Reportase sesi 6

Laporan Sesi:
The Impact of Out-of-Pocket (OOP) Expenditures on Access
to Essential MNCH Services in Bangladesh and Opportunities
for Improving Coverage: Evidence from the ADB RETA-6515 Study

Chair: Patricia Moser (Asian Development Bank)


 

Abstrak 1: The Impact of Out-of-Pocket (OOP) Expenditures on Poverty and Inequalities in Use of Maternal and Child Health Services in Bangladesh.
(Chamara Anuranga, Institute for Health Policy – Sri Lanka)

Penelitian ini menganalisa tiga seri survei nasional Bangladesh Household Income and Expenditure Surveys dari tahun 2000-2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dampak pembayaran OOP terhadap kemiskinan dan kesenjangan dalam penggunaan layanan kesehatan ibu dan anak.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga miskin terhalang oleh biaya kesehatan, sehingga penggunaan layanan menjadi sangat rendah pada populasi ini. Kualitas tidak menjadi alasan mengapa keluarga miskin tidak menggunakan layanan kesehatan. Namun, bagi keluarga kaya yang tidak mempermasalahkan biaya kesehatan, faktor kualitas adalah penentu utama dalam penggunaan layanan kesehatan ibu dan anak.

Biaya yang tinggi ternyata mayoritas disebabkan oleh biaya obat. Untuk OOP, ternyata keluarga miskin tidak terlalu mengeluarkan biaya yang tinggi, tetapi keluarga kaya membayar lebih banyak untuk OOP. Implikasinya adalah program pemerintah yang menggratiskan biaya pengobatan menjadi tidak efektif dalam meningkatkan akses bagi keluarga miskin. Sehingga, ranah prioritas kebijakan harusnya ada di restrukturisasi pengadaan obat dan fasilitas kesehatan pemerintah.
 

Abstrak 2: Out-of-pocket Payments by Patients at Ministry of Health and Family Welfare Facilities in Bangladesh and the Impact of the Maternal Voucher Scheme on Costs and Access of Mothers and Children.
(Tahmina Begum, Institute for Health Policy – Sri Lanka)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak pengeluaran OOP terhadap penggunaan layanan kesehatan publik ibu dan anak dan efek dari program voucher yang telah diperkenalkan oleh pemerintah Bangladesh.

Penelitian ini berkesimpulan bahwa: (1) voucher tetap akan lebih digunakan oleh populasi kaya, tetapi (2) kesenjangan lalu akan menurun dan penggunaan voucher akhirnya juga turut dinikmati secara merata oleh populasi miskin. Namun, (3) ternyata voucher ini tidak mampu menurunkan angka OOP yang harus dikeluarkan oleh ibu dan anak yang menggunakan layanan kesehatan publik.

Abstrak 3: Changes in the operating performance and efficiency of MOHFW facilities in Bangladesh during 1997-2010, and the implications for financing expansions in coverage of MNCH services.
(Ravindra Rannan-Eliya, Institute for Health Policy – Sri Lanka).

Penelitian ini menggunakan Facility Efficiency Survey (FES) dari Bangladesh dan bertujuan untuk melihat apakah ada peningkatan efisiensi dari tahun 1997-2010 di fasilitas kesehatan publik Bangladesh.

Penelitian ini menunjukkan bahwa total penggunaan meningkat tinggi, di mana terdapat lebih banyak pasien, baik dari golongan miskin maupun kaya. Dan yang menariknya adalah, kualitas (yang dinilai dari tingkat mortalitas) juga membaik.

 

relevansi  Relevansi Untuk Indonesia

Ternyata economics of scale berlaku di bidang efisiensi pelayanan kesehatan. Semakin banyak populasi yang dapat menjangkau dan menggunakan fasilitas kesehatan, maka semakin efisien biaya fasilitas kesehatan tersebut. Kualitas dan efisiensi ini juga didukung oleh meningkatnya teknologi kesehatan yang digunakan di fasilitas. Misalnya, pada tahun 1997, layanan primer tidak mampu melayani operasi caesar. Namun, pada tahun 2010, fasilitas primer yang mampu melayani operasi caesar meningkat. Dan hal ini meningkatkan efisiensi biaya per pasien serta menurunkan angka kematian di fasilitas kesehatan tersebut.

Implikasinya adalah, perbaikan akses dan investasi di sisi population demand akan turut meningkatkan tidak hanya efisiensi, tapi juga kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan.

Penulis: Tiara Marthias

 

Reportase Sesi 5



Laporan Sesi: Role of Universal Coverage in Maternal Care

iHEA Symposia, 8 July 2013

 

 


SESI 1: Maternal Health Care Utilization in Indonesia: Regional Economic Status and the Inequalities
(Tiara Marthias, Universitas Gadjah Mada – Indonesia)


Penelitian ini ditulis oleh salah satu peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.

Tiara Marthias (PKMK FK UGM) saat memaparkan presentasi dalam Kongres Internasional IHEA ke-9, Senin (8/7/2013). Latar belakang studi ini adalah masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia dan begitu senjangnya (inequality) dalam penggunaan layanan kesehatan ibu yang penting dalam menentukan outcome kehamilan dan persalinan. Layanan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan terlatih.

Studi ini bertujuan untuk: (1) mengkuantifikasi kesenjangan atau inequality di Indonesia dalam penggunaan layanan tenaga kesehatan terlatih saat persalinan, membandingkan antar tingkat kekayaan yang berbeda di populasi, (2) menentukan faktor sosioekonomik apa saja yang ikut berpengaruh terhadap kesenjangan tersebut, serta (3) melihat hubungan antara status kesejahteraan manusia (dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia).

Hasil temuan dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan dalam penggunaan layanan tenaga kesehatan terlatih saat bersalin antar tingkat kekayaan yang berbeda. Di mana, populasi kaya menggunakan lebih banyak layanan ini dibandingkan populasi miskin. Kesenjangan ini juga berbeda-beda antar wilayah, di mana daerah perkotaan di Jawa dan Bali adalah yang paling senjang, sementara perkotaan di Indonesia timur sebagai yang paling tidak senjang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan ini termasuk tingkat pendidikan ibu, antenatal care, dan perbedaan wilayah tepat tinggal. Indeks Pembangunan Manusia berhubugan erat dengan penggunaan palayanan kesehatan ibu, di mana provinsi dengan IPM yang tinggi memiliki cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang juga lebih tinggi. Namun, ternyata ditemukan bahwa kapasitas fiskal suatu provinsi tidak berhubungan dengan penggunaan layanan tenaga kesehatan saat bersalin.

Untuk itu, Indonesia membutuhkan suatu intervensi bersifat lintas sektoral yang bisa mengatasi penyebab kesenjangan dalam utilisasi kesehatan, dan memperbaiki taraf hidup manusia secara umum. Sebagai tambahan penting, penggunaan dana di daerah saat ini tidak digunakan secara efektif untuk memperbaiki bidan kesehatan, sehingga perencanaan dan penganggaran kesehatan di daerah perlu juga diperbaiki.

SESI 2: Effects of Ghana's National Health Insurance Scheme on Maternal Health Service Utilization and Child Survival One Year After Birth.
(Young Kyung Do, DUKE-NUS Graduate Medical School – Singapore)


Ghana merupakan negara di Afrika yang pertama kali menetapkan sistem asuransi nasional. Namun, masih sedikit bukti yang bisa menunjukkan efektivitas sistem asuransi ini di level populasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana efek sistem asuransi ini setelah berjalan selama 10 tahun di Ghana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata sistem asuransi ini hanya meningkatkan penggunaan layanan kesehatan ibu dan anak, yaitu persalinan di fasilitas kesehatan dan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih. Dengan adanya asuransi ini, kemungkinan seorang ibu menggunakan fasilitas kesehatan untuk bersalin meningkat sebesar 8-12%. Namun, asuransi ini tidak meningkatkan penggunaan layanan lainnya, termasuk antenatal care dan pelayanan untuk penyakit pada anak.

 

SESI 3: Maternal health care services and universal access: the case of Ghana.
(John Ataguba, Ghana Health Service – Ghana)


Penelitian ini juga dari negara Ghana, dan bertujuan untuk meneliti distribusi penggunaan layanan kesehatan ibu antar populasi dengan status ekonomi yang berbeda-beda.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan layanan antenatal ternyata lebih banyak digunakan oleh populasi kaya (kuintil terkaya), sementara kuintil termiskin hanya menggunakan 11.9% layanan antenatal tersebut.

Di level pelayanan kesehatan dasar, hasil serupa ditemukan, yaitu dua kuintil termiskin tetap merupakan populasi yang paling sedikit menggunakan layanan kesehatan ibu.

Penelitian ini berimplikasi pada kenyataan dibutuhkannya intervensi khusus yang dapat mencapai semua populasi, terutama populasi miskin yang rawan bahaya masalah kesehatan ibu dan reproduksi.

 

SESI 4: Equity in universal healthcare: An analysis of the use of maternal and child health programs to introduce universal coverage.
(Nicholas Fancourt, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health – United States)


Presentasi terakhir dari sesi ini merupakan hasil pengamatan yang unik, karena merupakan penelitian dari sisi etika kesehatan dalam cakupan layanan kesehatan ibu dan anak.
Peneliti menegaskan bahwa dalam mencapai universal health coverage, semua layanan atau intervensi di bidang kesehatan masyarakat perlu melihat lagi universalisme cakupan tersebut.

Satu penegasan lagi merupakan sisi ekuitas atau pemerataan yang telah terbukti sulit dicapai, walaupun suatu negara memiliki UHC, karena sisi supply yang sering mendapat investasi yang rendah. Terakhir adalah bahwa UHC di negara berkembang juga harus mulai memikirkan dampak cakupan asuransi untuk penyakit di luar kesehatan ibu dan anak, atau MDG's ke-4 dan ke-5, tapi juga penyakit-penyakit tidak menular yang prevalensinya semakin meningkat.

 

Pengantar Selasa 9 juli

Laporan dari Kongres Dunia ke-9

International Health Economics Association (iHEA)

Sydney, 9 Juli 2013

 

Laporan Pengantar Kongres:

Pada hari Selasa, 9 Juli 2013 ada lebih dari 60 sesi ilmiah menarik yang terbagi menjadi 5 sesi dan 12 ruangan. Peserta dari PKMK FK UGM telah memilih beberapa topik menarik sesuai dengan konteks terkini yang bisa diterapkan dalam kebijakan kesehatan di Indonesia. Untuk hari ke-3 ini, peserta yang terlibat dalam reportase pembahasan dan diskusi kongres dunia Ekonomi Kesehatan ini adalah:

  1. Prof. Laksono Trisnantoro,
  2. Yuni Komang Rahyani, dengan topik Conceptualizing and Measuring Progress to Universal Health Coverage Goals (Sesi 7, pukul 10.15 - 11.30)
  3. Siti Mafsiah, dengan topik Economic Prevention (Sesi 9, pukul 15.45 - 17.00)
  4. Prof. Alimin dan Deni Harbianto, dengan topik Program Evaluation (Sesi 8.2, 11.45 - 13.00)
  5. Deni Harbianto dengan topik Delivering Aid for Health (Sesi 8.1 , pukul 10.15 - 11.30)
  6. dr. Tiara Marthias, dengan topik The Impact of Out-of-Pocket Expenditures on Access to Essential MNCH Services in Bangladesh and Opportunities for Improving Coverage: Evidence from the ADB RETA-6515 Study (Sesi 6, pukul 8.30 – 09.45)

Selain itu juga terdapat 3 pleno siang dan 1 pleno sore yang sangat menarik untuk diikuti yaitu;

  1. Uncertainty and the Welfare Economics of Medical Care: Kenneth Arrow 50Years On, direportasekan oleh Prof Alimin, Yuni Rahyani dan Heni Wahyuni
  2. Single-Payer Systems in a Multi-Payer World: Is There a Role for Parallel Private Finance?, direportasekan oleh Deni Harbianto, Tiara Marthias dan Siti Mafsiah.
  3. Perzonalized Medicine, Orphan Disease Drugs and the Future of Health Economics, direportasekan oleh Prof. Laksono Trisnantoro. Health system Efficiency: What Can Health Economists Contribute?, direpotasekan oleh Prof Laksono, dan Deni Harbianto

Pengantar Rabu 10 Juli

Laporan dari Kongres Dunia ke-9

International Health Economics Association (iHEA)di Sydney,

Tanggal 10 Juli, 2013

 

Laporan Pengantar Kongres:

Pada hari Rabu 10 Juli 2013 peserta dari PKMK FK UGM kembali telah memilih beberapa topic menarik sesuai dengan kontes terkini yang bisa diterapkan dalam kebijakan kesehatan di Indonesia. Untuk hari ke-4 ini, peserta yang terlibat dalam reportase pembahasan dan diskusi kongres dunia Ekonomi Kesehatan ini adalah;

  1. Prof. Laksono Trisnantoro, dengan topic; Network in Health Economics (Sesi pukul 10.15 -11.30)
  2. Ni Komang Yuni Rahyani, dengan topik Measuring Universal Health Coverage: Health Service Utilization and the Financial Burden of Health Payments in Asia (Sesi pukul 8.30 sampai dengan 9.45)
  3. Siti Mafsiah, dengan topik Utilization in Health (Sesi pukul 11.45 sampai dengan 13.00)
  4. Prof. Alimin, dengan topik Financial Incentives in Health (Sesi 11.45 sampai 13.00)
  5. Deni Harbianto dengan topik Health Care Utilizations (Sesi pukul 15.45 sampai dengan 17.00)
  6. dr Tiara Marthias, dengan topik (Sesi , pukul 8.30 – 09.45)

Selain itu juga hari ini ada 1 pleno sore penutupan kongres yang tidak kalah menariknya untuk bisa diikuti yaitu;

Worms at Work: Public Finance Implications of a Child Health Investment. Dipresentasikan oleh Michael Kremer, Gates University of Developing Societes, dari Harvard University. Akan di reportasekan oleh Tiara Marthias.

Pengantar 8 juli

Laporan dari Kongres Dunia ke-9

International Health Economics Association (iHEA)

Sydney, 8 Juli 2013

 

Laporan Pengantar Kongres:

Pada hari Senin, 8 Juli 2013 ada hampir 70 sesi ilmiah menarik yang terbagi menjadi 5 sesi dan 14 ruangan. Peserta dari PKMK FK UGM telah memilih beberapa topik menarik sesuai dengan konteks terkini yang bisa diterapkan dalam kebijakan kesehatan di Indonesia. Adapun peserta yang terlibat dalam reportase diskusi di hari kedua kongres dunia Ekonomi Kesehatan ini adalah:

  1. Prof. Laksono Trisnantoro, dengan topik Bringing Evidence to Decision-Makers (Sesi 1.1, pukul 8.30 - 9.45)
  2. Yuni Komang Rahyani, dengan topik Value for Money in Women and Child Health (Sesi 1.2, pukul 8.30 - 9.45)
  3. Siti Mafsiah, dengan topik Alternative Mechanism for Improving Maternal and Child Health (Sesi 2.1, pukul 10.15 - 11.30)
  4. dr. Andreasta Meliala, dengan topik Physician Payment (Sesi 2.2, 10.15 - 11.30)
  5. Deni Harbianto dengan topik Government Financing for Health Care (Sesi 3, pukul 11.45 - 13.00) dan Projecting Expenditure (Sesi 4, pukul 13.45 - 14.00)
  6. dr. Tiara Marthias, dengan topik Role of Universal Coverage in Maternal Care (Sesi 5, pukul 15.45 - 17.00)

Bagi pembaca yang ingin membaca lebih lanjut mengenai hasil reportase penyajian abstrak dan relevansinya untuk kebijakan kesehatan di Indonesia, silahkan 

Reportase sesi 4



 

Session Title: Projecting Expenditure

Chair: Bronwyn Croxson (Ministry of Health)

 


Silahkan simak abstrak dan hasil reportase paper yang dipresentasikan dalam sesi ini (di bawah ini).

SESI 1: Is population ageing really dwarfed by advances in medical technology as a driver of healthcare expenditure? Evidence from the Swiss case
Presenter: Carsten Colombier (Federal Finance Administration. Economic Analysis and Policy Advice)


Abstract:

In OECD countries such as in Switzerland healthcare expenditure have outpaced GDP growth over decades, which has lead to an ever-increasing ratio of healthcare expenditure to GDP. In Switzerland this ratio has increased from 4.8 percent to 10.7 percent between 1960 and 2008. This means that Switzerland has the third most expensive healthcare system as a proportion of GDP, behind only the USA (16.4 percent) and France (11.1 percent). Apart from rising demand for healthcare services advances in medical technology are viewed as the most important driver of this development. A widely held view is that due to the coming population ageing the growth of healthcare expenditure as percentage of GDP will be accelerated as healthcare expenditure increases with age and a declining labour force will slow down GDP growth (e.g. Westerhout, 2006). However, recently some authors come to the conclusion that population ageing plays only a minor role in explaining ever-increasing healthcare expenditure and that the most single-important cost driver is advances in medical technology (Breyer, Felder, Costa-i-Font, 2011). This present paper contributes to this debate by providing evidence that both population ageing and advances in medical technology are important drivers of healthcare expenditure. In order to test the importance of population ageing and advances in medical technology as drivers of healthcare expenditure we choose a twofold approach. First, we carry out regressions on the determinants of Swiss healthcare expenditure for the period from 1960 to 2009. For this we apply a single-equation error correction model since healthcare expenditure are not stationary. As proxies for advances in medical technology we use a time trend, the mortality rate and the proportion of GDP accounted for R&D expenditure in the US. Second, using an age-cohort-approach we project Swiss healthcare expenditure from 2009 to 2060. Our estimations confirm that apart from GDP per capita advances in medical technology have been a key driver of Swiss healthcare expenditure. However, the present estimations also show that advances in medical technology and population ageing are interrelated. This is in line with the results of a micro-simulation study for France (Dormont and Huber, 2006). This suggests that an ageing population provides an incentive for the healthcare industry to promote medical innovations that are targeted at the elderly. Thus, population ageing does not only exert an impact on the demand side but also on the supply side. Moreover, the projections of Swiss healthcare expenditure indicate that at least at about half of the increase in healthcare expenditure (excluding long-term care) is due to non-demographic drivers such as advances in medical technology. However, from the evidence of the Swiss case it cannot be inferred that population ageing is less crucial than advances in medical technology as a driver of healthcare expenditure. Consequently, policy-makers should focus neither on population ageing nor on advances in medical technology alone to mitigate the cost pressure on public budgets caused by healthcare expenditure.

Di negara-negara OECD seperti di Swiss pengeluaran kesehatan telah melampaui pertumbuhan PDB selama beberapa dekade, dan telah menyebabkan rasio yang terus meningkat untuk pengeluaran kesehatan terhadap PDB. Di Swiss rasio ini telah meningkat dari 4,8% menjadi 10,7% antara tahun 1960 dan 2008. Ini berarti bahwa Swiss memiliki sistem kesehatan yang paling mahal ketiga dilihat dari proporsi dari PDB, di belakang hanya Amerika Serikat (16,4 persen) dan Perancis (11,1 persen). Terlepas dari meningkatnya permintaan untuk layanan kesehatan, kemajuan dalam teknologi medis dipandang sebagai aktor yang paling penting dari perkembangan ini.

Sebuah pandangan umum adalah bahwa populasi kaum tua dimasa akan datang akan meningkatkan pengeluaran kesehatan. Namun, baru-baru ini beberapa penulis berkesimpulan bahwa penuaan populasi hanya memainkan peran kecil dalam menjelaskan pengeluaran kesehatan yang semakin meningkat dan bahwa adanya pendorong biaya yang paling penting adalah kemajuan teknologi medis (Breyer, Felder, Costa-i-Font 2011). Makalah ini menyajikan kontribusi untuk perdebatan ini dengan menyediakan bukti bahwa komposisi penduduk tua dan kemajuan teknologi medis adalah faktor pendorong penting dalam pengeluaran kesehatan. Untuk menguji pentingnya penuaan penduduk dan kemajuan teknologi medis sebagai pemicu pengeluaran kesehatan kita memilih pendekatan ganda. Pertama, kita melaksanakan regresi mengenai penentu pengeluaran kesehatan Swiss untuk periode 1960-2009. Untuk ini kita menerapkan model kesalahan koreksi-persamaan tunggal karena pengeluaran kesehatan yang tidak stasioner. Sebagai proxy untuk kemajuan teknologi medis kita menggunakan tren waktu, tingkat kematian dan proporsi PDB menyumbang pengeluaran R&D di Amerika Serikat. Kedua, menggunakan kelompok usia-pendekatan kita memproyeksikan pengeluaran kesehatan Swiss 2009-2060. Estimasi kami mengkonfirmasi bahwa selain dari PDB per kapita kemajuan dalam teknologi medis telah menjadi pendorong utama pengeluaran kesehatan Swiss. Namun, estimasi ini juga menunjukkan bahwa kemajuan teknologi medis dan penuaan populasi saling terkait. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian mikro-simulasi untuk Perancis (Dormont dan Huber, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa populasi yang menua memberikan insentif bagi industri kesehatan untuk mempromosikan inovasi medis yang ditargetkan pada orang tua. Dengan demikian, penuaan populasi tidak hanya berdampak pada sisi permintaan, tetapi juga pada sisi penawaran. Selain itu, proyeksi pengeluaran kesehatan Swiss menunjukkan bahwa setidaknya pada sekitar setengah dari peningkatan belanja kesehatan (termasuk perawatan jangka panjang) adalah karena pemicu non-demografis seperti kemajuan teknologi medis. Namun, dari bukti kasus Swiss itu tidak dapat disimpulkan bahwa penuaan populasi kurang penting daripada kemajuan teknologi medis sebagai penggerak pengeluaran kesehatan. Akibatnya, para pembuat kebijakan harus fokus baik pada penuaan populasi maupun di kemajuan teknologi medis untuk mengurangi tekanan biaya pada anggaran publik yang disebabkan oleh pengeluaran kesehatan.

 

SESI 2: Projecting healthcare expenditures using time-to-death: Implications for Medical Savings Accounts
Presenter: Wei Ting Teo (Ministry of Health. Policy Research & Economics Office)


 Abstract:

Rapid population aging in many developed countries has made the accurate projection of healthcare expenditures more important than ever for policy planning purposes. In Singapore, such projections are required to size contributions for the mandatory Medical Savings Accounts-- Medisave. Projections of healthcare expenditures have traditionally controlled for age but not for end-of-life expenditures. In recent years, researchers have started utilising projection models that account for end-of-life expenditures as the uneven spread of healthcare expenditures over the lifecycle has been increasingly recognised as an important feature of the evolution of healthcare expenditures over the lifecycle. In this paper, we explore and compare projections of healthcare expenditures incurred post age 65 in Singapore using two different models: (i) a traditional hypothetical representative individual model that controls for age but not for end-of-life expenditures; and (ii) a longitudinal death-cohort based model that controls for both age and end-of-life expenditures. We find that the average projected post 65 healthcare expenditure is 6% higher when we do not control for end-of-life expenditures. This is in keeping with the existing literature that suggests that projections that do not account for end-of-life expenditures are biased upwards. We also find that mean and variance of expenditures incurred during the last year of life declines with age at death for individuals who died at ages 65 and above. We discuss the implications of these findings for Medisave design.

Populasi yang cepat menua di banyak negara maju telah membuat proyeksi akurat pengeluaran kesehatan lebih penting daripada sebelumnya untuk tujuan perencanaan kebijakan. Di Singapura, proyeksi seperti itu diperlukan untuk ukuran kontribusi untuk wajib Medis Tabungan - Medisave. Proyeksi pengeluaran kesehatan secara tradisional dikendalikan untuk usia tetapi tidak untuk belanja akhir-hidup. Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti telah mulai menggunakan model proyeksi bahwa account untuk belanja akhir-hidup sebagai penyebaran yang tidak merata pengeluaran kesehatan selama siklus hidup telah semakin diakui sebagai fitur penting dari evolusi pengeluaran kesehatan selama siklus hidup. Dalam tulisan ini, kita mengeksplorasi dan membandingkan proyeksi pengeluaran kesehatan yang timbul pasca usia 65 di Singapura menggunakan dua model yang berbeda: (i) model individu perwakilan hipotetis tradisional yang mengontrol untuk usia tetapi tidak untuk belanja akhir-hidup, dan (ii) model kematian kohort berbasis longitudinal yang mengontrol untuk usia dan pengeluaran end-of-hidup. Kami menemukan bahwa diproyeksikan setelah usia 65 tahun pengeluaran kesehatan rata-rata 6 persen lebih tinggi ketika kita tidak mengontrol pengeluaran end-of-hidup. Hal ini sesuai dengan literatur yang ada yang menunjukkan bahwa proyeksi yang tidak memperhitungkan pengeluaran end-of-kehidupan yang bias ke atas. Kami juga menemukan bahwa rata-rata dan varians berbagai pengeluaran selama setahun terakhir menurun bagi individu yang meninggal pada usia 65 dan di atas. Kami membahas implikasi dari temuan ini untuk desain Medisave.

 

SESI 3: Decomposing Medical-Care Expenditure Growth
Presenter: Abe Dunn (US Bureau of Economic Analysis. Department of Commerce)


 Abstract:

Medical-care expenditures have been rising rapidly, accounting for almost one-fifth of GDP in 2009. Despite the substantial expenditures on medical care in the United States, many gaps remain in our understanding of the sources of expenditure growth. Current national statistics that track spending by service category (for example, physicians, hospitals and prescription drugs) do not convey information about spending for specific disease categories. To fill this void, academics and policy makers have advocated for more detailed statistics on health-care expenditures centered around the ultimate goal: disease treatment (see Berndt et al. (2000) and Accounting for Health and Health Care (2010)). Additional information on disease spending may provide greater insight into how to contain and efficiently manage health-care expenditure growth. The aim of this study is to comprehensively assess the sources of medical-care expenditure growth. We employ a novel framework for decomposing expenditure growth into four components at the disease level: service price growth, service utilization growth, treated disease prevalence growth, and demographic shift. Analyzing each of these factors within a single framework allows for a simple and tractable way of comparing the various contributors to medical-care expenditure growth. We track and dissect these key components of medical-care expenditure growth for the years 2003 to 2007 for the commercial sector using a rich claims database from MarketScan. The decomposition shows that growth in prices and treated prevalence are the primary drivers of medical-care expenditure growth over the 2003 to 2007 period. There was no growth in service utilization at the aggregate level over this period. The three largest contributors to expenditure growth are the medical practice categories of orthopedics, gastroenterology, and endocrinology. These practice categories represented 33 percent of expenditures in 2003 but made up 40 percent of expenditure growth between 2003 and 2007. Each of these practice categories had large growth in service prices and the prevalence of treated disease. The major practice category with the largest expenditure growth was preventive and administrative services, which grew 64 percent over the sample period. On the flip side, cardiology made up 12 percent of 2003 expenditures but accounted for less than 8 percent of the share in expenditure growth. This relatively slow rise in expenditure per capita for cardiology services is attributable to a decline in the prevalence of heart disease but also to a decrease in service utilization. Our decomposition shows that the decline in service utilization was driven by a shift from inpatient to outpatient services and from brand to generic drugs. These shifts may be indicative of greater efficiency, since fewer resources are necessary to treat each episode. The shifts are reflected in lower disease price growth relative to the service price index, which holds utilization constant. This finding is consistent with the work of Cutler et al. (1998), who find that a price index that allows for greater substitution across services leads to lower price growth for the case of heart attack treatments.

Pengeluaran perawatan medis telah meningkat pesat, akuntansi selama hampir seperlima dari PDB pada tahun 2009. Meskipun pengeluaran besar pada perawatan medis di Amerika Serikat, banyak kesenjangan tetap dalam pemahaman kita tentang sumber pertumbuhan pengeluaran. Statistik nasional saat ini yang melacak pengeluaran berdasarkan kategori layanan (misalnya, dokter, rumah sakit dan obat resep) tidak menyampaikan informasi mengenai pengeluaran untuk kategori penyakit tertentu. Untuk mengisi kekosongan ini, akademisi dan pembuat kebijakan telah menganjurkan untuk statistik yang lebih rinci tentang pengeluaran kesehatan yang berpusat di sekitar tujuan utama: pengobatan penyakit (lihat Berndt et al (2000) dan Akuntansi Kesehatan dan Kesehatan (2010).). Informasi tambahan tentang belanja penyakit dapat memberikan wawasan yang lebih besar bagaimana mengandung dan efisien mengelola pertumbuhan pengeluaran perawatan kesehatan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk secara komprehensif menilai sumber-sumber pertumbuhan pengeluaran perawatan medis. Kami menggunakan pendekatan baru untuk menguraikan pertumbuhan pengeluaran menjadi empat komponen pada tingkat penyakit: Pertumbuhan harga layanan, pertumbuhan pemanfaatan layanan, diperlakukan pertumbuhan prevalensi penyakit, dan pergeseran demografis. Menganalisis masing-masing faktor dalam kerangka tunggal memungkinkan untuk cara yang sederhana dan penurut membandingkan berbagai kontributor pertumbuhan pengeluaran perawatan medis. Kami melacak dan membedah komponen utama pertumbuhan pengeluaran perawatan medis untuk tahun 2003-2007 untuk sektor komersial menggunakan database klaim kaya dari MarketScan. Dekomposisi menunjukkan bahwa pertumbuhan harga dan prevalensi diobati adalah pendorong utama pertumbuhan pengeluaran perawatan medis selama periode 2003 hingga 2007. Tidak ada pertumbuhan dalam pemanfaatan layanan pada tingkat agregat selama periode ini. Tiga kontributor terbesar pada pertumbuhan pengeluaran adalah kategori praktek medis ortopedi, gastroenterologi, dan endokrinologi. Kategori-kategori praktik mewakili 33 persen dari pengeluaran pada tahun 2003 tetapi terdiri 40 persen dari pertumbuhan belanja antara tahun 2003 dan 2007. Masing-masing kategori praktik memiliki pertumbuhan besar dalam harga layanan dan prevalensi penyakit diobati. Kategori praktik utama dengan pertumbuhan pengeluaran terbesar adalah layanan pencegahan dan administrasi, yang tumbuh 64 persen selama periode sampel. Di sisi lain, kardiologi terdiri 12 persen dari 2003 pengeluaran tetapi menyumbang kurang dari 8 persen pangsa pertumbuhan pengeluaran. Ini kenaikan yang relatif lambat dalam pengeluaran per kapita untuk layanan kardiologi disebabkan penurunan prevalensi penyakit jantung, tetapi juga untuk penurunan pemanfaatan pelayanan. Dekomposisi kami menunjukkan bahwa penurunan pemanfaatan layanan ini didorong oleh pergeseran dari rawat inap ke layanan rawat jalan dan dari merek ke obat generik. Pergeseran ini mungkin menunjukkan efisiensi yang lebih besar, karena lebih sedikit sumber daya yang diperlukan untuk mengobati setiap episode. Pergeseran yang tercermin dalam pertumbuhan harga penyakit yang lebih rendah relatif terhadap indeks harga layanan, yang memegang pemanfaatan konstan. Temuan ini konsisten dengan Cutler et al. (1998), yang menemukan bahwa indeks harga yang memungkinkan untuk substitusi lebih besar di seluruh layanan mengarah untuk menurunkan pertumbuhan harga untuk kasus perawatan serangan jantung.

Reportase sesi 3

 

sydney-icon

Laporan sesi: Government Financing for Health Care

Richard De Abreu Lourenco (CHERE)

 


Ada beberapa paper yang disajikan dalam sesi ini, silahkan simak abstrak dan hasil reportasenya di bawah ini:

Plenty amidst scarcity: The case of Samoa, Tonga and Vanuatu
Presenter: Ian Anderson (World Bank. East Asia Human Development)


 Abstract:

This presentation will show the significant health financing challenges-especially issues of affordability and allocative efficiency of public expenditure-in Samoa, Tonga and Vanuatu as representative case studies from the Pacific. The Pacific Islands face several health challenges. Communicable diseases are still important: malaria is still a concern and rates of sexually transmitted infections are high and rising. Access to family planning is often poor. Undernutrition, including stunting, is a problem. Yet at the same time Non-Communicable Diseases (NCDs)–especially heart disease and diabetes-are increasingly prevalent accounting for 70 percent or more of all adult deaths. At least one quarter of NCD deaths are premature

Presentasi ini menunjukkan tantangan yang signifikan dalam hal pembiayaan kesehatan-terutama masalah keterjangkauan dan efisiensi alokasi belanja publik-di Samoa, Tonga dan Vanuatu sebagai studi kasus kawasan Pasifik. Kepulauan Pasifik menghadapi beberapa tantangan kesehatan. Penyakit menular masih menjadi penyakit penting: malaria masih menjadi penyakit utama dan tingkat infeksi menular seksual yang tinggi dan selalu meningkat. Akses pelayanan keluarga berencana sangat rendah.

Gizi juga tidak menjadi perhatian utama pemerintah. Namun pada saat yang sama Penyakit Tidak Menular (NCD)-terutama penyakit jantung dan diabetes-yang semakin tinggi prevalensinya, yaitu lebih dari 70 persen penyebab kematian orang dewasa. Penyakit jantung juga merupakan penyebab 25 persen dari kematian usia dibawah 60, di Tonga, Samoa dan Vanuatu. Usia Harapan Hidup sebenarnya turun di Tonga akibat NCD. Dalam empat negara Pasifik tersebut setidaknya setengah populasi orang dewasa mengalami obesitas. Gaya hidup tidak sehat dan penggunaan tembakau juga menjadi faktor pendorong munculnya NCD. Hanya 5 persen orang dewasa di Vanuatu tidak memiliki faktor risiko untuk terkena NCD. Kombinasi dari agenda yang belum selesai antara penyakit menular, gizi ibu dan tantangan dengan munculnya NCD telah memberikan tekanan nyata pada pembiayaan kesehatan.

Meningkatnya anggaran kesehatan juga memiliki implikasi fiskal dan ekonomi makro yang lebih luas. Selama ini Pemerintah Vanuatu, Samoa, dan Tonga, didukung oleh mitra pembangunan mereka, sebesar hampir 90 persen, 87 persen dan 81 persen dari total belanja pada kesehatan masing-masing pada tahun 2010. Selain itu ada keterbatasan ruang lingkup fiskal untuk meningkatkan pengeluaran pembiayaan kesehatan kesehatan. Pertumbuhan ekonomi lamban, atau rentan terhadap guncangan eksternal. Sektor formal yang relatif kecil di pulau membatasi ruang lingkup untuk asuransi kesehatan sosial dan pajak penghasilan. Sektor kesehatan, didukung oleh donor.

Negara-negara memiliki akses yang baik ke mitra pembangunan pembiayaan konsesional bilateral dan multilateral, tetapi ada batas keuangan dan kebijakan untuk mengandalkan itu. Oleh karena itu kunci untuk pembiayaan kesehatan yang terjangkau dan berkelanjutan adalah peningkatan efisiensi teknis dan alokatif: membuat lebih baik menggunakan sumber daya yang ada kesehatan. Investasi lebih dalam pencegahan primer dan sekunder, termasuk di daerah pedesaan dan terpencil, adalah investasi yang sangat sehat.

 

Determinants of Health Care Spending Growth in a Government-Funded Medical Assistance Program: Evidence from South Korea
Presenter: Hyun-Woung Shin (Korea Institute for Health and Social Affairs. Health Security Research Division)


 Abstract:

korean-childMedical Aid program of South Korea has played a pivotal role in providing medical assistance to the nation's extremely vulnerable populations for more than three decades. Recently, however, Medical Aid expenditures doubled between 2002 and 2006. In 2010, Medical Aid budget crunches led to unreimbursed claims. The unpaid charges are expected to accrue further in future years. Study Aims: To empirically examine recent trends in potential cost drivers and their impacts on the growth of Medical Aid expenditures. Methods: Our data contain observations for 32 quarters from 2003 to 2010 for all 16 geographical regions in South Korea (N=512). We examine region-specific quarterly per-capita Medical Aid spending, separately for inpatient services, outpatient services, and prescription drugs. Potential determinants of health expenditures are grouped into two categories. Demand-side cost drivers include changes in profiles of age, sex and disease types as well as effective population size. Supply-side factors consist of per-capita stocks of hospitals, clinics and pharmacies as well as doctors and pharmacists. We include per-capita income to capture income effects on health services use driven by either consumers or providers. We estimate a time-series cross-section data model to determine whether, and to what extent, each of the potential cost drivers has a statistically and economically significant effect on the program's health expenditures. We estimate two-way fixed-effect models, in which region and year-quarter fixed-effects are included to control for region heterogeneity and unspecified temporal effects, respectively. Seasonal effects are modeled by quarter dummies. All models are adjusted for panel heteroskedasticity, contemporaneous correlation, and first-order autoregressive process, all of which are present in our data. Results: Findings on inpatient spending show that 13.6 percent increase in the proportion of disabled enrollees from the first quarter of 2003 to the last quarter of 2010 explains 19.3percent increases in Medical Aid spending increases over the same period. The 7.6 percent increase in the proportion of mentally-ill enrollees led to 26.6 percent spending increase, the largest contribution to spending growth. Increases in the per-capita supply of general hospitals and clinics increased inpatient spending by 2.6 percent and 6.6 percent, respectively. Regarding outpatient expenditures, increased ratios of the disabled and the elderly led to spending increases by 10.5 percent and 2.7 percent, respectively. In terms of drug spending, increases in elderly and disabled enrollees led to the growth of drug spending by 5.2percent and 15.8 percent, respectively. A greater supply of pharmacies is responsible for 1.4 percent spending increase. Conclusions: Increases in the proportion of persons with disabilities, mental illness and seniors significantly increased health spending in South Korea's medical assistance program for financially needy families and individuals. The positive relationship between the stock of providers and health spending implies the potential role of provider-induced demand in South Korea. This result requires further investigation.

Program bantuan medis di Korea Selatan telah memainkan peran penting dalam memberikan bantuan medis untuk populasi sangat rentan selama lebih dari tiga dekade. Baru-baru ini pengeluaran bantuan medis bertambah menjadi dua kali lipat antara 2002 dan 2006. Pada tahun 2010, anggaran bantuan medis dikecilkan sehingga menyebabkan banyak klaim tidak terbayar. Tujuan studi: Untuk menguji secara empiris tren terbaru dalam potensi pemicu biaya dan dampaknya terhadap pertumbuhan pengeluaran bantuan medis. Metode: Data berisi pengamatan untuk tahun 2003-2010 untuk semua 16 wilayah geografis di Korea Selatan (N=512). Studi ini meneliti suatu wilayah tertentu pengeluaran triwulanan Medis-Aid per kapita, secara terpisah untuk layanan rawat inap, pelayanan rawat jalan, dan obat resep.

Hal yang menentukan pengeluaran kesehatan dikelompokkan menjadi dua kategori. Biaya dari sisi permintaan termasuk perubahan dalam profil usia, jenis kelamin dan jenis penyakit serta ukuran populasi yang efektif. Faktor-faktor dari supply-side terdiri dari saham per-kapita rumah sakit, klinik dan apotek serta dokter dan apoteker. Kami menyertakan pendapatan per kapita untuk menangkap efek pendapatan pada layanan kesehatan menggunakan didorong oleh salah satu konsumen atau penyedia. Kami memperkirakan waktu-series penampang model data untuk menentukan apakah, dan sejauh mana, masing-masing driver biaya potensial memiliki efek statistik dan ekonomis yang signifikan pada pengeluaran kesehatan program.

Kami memperkirakan dua arah model fixed-effect, di mana wilayah dan tahun-kuartal fixed-efek yang termasuk untuk mengendalikan wilayah heterogenitas dan efek temporal yang ditentukan, masing-masing. Efek musiman dimodelkan oleh dummies kuartal. Semua model yang disesuaikan dengan heteroskedastisitas panel, korelasi kontemporer, dan proses autoregressive orde pertama. Hasil: Temuan pada rawat inap pengeluaran menunjukkan bahwa kenaikan 13,6 persen dalam proporsi pendaftar cacat dari kuartal pertama 2003 sampai kuartal terakhir tahun 2010 menjelaskan 19,3 persen peningkatan Medis kenaikan pengeluaran Aid selama periode yang sama.

Kenaikan 7,6 persen pada proporsi pendaftar sakit jiwa menyebabkan 26,6 persen meningkatkan pengeluaran, kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan belanja. Peningkatan pasokan per kapita rumah sakit umum dan klinik rawat inap meningkatkan pengeluaran sebesar 2,6 persen dan 6,6 persen, masing-masing. Mengenai pengeluaran rawat jalan, meningkatkan rasio penyandang cacat dan lanjut usia menyebabkan pengeluaran meningkat sebesar 10,5 persen dan 2,7 persen, masing-masing. Dalam hal pengeluaran obat, peningkatan pendaftar tua dan cacat menyebabkan pertumbuhan belanja obat sebesar 5,2 persen dan 15,8 persen, masing-masing.

Sebuah pasokan yang lebih besar dari apotek bertanggung jawab atas 1,4 persen kenaikan pengeluaran. Kesimpulan: Peningkatan proporsi penyandang cacat, penyakit mental dan senior secara signifikan meningkatkan pengeluaran kesehatan dalam program bantuan medis Korea Selatan bagi keluarga miskin secara finansial dan individu. Hubungan positif antara saham penyedia dan pengeluaran kesehatan menyiratkan peran potensial provider-induced demand di Korea Selatan. Hasil ini memerlukan investigasi lebih lanjut.

 

Primary Health Care Reform in New Zealand: What Next?
Presenter: Jacqueline Cumming (Victoria University of Wellington. School of Government)


 Abstract:

new-zealandIn the 2000s, New Zealand introduced major reforms to the funding and organisation of primary health care services, with a view to reducing the charges patients pay when they use services, expanding the delivery of primary health care services, and reducing hospitalisations. The reforms resulted in a reduction in patient charges, increases in the use of primary health care services, the development of new Primary Health Organisations as networks to oversee primary health care service delivery, and some changes in health services delivery. By 2008, there were concerns that insufficient change in service delivery had, however, resulted from the reforms and a newly elected government identified further change in service delivery as a major policy priority - including more services delivered closer to home and more integrated care. In this paper, I critically examine how far New Zealand has come in delivering a stronger primary health care service and in providing more integrated care. I draw on existing published material (including from my own empirical research) and more recent research examining progress with primary health care reforms. The paper also explores whether there is a need to revisit the funding of primary health care services as patient fees continue to rise unabated, potentially reducing access to services to those who most need them.

Pada tahun 2000-an, Selandia Baru memperkenalkan reformasi utama untuk pendanaan dan organisasi pelayanan kesehatan primer, dengan maksud untuk mengurangi biaya pasien membayar ketika mereka menggunakan layanan, memperluas pemberian pelayanan perawatan kesehatan primer, dan mengurangi rawat inap. Reformasi menghasilkan pengurangan dalam biaya pasien, peningkatan penggunaan layanan perawatan kesehatan primer, pengembangan Organisasi Kesehatan Primer baru sebagai jaringan untuk mengawasi pelayanan perawatan kesehatan primer, dan beberapa perubahan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

Pada tahun 2008, ada kekhawatiran bahwa perubahan tidak cukup dalam pemberian layanan telah, bagaimanapun, hasil dari reformasi dan pemerintah yang baru terpilih diidentifikasi perubahan lebih lanjut dalam penyediaan layanan sebagai prioritas kebijakan utama - termasuk jasa lainnya disampaikan lebih dekat ke rumah dan perawatan yang lebih terintegrasi. Dalam tulisan ini, saya memeriksa seberapa jauh Selandia Baru telah datang dalam memberikan pelayanan kesehatan primer kuat dan dalam memberikan perawatan yang lebih terintegrasi.

Saya menarik materi yang dipublikasikan yang ada (termasuk dari penelitian empiris saya sendiri) dan penelitian yang lebih baru yang menganalisis kemajuan reformasi pelayanan kesehatan primer dengan reformasi perawatan kesehatan primer. Makalah ini juga menjajaki apakah ada kebutuhan untuk meninjau kembali dana pelayanan kesehatan primer sebagai biaya pasien terus meningkat dan berlanjut yang berpotensi mengurangi akses ke layanan kepada mereka yang paling membutuhkannya.

 

Long-run economic growth and health systems: alternative scenarios for the future of economic growth and their likely consequences for health and health care
Presenter: Martin Hensher (Department of Health & Human Services, Tasmania. Director of Strategic Planning)


 Abstract:

A large body of work has, over several decades, established strong international evidence of a positive income elasticity of demand for health care expenditure. More recently, increasing attention has focused on the contribution of health itself to economic growth and development. There is less consensus on the policy implications of these relationships, but – implicitly or explicitly-most thinking about the health sector in both developed and developing countries has been predicated on the assumption of continuing, long-term economic growth. The financial and economic crisis of recent years has clearly reduced economic growth significantly in many countries, and considerable discussion of the possible effects of economic crisis on health and health care has taken place. However, a number of quite different schools of thought may cast doubt on whether a return to more "normal" economic growth rates can be taken as a given. Such viewpoints include models which suggest prolonged recession over many years in developed economies due to debt-deflation and/or austerity policies; models which posit a long-term downwards adjustment to productivity growth (and hence economic growth) in developed economies; the return of "limits to growth" models which suggest that the negative effects of natural resource depletion, pollution and environmental degradation may already be starting to constrain growth; and "steady state" economic models which actively advocate constraining growth in order to avert more catastrophic ecological, economic and human costs arising from environmental degradation. With such evidence potentially calling into question the assumption of continuing long-term economic growth, what might this mean for health care systems and markets worldwide? This presentation draws upon the existing literature on the relationships between health and health care with economic growth and economic crises to examine possible implications for the health sector. The presentation will examine possible solutions to mitigate or manage such effects, including an assessment of the extent to which traditional responses to economic downturn and cost containment concerns would be applicable in scenarios in which a return to historic economic growth trends may not be a given. The potential for a broader set of responses will also be examined, in particular drawing upon the experience of developing countries in delivering effective health care and health outcomes under significant resource constraints. The key focus of the presentation will be to consider how best health systems might prepare themselves to respond to negative long-term changes in economic growth rates. This discussion will recognise potential paradoxes and barriers, especially the potential costs of reconfiguring health systems and priorities; the risks of over-reaction (an excessive policy response) versus failure to respond; and the likelihood that public, political and industry stakeholders alike will display a deep reluctance to contemplate such changes before point of crisis is reached. This presentation is intended to open a discussion on how health economics might assist health policy makers and planners to understand better how to prepare health systems for a potentially prolonged period of economic uncertainty, during which a return to historic rates of economic growth cannot be guaranteed.

Sebuah tubuh besar pekerjaan telah, selama beberapa dekade, didirikan bukti internasional yang kuat dari elastisitas pendapatan yang positif dari permintaan pengeluaran perawatan kesehatan. Baru-baru ini, meningkatkan perhatian telah difokuskan pada kontribusi kesehatan itu sendiri terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Ada sedikit konsensus tentang implikasi kebijakan dari hubungan ini, namun-secara implisit maupun eksplisit-kebanyakan berpikir tentang sektor kesehatan di kedua negara maju dan berkembang telah didasarkan pada asumsi melanjutkan, pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Krisis keuangan dan ekonomi beberapa tahun terakhir telah jelas berkurang pertumbuhan ekonomi secara signifikan di banyak negara, dan diskusi tentang kemungkinan efek krisis ekonomi terhadap kesehatan dan perawatan kesehatan telah terjadi. Namun, sejumlah sekolah sangat berbeda pemikiran mungkin meragukan apakah kembali ke tingkat pertumbuhan yang lebih "normal" ekonomi dapat diambil sebagai yang diberikan. Sudut pandang tersebut termasuk model yang menunjukkan resesi berkepanjangan selama bertahun-tahun di negara maju karena deflasi utang dan atau kebijakan penghematan, model yang menempatkan sebuah bawah jangka panjang penyesuaian pertumbuhan produktivitas (dan karenanya pertumbuhan ekonomi) di negara maju, kembalinya "membatasi pertumbuhan" model yang menunjukkan bahwa efek negatif dari penipisan sumber daya alam, polusi dan degradasi lingkungan sudah dapat mulai menghambat pertumbuhan, dan "steady state" model ekonomi yang secara aktif menganjurkan menghambat pertumbuhan dalam rangka untuk mencegah bencana lebih ekologi, ekonomi dan biaya manusia yang timbul dari kerusakan lingkungan.

Dengan bukti-bukti tersebut berpotensi mempertanyakan asumsi melanjutkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, apa artinya hal ini untuk sistem perawatan kesehatan dan pasar di seluruh dunia? Presentasi ini mengacu pada literatur yang ada pada hubungan antara kesehatan dan perawatan kesehatan dengan pertumbuhan ekonomi dan krisis ekonomi untuk memeriksa implikasi yang mungkin untuk sektor kesehatan. Presentasi akan memeriksa kemungkinan solusi untuk mengurangi atau mengelola dampak tersebut, termasuk penilaian sejauh mana respon tradisional untuk krisis ekonomi dan biaya keprihatinan penahanan akan berlaku dalam skenario di mana kembali ke tren pertumbuhan ekonomi bersejarah tidak mungkin diberikan. Potensi untuk satu set yang lebih luas tanggapan juga akan diperiksa, khususnya dalam menggambar pada pengalaman negara-negara berkembang dalam memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan hasil kesehatan di bawah kendala sumber daya yang signifikan.

Fokus utama dari presentasi akan mempertimbangkan bagaimana sistem kesehatan terbaik mungkin mempersiapkan diri untuk merespon perubahan jangka panjang negatif pada tingkat pertumbuhan ekonomi. Diskusi ini akan mengenali paradoks potensi dan hambatan, terutama potensi biaya konfigurasi ulang sistem kesehatan dan prioritas; risiko over-reaksi (respon kebijakan yang berlebihan) terhadap kegagalan untuk merespon, dan kemungkinan bahwa pemangku kepentingan publik, politik dan industri sama akan menampilkan keengganan yang mendalam untuk merenungkan perubahan tersebut sebelum titik krisis tercapai. Presentasi ini dimaksudkan untuk membuka diskusi tentang bagaimana ekonomi kesehatan mungkin membantu para pembuat kebijakan kesehatan dan perencana untuk memahami lebih baik bagaimana mempersiapkan sistem kesehatan untuk jangka waktu yang berpotensi berkepanjangan ketidakpastian ekonomi, di mana kembali ke tingkat bersejarah pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijamin.

 

Evolving health care financing issues in East Asia and the Pacific
Presenter: Jackie Mundy (AusAID Health Resource Facility)


 Abstract:

This is a time of rapid and significant change in health in East Asia and the Pacific. Changes in the region's burden of disease, the 'graduation' of countries from low to middle income status, and the shifting geography of poverty and health needs of the poor all have implications for country health systems and health care financing. This paper explores these trends and will discuss the key emerging health systems and health care financing issues for governments and donors in the region. Specifically, the paper will examine the impact of the changing burden of disease in the region on health financing; current and medium term trends in domestic and international financing for health; the changing configuration of aid providers in the region including the future role of BRICS and other new development partners; any lessons learned from countries responding to changes in donor financing for health. In undertaking this analysis, the paper will discuss changes to the quantity of resources available to countries (the total resource envelope available to countries in the region, relative to expected requirements), and the quality of resources (the current and changing nature of donor engagement including from the Global Fund, GAVI and the World Bank). The findings of the paper will be based on a desk based literature review and key informant interviews. The paper will cover countries representative of the following groups: small Pacific island nations, low and middle income countries, post conflict/fragile states.

Ini adalah masa perubahan yang cepat dan signifikan dalam kesehatan di Asia Timur dan Pasifik. Perubahan beban daerah penyakit, yang 'lulus' dari negara-negara dari rendah status berpenghasilan menengah, dan geografi pergeseran kemiskinan dan kebutuhan kesehatan masyarakat miskin semua memiliki implikasi bagi sistem kesehatan negara dan pembiayaan perawatan kesehatan. Makalah ini mengeksplorasi tren ini dan akan membahas sistem kesehatan utama yang muncul dan masalah pembiayaan layanan kesehatan bagi pemerintah dan donor di wilayah tersebut. Secara khusus, makalah ini akan mengkaji dampak perubahan beban penyakit di wilayah ini pada pembiayaan kesehatan, tren saat ini dan jangka menengah dalam pembiayaan domestik dan internasional untuk kesehatan, konfigurasi perubahan pemberi bantuan di wilayah tersebut termasuk peran masa depan dan BRICS mitra pembangunan lainnya yang baru, setiap pelajaran dari negara-negara menanggapi perubahan dalam pembiayaan donor untuk kesehatan.

Dalam melakukan analisis ini, kertas akan membahas perubahan kuantitas sumber daya yang tersedia untuk negara-negara (amplop sumber daya total yang tersedia untuk negara-negara di kawasan itu, relatif terhadap persyaratan yang diharapkan), dan kualitas sumber daya (alam saat ini dan berubah keterlibatan donor termasuk dari global Fund, GAVI dan Bank Dunia). Temuan kertas akan didasarkan pada meja berbasis literatur dan wawancara informan kunci. Makalah ini akan mencakup perwakilan negara dari kelompok berikut: negara-negara pulau kecil Pasifik, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, pasca konflik / negara rapuh.

 

Which policy protects Indonesians from catastrophic health expenditure: demand-side or supply-side subsidies? A multilevel logistic analysis
Presenter: Citra Jaya (PT Askes (Persero). Research and Development)


 Abstract:

This study analyses the impact of demand-side and supply-side subsidies on the risk of catastrophic household health expenditure in Indonesia. Demand-side subsidies are in the form of social health insurance for civil servants (Askes) and for the poor (Askeskin). Supply-side subsidy is district governments' health spending, underlying the increased role of district government in decentralised Indonesia. Household health expenditure is considered catastrophic when it exceeds 40percent of household's non-food spending. Multilevel logistic regression is applied to examine the association between catastrophic health expenditure with household and district characteristics. Household data are from 2008 National Socioeconomic Survey (SUSENAS), while district government data are from 2008 Village Census, and the Ministry of Finance's district finance system. The sample includes 189,163 households living in 456 districts. The finding shows that compared to those without health insurance, Askes beneficiaries are protected from the risk of catastrophic health expenditure. Conversely, Askeskin beneficiaries are exposed to catastrophic health expenditure. Furthermore, district health spending also increases the risk of catastrophic health expenditure. Counter-intuitive findings from Askeskin and district health spending may be caused by the features of Askeskin and the problems surrounding decentralisation. These results are consistent after being controlled with various household and district characteristics, and after performing sensitivity analyses.

Studi ini menganalisis dampak dari sisi permintaan dan subsidi sisi penawaran terhadap risiko katastropik pengeluaran kesehatan rumah tangga di Indonesia. Subsidi sisi permintaan dalam bentuk asuransi kesehatan sosial bagi pegawai negeri sipil (Askes) dan untuk masyarakat miskin (Askeskin). Subsidi sisi penawaran adalah pengeluaran kesehatan pemerintah daerah, yang mendasari peningkatan peran pemerintah daerah dalam era desentralisasi Indonesia.

Belanja kesehatan rumah tangga dianggap katastropik ketika melebihi 40 persen dari pengeluaran non pangan rumah tangga. Multi level regression diterapkan untuk meneliti hubungan antara pengeluaran katastropik kesehatan dengan karakteristik rumah tangga dan kabupaten. Data rumah tangga dari tahun 2008, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), sementara data pemerintah kabupaten dari 2008 Sensu Potensi Desa dan Departemen Keuangan. Sampel meliputi 189.163 rumah tangga yang tinggal di 456 kabupaten. Temuan ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki asuransi kesehatan, pemilik Askes dan Askeskin lebih dilindungi dari resiko pengeluaran kesehatan bencana.

Selain itu, pengeluaran kesehatan kabupaten juga meningkatkan risiko pengeluaran katastropik kesehatan. Temuan kontra-intuitif dari pengeluaran kesehatan Askeskin dan kabupaten dapat disebabkan oleh fitur Askeskin dan masalah seputar desentralisasi. Hasil ini konsisten setelah dikontrol dengan berbagai karakteristik rumah tangga dan kabupaten, dan setelah melakukan analisis sensitivitas.


Relevansi Untuk Indonesia

Kajian yang sangat menarik, bahwa penyakit tidak menular (NCD), bencana alam, dan gizi merupakan ancaman baru dalam hal pelayanan kesehatan. Disadari atau tidak oleh pengambil kebijakan, bahwa prioritas kepada resiko-resiko gangguan tersebut akan menyebabkan guncangan dalam sistem kesehatan terutama pembiayaan kesehatan. Pemerintah perlu bertindak strategies untuk melihat potensi bahaya ekonomi (katastropik) yang muncul dari adanya gangguan-gangguan baru kesehatan tersebut. Perlu ada model perlindungan terhadap bahaya ekonomi di sektor kesehatan tersebut.


Penulis: Deni Harbianto

Reportase sesi 2.2

sydney-icon

Session Title: Physician Payment

Chair: Richard Lindrooth, University of Colorado, Denver

 


 Ada beberapa paper yang dipresentasikan dalam sesi ini, diantaranya

SESI 1: Insurer and Patient Payment for Out of Network Physician Service
(Sean Nicholson, Cornell University, USA)



Banyak dokter di Amerika Serikat menolak untuk bergabung dalam jaringan asuransi. Dokter-dokter tersebut memilih menjadi dokter Out of Network (OON) dengan alasan pembayaran yang lebih besar dari pasien dibandingkan dengan pembayaran dari asuransi. Pembayaran jasa medis ditanggung oleh pasien (30%-40%) dan oleh asuransi (60%-70%).

Presentasi ini bertujuan untuk menggali seberapa banyak pelayanan dokter OON antara 2002-2011 di USA, mengidentifikasi pelayanan yang diberikan oleh dokter OON, dan menilai pembayaran oleh pasien dan asuransi untuk berbagai kasus yang ditangani oleh dokter OON.

Data diambil dari 45 dokter OON dan melibatkan 20 asuransi yang secara konsisten menghitung biaya yang dikeluarkan untuk membayar dokter OON.

  1. Hasil:
      1. Pelayanan OON merupakan pelayanan yang biasa dijumpai di Amerika Serikat
      2. Kebanyakan pelayanan OON relatif tidak mahal dan tidak meningkatkan resiko pelayanan kepada pasien
      3. Namun, pasien beresiko untuk membayar biaya yang mahal untuk pelayanan tertentu, terutama yang harga pasar pelayanan tersebut masuk dalam kategori mahal.
      4. Reimbursement untuk pelayanan OON sangat menarik bagi dokter, terutama jika pasien bersedia membayar.
         
    1. Implikasi
      1. Dokter dengan kualitas pelayanan yang tinggi cenderung tidak bergabung dengan asuransi. Kepercayaan diri atas kemampuannya merupakan modal utama seorang dokter untuk bekerja di luar jaringan asuransi.
      2. Pendapatan dokter yang tidak bergabung dalam jaringan asuransi lebih besar oleh karena pasien dan asuransi (yang melindungi pasien) akan membayar harga pelayanan dokter.
         

The Effect of Mandated Health Insurance on Physician Reimbursement: Evidence for The Massachusetts Health Reform
(Andrew Friedson, University of Colorado-Denver, USA)


Massachusetts berupaya memasukkan 600.000 warganya yang belum masuk dalam perlindungan asuransi. Upaya ini menimbulkan peningkatan demand terhadap pelayanan kesehatan. Pada saat yang bersamaan, jumlah dokter diupayakan untuk bertambah untuk mengimbangi kenaikan demand.

Riset ini mengevaluasi apakah terjadi perubahan harga pelayanan seiring dengan meningkatnya demand pelayanan setelah health-reform diberlakukan. Pelayanan yang dievaluasi adalah pelayanan apendiktomi (inelastic absolut), pelayanan well-care dewasa (elastic), dan pelayanan well-care anak-anak (elastic).

    1. Hasil:
      1. Harga pelayanan apendiktomi dan pelayanan well-care dewasa tidak mengalami perubahan yang berarti.
      2. Sedangkan harga pelayanan well-care anak-anak mengalami lonjakan pada awal implementasi. Namun, harga kembali normal setelah jumlah dokter yang melayani pasien bertambah secara signifikan.
    1. Implikasi:
      1. Peningkatan demand pelayanan akan menimbulkan lonjakan harga oleh karena ketidakseimbangan demand-supply. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan penambahan jumlah dokter sebelum atau bersamaan dengan penambahan jumlah pasien (yang diasuransi)
      2. Peningkatan harga pelayanan dapat terjadi pada pelayanan dengan harga elastic (elektif), tidak saja pada pelayanan dengan harga yang inelastic (emergency). Faktor ketersediaan penyedia layanan berperan dalam peningkatan tersebut.
         

Modelling Physician Labour Supply: Cpmparing Discrete Chisce Structural Approach to a Reduced Form Approach
(Guyonne Kalb, University of Melbourne, Australia)


Supply dokter untuk daerah rural sudah menjadi masalah sejak lama di Australia. Di sisi lain, jam kerja dokter berkurang dari 48,2 jam per minggu (1998) menjadi 42,7 jam per minggu (2008). Dokter wanita bekerja 37,7 jam per minggu dibandingkan dengan dokter laki-laki (45,4 jam per minggu). Namun, dokter laki-laki yang baru saja bekerja telah mengurangi jam kerjanya, sedangkan dokter senior juga telah mengurangi jam kerja karena faktor usia. Situasi ini semakin mengarah pada berkurangnya supply dokter.

Riset ini bertujuan untuk menilai elastisitas upah dokter (dengan berbagai variasinya: GP laki-laki, GP wanita, Spesialis laki-laki, dan spesialis wanita)

    1. Hasil: Faktor yang berhubungan dengan elastisitas upah dokter adalah jumlah anak dan umurnya, status kesehatan diri, jenis kelamin, pekerjaan pasangan, dan wilayah tempat kerja. Misalnya: Dokter GP wanita dengan anak yang berumur kurang dari 4 tahun, memiliki pasangan yang bekerja, memiliki elastisitas yang tinggi.
    1. Implikasi: Intervensi dalam bentuk upah, tidak akan berpengaruh pada jenis dokter dengan karakteristik tertentu. Oleh sebab itu, peningkatan upah sebaiknya melihat pada karakteristik dokter yang ditargetkan.

 

  Relevansi dalam konteks di Indonesia

Suplai dokter menjadi isu penting untuk meningkatkan equity pelayanan, terutama di daerah terpencil/remote. Faktanya jumlah pasokan menurun, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Intervensi pemerintah untuk distribusi dokter harus diperbaiki sesuai dengan karakter tertentu. Intervensi berupa upah dan jas medis tinggi belum tentu menjamin pemerataan dan distribusi dokter

Penulis: Andreasta Meliala