lain kita khawatir melihat pertumbuhan jumlah perokok yang meningkat tajam dalam lima tahun terakhir, terutama perempuan dan anak-anak.

Menyalahkan petani tembakau pun justru makin menjauhkan kita dari akar permasalahan. Dalam kasus kejatuhan harga tembakau saat ini, persoalannya adalah bagaimana hasil panen yang berlimpah itu bisa terserap oleh pasar. Taruhlah industri rokok sudah jenuh maka perlu mencarikan solusi, seperti membuka pasar nonrokok. Artinya, diperlukan cara penyelesaian out of the box atau keluar dari cara yang selama ini biasa dipakai untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Industri Nonrokok

Selama ini kita terpaku bahwa daun tembakau hanya untuk bahan rokok, padahal masih terbuka lebar pemanfaatan untuk produk lain. Menurut Deputi III Kemenko Kesra Bidang Koordinasi Kependudukan dan Kesejahteraan KB Emil Agustiano, daun tembakau bisa digunakan untuk bahan pestisida, kosmetika, obat bius lokal, atau pengencang kulit (MI,12/07/12).

Kita bisa menggarisbawahi salah satu amanat RPP tentang Tembakau yang menyatakan pemerintah diminta mendorong upaya diversifikasi tembakau. Artinya, petani masih bisa menanam tembakau namun pemanfaatannya tidak harus untuk bahan rokok. Peluang itu sekaligus memupus kegalauan manakala industri rokok tidak lagi bisa menampung hasil panen petani maka industri lain seperti perusahaan farmasi, kimia, atau pupuk dapat menjadi pasar alternatif.

Mengaitkan dengan RPP tentang Tembakau, ada tiga isu penting yang harus disuarakan Indonesia dalam World Tobacco Asia 2012, sebagai konsepsi jalan tengah menghadapi dilema tembakau. Pertama; kita harus mampu memamerkan hasil produk tembakau nonrokok, seperti kosmetik, pupuk, atau obat bius yang sedang dan akan dikembangkan.

Kelebihan dan kekurangan produk alternatif tersebut harus dibandingkan dengan produk sejenis yang sudah ada tetapi dari bahan lain.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Kementrian Perindustrian bisa menjadi fasilitator pertumbuhan industri ini. Kedua; kita harus memberikan jaminan kepada WHO bahwa pemerintah akan secara bertahap menurunkan jumlah perokok, terutama perempuan dan anak-anak. Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mengambil peran lebih besar untuk menurunkan angka 6% menjadi zero growth.

Ketiga; luas lahan tanam tembakau tetap akan dikendalikan. Melalui pendekatan persuasif, petani harus mendapat keuntungan sebanding bila menanam nontembakau. Upaya ini ditujukan terutama di sentra produksi tembakau, minimal jangan sampai terjadi perluasan lahan tanam secara berlebihan sehingga hasil panen melimpah melebihi kebutuhan pasar. Kementerian Pertanian harus menjamin hal ini agar tidak terjadi "keter-kejutan" tatkala panen melimpah pada musim tembakau, dan kemudian kita menyalahkan petani.

Perlu ketegasan pemerintah untuk menghadapi dilema tembakau mengingat kita memiliki banyak kepentingan dengan tembakau, tidak saja untuk rokok tetapi juga industri nonrokok.

Ketegasan itu mutlak diperlukan dengan mendasarkan tembakau tetap akan menjadi komoditas yang diperbolehkan ditanam di Indonesia.

(Suaramerdeka.com)

Demo Tolak WTA Conference Terjadi di Mana-mana

Jakarta – Demo menolak penyelenggaraan World Tobacco Asia (WTA) Conference 2012 yang digelar di Jakarta pada 19-21 September terus berlanjut. Demo bahkan terjadi di hampir semua kota besar di Indonesia, Sabtu dan Minggu pagi.

Gelombang protes muncul dari seluruh daerah di Indonesia. Unjukrasa di Jakarta dipusatkan di kawasan Monas dan Bundaran HI Jakpus. Demo terjadi di Bali, Surabaya, Malang, Bandung, Medan, Makassar, Banten, Lampung, Palembang, Kalimantan Timur, Manado, dan Papua.

Demo di Monas dan HI dimotori Kementerian Kesehatan (Kemenkes). "Kami bersama LSM Perempuan Pemerhati Anti Tembakau, pelajar SMP dan SMA, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan elemen mahasiswa menggelar orasi dan membentangkan puluhan poster di sini, mulai Pkl. 06:00 WIB," ujar Humas Kemenkes, Busroni, Minggu kepada Pos Kota.

Pada kesempatan sama, Ketua Koalisi Profesi Kesehatan Anti Rokok (KPK-Anti Rokok), dr. Adang Bachtiar, MPH, Sc.D, Minggu, mendesak pemerintah membatalkan izin WTA Conference 2012 yang berisi pameran dan diskusi produk rokok karena merendahkan martabat bangsa dan negara Indonesia.

KPK-Anti Rokok juga menuntut pemerintah segera membatalkan izin yang telah diberikan untuk menggelar acara yang berisi pameran dan diskusi produk rokok yang berkembang di seluruh dunia.

Ketua Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau dr Prijo Sidipratomo Sp.Rad.(K) juga menyesalkan sikap pemerintah yang memberi izin penyelenggaraan WTA 2012 untuk kali kedua di Ibukota. Padahal elemen bangsa lainnya tengah gencar melawan perkembangan rokok.

"Kenapa pemerintah tega-teganya memberikan izin penyelenggaraan pameran dan diskusi rokok. Padahal jelas-jelas rokok telah membunuh 521 jiwa rakyat Indonesia setiap harinya. Angka tersebut jauh lebih besar dari korban kematian akibat bencana yang sering menimpa negeri ini," tutur dr Prijo di Jakarta, ketika dihubungi Minggu.

Prijo mengaku sedih dengan alasan penyelenggaraan WTA yang menulis dalam website resminya bahwa Indonesia memiliki potensi konsumen rokok yang bagus. Alasan semacam ini, lanjutnya, jelas menunjukan pemerintah Indonesia sangat mendukung industri rokok. Selain itu Indonesia juga dianggap sebagai pasar rokok yang sangat dinamis tanpa kebijakan pengendalian yang tegas.

Bukti tentang tingginya konsumsi rokok dapat dilihat dari angka prevalensi perokok laki-laki Indonesia yang tergolong tertinggi di dunia, yaitu 67,4 persen pada tahun 2011. Kondisi tersebut sangat kontras dengan negara tetangga ASEAN lainnya yang telah melakukan upaya pengendalian konsumsi rokok.

Menurut dr Prijo, digelarnya WTA conference 2012 di Jakarta ini akan berimplikasi pada buruknya citra Indonesia di mata dunia internasional. Indonesia juga akan dianggap tidak beradab karena mendukung kematian jutaan manusia yang diakibatkan asap racun rokok.

Seperti diketahui, World Tobacco Asia (WTA) Conference 2012, adalah forum internasional industri tembakau di seluruh dunia. Dalam event akbar berskala internasional tersebut, pengusaha-pengusaha industri rokok seluruh dunia berkumpul, mendiskusikan berbagai isu terkait kemajuan industri rokok secara global. Pada acara surganya perokok itu juga diramaikan oleh eksibisi produk tembakau, terutama rokok, dari negara-negara di Asia Pasifik, dan terutama, Indonesia.

Pihak promotor WTA Conference 2012 berdalih pemenangan tenderisasi WTA oleh Indonesia berdampak positif secara signifikan bagi perekonomian dan pariwisata. Tetapi panitia mengabaikan dampak buruk rokok terhadap kesehatan bangsa.

(poskotanews.com)

Indonesia Belum Berhasil Eradikasi Penyakit Kusta

Jakarta — Indonesia belum bisa benar-benar melakukan eradikasi atau menghentikan penularan penyakit kusta, meskipun telah berhasil mencapai tahap eliminasi penyakit tersebut, kata pejabat Kementerian Kesehatan.

"Kami sudah berhasil mencapai tahap eliminasi kusta sejak 12 tahun lalu, tapi belum berhasil melakukan eradikasi. Memang pada dasarnya, kalau jumlah kasus tidak lagi terlalu besar, upaya menghilangkannya sama sekali bukanlah tugas yang ringan, bahkan lebih berat dari upaya menurunkan jumah kasus dari besar sekali menjadi sedikit," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Kamis (13/9)

Dalam Pertemuan Nasional 25 tahun Penanggulangan Kusta di Indonesia yang berlangsung Rabu (12/9) di Bali, Tjandra mengatakan program penanggulangan penyakit kusta di Indonesia telah mengalami perkembangan seperti adanya komitmen pemerintah yang memasukkan kusta sebagai salah satu program prioritas.

Selain itu, pemerintah disebut Tjandra juga telah menyediakan SDM secara konsisten dan memiliki keahlian memadai dan didukung dengan pelatihan berkala, begitu juga dengan terbentuknya Aliansi Nasional Eliminasi Kusta (ANEK) tingkat provinsi dan juga Aliansi Daerah Eliminasi Kusta (ADEK) tingkat kabupaten/kota.

Ia mengakui penanggulangan kusta masih akan membutuhkan kerjasama lintas program kesehatan, kerjasama lintas sektor dalam ruang lingkup Koordinator Kesejahteraan Rakyat maupun inovasi baru seperti program profilaksis yang sedang dilakukan di Sampang, Madura.

(harianterbit.com)