Pembiayaan Kesehatan
Pokja Kebijakan Pembiayaan Kesehatan
Salah satu sesi paralel dalam Fornas V JKKI yaitu mengenai kebijakan pembiayaan yang dimoderatori oleh Bapak Prawira. Sesi pertama kebijakan pembiayaan diawali dengan bahasan mengenai studi hambatan dalam pendanaan kesehatan di Puskesmas. Pada bahasan ini, M. Faozi Kurniawan (PKMK FK UGM) menjelaskan berbagai hambatan dalam fund-channelling beserta solusi alternatif yang kerap dilakukan Puskesmas. dr. Azhar Jaya, SKM, MARS selaku pembahas juga menegaskan bahwa kapasitas fiskal daerah perlu diperhatikan. Menurut beliau, kapasitas fiskal lebih cocok untuk mekanisme DAK. Ketersediaan SDM administrasi juga sangat diperlukan dalam penyesuaian kaidah keuangan di Puskesmas.
Sesi paralel kebijakan pembiayaan ini disertai beberapa presentasi oral. Analisis peran pemerintah dalam implementasi JKN oleh Putu Astri Dewi Miranti mengawali sesi presentasi oral tersebut. Putu menyimpulkan bahwa pemerintah belum melaksanakan peran dan tugas sesuai regulasi dalam implementasi JKN sampai dengan pelaksanaan bulan April 2014. Paper ini diikuti oleh pemaparan mengenai potensi peran lembaga sosial dalam sistem kesehatan di era JKN oleh Hilmi Sulaiman Rathomi.
Menurut Hilmi, lembaga yang berafiliasi dengan agama, cenderung lebih sustainable. Organisasi sosial di negara maju pun mulai bergeser dari fokus pelayanan menjadi penyusun kebijakan. Fasilitas kesehatan primer memiliki jumlah paling besar dalam organisasi sosial. Di akhir penjelasan, Hilmi kembali menegaskan bahwa peran lembaga sosial dapat sebagai fasilitas kesehatan, membantu pembiayaan masyarakat miskin non PBI, penguatan promosi dan preventif, dan upaya pemberdayaan masyarakat.
Faisal Mansur menyusul sesi paper mengenai layanan gratis pun ditolak masyarakat miskin. Kajian tersebut dilakukan di NTT dan Jatim yang berkesimpulan bahwa masyarakat miskin yang memiliki jamkesmas yang tidak memanfaatkan jamkesmas, cenderung lebih banyak di Jatim dibandingkan NTT. Adapun penyebabnya, diantaranya : administrasi ribet, kekhawatiran adanya perbedaan pelayanan, dan masyarakat yang masih merasa penyakit yang diderita adalah ringan.
Berbeda dengan penyaji sebelumnya, Vini Aristianti lebih menjelaskan mengenai analisis kebijakan dan hubungan purchaser dengan provider dalam era JKN. Vini menilai bahwa hubungan antara pembeli dan pemberi layanan belum dilaksanakan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang dan peraturan yang ada. Adanya mobil khusus sosialisasi JKN menjadi salah satu saran yang dikemukakan Vini dalam meningkatkan hubungan tersebut.
Advokasi keberlanjutan program JKN dengan pendekatan economic lost (studi kasus di provinsi Sulawesi Barat) oleh Kasman Makkasau melanjutkan sesi berikutnya. Hal ini juga dilengkapi dengan paper dari Haerawati Idris mengenai utilisasi jaminan kesehatan wilayah timur Indonesia yang dianalisis berdasarkan IFLS 2012. Berdasarkan kajian, peserta askeskin paling banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Haerawati menjelaskan bahwa sekitar 17% dana askeskin justru dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas.
Pada sesi diskusi, komitmen 10% APBD dan 5% APBN di luar gaji dipertanyakan. Bapak Azhar membenarkan adanya tantangan besar, bahkan hampir terjadi pada semua wilayah di Indonesia. Ibu Via dari Dinkes Bandung mengutarakan rendahnya BOK akibat kebijakan keuangan yang seringkali berubah dan terkadang berbenturan dengan juknik BOK. Bapak Fauzi menilai bahwa kendala birokrasi tersebut juga sering dialami Puskesmas di daerah lainnya. Menurut beliau, setidaknya juknis berusaha diterbitkan lebih awal, tetapi tetap menunggu DIPA keluar. Pada akhirnya dana internal pun digunakan untuk membiayai operasional Puskesmas.
Ibu Selly dari konsorsium perempuan Sumatera mengungkapkan pendataan yang masih belum akurat dalam menentukan penerima manfaat jaminan bahkan masih rumitnya birokrasi sering mengganggu pelayanan kesehatan. Bapak Azhar setuju dengan hal tersebut dan menegaskan bahwa mulai saat ini fee atau jasa pelayanan dokter sudah disesuaikan per tindakan, bukan berdasarkan kelas perawatan.
Sesi Paralel 1 : Kebijakan Pembiayaan
|
Analisis Peran Pemerintah dalam Implementasi JKN
|
Putu Astri Dewi Miranti Materi
|
Analisis Kebijakan dan Hubungan Purchaser dengan Providers dalam Era JKN di Indonesia tahun 2014
|
Vini Aristianti, dkk Materi |
Kesehatan Ibu & Anak
Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak
Sesi I Paralel KIA
Sesi Pertama Kebijakan Ibu dan Anak dalam Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ini dimoderatori adalah Prof. Dr. dr. Alimin Mahidin, MPH. Paparan pertama dalam Sesi ini disampaikan oleh Dr Stefanus Bria Seran, MD, MPH, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara Timur yang menyajikan hasil kegiatan Sister Hospital di Propinsi NTT. Program Sister Hospital merupakan bagian dari Kebijakan Revolusi KIA yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi NTT, dalam rangka percepatan penurunan angka kematian Ibu, Bayi dan Balita. Revolusi KIA, pada intinya memaksa para ibu hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan, terutama di Puskesmas dan Rumah Sakit. Program Sister Hospital ini menitikberatkan kepada penyediaan pelayanan rujukan untuk komplikasi medis spesialistik. Sampai saat ini program ini mampu menurunkan angka kematian ibu di NTT secara signifikan, tetapi belum berdampak kepada angka kematian bayi dan balita.
Dalam paparan berikutnya, oleh Dr. Juanita Abubakar, SE, M. Kes menyatakan bahwa determinan penyebab kematian ibu di kabupaten Labuhan Batu Utara, Propinsi Sumatera Utara dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah determinan Non-medis, se;erti keputusan merujuk serta keterlambatan merujuk. Penyebab kematian terbesar kedua, adalah determinan pelayanan kesehatannya, seperti akses ke pelayanan oleh masyarakat, penanganan yang adekuat, serta kompetensi sumber daya kesehatan yang melayani. Melalui hasil penelitian tersebut, disarankan kebijakan untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM Kesehatan yang ada, terutama bidan di puskesmas, peningkatan standar mutu pelayanan, serta perbaikan akses transportasi dan kemudahanan akses ke pelayanan. Opsi kebijakan yang bisa diambi adalah penguatan program Desa Siaga.
Terkait dengan penelitan Dr. Juanita, disampaikan pula tentang pentingnya data dan informasi terkat dengan registrasi kehamilan dan kematian ibu. Dr. Siti Nurul Qomariah, PhD menyatakan bahwa data registrasi yang baik dan benar merupakan dasar penting penggalian informasi tentang penyebab kematian ibu dan anak. Sehingga dengan diketahuikan penyebab kematian, akan mudah bagi pengambil kebijakan untuk menentukan strategi yang tepat. Selanjutnya, Dr. Dra. Atik Tri Ratnawati, MA menyampaikan hasil penelitian mengenai analisis pencarian pelayanan kesehatan (Health Seeking Behaviour) di 8 Kabupaten, di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur, menunjukkan fakta menarik, bahwa faktor sosial budaya merupakan determinan yang paling menonjol bagi penyebab kematian ibu dan anak. Preferensi untuk menggunakan penolong persalinan tradisional, masih merupakan penyebab utama tingginya AKI dan AKB, khususnya masyarakat miskin, di wilayah yang disebut sebagai daerah tapal kuda di Propinsi Jawa Timur. Demikian halnya dengan masyarakat miskin NTT, yang mempunyai preferensi untuk melahirkan di rumah oleh tenaga persalinan tradisional (dukun).
Dalam kesempatan terakhir disajikan hasil kegiatan yang didanai donor USAID, yaitu Program EMAS, oleh Dr. Hartanto Hardjono, MMedSc, mantan Kepala Dinas Propinsi Jawa Tengah dan Program KINERJA, yang disampaikan oleh Dr Marcia Soumoukil, MPH. Program EMAS dan Program KINERJA, memiliki kesamaan tujuan, yaitu untuk memudahkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Perbedaannya adalah, EMAS berfokus kepada penyediaan layanan (sisi suplai) dengan memperbaiki manajemen rujukan bagi kasus kehamilan resiko tinggi, sedangkan KINERJA menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat, melalui keterlibatan komunitas dalam memperbaiki akses pelayanan bagi ibu hami. Hasil nyata sudah diperlihatkan oleh masing-masing program, yaitu penurunan angka kematian ibu, akibat kehamilan resiko tinggi di Jawa Tengah dan Papua.
Sesi II Paralel KIA
Sesi Paralel dua dimulai dengan presentasi dari Bapak Ir. Agustinus Bagio, M. MT (Bappeda Provinsi Papua). Beliau menyampaikan paparan berjudul Perencanaan Berbasis Bukti untuk Sektor KIA di Provinsi Papua. Pemaparan ini menjadi starting point untuk penyampaian materi selanjutnya. Pemaparan selanjutnya merupakan bentuk pembelajaran dari inisiatif perencanaan dan penganggran untuk sektor KIA. Materi tersebut antara lain District Team Problem Solving (DTPS) Nasional (Lukas C. Hermawan, M.Kes) dan Kota Kupang (Agustinus Hake), Integrated Microplanning untuk KIA di Provinsi Papua (dr. Agnes Ang), ASIA (Analisa Situasi Ibu dan Anak) (Hikmah, ST, Msi) dan ditutup dengan Dr. Arum Atmawikarta, MPH yang menyampaikan Millenium Acceleration Framework (MAF) UNDP.
ASIA menjadi salah satu bentuk pencapaian upaya perbaikan perencanaan. Tidak serta merta menyelesaikan masalah tetapi adanya ASIA dapat menajamkan kebijakan program implementasi yang lebih tepat sasaran. Hal ini sangat membantu Pemerintah Daerah dalam menentukan program kerja untuk penanganan masalah kesehatan. Setiap materi pemaparan pada sesi ini sangat menarik. Bahkan hingga di akhir sesi diskusi justru makin seru dengan respon dari para pembahas. Salah satu Pembahas yaitu dr. Azhar Jaya, SKM, MARS menyampaikan pendapatnya terkait Pekerjaan Rumah (PR) Penurunan AKI dan AKB seharusnya bukan menjadi tanggung jawab Kemenkes.
Sesi ini dimoderatori oleh dr. Tiara Marthias, MPH dari PKMK FK UGM. Beliau menyampaikan kesimpulan bahwa perencanaan yang baik, pemanfaatan data dengan maksimal dan yang terpenting yaitu monitoring dan evaluasi (monev) menjadi salah satu fokus utama dari hampir semua metode yang disampaikan pemateri sesi ini. Peran fasilitator dalam mengawal perencanaan hingga melakukan monev menjadi sangat crucial dan lebih efektif dilakukan oleh pihak eksternal. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Prof. Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD pada sesi pembukaan terkait perlunya monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Isu ini akan menjadi salah satu topik yang akan dibahas pada penyusunan Policy Brief, Jumat 26 September 2014. Sesi Paralel 2 ini telah mampu menghasilkan trigger kuat bagi penyusunan Policy Brief yang sarat akan evidence based dan menjawab kebutuhan.
Sesi I
Sesi II
HIV / AIDS
Pokja Kebijakan HIV / AIDS
Launching Kajian Kebijakan AIDS di Indonesia
Launching hasil kajian kebijakan AIDS ini mengambil bagian klaster paralel diskusi oleh Pokja Kebijakan AIDS pada forum nasional jaringan peneliti kebijakan dan Kesehatan Indonesia ke-5 pada 24 September 2014. Hasil Kajian Kebijakan AIDS di Indonesia oleh PKMK FK UGM merupakan upaya untuk memetakan upaya penanggulangan AIDS selama 25 tahun terakhir. Penelitian ini mengambil 5 Kabupaten/kota sebagai fokus area yakni Sumatera Utara, Surabaya, Bali, Makasar dan Papua. Muhammad Suharni. MA mempresentasikan hasil kajian dengan pembahas oleh Prof. Dr. Irwanto (Atmajaya), Dr. Irwan Julianto (Wartawan Senior Kompas), dan dr. Nadia Tarmizi, M.Epid dari Subdit Kemenkes.
Kajian ini merespon penanggulangan HIV yang belum efektif sebagai bagian integral dalam sistem kesehatan di Indonesia. Metode analisis menggunakan analisis historis dengan pendekatan sensemaking. Kajian ini merupakan bagian dari penelitian utama Integrasi Upaya penanggulangan HIV dan AIDS dalam kerangka sistem kesehatan" oleh PKMK FK UGM dengan dukungan dari Department of foreign Affair and Trade, Australia.
Temuan Pokok Kajian Kebijakan
Kontek kebijakan terdapat Kesenjangan produk kebijakan dengan Implementasi. Evolusi upaya penanggulangan HIV dan AIDS sejak ditemukan kasus AIDS pertama di Bali tahun 1987, pemerintah Indonesia telah mengembangkan sejumlah 66 kebijakan nasional dan sekitar 55 kebijakan lokal seperti Perda/Pergub/Perbub. Secara umum ditemukan bahwa ada kesenjangan besar antara maraknya produk hukum dengan implementasi di lapangan. Titik lemah dari upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini terletak pada penjabaran operasional di lapangan yang diikuti dengan alokasi sumberdaya baik dari tenaga yang kompeten, alokasi dana yang cukup dan pengembangan program di tingkat masyarakat basis.
Kesenjangan ini sebagai akibat dari kontestasi antar lintas sektor maupun program. Dominasi pusat dengan pendekatan vertikal masih menjadi pola dalam inter relasi antar sektor maupun internal. Sehingga belum terjadi integrasi secara struktural, ego sektor cenderung menjadi faktor penentu terjadinya fragmentasi dan tidak terintegrasinya kebijakan di semua tingkatan, nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Lahirnya kebijakan banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik ekonomi global terhadap Indonesia. Seperti pembentukan komisi HIV dan AIDS di depkes karena pengaruh PBB dan WHO meskipun kasus AIDS belum banyak. Kebijakan desentralisasi menjadi momentum pengembangan berbagai kebijakan di tingkat lokal (Permendagri no. 20 tahun 2007). PP 30 tahun 2007 tentang pembagian tugas dan peran pemerinta pusat, prov, kabupaten menyebabkan banyak kebijakan sehingga masalah HIV semakin rumit.
Konteks epidemiologi HIV dan AIDS Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan infeksi baru. Data IBBS tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi di kalangan Pria risti, Ibu rumah tangga, kelompok LSL dan anak-anak remaja semakin meningkat dibandingkan dengan WPS dan Penasun. Meningkatnya prevalensi penderita HIV dan AIDS ini menandakan ketidakberhasilan dari program upaya penangulangan AIDS.
Pada aspek intervensi layanan masing-masing sektor bermain sendiri dengan intevensi yang berbeda-beda dan belum semua aspek sistem kesehatan dicover. Monitoring masih bersifat parsial dan lebih memenuhi kepentingan proyek daripada kebutuhan pemanfaat. Fokus cenderung dominan pada upaya treatment dan mengabaikan pada pencegahan. Skema pembiayaan dalam SRAN persentasenya adalah promosi 50 %, PDP 28 %, mitigasi dampak 13 %. Partisipasi masyarakat dimanipulasi dalam kerangka legitimasi dan sangat tergantung donor. Partisipasi sebagai bagian dari upaya prasyarat bagi keberhasilan proyek secara efektif dan efisien.
Pembahasan dan masukan
Kemenkes mencatat perlu elaborasi lanjut kerangka pikir integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan terjadi. Bagaimana integrasi kebijakan AIDS dengan sistem kesehatan dan sistem-sistem yang lain seperti sistem keamanan, sistem pendidikan dan seterusnya. Desentralisasi bukan suatu masalah, justru sebaliknya. Hasil kesimpulan masih bersifat deskriptif, sistem kesehatan belum terlihat dalam literature review, masih butuh analisis mendalam.
Sistem kesehatan dalam kacamata kementrian kesehatan terdiri dari 7 pilar. Jika bicara sistem nasional, respon kesehatan terahdap HIV tidak independen, karena masih ada suprasistem. Keberadaan KPA diperlukan karena ada suprasistem yang membutuhkan intervensi. Kebijakan kesehatan dalam konteks disain di luar sistem kesehatan nasional. Mereka berinteraksi dengan sistem kesehatan, sistem penganggaran,dst. Review masih belum seimbang, terlalu fokus pada KPA, kementrian kesehatan dan dinas kesehatan kurang tereksplorasi.
Sementara KPA, memberikan catatan hasil penelitian sudah kelihatan, ini merupakan proses kerja yang tidak mudah karena merupakan hasil kerjasama 9 Universitas, di delapan provinsi. Keterbatasannya, review ini belum berhasil menangkap perkembangan di lapangan terjadi dari kinerja KPA nasional, daerah, dinas dan LSM. Perkembangan sudah banyak dan perbaikan sudah terjadi antara 2011- 2013. Integrasi kebijakan AIDS dalam sisetm kesehatan belum tercermin, sangat fokus pada kajian dokumen dan literatur yang sudah ada. Analisis mendalam belum kelihatan. Paparan banyak memberikan masukan ke KPA tetapi mengatasnamakan sistem kesehatan nasional, Kemkes, dan KPA Nasional.
Terkait desentralisasi sudah ada studi dari Ausaid bahwa desentralisasi merupakan konsekwensi pilihan, jika desentralisasi dipandang sebagai hambatan kurang pas. Perlu pembahasan lanjut terkait dengan peran daerah lebih detail, rincian peran empiris untuk peran tersebut yang kurang digali seperti pembiayaan yang akan banyak dari APBD. Pembacaan terhadap aktor terutama GF ini perlu lebih jelas, karena GF bekerja melalui KPA dan Kemenkes tidak secara langsung. Tampaknya memang pemerintah Indonesia tidak memprioritaskan isu HIV AIDS, Bahkan ketua Bappenas hanya menyebut MDGs goal 6, dimana sesungguhnya posisi HIV apakah menjadi isu kenegaraan? Atau dikesampingkan? Pendanaan APBD masih kurang, bagaimana komitmen pemerintah nasional dengan isu ini? Terkait integrasi sejak sejak 2008 belum tercermin dalam proses integras. Integrasi merupakan persoalan global. Proses continuum bukan fragmentasi.
Prof. Dr. Irwanto memberikan apresiasi secara keseluruhan sudah baik, meskipun perlu diperbaiki.Beberapa hal yang cocok dengan cara berpikirnya dalam melihat permasalahan seperti banyaknya kebijakan perlu didukung aparat yang kompeten dan lingkungan yang mendukung.
Ada kesenjangan antara kebijakan, kesiapan implementasi, dan lingkungan mendukung. Yang terjadi kita keteteran sejak awal dalam mencapai target MDGs. Hubungan pusat dan daerah bukan hanya sebagai pemerintahan vertical. Kontestasi, berbeda pandangan, tidak jarang didasarkan atas hal-hal yang bersifat empirik, data tidak digunakan untuk argumen, melainkan pandangan moral. Argumen daerah merdasarkan moral banyak di daerah. Pemahaman HIV dan AIDS terkait dengan moral, politik dan ekonomi.
Kontestasi ada banyak sekali, KPA dan Depkes luar biasa, kontestasi donor dan pemerintah. Kontestasi mashab, power dan politik ekonomi. Kebijakan donor ada agenda yang bukan nasional harus diterima. Hasilnya sebagian akan berpengaruh pada implementasi. Bagaimana policy maker di Jakarta berusaha memahami masalah yang ada di daerah. Sedangkan proses-proses dalam pengambilan keputusan untuk daerah berdasarkan Jakarta atau pusat. Keputusan seringkali diambil tanpa pemahaman situasi lokal. Jakarta sebagai omnipotens, kapitasi kekuatan global, kekuasaan dan uang. Yang pada akhirnya menyebabkan bias, seperti soal resiko, tetapi tidak dibahas secara tuntas.
Yang tidak nyambung, terjadi karena screen yang digunakan probability penyebab penyebaran, tetapi malah moralitas sehingga resiko menjadi kabur. Pada aspek ini terjadi karena besarnya permainan structural, dan kekuasaan dalam menentukan agenda nasional. Yang perlu di analisis adalah hubungan antara nasional dan daerah. Ketidaksinambungan sebuah policy dengan apparatus, kapasitas SDM dan lembaga menjadi lambat karena kontestasi moral. Untuk menjalankan program harm reduction, narkotika nilai-nilai masyarakat perlu diadvokasi supaya mendukung. Hambatan banyak sekali karena tidak ada dukungan lintas sektor dan antar sektor. Sektor pendidikan terhadap kondom tidak ramah.
Advokasi berpusat pada kesehatan. Stigma dan diskriminasi tidak dilakukan dengan baik. Masih kuat sekali budaya keeping out people. Akses masih tumpul karena kurangnya kerjasama dengan isu terkait, seperti kusta, disabilitas, dan gender. Aparatus sibuk dengan keeping out, daripada bekerjasama. Sibuk dgn menjaga sumberdaya untuk kepentingan terbanyak bagi diri nya sendiri. Perlu analisis tajam untuk pengaruh struktural terhadap pandangan tersebut.
Pembahas terakhir Pak Irwan memberikan masukan dengan menjelaskan fakta-fakta historis pandangan masyarakat terkait epidemi HIV dari kliping kompas. Sejak awal dari sisi komunikasi memang ada persoalan dalam memandang HIV dan AIDS. Ada kepanikan karena AIDS. Harm reduction menjadi penting. Dalam penggunaan WTS supply demad, demand reduction selalu dibentukan dengan harm reduction. Akan tetapi mengurangi supply tidak akan mengurangi permintaan. Ketiganya harus bersinergi. Persoalan moral sangat mendominasi pandangan masyarakat, membutuhkan edukasi yang serius agar pemahaman dan pengetahuan terkait HIV dan AIDs yang benar lebih dominan. Ilustrasi dengan kwadran halal, haram, aman, aman tidak haram yang pernah dikembangkan oleh seorang kyai ternyata masih belum diterima masyarakat.
Beberapa Catatan untuk Kajian Dokumen Kebijakan HIV & AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia - Irwan Julianto
|
Materi
|
Masalah dalam Policy Apparatus & Environment - Irwanto (PPH Unika Atmajaya)
|
Materi
|
Kajian Dokumen: Kebijakan HIV & AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia (PKMK FK UGM)
|
Materi
|
Sense Making
|
Materi
|
Sesi Paralel 2 : Kebijakan HIV /AIDS
|
|
Analisis Pemanfaatan Dana Bantuan Hibah untuk Penanggulangan AIDS di Indonesia - Aang Sutrisna
|
Materi
|
Strategi Pembiayaan Penanggulangan AIDS untuk Mencapai UC Masukan bidang kesehatan - dr Siti Nadia M Epid
|
Materi
|
Pembiayaan Program HIV/AIDS : Analisis NASA 2009-2010 - Amila Megraini, Mardiati Nadjib
|
Materi
|
Strategi Penanggulangan AIDS dalam Konteks Otonomi Khusus Di Provinsi Papua - Dr . Silwanus A Sumule, SpOG (K )
|
Materi
|
Gizi Masyarakat
Pokja Kebijakan Gizi Masyarakat
Kebijakan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan
Bandung, Permasalahan gizi masih menjadi PR besar. Padahal, pengeluaran kesehatan per kapita masyarakat Indonesia saat ini meningkat. Begitu pula dengan pengeluaran anggaran kesehatan nasional yang selalu meningkat. Rupanya faktor pendukung tersebut tidak berbanding lurus dengan pencapaian kinerja gizi.
"Masalah stunting dan underweight di Indonesia cenderung naik di tahun 2013. Di saat Vietnam dan Thailand sudah melewati masalah tersebut, Indonesia masih belum bisa mengatasinya. Permasalahan terkait kematian neonatal, jumlah bayi meninggal juga cenderung meningkat. Belum lagi penyakit-penyakit tidak menular yang juga ikut meningkat" ujar Prof Abdul Razak Thaha.
Kinerja gizi yang cenderung tidak mengalami perbaikan ini karena ada masalah 1000 hari pertama kehidupan. Prof Abdul Razak Thaha juga menyebutkan gen memang berperan, namun nutrisi dan faktor penyebab setelah bayi lahir sangat mempengaruhi munculnya masalah gizi. Tentunya, masyarakat yang jauh dari masalah gizi akan menghemat pembiayaan JKN di masa yang akan datang.
Perhatian terhadap gizi pada 1000 hari pertama kehidupan juga mendapat dukungan dari Ir. Doddy izwardy, M.A, yang membawakan tentang Tantangan Kebijakan Gizi di Indonesia pada Era JKN. Mewujudkan generasi bebas masalah gizi, apalagi sejak 1000 hari pertama tentu bukan pekerjaan ahli gizi saja. Namun, perlu ada dukungan lintas profesi. Partisipasi perguruan tinggi dan sektor lain akan membantu intervensi sensitif untuk melengkapi intervensi spesifik yang sudah dilakukan.
"Membedakan program gizi ini dengan program yang sebelumnya karena mengacu pada tiga prinsip national platform yang dikenal three ones. program gizi berhasil, maka JKN berhasil." tutup Direktur Bina Gizi Kementrian Kesehatan ini.
Sesi terakhir pada panel kebijakan gizi ini dibawakan oleh Dr. Dewi MDH, drg., Msi, membahas Analisis Kebijakan Gizi di Indonesia pada Era JKN. Tidak hanya memaparkan masalah gizi di tingkat masyarakat, namun juga memaparkan masalah gizi di RS. Masalah malnutrisi pada pasien rupanya berdampak pada peningkatan keparahan penyakit.
“Malnutrisi seringkali terjadi pada penderita gagal ginjal. Bayangkan 400 milyar dana JKN yang diperlukan untuk membantu hemodialisa pasien tersebut” ,ujar dosen di FK UNPAD ini.
Masalah gizi di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, seperti ketidak tepatan formulasi PMT,belum optimalnya dukungan pemerintah. RS perlu menurunkan angka kejadian malnutrisi, misalnya mengevaluasi kapasitas SDM untuk pelayanan gizi, kebijakan outsourching. Rekomendasi di tingkat masyarakat salah satunya dengan perbaikan aksesibilitas pangan.
Analisis Kebijakan Gizi di Indonesia pada Era JKN Dr. Dewi Marhaeni Diah Herawawati
|
Materi |
1000 Hari Pertama Kehidupan yang Menentukan Masa depan Bangsa Prof. Abdul Razak Thaha
|
Materi |
Jiwa Masyarakat
Pokja Kebijakan Jiwa Masyarakat
Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan di Trans Luxury Hotel Bandung untuk sesi paralel 1 Kebijakan Kesehatan Jiwa Masyarakat diawali dengan presentasi free paper oleh Sekar Ayu Paramita tentang survey kapasitas SDM yankeswa di setting non-spesialis di Provinsi Jawa Barat. Hanya 1.600 Puskesmas di Indonesia yang dapat menangani gangguan mental. Hal ini berhubungan dengan tingkat kapabilitas tenaga kesehatannya. Untuk itu dilakukan suatu penelitian di 11 kabupaten di Jawa Barat. Metodologinya yakni deskriptif dengan menyebarkan 1.008 kuesioner ke dokter dan perawat di Puskesmas. Hasilnya diketahui bahwa 77% responden merasa sudah mendapatkan pengetahuan tentang penanganan gangguan jiwa, namun hanya 30% yang kompeten menangani gangguan jiwa. Selain itu, penatalaksanaan pengobatan gangguan jiwa sudah banyak, namun persediaan obat masih sangat kurang. Dokter spesialis jiwa pun di rumah sakit masih sangat kurang. Sementara dokter primer yang ada masih kurang pengetahuannya tentang penanganan gangguan jiwa dan sistem rujukan untuk penanganan gangguan jiwa pun masih buruk.
Presentasi kedua oleh Taufik Hidayat tentang manajemen kasus gangguan jiwa studi kasus di desa siaga sehat jiwa Sindangbarang, Bogor dan Desa Pangauban Bandung Barat. Beliau memaparkan bahwa permasalahan kesehatan tidak hanya berhubungan dengan fisik, namun masih banyak juga untuk permasalahan dalam kejiwaan. Selama ini sistem pelayanan di Indonesia masih berbasis hospital based dan begitu banyaknya pasien yang dirawat hingga melebihi kapasitas dari rumah sakit. Oleh karena itu pendekatan penelitian ini dipilih dengan menggunakan studi kasus, dimana melihat pasien selama masih di rumah sakit bersama keluarga dan dilakukan wawancara, diikuti hingga pasien kembali pulang. Lokasi penelitian dipilih di daerah yang telah memiliki empowerment. Penelitian ini menyimpulkan bahwa manajemen kasus diperlukan dalam pelayanan gangguan jiwa dengan melakukan kerjasama lintas sektor.
Gambaran pasien dengan depresi, anxietras dan somatisasi yang datang ke Puskesmas di Sumedang dipaparkan oleh Virama Indraswari dimana depresi dan somatisasi merupakan suatu diagnosa yang sangat sering terjadi. Bahkan terkadang seorang dokter harus berulang-ulang melakukan pemeriksaan untuk mengetahui diagnosa dari pasien yang datang kepada dokter tersebut. Penelitian ini menggunakan responden terbanyak yaitu perempuan dimana perbandingan dengan laki-laki yaitu 3:1. Responden tersebut belum pernah menjalani perawatan untuk gangguan jiwa. Kesimpulan yang dapat diambil yakni somatisasi merupakan diagnosa terbanyak yang terjadi di Puskesmas kemudian diikuti dengan diagnosa depresi dan cemas.
Kemudian presentasi dilanjutkan oleh Tini Sugiharti dengan kejadian gangguan jiwa dan permasalahan saat bekerja yang dialami tenaga kerja wanita, pembantu rumah tangga asal Kecamatan Juntinyuat Kabupaten Indramayu. Indonesia memiliki jumlah TKW yang sangat tinggi dan mayoritas berpendidikan rendah. TKW tersebut dianggap oleh negara tempat mereka bekerja bukan sebagai tenaga professional, maka TKW memiliki akses yang sangat minim untuk informasi, pelayanan kesehatana, perlindungan diri, dll. Begitu banyaknya stresor yang didapat TKW tersebut pada saat bekerja di luar negri menyebabkan mereka sangat beresiko untuk terjadinya gangguan jiwa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka prevalensi gangguan jiwa pada TKW dengan menggunakan alat Mini ICD 10 dan dilakukan wawancara dengan TKW yang baru pulang dari luar negeri. Hasil yang didapat yaitu diagnosa terbanyak yang dialami oleh para TKW yaitu depresi.
Persepsi, Pengetahuan dan sikap petugas kesehatan terkait pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas yang terletak di wilayah sumedang - Bintang Arroyantri P
|
Materi |
Gambaran gangguan cemas, depresi dan somatisasi pada pasien yang berobat ke puskesmas di wilayah Kabupaten Sumedang
|
Materi |
Manajemen Kasus Gangguan Jiwa di Desa Siaga sehat Jiwa, Studi Kasus di Desa Sindangbarang Kab. Bogor dan Desa Pangauban Kab. Bandung Barat - M. Taufik Hidayat
|
Materi |
Pelayanan Kesehatan
Pokja Kebijakan Pelayanan Kesehatan
Pada sesi 1 Pokja Yankes membahas mengenai rujukan yang ada di beberapa provinsi dan kabupaten. Pemaparan 1 diutarakan oleh Bupati Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) mengenai pengembangan pelaksanaan rujukan di kabupaten TTU sangatlah penting. Hal ini disebabkan oleh angka AKI dan AKB di Kabupaten TTU sangat tinggi sehingga diperlukan pengembangan rujukan untuk menurunkan angka tersebut. Pengembangan pelaksanaan rujukan mengalami berbagai macam kendala, antara lain; faktor budaya, geografis, transportasi roda 4 yang langka, dan biaya rujukan ditanggung pasien dan rujukan. Untuk mengatisipasi kendala tersebut maka dikeluarkan dengan keputusan Bupati No 16 tahun 2014 mengenai beberapa terobosan dalam pengembangan rujukan. Terobosan tersebut, antara lain; penyediaan beasiswa, menyediakan anggaran untuk obat-obatan.
Pengembangan rujukan juga terkendala dalam regionalisasi rujukan seperti yang dipaparkan oleh Elsa P Seiawi dari IKM FK Unpad. Elsa memaparkan bahwa regionalisasi menjadi kendala dikarenakan jumlah atau penyebaran rumah sakit yang menjadi tempat rujukan di tingkat kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat. Selain ketersediaan rumah sakit rujukan hal yang perlu diperhatikan juga mengenai persiapan SDM, persiapan sarana prasaran, keterlibatan pemda untuk peningkatan kualitas SDM.
Pengembangan SDM dan kesiapan sarana prasana menjadi tantangan juga dalam pelaksanaan JKN. Hal ini dipaparkan oleh Sharon Gondodiputro dari FK Unpad. Sharon memaparkan kesiapan sarana dan SDM merupakan suatu hal yang penting dipersiapkan dalam pelaksanaan JKN di Provinsi Jawa Barat. Kendala pelaksanaan JKN di provinsi Jawa Barat, antara lain kuantitas puskesmas belum cukup untuk beberapa kabupaten di provinsi Jawa Barat, jumlah ketersedaiaan dokter tidak merata (terdapat beberapa kabupaten kekurangan dokter tetapi ada kabupaten yang kelebihan tenaga dokter).
Kendala dalam pelaksanaan JKN juga terjadi ketika pelaksanaan jamkesmas. Salah satu penelitian mengenai Analisis Bottom-up proses perencanaan pelayanan kesehatan masyarakat di Provinsi Jatim dan NTT yang dipaparkan oleh dr. Tiara Martias, MPH. Tiara memaparkan bahwa puskesmas sebagai pelaksana tekhnis dan ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat, serta bagian terpenting dalam sistem kesehatan, mendapatkan sumber pendanaan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Namun sebagai ujung tombak puskesmas selalu menerima keterlambatan dalam penerimaan dana. Oleh karena itu diperlukan study untuk mengindetifikasi hambatan pelayanan kesehatan di level puskesmas dengan melihat skema perencanaan / mekanisme penganggaran. Hambatan terjadi dikarenakan timing perencanaan dana BOK yang tidak selaras dengan perencanaan daerah, keterbatasan SDM dan kompetensi di bidang administratif dan terjadinya sistem reimbursement oleh staf puskesmas. Evaluasi BOK ditikberatkan pada serapan dana buka pada kualitas layanan dan capainan program.
Dalam pelaksanaan programpun harus hati-hati dikarenakan akan terjadi korupsi yang tidak diduga. Hal ini dipaparkan oleh Puti Aulia Rahma. Dalam sesi ini dipaparkan mengenai mengapa terjadi fraud. Hal ini dikarenakan banyak keluhan dari berbagai pihak karena rendahnya tarif, hal inilah yang dapat mendorong fraud dalam era JKN. Salah satu hal yang bisa dilakukan dengan perlunya sistem pencegahan dan deteksi potensi fraud di RS dan pengawasan di RS.
Reporter: Harumanto Sapardi
Pokja Pelayanan Kesehatan
|
|
Analisis Regionalisasi Rujukan di Jawa Barat - Elsa P Setiawati
|
Materi |
Bentuk-Bentuk Fraud dalam Layanan Kesehatan di Indonesia - Puti Aulia Rahma
|
Materi |
Monitoring dan Evaluasi Program Performance Management & Leadership Provinsi NTT - Putu Eka Andayani
|
Materi |
Analisis Bottom-up Proses Perencanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Provinsi Jawa Timur dan NTT - Tiara Marthias
|
Materi |
PPK Primer sebagai Gate keeper JKN, Siapkah ? Studi di Provinsi Jawa Barat - Sharon Gondodiputro
|
Materi |
Evaluasi Pelaksanaan JKN ditinjau dari aspek Pelanggan - Henni Djuhaeni
|
Materi |