Governance of National Health Insurance in Five Asian Countries: China, Mongolia, the Philippines, Thailand, and VietNam

Governance of National Health Insurance in Five Asian Countries:

 China,  Mongolia,  Philippines,

 Thailand, and  VietNam


Introduction from the organizer

           While there is no fundamental difference in performing health-financing functions between a tax-based and insurance-based mechanism, there are differences in the institutional design for governing the system. In Asia Pacific, countries like China, Mongolia, the Philippines, Thailand, and Viet Nam have chosen health insurance as the main financing scheme for their health systems. The development of a national health insurance system is a complex task. It involves multiple stakeholders. Who is doing what and how are the common questions that need to be asked for the institutional design of national health insurance systems. There is no doubt that the political context, the existing government structure and the history of insurance development have impact on the institutional design of the national insurance system, but is there a particular organizational arrangement function that is better than others?

In this session, we invited policy makers and international experts as panel members to debate on the key institutional design of national health insurance on enrolment and contribution rates, funds management, benefit package, and payment methods to providers: which agency is in the best position to make decisions? Which agency to implement the regulations? Are those making decisions accountable for the consequences? Are those implementing given the authorities they need to be responsible?


 Sesi ini merupakan kerjasama antara WHO Western Pacific Regional Office (WPRO) dan Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne. Pembicara dalam sesi ini Qingyue Meng (Peking University) ; Tsolmongerel Tsilaajav (Ministry of Health Mongolia), Ramon Pedro Paterno (University of the Philippines), Walaiporn Patcharanarumol (International Health Policy Program), dan Tran Van Tien (Ministry of Health dari Vietnam). Panelis yang terlibat yaitu Soonman Kwon (Seoul National University), John Langenbrunner (AusAID), Viroj Tangcharoensathien (International Health Policy Program, Thailan), Robert Yates (WHO), dan Peter Annear (Nossal Institute).

function-of-nation-health-insuranceSesi ini dimoderatori oleh KeXu, dari WHO WPRO Manila  yang menguraikan metode untuk membahas Governance Asuransi Kesehatan Nasional di 5 negara

Model ini menyatakan bahwa tata pamong dan manajemen bertujuan untuk mencapai equity, efisiensi dan kelanggengan Asuransi Kesehatan Nasional. Ada tiga hal kunci yang perlu diperhatikan dalam pengaturan ini yaitu “Collection”, “Pooling” dan “Purchasing”. Pengamatan dalam bentuk aturan hukum, struktur organisasi, dan peran stakeholder dilakukan di berbagai negara.

Bagaimana masalah di negara masing-masing dan apa usulan kebijakannya? Stakeholder Asuransi Kesehatan Nasional mencakup banyak kementerian, tidak hanya Kementerian Kesehatan saja (terjadi di kelima negara). Hubungan antar stakeholder sangat kompleks dengan berbagai variasi sistem Collection, Pooling, dan Purchasing. Disamping itu, di berbagai negara seperti China dan Thailand ada lebih dari satu skema asuransi kesehatan.

Tantangan di China adalah: rancangan sistem yang terpecah yang berakibat pelaksanaan dan manajemen skema asuransi yang terpecah pula. Disamping itu ada pooling dana yang rendah. Dari sisi benefit tindakan masih terjadi keputusan pemilihan yang tidak berbasis bukti. Situasi diperburuk dengan rendahnya kemampuan pengelolaan serta buruknya reformasi sistem pembayaran. Untuk itu di China diusulkan beberapa kebijakan antara lain: pertama, menyatukan skema tiga sistem asuransi kesehatan; kedua, menciptakan sistem yang lebih transparan dan akuntabel, serta ketiga, memperkuat reformasi sistem pembayaran.

Di Mongolia, fragmentasi skema sistem asuransi kesehatan juga terjadi. Keputusan dalam sistem asuransi kesehatan nasional di Mongolia sering tidak jelas. Telah terjadi suatu kesulitan pengambilan keputusan karena ada dua Kementerian yang terlibat yaitu Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pengembangan Penduduk dan Kesejahteraan Sosial. Kementerian Kesehatan akhirnya hanya bertanggungjawab pada rancangan manfaat, pembayaran tarif dan seleksi penyedia pelayanan. Akibat masalah-masalah ini cukup berat. Masyarakat kehilangan kepercayaan karena manfaat tidak jelas dan mutu pelayanan kesehatan tidak memuaskan. Pengeluaran dari kantong pasien meningkat menjadi 41 persen dari total pengeluaran kesehatan pemerintah. Cakupan turun menjadi 85 persen di tahun 2010. Kemudian, diusulkan agar di Mongolia ada reformasi dengan satu sistem pembelian (single purchaser), meningkatkan kemampuan organisasi asuransi kesehatan, memilah dan membagi penyedia dana dengan pemberi pelayanan, meningkatkan otonomi insitusi asuransi kesehatan nasional, memperjelas struktur pemerintahan dalam asuransi kesehatan, serta memperjelas peran dan tanggung-jawab stakeholder.

Filipina yang telah lama mengembangkan Asuransi Kesehatan Nasional dalam bentuk single payer mempunyai banyak isu Governance. Isu pertama yaitu kenyataan bahwa Asuransi kesehatan nasional menjadi modal politik. Setiap tahun Presiden Phil Health berganti. Pertanyaan pentingnya adalah kemana Phil Health bertanggung-jawab? Apakah kepada Presiden dan Kongres ataukah ke masyarakat Filipina. Phil Health masih mengalami masalah dalam transparansi dan kelangsungan secara pembiayaan. Di sisi informasi, masih terjadi problem untuk merumuskan kebijakan dan manfaat. Berdasarkan rancangan, terdapat masalah ketidakmampuan fiskal untuk membiayainya. Akibatnya, premi yang dibayarkan sangat rendah. Lalu, diusulkan agar di masa mendatang ada kerjasama lebih baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membiayai mereka yang miskin oleh pusat dan pekerja informal oleh pemerintah daerah. Cakupan manfaat diharapkan ditingkatkan dan biaya yang discover diharapkan ditingkatkan pula, dan diharapkan tidak ada lagi co-payment.

Di Thailand, isu utama adalah adanya tiga skema Asuransi Kesehatan Nasional yang sangat berbeda benefit-nya. Sistem jaminan untuk pegawai negeri pengeluarannya adalah 366 US$ pertahun, sementara Social Health Insurance sebesar 71 US$ setahun dan Universal Coverage sebesar 97 US$ setahun per orang. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana meningkatkan efisien dan equity dengan adanya tiga skema ini. Dalam usaha mengatasi masalah ini ada berbagai isu kebijakan yang dapat dipilih: (1) pengaturan struktur dan governing body dari tiga skema asuransi kesehatan; (2) peningkatan dan pemantapan kemampuan institusi di ketiga skema; (3) kerjasama yang lebih baik antara tiga pembeli pelayanan; dan (4) keeratan hubungan antar stakeholder ketiga skema.

Vietnam memaparkan isu governance secara rinci. Dalam Collection ada kepatuhan rendah di sektor informal (hanya 50 persen cakupannya). Vietnam Social Security tidak mempunyai wewenang untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat. Diharapkan ada kebijakan baru untuk meningkatkan kewenangan ini. Dalam memasukkan anggota terjadi fragmentasi dimana terlalu banyak kategori keanggotaan. Masyarakat dapat menjadi anggota secara perorangan. Akibatnya terjadi cakupan yang rendah dan overlapping. Fragmentasi dalam proses menjadi anggota. Usulan kebijakan di sini adalah keanggotaan tidak berbasis individu. Isu lain dalam pengumpulan dana adalah besaran kontribusi. Besaran kontribusi ditetapkan terlalu rendah akibatnya pemasukan tidak cukup sehingga pasien harus membayar dari kantong untuk mendapat pelayanan yang dibutuhkan. Kebijakan untuk meningkatkan premi tidak mungkin dalam waktu dekat sehingga pengeluaran harus dikurangi dengan cara meningkatkan efisiensi dan berbagai tindakan penghematan. Dalam proses pengumpulan ini sebaiknya masyarakat yang nyaris miskin diberi subsidi penuh.

Masih di Vietnam, dalam pooling sebenarnya hanya satu dana asuransi kesehatan. Akan tetapi dalam praktek ternyata banyak sumber dana untuk pelayanan kesehatan. Dalam pembelian, paket manfaat obat dibayar berdasarkan daftar yang berbasis opini saja. Rumah sakit tersier dan propinsi mengembangkan sendiri daftar obat masing-masing. Diharapkan muncul Health Technology Assessment untuk mengurangi masalah ini. Dalam purchasing setiap pemerintah propinsi menetapkan sendiri tarifnya berbasis konsultasi/negosiasi dengan VSS dalam jangkauan tarif maksimal. Penetapan tarif pelayanan tidak berbasis pada biaya riil. Diharapkan ada kebijakan yang memperkuat kemampuan menghitung biaya dan penggunaannya untuk penetapan tarif. Masalah lain yang muncul yaitu kurangnya mekanisme untuk mengendalikan harga obat. Di sisi pembayaran untuk tenaga, masih didominasi oleh Fee-For-Service. Ada kekurangan transparansi pada pembayaran dokter.

Dalam hal audit, secara hukum dana asuransi kesehatan harus diaudit oleh Badan Auditor Pemerintah setiap dua tahun sekali. Akan tetapi seluruh laporan audit bersifat rahasia. Tidak ada standar jelas untuk laporan kecuali laporan tahunan VSS. Diharapkan kebijakan mendapat untuk membuat audit lebih transparan ke masyarakat dengan laporan yang lebih baku.

Setelah paparan dilakukan diskusi oleh panelis. Pada intinya ada berbagai hal yang dibahas pertama, isu utama adalah fragmentasi skema di berbagai negara dan kekurangan dana di berbagai negara. Kedua, akibat fragmentasi adalah equity seperti yang terjadi di China dan Thailand. Manfaat untuk pegawai negeri sangat berbeda. Dampak di negara lain adalah pertikaian antar Kementerian. Ketiga, masalah kemauan politik dan kemampuan fiskal dalam asuransi kesehatan nasional menjadi isu penting. Dengan kemampuan fiskal lemah dan kemauan politik rendah terjadi pelayanan yang bermutu rendah. Keempat, kemampuan mengelola sistem asuransi kesehatan masih rendah. Kelima, diyakini bahwa single payer lebih baik, namun agak sulit di berbagai negara untuk dilakukan. Keenam, perlunya independensi organisasi asuransi kesehatan nasional. Hal ini perlu didukung dengan dukungan politik yang kuat.

Penulis : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD.

Pre-congress Symposia

Pra kongres dengan judul Private/Non-State Actor dalam Sistem Kesehatan: Laporan dari pengalaman global telah diadakan di Sydney Convention Centre pada 6 Juli 2013. Pra kongres ini diselenggarakan karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor berikut ini. Sistem kesehatan tidak hanya dijalankan oleh pelaku yang berasal dari kelompok pemerintah, tetapi juga muncul pelaku dari sektor privat (swasta), terutama untuk penyedia layanan kesehatan (provision) dan pembiayaan kesehatan (financing). Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk menjalankan sistem kesehatan merupakan salah satu penyebab munculnya pelaksana dari sektor swasta. Keberadaan sektor swasta dengan berbagai macam motif dan bentuk organisasinya telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pencapaian kinerja sistem kesehatan. Namun demikian, berbagai pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk pengembangan peran sektor swasta dan masih terbukanya kesempatan untuk menyamakan misi (mission alignment) antara pelaku dari pemerintah dan pelaku dari swasta.

  Tujuan

Pra kongres ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai peran sektor swasta dalam mendukung kinerja sistem kesehatan di berbagai negara. Peran yang diidentifikasi bervariasi mulai dari penyedia layanan kesehatan, dukungan untuk layanan public health (MCH, Family Planning, dan lain-lain), promosi kesehatan, sampai dengan pembiayaan pelayanan kesehatan. Secara khusus, tujuan diskusi dalam pra kongres ini adalah menetapkan definisi sektor swasta, mengidentifikasi peran utamanya dalam sistem kesehatan agar tidak terjadi duplikasi dengan peran pemerintah, dan menggambarkan konsep pengembangan konsep public-private partnership.

Beberapa Hasil Paparan dari Berbagai Pengalaman Global diantaranya :

Pertama, literature review mengenai siapakah sektor swasta dan bagaimana kontribusinya dalam sistem kesehatan. Sektor swasta memiliki identitas yang sangat beragam, dimensi pekerjaanya sangat luas, dan memiliki pengaruh dalam pencapaian kinerja sistem kesehatan.Masih sedikit riset tentang sektor swasta yang dilakukan dalam skala global. Selama ini, studi mengenai sektor swasta bersifat sektoral dan merupakan studi kasus pada suatu negara.

Kedua, kontribusi sektor swasta dalam gerakan patient safety di rumah sakit (pengalaman dari negara-negara Afrika).Gerakan patient safety di rumah sakit swasta semakin berkembang.Kinerja rumah sakit swasta dibandingkan dengan rumah sakit pemerintah, diukur melalui indikator patient safety, tidak berbeda, walaupun dengan sumber daya yang terbatas.

Ketiga, motivasi pekerja sektor swasta dalam meningkatkan kinerja sistem kesehatan (pengalaman dari Malawi).Keberadaan tenaga kesehatan swasta sangat dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat Malawi.Kinerja tenaga kesehatan swasta diidentifikasi lebih baik dibanding tenaga kesehatan pemerintah. Motivasi tenaga kesehatan swasta berasal dari keinginan untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk klien, adanya kesempatan untuk mengembangkan diri, dan adanya bimbingan dari supervisor. Kompensasi tidak diidentifikasi sebagai pendorong motivasi kerja dan kinerja tenaga kesehatan swasta

Keempat,peran sektor swasta dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (pengalaman dari India).Asuransi sosial yang dilaksanakan oleh sektor swasta dapat menjangkau grup (target) yang belum dijangkau oleh pemerintah.Efektivitasnya dalam meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan diakui oleh pengguna dan regulator.Namun demikian, paket pelayanan dan mutu pelayanan yang diperoleh oleh peserta masih sangat rendah.

Diskusi Rencana Tindak Lanjut.

Saat ini, diperlukan kerjasama global untuk mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan private sector dan bagaimana memetakan peran serta fungsinya dalam sistem kesehatan. Kegiatan untuk menggambarkan dan mendokumentasi peran sektor swasta perlu terus dijalankan.Riset yang ada belum memadai untuk mendefinisikan sektor swasta dengan jelas. Namun demikian, ketertarikan untuk mendalami dan mempelajari sektor swasta sudah semakin besar. Sekarang adalah saat yang tepat untuk memulai riset dengan skala global.

Secara operasional, isu mengenai mutu yang dihasilkan oleh sektor swasta penting untuk dielaborasi. Motif sektor swasta yang beragam tidak perlu dijadikan perdebatan, jika mutu yang dihasilkan sudah sesuai dengan harapan regulator dan pengguna. Peran pemerintah yaitu untuk mendukung kinerja sektor swasta dan menjadikannya partner dalam upaya meningkatkan kinerja sistem kesehatan. Peneliti perlu mendukung pemerintah dengan menyediakan bukti ilmiah agar pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat untuk mengembangkan konsep public-private partnership yang mampu diterapkan di lapangan.


Dalam kesempatan ini pula, perwakilan dari lima negara di Asia menyampaikan tentang Tata Kelola Asuransi Kesehatan di negara masing-masing. Kemudian Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan analisis tata kelola asuransi kesehatan di Indonesia. Silahkan

 

Bahan Bacaan

Building On Our Heritage, Looking To Our Future

Ilustrasi: Helsinki Cathedral FinlandiaConference Statement: http://bit.ly/10isNkj

Konferensi Promosi Kesehatan yang ke-8 telah dilaksanakan pada 10-14 Juni 2013 di Helsinki, Finlandia. Pertemuan ini bertujuan untuk membangun budaya yang kaya akan ide, aksi, dan bukti yang dasarnya terinspirasi oleh the Alma Ata Declaration on Primary Health Care (1978) dan the Ottawa Charter for Health Promotion (1986). Pertemuan ini berusaha mengidentifikasi aksi intersektoral dan kebijakan kesehatan publik sebagai elemen utama untuk promosi kesehatan, pencapaian kesetaraan kesehatan, dan realisasi hak asasi manusia.

Silahkan kunjungi presentasi acara ini melalui link berikut  dan videonya pada link berikut 

 


Universal Health Coverage In Turkey: Enhancement of Equity

turTurkey MapTurki berhasil mengenalkan perubahan sistem kesehatan dan menyediakan hak kesehatan bagi setiap warga negaranya dengan mencapai perlindungan kesehatan (universal health coverage), dimana langkah tersebut dapat mengurangi ketidakadilan dalam pembiayaan, akses pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Kami menelusur reformasi sistem keshatan dengan bukti fakta-fakta tahun 2003-2013, yang mana bertepatan dengan program transformasi kesehtan/Health Transformation Program (HTP). HTP mempercepat penyebarluasan cakupan asuransi kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan untuk seluruh warga Turki khususnya bagi warga miskin untuk mencapai cakupan kesehatan semesta (universal health coverage). Selengkapnya silahkan 

 


Teknologi telematika sebagai Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia RS dan memperkuat pelayanan kesehatan di daerah sulit dan terpencil

TOR Semiloka sehari

Teknologi Telematika sebagai Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia RS
dan Memperkuat pelayanan kesehatan di daerah sulit dan terpencil

Ruang Theater, Gedung Perpustakaan Fakultas Kedokteran UGM
Yogyakarta, 17 Juli 2013

l semi

  Pengantar

Dengan berbagai keterbatasan dan kekurangannya, daerah sulit (terpencil, tertinggal dan perbatasan) menjadi kurang diminati oleh berbagai kalangan profesional sebagai tempat tinggal dan bekerja, tidak terkecuali profesional bidang kesehatan. Salah satu faktor kurang diminati termasuk kesulitan mendapatkan pendidikan dan pelatihan tambahan dan dukungan ilmu pengetahuan.

Untuk itu, Indonesia membutuhkan inovasi dalam mendekatkan tenaga kesehatan di rumah sakit atau puskesmas daerah sulit ke pengembangan ilmu tepat guna. Teknologi tele-informatika sangat tepat untuk dioptimalkan dalam rangka mencapai tujuan ini, sebab penggunaan teknologi ini sudah sangat meluas di kalangan masyarakat. Untuk level RS dan Dinas Kesehatan, Pusdatin Kemenkes telah memasang teknologi komunikasi satelit di berbagai daerah terpencil. Jaringan ini di Papua dipergunakan untuk pelatihan oleh PKMK bekerja sama dengan KINERJA.

Dengan teknologi mutakhir telematika ini dapat dilakukan usaha untuk mendekatkan tenaga kesehatan di rumahsakit di kabupaten dengan sumber ilmu pengetahuan dan ketrampilan medik. Sistem ini dapat dipergunakan antara lain untuk: Tele-training dan e-library; Tele-medicine; dan Tele-conference

Tele-training sering dipergunakan oleh pelatih di daerah yang lebih maju untuk memberikan training di tempat yang sulit. Dengan tele-training pelatihan dapat dilakukan secara lebih rendah biaya, tidak tergantung pada jarak, dan lebih fleksibel waktunya. Untuk memudahkan kepustakaan juga ada e-library.

Di negara maju, misal di Swedia, teknologi telemedicine sudah dikenal luas dan dimanfaatkan secara luas. Di Indonesia, teknologi ini dalam bentuk sederhana sudah mulai dipergunakan dalam chain hospital, program sister hospital, dan berbagai kegiatan kerjasama antara daerah maju dan belum berkembang.

 

  Tujuan

Seminar ini akan membahas mengenai Potensi dan Pengelolaan sistem IT untuk mengembangkan RS di daerah sulit dan melebarkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.

Secara khusus seminar ini akan membahas:

  1. Membahas pengalaman PKMK menggunakan teknologi telekomunikasi di Papua dan NTT ;
  2. Memahami teknologi VSAT dan sistem jaringan Pusdatin dan Telkom untuk pengembangan.
  3. Membahas sistem tele-training dan telemedicine yang membutuhkan struktur, dana, tenaga ahli, dan kegiatan yang terkoordinasi;
  4. Mengembangkan telehealth dan telemedicine lebih lanjut untuk RS di daerah sulit

 

  Peserta

Partisipan yang diharapkan:

  1. Manajer RS dan Kepala Dinas Kesehatan
  2. Pimpinan Pusdatin dan Kemenkes
  3. Perencana dan pembuat kebijakan di pusat maupun daerah
  4. Dosen-dosen yang tertarik pengembangan teknologi jarak-jauh
  5. Perwakilan NGO asing yang memiliki program peningkatan kapasitas RS di Indonesia
  6. Konsultan manajemen rumah sakit
  7. Peneliti di perguruan tinggi
  8. Mahasiswa S2 Manajemen/Administrasi RS
  9. Pemerhati masalah kesehatan

 

 Agenda

Waktu

Acara

Pembicara/Fasilitator

08.00 – 08.30

Registrasi ulang

 

08.30 – 09.00

Pembukaan:

“Era Tele-Health dimulai”

    Materi Pembukaan Prof. Laksino Trisnantoro

 

 

 

Prof. Laksono Trisnantoro

 

 

 

 

 

Wakil Dekan III FK UGM

 

 

 

 

 

 

Pusdatin/Sekjen Kemenkes

09.00 – 10.30

Panel 1: Pengalaman dan Kebutuhan

 

 

Pengalaman FK UGM di NTT:
Penyusunan Manual Rujukan dengan menggunakan teleconference.

Pengalaman FK UGM melakukan kegiatan tele-training di 4 Kabupaten/Kota di Papua menggunakan VSAT Pusdatin dan Speedy.

Pengalaman RS Harapan Kita dengan RSD Kefa di NTT


 

 

 

Dr. Siti Zaenab MKes

 

 

 

 

 

 

 

Dr. Ig. Praptorahardjo dan dan Eunice Pricilla S (melalui teleconference)

 

 

 

 

 

Direktur RS Harapan Kita dan Dr. Sutikno SpOG

Moderator:
Laksono Trisnantoro

 

Pembahas:

Kebutuhan RS di daerah sulit untuk menggunakan telehealth dan telemedicine (dari aspek klinis dan non klinis)

Kebutuhan Puskesmas dan Dinas Kesehatan

 

 

 

Direktur RSUD Bajawa

 

Kadinkes Kabupaten Jayapura (melalui teleconference)

 

Diskusi

 

10.30 – 10.45

Coffee Break

 

10.45 – 12.15

Panel 2: Hardware dan Software sebagai pendorong

 

 

Aspek Teknologi:

    1. Jaringan Pusdatin Kementerian Kesehatan
       


    1. Kesiapan daerah untuk VSAT
    2. Perlengkapan di RS dan pusat pembelajaran yang akan menggunakan tele-health dan telemedicine 

 

 

Kepala Pusdatin

 

 

 

 

Nasrulhadi (melalui teleconference dari Papua)

 

 

Aryanto Nugroho

 

 

 

 

Diskusi

 

12.15 – 13.00

Makan Siang

 

13.00 - 15.00

 

 

 

 

 

 

 

15.00 – 15.15

Diskusi Ide dan Kemungkinan Teknis Pelaksanaan:

Arah pengembangan ke depan dan pengembangan web sebagai platform pengembangan.

Program: Pengembangan Puskesmas dan RS untuk tele-training dan telemedicine.

  1. Kegiatan Pengembangan Manajemen
  2. Kegiatan Pengembangan penanganan penyakit (klinis)
  3. Kegiatan telemedicine

Penutupan

Pengembangan Sistem untuk tele-training dan tele-medicine.

  1. Proses kegiatan
  2. Fasilitas dan Teknologi yang dibutuhkan
  3. Anggaran dan sumber pembiayaan
  4. Production House
  5. Insentif untuk terlibat dalam kegiatan ini
  6. Tenaga yang diperlukan

 

 

 

 

 

 

Global Health Vision trough Health Systems and Policy

 

Dr.-Amrizal-M-NurDr. Amrizal M NurGlobal Health Vision trough Health Systems and Policy
Dr. Amrizal M Nur
Ditulis oleh Faozi Kurniawan, 25 Juni 2013


Challenges in Global Health

Dr. Amrizal dari UNU Malaysia menyampaikan paparan mengenai apa yang menjadi tantangan bagi kesehatan global menjelang berakhirnya isu kesehatan dunia dalam Millenium Development Goals (MDGs). Meskipun banyak yang belum tercapai dalam MDGs, namun perlu ditentukan agenda selanjutnya untuk kesehatan global atau kesehatan dunia. Langkah ini diambil untuk melihat kebersamaan dunia dalam menangani kesehatan di dunia. Situasi terkini dari situasi Global Health yaitu keberadaan pembiayaan kesehatan, mencapai universal coverage untuk kesehatan, efisensi penggunaan sumber daya, dan efektivitas percampuran penyakit kronis. Hal-hal inilah yang mempengaruhi global health.

Situasi tantangan abad 21

Tantangan situasi abad 21 mendatang akan lebih berat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait tantangan abad 21 yaitu berbagai macam kualitas pelayanan kesehatan yang dihasilkan, peningkatan biaya pelayanan kesehatan, kurangnya informasi bagi pembuatan kebijakan yang efektif, cakupan yang rendah pada pelayanan kesehatan, dan keinginan informasi konsumen. Tantangan tersebut menjadi hal yang diperhatikan bagi negara-negara berkembang agar lebih waspada dan mempersiapkan diri.

Untuk menghadapi tantangan kesehatan global, apa saja yang harus diperhatikan? Salah satunya bagaimana pemberlakuan kebijakan kesehatan. Kebijakan kesehatan merupakan arah yang menentukan suatu lembaga, institusi, organisasi, pelayanan dan pendanaan pada sistem pelayanan kesehatan (Gill Walt, 1994).

Tujuan sistem kesehatan sendiri yaitu:

  1. Ketersediaan akses
  2. Efisensi
  3. Kualitas
  4. Keadilan dan pemerataan.

Dr. Amrizal menyatakan bahwa empat hal tersebut yang mampu menjawab tantangan pada sistem kesehatan yang bisa kita lakukan.

Pertama; Permasalahan Effisensi

Ketidakefisienan secara jelas dapat dilihat pada banyak sistem kesehatan sekarang. Hal-hal yang menjadi tantangan ke depan yang perlu diperhatikan yaitu penggunaan yang tidak efektif dan ketidakjelasan pelayanan, kelebihan pada peresepan obat, kelebihan penggunaan atas prosedur medis dan teknologi, penggunaan yang tidak efisien pada mekanisme pembayaran terhadap provider.

Kedua: Permasalahan Kualitas Pelayanan.

Tantangan ini banyak bermunculan di negara-negara berkembang. Berbagai macam kualitas pelayanan yang dihasilkan oleh banyak negara. Hal ini menimbulkan akibat pada kepuasan dan keselamatan pasien. Karena memang hal ini berhubungan dengan banyak hal yang mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan seperti; kurangnya kapasitas sumber daya, staf kesehatan yang sedikit sehingga bekerjanya di luar batas waktu, pengawasan di luar jangkauan (akreditasi).

Ketiga: Permasalahan pada akses pelayanan kesehatan.

Permasalahan ini muncul di banyak negara. Hal ini banyak disebabkan oleh wilayah geografis yang biasanya dibedakan antara perkotaan, pedesaan dan wilayah terpencil atau sulit dijangkau. Akibat yang kedua yaitu pada kondisi sosial. Ini disebabkan karena kemiskinan yang muncul karena ketidakmampuan dalam membayar pelayanan kesehatan dan tidak adanya perlindungan keuangan akibat pelayanan kesehatan.

Keempat: Permasalahan pada keadilandan pemerataan pelayanan kesehatan.

Permasalahan ini muncul karena ketidakadilan pada sistem. Ketidakadilan disini mungkin disebabkan karena kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan yang sama. Ketidakadilan ini banyak terjadi di negara-negara berkembang. Gambaran yang nyata mengenai ketidakdilan ini seperti distribusi yang tidak merata pada sumber daya kesehatan, fasilitas kesehatan terpusat di perkotaan, bagi tenaga kesehatan di pedesaan tidak dapat insentif yang mencukupi termasuk insentif dokter dan perawat dan di beberapa negara kesehatan dijadikan sebagai alat politik.

Berapa banyak uang dalam Sistem Kesehatan?

Pengeluaran kesehatan tahun 2010 pada Gross Domestic Product (GDP) dala m prosentase, USA masih tertinggi dengan nilai 17,9 persen, Malaysia 4,4 persen, Thailand 3,9 persen dan Indonesia kurang dari angka di atas. Perhitungan Total Health Expenditure (THE) terhadap GDP digambarkan Indonesia 2,2 persen, Malaysia 4,4 persen, dan Thailand 3,7 persen dan untuk ukuran Global mencapai 9,7 persen.

Universal Coverage

Hal terakhir yang menarik dipresentasikan oleh DR. Amrizal M Nurya yaitu mengenai Universal coverage (UC). UC merupakan akses perlindungan terhadap masyarakat untuk pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang sesuai dengan biaya yang dapat diterima. Tantangan ke depan UC adalah bagaimana menyatukan hal-hal berikut menjadi satu tujuan dalan UC. Hal-hal tersebut antara lain: teknologi, fasilitas kesehatan, pembiayaan, sumber daya manusia, kebijakan pemerintah, dan dukungan politik. Keenam hal tersebut sangat penting diperhatikan untuk mengamankan UC. Terutama dalam pembiayaan kesehatan. Tantangan yang dihadapi dalam pembiayaan kesehatan seperti rendahnya cakupan, tidak efisien, mekanisme pembayaran pada pelayanan kesehatan yang buruk. Tantangan dalam pembiayaan kesehatan tersebut harus diminimalisir untuk mengurangi beban adminstrasi yang tinggi, mengurangi kecurangan yang ada dalam pelayanan kesehatan, membuat lebih efisien mekanisme pembayaran terhadap rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk membuat Universal Coverage atau Social Security dapat berkesinambungan.

Health Promotion Policies and Guidelines in ASEAN Economic Community

 

WaranyaTeokulWaranyaTeokulReportase Shared Goals 1-Day 2
Health Promotion Policies and Guidelines in ASEAN Economic Community

WaranyaTeokul-Thai Health Promotion Foundation
Ditulis oleh: Dwijo Susilo, 25 Juni 2013


Waranya memulai presentasi dengan memperkenalkan Thai Health Promotion Foundation (Thai Health) sebagai institusi pemerintahan yang independen yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri sebagai ketua, Menteri Kesehatan sebagai wakil pertama, dan Ahli Promosi Kesehatan sebagai wakil kedua. Thai health beranggotakan sembilan Kementrian terkait dan para ahli independen. Pendanaan Thai Health bersumber dari 2 persen pajak tembakau dan pajak alkohol (USD 120 milyar di tahun 2012).

Waranya selanjutnya menjelaskan model tiga kekuatan yang dipergunakan untuk meningkatkan promosi kesehatan di Thailand, yaitu pengetahuan, kebijakan, dan sosial. Ketiga kekuatan ini saling bersinergi meningkatkan kapasitas individu dan organisasi, inovasi sosial, pemberdayaan masyarakat, lingkungan yang mendukung, dan komunikasi untuk mobilisasi.

Program Thai health dikembangkan dengan menggandeng partner strategis melalui mekanisme bantuan pendanaan. Partner strategis diajak membuat proposal yang didasarkan pada isu utama promosi kesehatan. Propsal akan di-review oleh panel khusus untuk memastikan bahwa program yang akan dikembangkan sesuai dengan arah kebijakan, strategi dan situasi terkini. Partner strategis yang lolos seleksi akan menandatangani kontrak untuk implementasi program yang diajukan.

Waranya kemudian menekankan bahwa dalam mengimplementasikan program-programnya, Thai health menggunakan pendekatan-pendekatan kerja yang meliputi populasi, area dan setting. Populasi dikelompokkan dalam usia pekerja, anak dan remaja, perempuan, orang tua, dan mereka yang tidak beruntung (miskin). Area difokuskan untuk memperkuat keluarga dan komunitas. Setting ditujukan untuk menciptakan dan meningkatkan kebahagiaan organisasi baik pemerintah, swasta maupun sekolah. Pendekatan program kerja didasarkan pada dua hal, yaitu risiko kesehatan (alkohol, tembakau dan kecelakaan) dan health behaviour (makanan).

Thai health memiliki 14 program kerja yang menjadi prioritas, yaitu pengendalian tembakau, pengendalian alkohol, pencegahan kecelakaan, pencegahan risiko kesehatan yang ringan, grup populasi khusus, komunitas sehat, promosi kesehatan untuk anak dan remaja, tempat kerja yang bahagia, aktivitas fisik dan sponsor olah raga, pengetahuan kesehatan dan pemasaran sosial, bantuan pendanaan, orientasi pelayanan kesehatan untuk promosi kesehatan, sistem pendukung untuk promosi kesehatan, dan keamanan pangan.

Waranya menutup presentasinya dengan mengemukakan ancaman potensial terhadap komunitas ekonomi ASEAN, yaitu keamanan pangan, produk tembakau (harga rokok murah, tambahan aroma pada rokok dengan target perokok pemula), perdagangan alkohol, dan pekerja migran illegal.

MDGs, Development, and Global Health-Beyond 2015

 

Prof.-Anthony-B.-Zwi“MDGs, Development, and Global Health-Beyond 2015”
Prof. Anthony B. Zwi
Faculty of Art and Social Sciences
The University of New South Wales
25 Juni 2013


 

Trend dan perkembangan terkini seputar MDGs

Pada awal presentasinya, Prof. Anthony memaparkan beberapa isu terkait MDGs yang sedang hangat dibicarakan baru-baru ini.

Beberapa isu terkait MDGs tersebut antara lain:

  1. Biaya layanan kesehatan
  2. Populasi lanjut usia yang bertambah besar
  3. Pola penyakit yang berkembang saat ini
  4. Peningkatan prevalensi penyakit kronis dan gangguan mental
  5. Mulai meningkatnya pemahaman seputar determinan sosial masalah kesehatan terutama inequality (namun baru disertai aksi yang terbatas).
  6. Peran sektor swasta dalam sistem kesehatan
  7. Kemitraan sektor swasta dengan pemerintah dan masyarakat
  8. Penajaman peran pemerintah secara spesifik dalam sistem kesehatan
  9. Upaya untuk meningkatkan peran filantropis dari sektor swasta atau pribadi
  10. Perspektif untuk memandang masalah terkait kesehatan satu per satu
  11. Berkurangnya peran WHO yang diiringi dengan meningkatnya peran Bank Dunia dan lembaga lainnya.

Demi mempermudah pembahasan, Prof. Anthony memaparkan kembali uraian pembentukan MDGs. MDGs merupakan kesepakatan internasional yang dihasilkan dari pertemuan Millenium Summit 2000. MDGs ditandatangani oleh perwakilan yang berasal lebih dari 200 negara di seluruh dunia. Saat ini MDGs telah dievaluasi kembali oleh berbagai pihak dengan tujuan penyusunan tujuan pembangunan dunia ke depan.

Hal yang dapat dipelajari dari MDGs yang masing berlangsung

Tiga poin penting yang dapat dipelajari dari MDGs yang masih berlangsung antara lain: terdapat kemungkinan untuk menyepakati tujuan pembangunan global ke depan, permasalahan kesehatan sangat diperhatikan dan dinilai penting, serta bantuan yang diberikan dapat difokuskan pada koordinasi dan penentuan prioritas.

Secara spesifik, beberapa isu yang menjadi fokus perhatian diantaranya :

  1. Terbatasnya perhatian pada proses dan konteks yang ada
  2. Beberapa poin MDGs kurang sensitif terhadap kebutuhan dan prioritas yang dimiliki masing-masing negara
  3. Masalah distribusi sering kali menjadi faktor yang menyertai
  4. Kurangnya koordinasi antar sektor sebagai hasil dari belum adanya pengakuan untuk “berbagi agenda” di antara sektor-sektor terkait
  5. Masih sedikitnya perhatian terhadap hak asasi manusia
  6. Belum adanya fokus yang nyata pada aspek keberlangsungan
  7. Masalah terkait institusi dan struktur institusi tersebut

Fitur apa yang diharapkan tercakup dalam MDGs yang akan datang?

Aspek kontekstual dan keberlangsungan (sustainability) menjadi pokok bahasan yang penting dalam penyusunan tujuan pembangunan kesehatan ke depan. Pembagian peran antara pemerintah, masyarakat dan sektor swasta diharapkan dapat menjadi salah satu poin yang dapat dibahas lebih lanjut sebagai penguatan sistem kesehatan. Koordinasi dan penentuan prioritas masalah kesehatan antar negara dapat meningkatkan sensitivitas tujuan pembangunan terhadap kebutuhan yang dimiliki masing-masing negara.

Diskusi

Salah satu isu penting yang mendapat perhatian besat dari peserta mengenai efek dari perdagangan bebas terhadap MDGs. Prof. Anthony menjelaskan bahwa perdagangan bebas kemungkinan dapat menciptakan inequity. Beberapa negara dapat menanggulangi hal ini dan memanfaatkan kesempatan perdagangan bebas untuk meningkatkan pendapatan perkapitanya, namun beberapa negara lain justru semakin mengalami social injustice dan inequity. Berdasarkan analisis Prof. Anthony, market atau pasar lebih baik tidak diletakkan dalam posisi dominan. Kerja sama dengan masyarakat, pemerintah dan sektor swasta lebih perlu ditekankan untuk mencapai tujuan bersama. Kerja sama inilah yang nantinya akan berperan dalam mengimbangi kondisi pasar yang cenderung sulit diprediksi.