logoKKI

jkki2kki2

  • Home
  • Tentang KKI
    • Visi & Misi
    • JKKI
    • Hubungi kami
  • publikasi
    • E-Book
    • Artikel
    • Hasil Penelitian
    • Pengukuhan
    • Arsip Pengantar
  • Policy Brief
  • Pelatihan
  • E-library
  • Search
  • Login
    • Forgot your password?
    • Forgot your username?
28 Apr2025

Reportase The 26th WONCA Asia Pacific Regional (APR) Conference 2025

Posted in Reportase

PKMK-Busan. Sejalan dengan Upaya pencapaian Sustainable Development Goals ke 3, khususnya SDG 3: Good Health and Well-being, Konferensi WONCA Asia Pasifik 2025 resmi dibuka di Busan dan perwakilan dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM berkesempatan menghadiri konferensi internasional ini (24/4/2025). Acara dibuka dengan sambutan dari Walikota Busan, yang menyambut hangat para peserta internasional serta menyoroti komitmen Busan dalam mendukung transformasi kesehatan global. Busan sendiri telah dinobatkan sebagai kota paling layak huni ke-6 di Asia selama dua tahun berturut-turut, mencerminkan kualitas hidup dan layanan publik yang tinggi—termasuk dalam bidang kesehatan.

 

  • Reportase Hari Pertama
  • Hari Kedua

Reportase Hari Pertama

 

Transformasi Layanan Primer: Kunci Mewujudkan Kesehatan Universal

Sesi pembukaan dilanjutkan oleh Ketua Panitia Konferensi, Dr. Sung Sunwo, yang memberikan pengantar mengenai pentingnya transformasi layanan kesehatan primer (primary care) dalam menjawab tantangan global, terutama peningkatan penyakit tidak menular (non-communicable diseases/NCDs).

Presiden Korean Academy of Family Medicine, Dr. Jae-Heon Kang, bersama Presiden WONCA Asia Pacific Region, Brian Chang, menekankan bahwa pelayanan primer bukan hanya soal akses, tetapi juga menyangkut nilai, kualitas, dan pemerataan layanan kesehatan. Negara dengan sistem PHC yang kuat terbukti memiliki akses kesehatan yang lebih setara, terutama bila mengedepankan pendekatan berbasis masyarakat (people-centred care).

Peran Vital Dokter Keluarga dalam Sistem Kesehatan Berkelanjutan

28apr 1Dr. Karen Flegg, Presiden WONCA Global, menyampaikan bahwa dokter keluarga (family doctors) memainkan peran sentral dalam mengubah wajah layanan kesehatan. Dengan pendekatan yang komprehensif dan berbasis komunitas, PHC yang diperkuat oleh kedokteran keluarga mampu memberikan hasil terbaik dengan biaya terendah, sekaligus meningkatkan kepuasan pasien.

Karen menyoroti tiga pilar penting dalam mewujudkan cakupan kesehatan semesta (UHC):

  1. Menekan biaya layanan kesehatan,
  2. Meningkatkan investasi pada pelayanan primer, dan
  3. Mengalihkan pendanaan dari rumah sakit sekunder dan tersier ke layanan primer.

“A health system where primary care is the backbone and family medicine the bedrock, delivers best outcomes, lowest cost, and better satisfaction,” ujar Dr. Flegg, mengutip Margaret Chan, mantan Dirjen WHO.

WONCA sendiri berperan sebagai advokat utama bagi penguatan family medicine, mulai dari pengakuan peran tenaga medis dalam sistem PHC, pentingnya investasi dalam pendidikan kedokteran keluarga, hingga perlunya strategi kesehatan yang sadar akan krisis iklim (climate-conscious healthcare), dimana layanan primer memiliki peran penting dalam mengatasi isu-isu lingkungan dan kesehatan.

Mengenali Kebutuhan Gen Z: Pelayanan Kesehatan yang Culturally Competent

28apr 2Dalam upaya menjembatani kesenjangan generasi, Indonesian College of Family Medicine memimpin sesi workshop bertajuk “Meeting Gen Z Where They Are”, yang bertujuan mengembangkan layanan kesehatan yang culturally competent dan relevan bagi generasi muda.

Dr. Fitriana Ekawati, MPH, PhD, Sp.KKLP dari FK-KMK UGM membuka sesi dengan menggambarkan karakter Gen Z serta perbedaan ekspektasi mereka terhadap pelayanan kesehatan, dibandingkan dengan penyedia layanan yang mayoritas dari generasi sebelumnya. Mahasiswa UGM turut memberikan perspektif langsung mengenai kebutuhan dan harapan mereka terhadap sistem kesehatan yang lebih fleksibel, interaktif, dan berorientasi pada pengguna.

dr. Trevino Aristarkus Pakasi, FS, MS, Sp.KKLP, PhD dari Universitas Indonesia menambahkan pentingnya inovasi dan adaptasi dalam pelayanan primer di berbagai negara. Inovasi yang dibahas mencakup layanan digital, klinik khusus remaja, hingga penyediaan fasilitas seperti colokan listrik dan ruang konsultasi yang nyaman serta aman bagi remaja. Trevino menekankan enam prinsip layanan ramah Gen Z: lingkungan inklusif, pemisahan ruang dewasa dan remaja, fasilitas ramah remaja, layanan sensitif budaya, fleksibilitas, dan kolaborasi. Fokus utama adalah pada penanganan NCD, kesehatan mental, kesehatan reproduksi, penyalahgunaan zat, dan layanan akut.

Keterampilan Dokter dalam Memberdayakan Pasien Muda

28apr 3Dr. dr. Dhanasari Vidiawati Sanyoto, M.Sc., CM-FM., Sp.DLP mengakhiri sesi dengan membahas kompetensi penting yang harus dimiliki tenaga kesehatan dalam membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan pasien remaja. Diantaranya adalah komunikasi empatik, fleksibilitas waktu layanan, penghargaan terhadap kemandirian pasien, serta penekanan pada pentingnya consent dan confidentiality dalam setiap konsultasi. Dokter harus mampu menjadi mitra yang memberdayakan, bukan sekadar penyedia layanan, serta membuka ruang diskusi yang jujur dan saling menghargai.

Implikasi Kebijakan

Bagi Indonesia yang saat ini tengah menjalankan transformasi sistem kesehatan, perlu mengemas integrasi layanan primer dan cek kesehatan gratis, dua perubahan terkini di pelayanan primer, dengan pendekatan berbasis keluarga. Temuan dan rekomendasi dari forum ini menegaskan pentingnya investasi pada kedokteran keluarga, pengembangan kompetensi tenaga kesehatan yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan generasi muda, adopsi inovasi berbasis teknologi, serta dukungan JKN untuk pelayanan yang berbasis family medicine. Kebijakan Indonesia ke depan perlu semakin menekankan pada pendekatan people-centred care yang berkelanjutan, adil, dan efisien guna mendukung pencapaian Universal Health Coverage dan SDG 3 secara nasional.

 

Hari Kedua

PKMK-Busan. Hari kedua 26th WONCA Asia Pacific Regional Conference 2025 memperlihatkan dinamika penting dalam transformasi layanan kesehatan, dengan fokus pada sistem pembayaran berbasis nilai (Value Based Payment) dan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk memperkuat koneksi antara pasien dan penyedia layanan.

Sesi pertama dibuka oleh Prof. Serng-Bai Pak dari National Health Insurance Ilsan Hospital, Korea, yang membawakan materi berjudul "Toward Value-based Payment in Korean Healthcare: Challenges and Opportunities in Crisis". Dalam paparannya, Prof. Pak menjelaskan bahwa value-based care (VBC) berfokus pada peningkatan kualitas pelayanan, koordinasi antarpenyedia layanan, pengalaman pasien, serta penggunaan insentif berbasis hasil. Model ini menggeser pendekatan tradisional fee-for-service menuju sistem yang mendorong pencegahan, intervensi dini, serta perawatan berbasis data.

Prof. Pak mencontohkan pengembangan Accountable Care Organization (ACO) di Korea, yang mengintegrasikan rumah sakit, fasilitas layanan primer, dan komunitas. Langkah awal pembangunan ACO adalah melakukan implementasi pilot untuk menguji keterbatasan sistem pembayaran berbasis jasa yang ada, disertai dengan pemetaan penyedia layanan kesehatan yang tersedia dan keterlibatan pemangku kepentingan. Tahap berikutnya adalah integrasi sistem informasi antar fasilitas kesehatan dan pembentukan Korean Community Health Management Network (K-AHCN), yang berfungsi untuk mengelola kinerja kolaboratif para penyedia layanan kesehatan.

Kim Yu dari MD, FAAFP, DABFM dari American Board of Family Medicine mendeksiripsikan lebih lanjut mengenai ACO di United States. Organisasi ACO ini didukung oleh struktur pusat (hub hospitals) yang bertugas mengalokasikan sumber daya berdasarkan kebutuhan pasien, meningkatkan kualitas layanan melalui pendidikan dan program perbaikan mutu, serta mengelola jaringan medis secara keseluruhan. Di tingkat layanan primer, penyedia layanan diharapkan untuk mendaftarkan pasien, mengembangkan rencana perawatan individual, dan memperluas aksesibilitas layanan. Pembayaran dalam sistem ini menggunakan blended payment model, yang mengombinasikan dana prabayar, pembayaran berkala, serta insentif kinerja. Evaluasi performa dilakukan melalui pengukuran kepuasan pasien, utilisasi sumber daya, dan retensi pasien. Skema shared savings diterapkan untuk mendorong efisiensi biaya: penyedia layanan yang berhasil mengurangi biaya sambil mempertahankan kualitas layanan berhak atas tambahan insentif.

Konferensi juga mengangkat perspektif reformasi layanan primer di Australia, yang dibawakan oleh Michael Wright, MBBS, MPH, PhD, FRACGP, GAICD,, yang selama ini mengandalkan fee-for-service melalui Medicare, namun dalam tiga decade terakhir memperkenalkan program seperti Practice Incentives Program (PIP) dan MyMedicare untuk memperkuat pendekatan multidisipliner, meningkatkan akses ke layanan primer, serta mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi kesehatan.

Sesi plenari bertema "Connection & Relation, AI", yang dimoderatori oleh Sung Sunwoo (Korea) dan Tesshu Kusaba (Jepang), menyoroti pentingnya membangun hubungan berkelanjutan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan melalui pemanfaatan teknologi digital.

HEE HWANG dari Kakao Healthcare memaparkan bagaimana tantangan utama dalam sistem kesehatan saat ini adalah ketidakmampuan untuk memantau kondisi pasien diantara kunjungan konsultasi. Untuk mengatasi hal ini, Kakao Healthcare mengembangkan Personalized Accessible Supportive Tech-enabled Affordable (PASTA) — platform berbasis AI untuk manajemen diabetes yang lebih holistik.

PASTA memungkinkan pasien diabetes untuk melakukan pencatatan rutin kadar gula darah melalui aplikasi yang langsung terhubung dengan dokter. Data tersebut kemudian diolah menjadi laporan personalisasi, yang tidak hanya mencatat hasil pemeriksaan rutin, tetapi juga mengintegrasikan hasil kunjungan dokter dan memberikan rekomendasi berbasis AI. Aplikasi ini juga memotivasi perubahan perilaku dengan memberikan tantangan gaya hidup sehat, seperti mengingatkan pasien untuk berjalan 1.000 langkah setelah makan atau meningkatkan konsumsi sayuran.

Selain itu, PASTA menawarkan umpan balik langsung dari tenaga kesehatan yang didukung teknologi AI, serta menggunakan fitur pemindaian makanan melalui kamera untuk menilai kualitas nutrisi makanan pasien. Inovasi ini memperkuat kontinuitas perawatan, mempromosikan kepatuhan pasien terhadap terapi, dan mengoptimalkan manajemen penyakit kronis berbasis data. Evaluasi awal satu tahun menunjukkan peningkatan signifikan dalam kebiasaan sehat pasien, penghematan dalam penggunaan alat tes gula darah, serta peningkatan outcome klinis secara keseluruhan.

HEE HWANG juga menguraikan tantangan besar dalam pengelolaan data kesehatan: mulai dari data rumah sakit yang tidak terstruktur, sulitnya standarisasi, hingga isu privasi data untuk riset multisite. Untuk menjawab tantangan ini, Kakao Healthcare membangun sistem federated learning yang memungkinkan pengolahan data secara aman tanpa harus memindahkan data dari masing-masing institusi. Mereka juga merekonstruksi data sensitif untuk analisis prediktif penyakit, saat ini bekerja sama dengan 17 rumah sakit di Korea.

Melalui sesi ini, konferensi menegaskan pentingnya adopsi sistem pembayaran berbasis nilai dan pemanfaatan teknologi digital untuk memperkuat hubungan antara pasien dan penyedia layanan, serta meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan layanan kesehatan di masa depan.

Implikasi pada Kebijakan

Transformasi menuju value-based care menuntut reformasi sistem pembayaran untuk mendorong pelayanan yang berorientasi pada kualitas dan hasil pasien. Pengalaman Korea dan Australia menunjukkan pentingnya integrasi layanan primer dan rumah sakit, penggunaan blended payment model, serta insentif berbasis performa. Selain itu, pemanfaatan teknologi digital seperti AI dan pengelolaan data terstandar menjadi kunci memperkuat koordinasi antar penyedia layanan. Reformasi ini perlu diikuti dengan dukungan regulasi, pembiayaan berkelanjutan, dan penguatan kapasitas data kesehatan.

 

 

Reporter:
dr. Likke Prawidya Putri, MPH, PhD (PKMK UGM)

28apr 4

 

 

 

31 Jan2025

Reportase Prince Mahidol Award Conference (PMAC) 2025

Posted in Reportase

"Harnessing Technologies in an Age of AI to Build a Healthier World"

pmca 4

28 Januari-2 Februari 2025

PKMK-Bangkok. Prince Mahidol Award Conference merupakan agenda yang diselenggarakan khusus untuk memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh di bidang klinis/medis dan kesehatan masyarakat yang memberi kontribusi terbesar dalam kemajuan bidang medis dan kesehatan masyarakat. Sejak diselenggarakan 19 tahun lalu, penghargaan telah diberikan kepada 32 ilmuwan dari berbagai penjuru dunia, dan 6 diantaranya bahkan merupakan penerima Nobel. Tahun ini penghargaan diberikan kepada:   

  1. Prof. Tony Hunter (Salk Institute for Biological Studies, San Diego, Amerika Serikat)
    Prof Hunter adalah tokoh yang menemukan tyrosine kinase (enzim abnormal yang melakukan aktivasi seluler yang mendorong pertumbuhan sel kanker). Penemuan ini membuahkan manfaat luarbiasa bagi pengembangan targeted inhibitor dalam obat kanker pada 2001.
  2. Jonathan Shepherd (Cardiff University)
    Prof. Shepherd mengembangkan Cardiff Model yaitu model yang digunakan untuk menggabungkan data gawat darurat di rumah sakit dengan data polisi sehingga meningkatkan kemampuan para penegak hukum untuk menyusun strategi dalam mengatasi dan mengurangi kekerasan. Model ini dikembangkan karena Prof Sheperd menyadari bahwa banyak kasus injury di ruang gawat darurat terjadi karena kekerasan (public atau pun domestic) namun polisi jarang terlibat karena polisi hanya bertindak berdasarkan laporan sementara mayoritas korban tidak melakukan pelaporan.  Prof Shepherd menyadari bahwa injury (dalam hal ini yang disebabkan oleh kekerasan) merupakan isu kesehatan masyarakat.

pmca 3Pembukaan PMAC secara resmi dilakukan oleh HRH Princess Mahacakri Sirindhorn. Tesis dasar dari tema PMAC tahun ini bahwa artificial intelligence (AI) merupakan teknologi yang tidak terelakkan, namun bagaimana AI dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesehatan.  Sektor kesehatan menjadi lebih aktif dalam perubahan yang dapat menandai era baru untuk penyediaan perawatan kesehatan. Teknologi baru seperti AI dan genomic sequencing menawarkan kesempatan untuk menata ulang penyediaan layanan kesehatan.

Telehealth, yang telah dipraktikkan dalam satu atau lain bentuk, mendapatkan momentum selama pandemi COVID-19, ketika jarak sosial dibatasi dan dapat dilakukan dengan pengurangan dramatis dalam mobilitas manusia. Ketersediaan platform teknologi memfasilitasi penggunaan telehealth dalam skala besar dan dengan biaya yang lebih rendah. Memperkuat sistem informasi dan rezim perlindungan data yang lebih baik juga telah menciptakan ruang yang lebih besar untuk penggunaan analitik Big Data yang dapat meningkatkan pengalaman pasien dan penyediaan perawatan. Kesehatan seluler memiliki potensi untuk merevolusi kesehatan masyarakat dan juga menawarkan peluang untuk meningkatkan akses ke layanan kesehatan dan mendorong manajemen kesehatan mandiri, sehingga memberdayakan masyarakat.

Media sosial menjadi alat yang ampuh dan tidak hanya dapat meningkatkan kesadaran akan isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan di kalangan masyarakat umum, tetapi juga menciptakan gerakan untuk kesehatan yang lebih baik dan meningkatkan akuntabilitas. Teknologi digital dapat digunakan di seluruh spektrum perawatan kesehatan, pencegahan, diagnostik, dan pengobatan. Janji teknologi untuk meningkatkan akses dan mengurangi ketidaksetaraan dalam kesehatan menggarisbawahi tujuan yang diharapkan oleh Cakupan Kesehatan Universal (UHC) dan ditandai oleh komitmen global terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun catatan pencapaian SDGs menunjukkan bahwa dunia telah keluar jalur (off-track) dalam mencapai tujuannya pada tahun 2030 dan terdapat kebutuhan untuk memikirkan kembali pendekatan yang dapat dimungkinkan oleh teknologi inovatif.

Namun, hambatan tetap ada dalam memanfaatkan potensi yang ditawarkan teknologi ini dan risiko yang harus diakui. "Gelombang yang Akan Datang"  dari teknologi bukan hanya dapat mengubah cara kita melakukan banyak hal, melainkan juga mengancam keberadaan kita. Terdapat kekhawatiran seputar siapa yang menggunakan teknologi ini dan untuk apa. Banyak orang miskin di dunia tidak memiliki akses ke teknologi seperti ponsel dan internet. Privasi dan keamanan data tetap menjadi perhatian dan penerapan sistem yang dapat dioperasikan masih menjadi tantangan. Selain itu, terdapat risiko teknologi ini yang memperburuk ketidaksetaraan yang ada daripada menguranginya. Bias dalam algoritma AI dapat melanggengkan bias dan membatasi akses ke perawatan.

Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menghadapi tantangan unik tentang cara mengembangkan dan memanfaatkan teknologi ini secara efektif. Terdapat kebutuhan untuk transfer teknologi dari negara berpenghasilan tinggi ke negara berpenghasilan menengah dan rendah, seperti yang cukup ditunjukkan dalam pengembangan dan distribusi vaksin COVID-19. Penerimaan dan penerapan teknologi baru diantara pengguna juga perlu dipertimbangkan dengan cermat.

Beberapa sesi PMAC dapat dikelompokkan seperti berikut

  1. Isu seputar pemanfaatan teknologi digital untuk pembiayaan kesehatan yang lebih efisien dan efektif
  2. Isu seputar pengembangan kapasitas tenaga kesehatan di era teknologi digital
  3. Pemanfaatan teknologi digital untuk pelayanan Kesehatan di isu-isu prioritas global
  4. Isu seputar tata kelola dan etika pemanfaatan teknologi digital

 

 

13 Dec2024

Reportase Peluncuran Buku Konsep, Implementasi, dan Dampak JKN

Posted in Reportase

11 Desember 2024

buku 10thjknBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyelenggarakan peluncuran buku Konsep, Implementasi, dan Dampak JKN Perjalanan Satu Dekade pada Rabu (11/12/2024).

Kegiatan diawali dengan sambutan oleh Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Prof. dr. Abdul Kadir, Ph.D, Sp.THT-KL(K), M.ARS. Perjalanan BPJS Kesehatan selama 1 dekade penuh dengan tantangan dan lika-liku. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dampak penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) luar biasa. Seluruh masyarakat Indonesia mendapat hak yang sama terhadap pelayanan kesehatan. Namun masih terdapat tantangan dalam pelaksanaannya, seperti distribusi fasilitas kesehatan yang tidak merata. 70% lebih faskes terdistribusi di Jawa, sementara di Indonesia bagian timur masih terbatas. Tantangan lainnya adalah pemahaman tenaga kesehatan masih ada yang belum sejalan dengan konsep JKN dan kesadaran masyarakat akan pentingnya jaminan kesehatan. Saat ini, pemerintah sedang menyiapkan beberapa peraturan turunan dari UU Kesehatan untuk mendukung JKN.

Sambutan selanjutnya dari Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., AAK selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan. Buku ini hadir untuk memberikan gambaran perjalanan JKN selama satu dekade. Buku ini tidak hanya menyajikan sejarah JKN, melainkan juga filosofi jaminan sosial, capaian kepesertaan, penjaminan layanan kesehatan, dan sebagainya. Hadirnya program JKN memberikan berbagai dampak konstruktif bagi masyarakat meskipun di awal penyelenggaraan JKN terdapat berbagai tantangan. Hingga saat ini masalah masih ada, namun sudah on the right track. Masalah utama yang dihadapi adalah terkait keuangan dan pemahaman semua pihak. Pemahaman ini terkait dengan tanggung jawab BPJS. BPJS tidak sepenuhnya bertanggung jawab terhadap supply side.

Selanjutnya, Muhaimin Iskandar selaku Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat RI memberikan keynote speech. Capaian Universal Health Coverage (UHC) 98,37% saat ini sudah cukup bagus. Namun ada beberapa masalah yang perlu dihadapi. Kepesertaan yang lebih aktif masih perlu ditingkatkan, pengelolaan dana JKN harus lebih transparan, akuntabel, dan berbasis teknologi. Muhaimin juga berharap FKRTL dan FKTP harus memenuhi standar sesuai kelasnya, perlu kredensialing dan rekredensialing dengan ketat, dan BPJS terus meningkatkan inovasi pelayanan yang bermutu.

Sesi Talkshow

Kegiatan dilanjutkan dengan talkshow yang menghadirkan 3 narasumber dan 2 penanggap. Narasumber pertama, yakni Mundiharno selaku Direktur Kepatuhan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan. Mundiharno menjelaskan bahwa penulisan buku ini bertujuan untuk mendokumentasikan perjalanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selama satu dekade. Buku ini juga dimaksudkan sebagai referensi utama bagi berbagai pihak, termasuk mahasiswa, akademisi, dan para pemangku kepentingan. Salah satu alasan pentingnya buku ini adalah untuk memberikan pemahaman mendalam tentang JKN, terutama bagi mereka yang baru mengenal program ini. Selain itu, buku ini menyajikan pembahasan yang komprehensif tentang konsep, implementasi, serta tantangan dan dampak dari JKN. Mundiharno menekankan bahwa referensi tentang JKN masih terbatas, sehingga buku ini hadir untuk mengisi kekosongan tersebut.

Buku ini terdiri dari 37 bab yang terbagi dalam empat bagian, dengan total 755 halaman dengan detail sebagai berikut:

  • Konsep dan Latar Belakang JKN: Bagian ini membahas fungsi makro Jaminan Kesehatan sebagai sistem sosial, termasuk konsep gotong royong nasional yang menjadi dasar kebijakan JKN. Selain itu, dijelaskan juga dinamika politik dan perjuangan dalam mewujudkan jaminan sosial di Indonesia, termasuk proses legislasi yang penuh tantangan.
  • Implementasi: Membahas perjalanan implementasi JKN, mulai dari penyusunan regulasi hingga pelaksanaan. Bagian ini juga menggambarkan kerja keras dan kolaborasi berbagai pihak untuk merealisasikan sistem jaminan kesehatan nasional.
  • Dampak: Mengulas hasil dan dampak yang dihasilkan dari implementasi JKN, baik bagi masyarakat maupun sistem kesehatan di Indonesia.
  • Tantangan ke Depan: Bagian ini membahas proyeksi tantangan yang akan dihadapi JKN dalam 10 tahun mendatang.

Narasumber kedua, yakni Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, pakar jaminan sosial, menjelaskan bahwa JKN menggabungkan konsep budaya gotong royong dengan kewajiban ilmiah. Gotong royong merupakan nilai budaya di mana masyarakat saling membantu. Namun, dalam konteks JKN, gotong royong yang bersifat sukarela saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan kesehatan. Oleh karena itu, partisipasi dalam JKN diwajibkan. Kewajiban ini didasarkan pada fakta bahwa manusia tidak dapat memprediksi kapan mereka akan sakit, sehingga perlindungan kesehatan harus disiapkan sebelumnya. Hasbullah juga menekankan bahwa kesehatan adalah modal dasar manusia untuk bisa hidup produktif, belajar, bekerja, dan beribadah. Dengan adanya JKN, masyarakat tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga membantu orang lain yang membutuhkan. Narasumber mengingatkan bahwa JKN bukanlah konsep dagang seperti asuransi komersial, tetapi lebih mirip dengan sedekah sekaligus investasi jangka panjang. Pola pikir masyarakat perlu diubah untuk memahami bahwa semua orang akan membutuhkan layanan kesehatan suatu saat nanti, sehingga keikutsertaan dalam JKN adalah bentuk tanggung jawab bersama.

Dalam menjawab pertanyaan tentang mengapa JKN mencakup Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia tetapi tidak mencakup WNI yang tinggal di luar negeri, Hasbullah menjelaskan bahwa WNA di Indonesia yang tinggal atau bekerja di Indonesia diwajibkan ikut JKN karena jika mereka sakit dan tidak mampu membayar biaya pengobatan, hal itu dapat membebani sistem kesehatan nasional. Dengan bergabung dalam JKN, mereka juga berkontribusi pada sistem gotong royong yang melindungi semua orang. Sedangkan, WNI di luar negeri itu tidak termasuk karena sistem JKN berbasis layanan, bukan berbasis uang tunai. Oleh karena itu, sulit untuk menjamin layanan kesehatan bagi WNI yang berada di luar negeri, mengingat perbedaan sistem kesehatan dan fasilitas di berbagai negara.

Narasumber ketiga adalah Timboel Siregar seorang Praktisi Jaminan Sosial. Menurut Timboel, JKN merupakan produk reformasi yang paling nyata. Ekosistem JKN dipengaruhi oleh berbagai sektor dan telah menunjukkan perkembangan ke arah yang positif, terutama dengan dukungan berbagai regulasi. JKN kini tidak hanya diperuntukkan bagi orang sakit, tetapi juga memberikan manfaat bagi orang yang sehat. Meski demikian, diperlukan perbaikan di semua stakeholder terkait untuk memperkuat ekosistem JKN. Evaluasi terhadap pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 juga perlu dilakukan agar JKN tetap berjalan sesuai dengan tujuan awalnya. Buku ini hadir sebagai sarana untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, sekaligus mendorong mereka untuk bersuara dalam memperjuangkan hak atas pelayanan kesehatan yang layak.

Penanggap pertama, yakni Chazali Situmorang yang pernah menjabat sebagai Ketua DJSN pertama menyampaikan bahwa dampak pelaksanaan JKN selama 10 tahun ini sudah terlihat. Dampak ini mencakup semua lini dan mempengaruhi semua aspek kehidupan. Chazali mengamati, kata kunci pelaksanaan JKN selama 1 dekade terletak pada political will. Sepanjang dukungan politik pemerintah tinggi. maka apa yang diperintahkan dalam UU itu dapat diimplementasikan. Proporsi iuran 30-40% dari pemerintah dan 70% dari masyarakat juga menjadi kesempatan yang besar bagi keberlanjutan program ini, tinggal bagaimana menyelesaikan persoalan di masyarakat. Termasuk masalah supply side seperti pemerataan tenaga kesehatan dan faskes. Meskipun beberapa memang bukan ranah BPJS, namun diharapkan UU Kesehatan bisa menjembatani permasalahan supply side.

Penanggap kedua, Nunung Nuryartono yang merupakan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional mengungkapkan bahwa buku ini menarik karena menjelaskan secara komprehensif JKN 1 dekade. Salah satu isu yang disorot adalah ketersediaan big data. Memang tidak mudah untuk mempunyai big data, namun hal tersebut perlu diusahakan. Big data dapat menjadi pedoman untuk pengembangan kebijakan dan program JKN ke depan. Menurut Nunung, sistem juga harus terus disempurnakan untuk memperkuat program JKN.

Sebagai penutup, masing-masing narasumber memberikan closing statement. Hasbullah mengajak semua pihak untuk berusaha bersama menyelesaikan permasalahan yang ada, terutama terkait pendanaan. Mundiharno menyampaikan bahwa JKN telah memberikan manfaat yang besar. Semua pihak harus berupaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dan harapannya seluruh ekosistem mendukung upaya JKN ini. Terakhir, Timboel mengajak semua pihak untuk terus mendukung program JKN melalui 3 isu utamanya, yakni kepesertaan, layanan, dan pembiayaan. Timboel juga berharap adanya political will untuk memastikan keberlangsungan dan kualitas layanan kesehatan di daerah.

Dokumentasi kegiatan dapat disimak melalui link berikut Video   buku   

Reporter:
Via Anggraini dan Mashita Inayah (PKMK UGM)

 

 

05 Dec2024

Posted in Reportase

Laporan Penelitian Analisis Implementasi Pelayanan Kesehatan untuk Penyandang Disabilitas (Fisik dan Sensorik) dalam Mencapai Universal Health Coverage (UHC)

Laporan Penelitian ini merupakan hasil penelitian “Analisis Implementasi Pelayanan Kesehatan untuk Penyandang Disabilitas (Fisik dan Sensorik) dalam Mencapai Universal Health Coverage (UHC)” yang telah disusun dan dicetak oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Universitas Gadjah Mada, bekerja sama dengan SIGAB dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM, dengan dukungan dari Kemitraan Australia – Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (INKLUSI).

Penelitian ini bertujuan untuk memahami kondisi akses dan pemanfaatan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas, serta mendorong perbaikan sistem pelayanan kesehatan yang lebih inklusif di Indonesia.

Informasi yang disajikan dalam publikasi ini adalah tanggung jawab dari tim produksi dan tidak mewakili pandangan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia.

Report (PDF)

 

 

 

 

 

 

27 Nov2024

Reportase Kursus Kebijakan terkait Transformasi Sistem Kesehatan: Mendorong Keterlibatan Sektor Swasta untuk Integrasi Sistem Pelayanan Kesehatan Berbasis Layanan Primer

Posted in Reportase

anhss24

Salah satu pilar utama dalam transformasi sistem kesehatan Indonesia adalah penguatan layanan primer. Transformasi ini merupakan langkah krusial dalam meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk mencapai tujuan program-program kesehatan yang lebih komprehensif dan efektif, kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta perlu didukung. Kemitraan ini bertujuan untuk menciptakan integrasi layanan kesehatan yang lebih baik, di mana sektor swasta berperan aktif dalam mendukung dan melengkapi layanan yang disediakan oleh sektor publik. Melalui sinergi antara kedua sektor ini, diharapkan tercipta sistem kesehatan yang lebih efisien, terjangkau, dan mampu menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

Asia-Pacific Network for Health Systems Strengthening (ANHSS) berkolaborasi dengan Centre of Excellence for Health Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University, menyelenggarakan Kursus Kebijakan terkait Transformasi Sistem Kesehatan: Mendorong Keterlibatan Sektor Swasta untuk Integrasi Sistem Pelayanan Kesehatan Berbasis Layanan Primer. Kegiatan telah diselenggarakan pada 25-28 November di Bangkok, Thailand. Acara ini menghadirkan narasumber dari berbagai negara, yang berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka dalam bidang kesehatan. Reportase dan Informasi kegiatan dapat diakses pada link berikut.

Hari pertama   hari kedua   hari ketiga   Hari Keempat

 

26 Nov2024

Reportase The 8th Global Symposium on Health Systems Research 2024

Posted in Reportase

hsr244

Health Systems Global (HSG) adalah sebuah organisasi internasional yang berfokus pada penelitian dan pengembangan sistem kesehatan di seluruh dunia. Organisasi ini berperan sebagai wadah untuk memfasilitasi kolaborasi antara peneliti, pembuat kebijakan, praktisi, dan pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam sistem kesehatan dan kebijakan kesehatan global. Tujuan utama HSG adalah untuk meningkatkan pemahaman dan praktik dalam penguatan sistem kesehatan agar dapat memberikan layanan kesehatan yang lebih baik, merata, dan berkelanjutan bagi semua orang. HSG menyelenggarakan simposium dua tahunan untuk memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan pengalaman di bidang penelitian sistem kesehatan dan kebijakan.

Pada tahun 2024, tema simposium yang diusung oleh HSG adalah “Building just and sustainable health systems: centering people and protecting the planet”. Perubahan iklim mempengaruhi kesehatan dan sistem kesehatan. Sistem kesehatan yang kuat sangat penting untuk mencapai kesehatan bagi semua orang, yang merupakan tujuan dari HSG dan tujuan kesehatan internasional, sebagaimana tecermin dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Dengan landasan pemikiran ini, simposium tahun 2024 mengambil fokus pentingnya sistem kesehatan yang berfokus pada manusia, yang merespons perubahan global, dan berupaya melindungi lingkungan di masa depan.

Simak reportase kegiatan HSR Global Symposium on Health System Research 2024 pada link berikut

Pra-Konferens   Hari kedua   Hari ketiga   Hari keempat   Hari kellima

 

25 Oct2024

Reportase 20th National Health Research for Action (NHRFA) Evidence Summit

Posted in Reportase

Las Piñas, Filipina, 22 – 25 Oktober 2024

PKMK-Filipina. Setiap tahun, Departemen Kesehatan Filipina mengadakan konferensi untuk menyampaikan temuan-temuan kunci dari berbagai penelitian prioritas kesehatan yang dilakukan oleh Center for Health Development/CHD (semacam Dinas Kesehatan). Di Filipina terdapat 17 CHD yang mengelola kesehatan di 81 Provinsi. Tahun ini kegiatannya berlangsung di Manila, pada 22 – 25 Oktober 2024, dan peneliti PKMK berkesempatan menjadi salah satu pembicara tamu.

Terdapat dua stream dari Evidence Summit ini, stream pertama adalah pada evidence-based medicine, sementara stream kedua adalah evidence dari penelitian sistem dan kebijakan kesehatan. Beberapa kegiatan dilakukan sekaligus, yaitu: launching dari online repository dari seluruh penelitian yang telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Center for Health Development/CHD, launching online repository dari National Clinical Guidelines, launching dari laporan National Health Account 2023 (yang disusun oleh Badan Statistik Filipina), launching dokumen resmi tentang topik-topik prioritas dalam agenda riset nasional (NUHRA/national unified health research agenda) untuk periode 2023-2028, forum Data-to-Policy, serta dibentuknya network institusi penelitian riset sistem dan kebijakan kesehatan nasional.

25okt

Ada beberapa hal menarik yang bisa kita cermati. Pertama, Departemen Kesehatan Filipina memiliki komitmen dan dukungan terhadap peran dari evidence dan penelitian sistem dan kebijakan kesehatan. NHRFA Evidence Summit tahun ini telah mencapai tahun ke-20. Adanya penelitian yang dilakukan CHD juga menunjukkan ada upaya sungguh-sungguh untuk mendorong CHD memanfaatkan data rutin dan melakukan riset sistem dan kebijakan kesehatan yang berfokus pada evidence lokal dan kebutuhan lokal, dan didukung sepenuhnya oleh pendanaan lokal, serta upaya untuk menjembatani evidence dengan proses kebijakan. Lebih jauh lagi, sebagai steward dari arah kebijakan nasional, Pemerintah melalui Philippine Council for Health Research and Development menyusun dokumen resmi (NUHRA) yang menjabarkan topik-topik prioritas kesehatan apa yang mereka harapkan akan dilakukan penelitian-penelitiannya dalam lima tahun.

25okt 1

Kedua, Upaya yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk menyampaikan hasil-hasil riset sistem dan kebijakan yang dilakukan di seluruh wilayah Filipina oleh Departemen Kesehatan dengan Center for Health Development/CHD. Dalam Evidence Summit ini, dilakukan forum Data-to-Policy. Forum ini merupakan ajang dimana CHD mengirimkan abstrak hasil penelitian yang mereka lakukan, kemudian dipilih beberapa CHD yg lolos seleksi untuk presentasi poster dan policy brief berdasarkan riset yang mereka lakukan tersebut.

Data-to-Policy telah dilakukan setiap tahun sejak 2018. Forum Data-to-Policy menjadi forum penting untuk berbagi temuan dan strategi mengatasi beberapa permasalahan kesehatan di regional yang berbeda. Selain itu, adanya online repository memudahkan mereka untuk menelusuri manuskrip dan laporan-laporan penelitian tersebut. Forum Data-to-Policy ini juga memberi kesempatan bagi masing-masing regional untuk menyampaikan policy brief yang disusun berdasarkan penelitian mereka kepada para pengambil kebijakan Pusat (Departemen Kesehatan).

Dalam forum Data-to-Policy ini, para pemateri dari regional dibahas langsung oleh asisten/staf khusus Menteri Kesehatan dan direktur dari berbagai direktorat di Departemen Kesehatan, termasuk Direktur Perencanaan Kesehatan. Poin yang lebih menarik lagi, di dalam policy brief-nya, mereka juga menyertakan (1) roadmap, (2) estimasi budget untuk masing-masing opsi kebijakan yang mereka suguhkan, termasuk (3) perbandingan dengan budget kebijakan saat ini serta (4) budget impact analysis atau cost-effectiveness analysis-nya. Para pengambil kebijakan dapat melakukan “window shopping” untuk beberapa opsi kebijakan yang potensial untuk diadopsi dan diterapkan secara nasional, bukan hanya sebagai kebijakan regional.

25okt 2

Ketiga, Departemen Kesehatan secara serius mendorong dan memberi penghargaan atas kerjasama dengan mitra-mitra mereka, termasuk sektor swasta. Sebagai contoh, salah satu mitra mereka adalah Vital Strategies. Vital Strategies telah bekerjasama dengan Departemen Kesehatan selama 8 tahun terakhir dalam menyediakan peningkatan kapasitas penelitian implementasi dan riset operasional, dan juga komunikasi riset termasuk penyusunan policy brief.

Hasilnya adalah saat ini telah tersedia 21 modul pelatihan penelitian implementasi dan riset operasional di platform pelatihan online milik Departemen Kesehatan, tersedianya 16 pelatih di Departemen Kesehatan, dan telah dilatihnya lebih dari 60 peneliti dari berbagai Departemen Kesehatan dan CHD. Vital Strategies dapat melakukan hal ini berkat dukungan dari dana filantropi. Selain itu, Departemen Kesehatan tahun ini memperkuat hubungan kemitraan dengan berbagai institusi riset dengan meresmikan Jejaring Nasional untuk Riset Sistem dan Kebijakan Kesehatan, yang terdiri dari semua CHD dengan institusi riset yang terafiliasi dengan Universitas, dan beberapa institusi riset swasta. Jejaring ini menjadi platform bagi Departemen Kesehatan untuk mewadahi program-program pengembangan kapasitas, fellowship, data-to-policy initiative, pendanaan riset, dan lain-lain.


25okt shitaReporter:
Shita Dewi – Peneliti PKMK FK-KMK UGM

 

 

08 Aug2024

Reportase 18th Postgraduate Forum on Health Systems and Policies 2024

Posted in Reportase

  • HARI 1: 
  • HARI 2

HARI 1:

 

Selasa, 6 Agustus 2024

PKMK-Kuala Lumpur. Sejumlah peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), FK-KMK, Universitas Gadjah Mada mengikuti konferensi 18th Postgraduate Forum on Health Systems and Health Policies. Tahun ini Postgraduate Forum on Health Systems and Policies mengusung tema Evidence-Based Policy for Health Reform. Kegiatan berlangsung selama dua hari yaitu pada 6-7 Agustus 2024 diselenggarakan oleh Faculty of Medicine, Universiti Kebangsaan Malaysia. Konferensi ini juga merupakan kolaborasi 3 universitas yaitu Universiti Kebangsaan Malaysia, Prince of Songkla University di Thailand dan Universitas Gadjah Mada di Indonesia.

Pada hari pertama, kegiatan dimulai dengan Keynote Address oleh Prof. Emeritus Dato Dr. Syed Mohamed Al-Junid, menyatakan forum ini berfokus pada penggunaan bukti untuk mendukung transformasi kesehatan dan penerapannya dalam kebijakan berbasis bukti di masa depan. Adanya keterlibatan Malaysia, Indonesia, dan Thailand ikut berkontribusi dan memfasilitasi pembelajaran dalam rangka mengikuti perkembangan global.

Keynote Address: Evidence-Based Policy For Health Reform

Prof. Emeritus Dato Dr. Syed Mohamed Al-Junid menyampaikan bahwa reformasi sektor kesehatan melibatkan proses perubahan mendasar yang berkelanjutan dalam kebijakan kesehatan dan pengaturan institusi. Perubahan yang terarah ini bertujuan untuk mencapai efisiensi, keadilan, dan efektivitas dalam sektor kesehatan. Reformasi sektor kesehatan mencakup berbagai aspek, seperti penetapan kebijakan, penyempurnaan kebijakan yang ada, serta reformasi institusi yang menjalankan kebijakan tersebut, termasuk sistem, penyampaian layanan, pendanaan, dan institusi. Di sisi lain, reformasi perawatan kesehatan bersifat lebih luas dan melibatkan sektor sosial lainnya, bukan hanya sektor kesehatan itu sendiri.

Selain itu, kebijakan kesehatan berbasis bukti adalah kunci dalam mengarahkan reformasi kesehatan yang efektif. Aspek-aspek utamanya meliputi penggunaan sistematis dari penelitian, penilaian kritis, transparansi, pemantauan hasil, keterlibatan pemangku kepentingan, dan masalah data. Reformasi sistem kesehatan diperlukan untuk mengatasi masalah seperti akses kesehatan yang tidak memadai, kekurangan sumber daya, penggunaan sumber daya yang tidak efisien, dan layanan yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Namun, reformasi sering menghadapi berbagai hambatan, termasuk resistensi politik, kurangnya konsensus, serta tantangan dari para profesional kesehatan. Di akhir sesi, Prof. Emeritus Dato Dr. Syed Mohamed Al-Junid juga menyampaikan kolaborasi antara pembuat kebijakan, peneliti, penyedia layanan kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya sangat penting untuk keberhasilan implementasi reformasi berbasis bukti.

pgf1Plenary I

Topic: Evidence from Systematic Review and Network Meta-Analysis: Evidence-Based Healthcare and Practice
Speaker: Prof. Dr. Tippawan Liabsuetrakul (Prince of Songkla University, Thailand)

Setelah keynote address, forum dilanjutkan dengan sesi pleno pertama yang membahas tentang Evidence From Systematic Review and Network Meta-Analysis: Evidence-Based Healthcare and Practice oleh Prof. Dr. Tippawan Liabsuetrakul. Pada pleno pertama, Tippawan menjelaskan tentang systematic review atau tinjauan sistematis merupakan kunci utama untuk sintesis penelitian pada pertanyaan sistematis dengan strategi pencarian komprehensif. Sementara network meta-analysis (NMA) merupakan metode statistik yang dikombinasikan dengan temuan studi individu. Berdasarkan observasi Tippawan, publikasi artikel terkait NMA dari 2002 hingga 2018 mengalami peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Namun, jumlah artikel NMA ini banyaknya dipublikasi dari negara maju atau institusi yang berada di negara maju. Kemudian, Tippawan juga menemukan bahwa ketersediaan artikel publikasi NMA dengan filter systematic review dari 1999 hingga 2024 terdapat 10.519 publikasi.

Tippawan juga memaparkan contoh dari penggunaan systematic review dan network meta-analysis pada penggunaan obat untuk penanganan preeclampsia. Kedua pendekatan dilakukan dengan menggunakan beberapa kata kunci seperti “prevention of preeclampsia,” “medications,” dan “meta-analysis” dengan menerapkan filter “systematic review”. Dari studi tersebut, Tippawan menyampaikan bahwa tidak ada satu evidence terkait pengobatan yang menjadi lebih unggul dari yang lain untuk penanganan preeclampsia. Bentuk pengobatan seperti antiplatelet, calcium dan antioxidants ditemukan lebih bermanfaat dari pada plasebo.

 

pgf2Plenary II

Topic: Post Covid Healthcare Reform in Indonesia
Speaker: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, PhD (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menjadi narasumber kedua pada 18th Postgraduate Forum on Health System and Policies. Laksono membahas reformasi sistem kesehatan di Indonesia pasca COVID-19. Pihaknya menyoroti tiga poin penting: sejarah reformasi kesehatan, pelayanan kesehatan era pandemi, dan kemajuan serta tantangan setelah UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berlaku. Reformasi politik tahun 1998 memperkuat undang-undang kesehatan, tetapi implementasinya belum optimal, terutama dalam hal sinergi antar undang-undang, reformasi SDM Kesehatan, layanan medis, dan layanan primer. Akibatnya, selama 20 tahun sebelum COVID-19, sistem kesehatan tidak efektif, efisien, dan adil, tercermin dari disparitas layanan, ketimpangan distribusi SDM kesehatan, dan ketimpangan klaim layanan BPJS Kesehatan.

Meskipun biaya klaim BPJS Kesehatan menurun selama pandemi, tantangan pembiayaan tetap ada. Segmen PBI selalu surplus, sementara segmen lain mengalami defisit, menunjukkan perbedaan akses layanan. Persentase belanja kesehatan dari GDP Indonesia masih rendah, dan peran pembiayaan swasta termarginalisasi. Pandemi COVID-19 memberikan tantangan besar, tetapi juga menjadi momentum bagi Kementerian Kesehatan untuk melakukan reformasi sistem kesehatan melalui Transformasi Kesehatan, yang diperkuat dengan UU Nomor 17 tahun 2023.

Undang-undang ini memperkuat posisi pemerintah dalam sinkronisasi dan koordinasi sektor lain terkait kesehatan. Tantangan ke depan meliputi penguatan layanan primer, perluasan layanan, peningkatan SDM Kesehatan, dan mengatasi tantangan pembiayaan. Kolaborasi dengan organisasi independen untuk memantau implementasi sistem kesehatan juga penting untuk memastikan keberhasilan reformasi kesehatan di Indonesia pasca pandemi.

Reporter: Agus Salim, MPH., Tri Muhartini, MPA., dan Candra, MPH

 

 

HARI 2

Rabu, 7 Agustus 2024

Plenary III

Topic: Public-Private Partnership as a Sustainable National Health Model
Speaker: Brig. Jen. Dr. Mohd Arshil Moideen (UPNM)

pgf9

Brig. Jen. Dr. Mohd. Arshil memulai sesinya dengan refleksi atas situasi masa COVID-19, di mana sistem kesehatan di Malaysia mengalami kolaps dan rumah sakit kesulitan untuk mengelola situasi, SDM, alat kesehatan dan obat-obatan untuk menangani pasien COVID-19. Hal ini berakibat pada kebutuhan untuk meninjau ulang sistem kesehatan yang dimiliki Malaysia. Hal pertama yang beliau soroti adalah rendahnya belanja kesehatan publik terhadap Total Health Expenditure, dan salah satu penyebabnya adalah rendahnya proporsi penduduk Malaysia yang membayar pajak pendapatan. Oleh karena itu pemerintah Malaysia menerapkan government service tax, karena GST merupakan skema pajak yang ‘fair’ terhadap orang kaya (yang asumsinya tentu saja mengkonsumsi lebih banyak hal). Dari sisi service delivery, misalnya, jumlah RS swasta di Malaysia (sekitar 200 RS) lebih banyak dari RS pemerintah (sekitar 147 RS) walau pun dalam hal tempat tidur, RS pemerintah jauh lebih besar (hampir 2,5 kali lipat).

Public Private Partnership (PPP) menjadi salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan karena akan ada efisiensi sumber daya, sharing biaya, sharing risiko, inovasi dan potensi untuk menyediakan layanan sesuai continuum of care yang lebih komprehensif dan berkualitas. Sektor swasta juga memungkinkan akses ke CaPex . Referensi-referensi dari WHO, World Bank, ADB, the Global Fund dan The Lancet telah menerbitkan berbagai evidence mengenai potensi keberhasilan PPP.

Namun, tantangan terbesar bagi PPP adalah: political will. Perlu dipastikan adanya penerimaan publik terhadap PPP untuk dapat meningkatkan kemauan politik untuk menginisiasi PPP. Selain itu, tentu saja diperlukan upaya dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang memungkinkan skema PPP, dan perhitungan investasi yang kompleks untuk menunjukkan viabilitas dari sisi ekonomi. Tentu saja kerangka regulasi perlu diupayakan.

Pembicara menjelaskan bagaimana RS di sektor militer dai Malaysia juga telah ada yg dibangun dengan mekanisme private finance initiative (PFI). Arshil menyarankan untuk menginisiasi PPP dalam skala kecil (misalnya di primary care) sebelum beranjak ke skala yang lebih besar (misalnya RS), karena dengan mencoba PPP dalam skala kecil maka kompleksitas dan tantangan yang dihadapi akan lebih kecil skalanya dan lebih memungkinkan untuk ‘berlatih’ menanganinya baik dari sisi komitmen politik, mekanisme service delivery, penerimaan masyarakat, maupun kemampuan ekonomi dan pembiayaannya.

 

Plenary IV

Topic: Health Financing reforms- includes Strategic Purchasing
Speaker: Prof. Dr. Supasit Pannarunothai (Centre for Health Equity Monitoring Foundation, Thailand)

pgf8

Reformasi pelayanan kesehatan adalah proses yang berkelanjutan dan memiliki banyak aspek yang melibatkan penerapan perubahan kebijakan untuk meningkatkan pemberian layanan kepada pasien, dari yang semula hanya mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi (A.L Cochrane, 1972), kemudian mempertimbangkan juga equity (DHSS, 1976). Selanjutnya, dari sisi manajerial, terdapat istilah managed competition dan internal market (AC Enthoven, 1985) untuk meningkatkan kualitas layanan. Selain itu, purchaser- provider split (PPS model) bertujuan untuk menyediakan layanan dalam perawatan kesehatan dimana pembayar pihak ketiga secara organisasi terpisah dari penyedia layanan. Ada pula monopsonistic power yang bertujuan untuk memengaruhi harga dan upah yang menguntungkan.

Supasit menjelaskan bahwa selama lebih dari 2 dekade sebelum adanya Universal Health Coverage (UHC) di Thailand, negara tersebut menghabiskan sekitar 6% dari Produk Domestik Bruto (GDP) untuk biaya kesehatan. UHC dari konteks Thailand digambarkan sebagai berikut pendanaan dari sektor pemerintah yang lebih besar dari swasta, mengandalkan pajak pendapatan/pengeluaran, penggunaan PPS model dan monopsonistic power. Tercapainya UHC ini dibuktikan salah satunya dengan kondisi ketahanan Puskesmas di Thailand yang sudah berjalan baik terutama saat terjadi pandemi COVID-19, termasuk di area pedesaan, justru di Bangkok dan kota besar lain, sistemnya hampir kolaps salah satunya akibat tingginya populasi. Dalam menciptakan reformasi pelayanan kesehatan diperlukan kemauan dan kekuatan dari segi politik agar perbaikan yang dirancang dapat dijalankan secara sah dan sistematis di suatu negara.

Reporter: Ester (PKMK UGM)

 

Panel Discussion

Topic: Healthcare Reform: Are We Really Serious?
Moderator: Assoc. Prof. Dato’ Dr Mohd Husni Jamal

Speaker:

  1. Professor Emeritus Dr. Syed Mohamed Aljunid (Malaysia)
  2. Prof. Dr. dr. Supasit Pannarunothai (Thailand)
  3. dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, PhD (Indonesia)

pgf7

Diskusi panel, sebagai sesi terakhir dari materi di PGF ke-18, mengangkat topik “Healthcare Reform: Are We Really Serious?”. Diskusi panel ini dimoderatori oleh Assoc. Prof. Dato’ Dr Mohd Husni Jamal dan diisi oleh Professor Emeritus Dr. Syed Mohamed Aljunid dari Malaysia, dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, PhD dari Indonesia, dan Prof. Dr. dr. Supasit Pannarunothai dari Thailand.

Diskusi dimulai dengan pertanyaan seberapa serius kita di dalam reformasi pelayanan kesehatan. Husni, selaku moderator, mengajukan pertanyaan kepada setiap narasumber. Tanggapan dimulai dari Aljunid dengan menampilkan beberapa paparan. Paparan berdasarkan The Health White Paper yang mengungkapkan 4 pilar terkait reformasi pelayanan kesehatan. Kemudian,Lutfan menanggapi bahwa reformasi ini sangat penting untuk dilakukan. Keseriusan ini ditampilkan dalam bentuk usaha yang sudah dilakukan terkait efektivitas dan efisiensi dari Kementerian Kesehatan. Hal ini terkait transformasi kesehatan, baik dari pelayanan, sumber daya, dan teknologi. Keseriusan tidak hanya dilakukan dari sisi kementerian, tetapi kolaborasi, seperti dengan akademisi. Terakhir, Supasit ikut menanggapi pertanyaan yang telah diajukan. Reformasi di Thailand saat ini bukanlah hal yang mendapat perhatian besar, tetapi beberapa hal sudah dilakukan, terutama terkait pembiayaan.

Husni bertanya kepada Aljunid, dari keempat pilar yang sudah disebutkan sebelumnya, pilar manakah yang menjadi prioritas. Aljunid menjawab bahwa hal tersebut sangat sulit untuk dijawab. Akan tetapi, berbicara tentang yang mudah dan mungkin untuk dicapai, dari keempat pilar itu adalah pilar 1. Ada sektor dari pilar 1 yang sulit untuk dilakukan, yaitu terkait public private partnership. Selain itu, pilar 1 juga membutuhkan pilar 3. Sedangkan, pilar 3 dan pilar 4 ini termasuk sangat sulit untuk dicapai. Political will adalah isu yang nyata untuk dapat menjadikan reformasi pelayanan kesehatan ini tercapai.

Husni menanyakan kepada Lutfan terkait apakah setuju dengan pernyataan bahwa antara public health dan primary care harus berjalan seimbang dan bagaimana hal tersebut dilakukan. Lutfan menanggapi bahwa hal tersebut tepat dinyatakan, terutama menyangkut 6 pilar yang terdapat di transformasi kesehatan. Teknologi saat ini dibutuhkan untuk meningkatkan primary care juga. Saat ini, sedang dilakukan penggunaan Rekam Medis Elektronik (RME). Husni kembali merespon bahwa terdapat banyak pembelajaran yang kita dapatkan dari era pandemi, termasuk peningkatan pelayanan primer.

Husni melanjutkan pertanyaan kepada Supasit mengenai efektivitas dokter kesehatan masyarakat di sistem kesehatan Thailand. Supasit menyatakan bahwa memang kurang memuaskan. Supasit cukup kritis terhadap mendukung penelitian terkait pelayanan primer di Thailand. Supasit belajar dari pandemi bahwa pelayanan primer perlu ditingkatkan dengan teknologi kesehatan juga. Apabila kita dapat menyeimbangkan pelayanan primer dengan literasi digital, dokter keluarga akan menjadi agen terbaik.

Husni kembali kepada Aljunid terkait seberapa serius menyampaikan kebutuhan reformasi kesehatan ini kepada pemerintah. Aljunid menyatakan bahwa masa ini adalah masa yang krusial bagi malaysia karena akan terjadi perubahan menteri. Kita perlu mendorong pemerintah untuk memulai drafting health financing act, sehingga kita dapat memperoleh komitmen yang jelas untuk reformasi kesehatan ini.

Husni menanyakan kepada Lutfan dan Supasit terkait seberapa jauh Kementerian Kesehatan berkecimpung dalam reformasi kesehatan. Lutfan menyampaikan bahwa implementasi sudah dilakukan berdasarkan data. Implementasi ini sudah dilakukan cukup baik oleh pihak-pihak di lapangan yang lebih dekat dengan situasi nyata. Supasit menambahkan terkait keuntungan kesehatan dan pembangunan single system yang perlu diperhatikan.

Diskusi panel diserahkan kepada peserta untuk ikut bertanya. Pertanyaan pertama disampaikan oleh Haryo dari Universitas Gadjah Mada. Haryo menyampaikan bahwa membandingkan sistem kesehatan di Malaysia dan Indonesia, Kementerian Kesehatan di Indonesia saat ini mengendalikan banyak hal yang sebelumnya bukan milik Kementerian Kesehatan, sehingga apa yang dapat kita pelajari dari sistem kesehatan di Malaysia? Aljunid menyebutkan bahwa ahli itu diperlukan untuk kebutuhan pekerjaan yang saat ini tampak banyak dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Selain kebutuhan ahli, diperlukan juga reorganisasi untuk melihat aspek-aspek apa yang dibutuhkan untuk mendukung pekerjaan di Kementerian Kesehatan. Pertanyaan kedua dari Tri menyampaikan terkait penelitian yang dilakukan universitas dan kebijakan yang dibuat oleh kementerian kesehatan. Aljunid menyebutkan bahwa di universitas kita mendorong untuk membuat publikasi. Apapun penelitian yang dilakukan dan dapat diakses oleh publik, Kementerian Kesehatan akan mencoba mempelajari hal tersebut. Terdapat juga conflict of interest. Pertanyaan ketiga, sebagai penutup diskusi panel hari ini, disampaikan oleh Prof. Tippawan. Sebagai akademisi, skenario apa yang dapat diusulkan terkait kebijakan kesehatan dan politik yang ada. Supasit menanggapi bahwa ini memang cukup sensitif melihat adanya menteri kesehatan yang baru. Lutfan sebagai akademisi ini bekerja sebagai independent. Tidak begitu mempertimbangkan apakah hasil ini nanti akan digunakan oleh kementerian kesehatan atau tidak. Akan tetapi, sangat mengharapkan bahwa kementerian kesehatan juga dapat mempertimbangkan proses implementasi apabila hasil yang diperoleh akademisi ini baik untuk diterapkan. Aljunid menyebutkan bahwa akademisi juga akan terbagi menjadi 2 kelompok. Akademisi ini memang independent dan kita perlu menentukan dengan jelas apa kepentingan kita. Jangan lupa bahwa kita juga perlu menjaga kesehatan masyarakat kita juga.

Reporter: Shita Dewi, Ester dan Sensa Gudya Sauma Syahra (PKMK UGM)

 

 

 

More Articles ...

  • Reportase Diseminasi Penelitian Sustainabilitas Pelayanan Kesehatan Esensial di Pandemi COVID-19
  • Reportase Webinar Implementation Research for Health System Equity Inclusion and Impact
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

jadwalbbc

oblbn

banner dask

review publikasi

maspkt


reg alert

Memahami tentang

  • Sistem Kesehatan
  • Kebijakan Keluarga Berencana
  • Health Policy Tool
  • Health System in Transition Report

Arsip Agenda

2022  2023  2024

2019  2020  2021

2018  2017  2016

2015  2014  2013

2012  

Facebook Page

Copyright © 2019 | Kebijakan Kesehatan Indonesia

  • Home
  • Tentang KKI
    • Visi & Misi
    • JKKI
    • Hubungi kami
  • publikasi
    • E-Book
    • Artikel
    • Hasil Penelitian
    • Pengukuhan
    • Arsip Pengantar
  • Policy Brief
  • Pelatihan
  • E-library