Hari kedua 7th AAAH Bangkok

   

Hari kedua 7th AAAH Bangkok

 

mixx

Sesi Pleno pertama pada hari II membahas mengenai analisis antar negara,
pembicara dalam sesi ini ada 4. Pembicara pertama adalah
Prof Pisake Lumbiganon, Dean Khon Kaen Medical School,
yang menjabat sebagai Co-Coordinator Asia-Pacific Network on Health
Professional Education Reforms
(ANHER).

Prof Pisake membahas mengenai Sejarah Medical Education di berbagai negara dan kebutuhan untuk melakukan reformasi pada awal abad ke 21 ini. Sebagai co-chair dari sebuah jaringan ANHER, pembicara mengajak para peserta untuk memahami tantangan pendidikan kedokteran, antara lain: (1) perubahan pola penyakit yang tidak hannya communicable disease tapi juga NCD;(2) tantangan sosial demografi, perubahan struktur social ekonomi; (3) Health System Challenge, antara lain kerjasama tim yang buruk, kepemimpinan yang lemah, kecenderungan konflik antar profesi, pengembangan health system yang semakin kompleks dan mahal, kekurangan SDM, Universal Coverage dan Health Equity; (4) Medical Education Challenges, misal adanya lulusan yang kurang bermutu. Oleh karena itu dirasakan perlu Reform Global untuk pendidikan kedokteran dan kesehatan. Reform ini diluncurkan di Harvard pada 2010 lalu. Pelaksanaan di Asia : ANHER dibahas di AAAH meeting di Bali 2010 (Catatan : Indonesia kemudian tidak ikut). Bulan April 2001, pertemuan di Hanoi dimana China dan India bergabung, tapi Indonesia belum. Kelima negara kemudian bergabung dan melakukan penelitian bersama mengenai reformasi dalam pendidikan kesehatan dan kedokteran.

Pembicara 2 adalah Prof Barbara McPake, Director of the Institute for International Health and Development Queen Margaret University, Edinburg.

The Challenges for Human Resources for of Reducing Health Financing . Presentasi ini membahas implikasi penghapusan user-fee untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak. Hal yang menjadi pertanyaan besar : apa bukti penggratisan ini terhadap sistem pelayanan kesehatan? Berbasis pada desk-top research dan dua studi lapangan di Sierra Leone dan Zimbabwe ditemukan berbagai bukti bahwa penggratisan ini menunjukkan adanya dampak positif dalam penggunaan pelayanan kesehatan. Masyarakat miskin lebih mendapat manfaat untuk dibanding yang kaya. Akan tetapi masalah di sisi supply memberikan negative impact. Contohnya: peningkatan beban kerja, penurunan moral. Di beberapa negara ada dana kompensasi berupa nsentif untuk tenaga kesehatan seperti yang dilakukan di Nepal dan Niger. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa ada kemungkinan memperburuk ketimpangan rural dan urban. Dalam kesimpulan memang susah mengukur impact perubahan kebijakan pembiayaan (penghapusan user-fee/penggratisan) terhadap sistem kesehatan dan SDM di dalamnya. Disamping itu, banyak hal yang masih harus dibahas.

Pembicara 3. Ms Taina Nakari, Global Health Workforce Alliance (GHWA),

Geneva membahas mengenai Jaringan GHWA dan jaringan lokal. GHWA di Geneva mendukung pengembangan jaringan-jaringan regional. Sebagai gambaran adalah AAAH di Afrika dan di Asia Pasifik. Ada beberapa kegiatan, misal: HRH Observatories di Latin America, Africa, Easter Mediteranean, dan berbagai tempat lainnya. Ms Nakari memaparkan mengenai keuntungan menjadi anggota Jaringan HRH di region. Ada banyak kegiatan termasuk: Kepemimpinan, migrasi, penempatan di daerah terpencil, MDGs dan adanya Konsultasi Regional.

Pembicara 4. Prof Tim Evans, Dean of BRAC University's James P Grant School of Public Health

lebih berperan sebagai pembahas. Dalam kesempatan tersebut Prof Tim Evans mengingatkan mengenai manfaat kegiatan kolaborasi, kembali ke tahun 2001. Mengapa harus ada jaringan? Jawabannya untuk meningkatken efisiensi. Ada public goods aspect di dalam kegiatan ini. Di dalam proses jaringan ini ada penguatan kapasitas misalnya, dan hal ini sangat pendting dalam konteks medical education. Di Afrika terlihat ada efisiensi dan penajaman dalam peningkatan kemampuan kapasitas. Peningkatan ini berada dalam konteks : individu, institusi, dan informasi.

caatat
Catatan dari Prof Laksono untuk Indonesia 
(tidak dibahas di Sidang, namun untuk dibawa pulang).
Dalam sesi ini ada beberapa catatan untuk Indonesia, yaitu:

1. Isu medical education reform
2. Dampak perubahan sistem pembiayaan untuk SDM

 

  1. Isu medical education reform.

    Indonesia memang tidak menjadi anggota dari ANHER, walaupun pada tahun 2010 diselenggarakan di Bali. Akan tetapi isu reformasi pendidikan kedokteran ini dikembangkan dalam penyusunan RUU Pendidikan Kedokteran. Dalam RUU Pendidikan Kedokteran (yang masih tertahan di DPR karena pemerintah/cq Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih belum ingin mengesahkan), dilakukan berbagai usaha untuk mereformasi sistem pendidikan kedokteran. Referensi yang digunakan dalam naskah akademik RUU Pendidikan Kedokteran sama dengan apa yang dibahas di ANHER. Dalam konteks pengembangan reformasi medical education ini, ada baiknya RUU Pendidikan Kedokteran ditelaah kembali.

  2. Dampak perubahan sistem pembiayaan untuk SDM.

    Apa yang dibahas oleh Barbara McPake terjadi di Indonesia dalam kasus Jampersal dan Jaminan Kesehatan Aceh. Perubahan sitem pembiayaan dengan cara membebaskan biaya ternyata berdampak langsung pada sumber daya manusia, yaitu terjadi penurunan pendapatan. Respon langsung SDM sangat menarik. Dalam kasus Jampersal tahun 2011 terjadi peningkatan rujukan ke RS. Sementara itu di Aceh, para spesialis di daerah sulit menjadi tidak nyaman karena berkurang pendapatannya. Terjadi migrasi ke urban, atau tidak full bekerja di daerah sulit. Jadi, isu ini perlu diteliti lebih lanjut.

Sesi paralel di Hari II yang menarik adalah masalah kebijakan agar para tenaga kesehatan tetap berada di daerah terpencil (isu retensi). Ada tiga pembicara yang berasal dari China, Vietnam, dan Thailand.

Pembicara 1; Dr. Xu Ji, Pimpinan Center for Health Human Resources Development , China Ministry of Health. Bagaimana kebijakan untuk retensi di daerah sulit di China?

Di tahun 2009 ada reformasi kesehatan. Ada dana sebenar 135 biliun dollar untuk reformasi pada tahun 2009 sampai dengan 2011. Salah satu hal penting adalah membentuk jaringan pelayanan kesehatan dasar di China. Situasi yang terjadi di HRH China. Pelayanan kesehatan primer diperbaiki tahun 2011. Ada 2200 RS kabupaten dan 33 ribu puskesmas yang direnovasi. Kemudian, dibutuhkan banyak SDM yang berkualifikasi tinggi di daerah pedalaman China.

Situasi HRH seperti berikut ini, total 8.21 juta HRH, 5.88 juta tenaga kesehatan, 1.09 juta dokter desa. Rasio perbandingan dokter dengan perawat = 1.18. Lebih banyak lulusan kesehatan yang tinggi di kota dibandingkan di daerah, 3.4 kali lebih tinggi. Sementara, untuk jabatan masih banyak yang rendah. Ada berbagai kebijakan retensi tenaga kesehatan di China. Kebijakan pertama berupa pemberian bimbingan teknis dari pelayanan kesehatan dari perkotaan ke desa. Dalam hal ini yang diuntungkan adalah RS kabupaten. Hasil yang diharapkan adalah peningkatan mutu, dan kemampuan manajemen. Kebijakan kedua adalah rekruitmen di daerah untuk di tempatkan di pedesaan. Kemudian, lembaga yang diuntungkan adalah puskesmas di rural.

Kebijakan ketiga adalah peningkatan kapasitas untuk pelayanan kesehatan di daerah pedesaan. Kebijakan keempat adalah melakukan kerja kontrak dengan mahasiswa kedokteran dengan berbagai paket manfaat. Pertanyaan mendasar adalah : Apakah kebijakan tersebut berhasil? Masih belum banyak bukti yang dapat dipakai.

Pembicara kedua adalah Khuong Anh Tuan dengan materi Policy Mapping and Analysis on Rural Retention in Vietnam.
Tuan adalah Head Department of Health Service Management Research, Health Strategy and policy institute Vietnam. Pembicara menyatakan bahwa cakupan SDM di Vietnam sudah mulai membaik. Tapi tetap banyak masalah seperti kekurangan jumlah, mutu yang rendah di lapangan, kurang dana di daerah sulit, dan adanya brain drain dari rural ke urban. Tujuan peyajian : 1. membahas secara kronologis seluruh kebijakan pemerintah yang meningkatkan retensi tenaga kesehatan di daerah rural. 2. Melakukan analisis terhadap kebijakan publik untuk retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil; dan 3. memberikan usulan opsi kebijakan. Kesimpulan yang diperoleh dari analisis ini sebagai berikut. Pertama, kebijakan untuk retensi tenaga kesehatan di daerah rural Vietnam belum membahas isu-isu penting seperti kurikulum yang merefleksikan isu kesehatan rural, compulsory service, support untuk pelayanan jauh, kondisi kehidupan yang lebih baik, jaringan professional, dan penghargaan publik. Kedua, ada gap besar antara isi dokumen kebijakan nasional dengan peraturan untuk pelaksanaan kebijakan. Sehingga, dalam pelaksanaannya perlu ada kebijakan lain.

Pembicara terakhir dari sesi ini mengenai Analisis Kebijakan Retensi di Thailand yang disampaikan oleh Passaroen Wanhaijiraboon.
Di Thailand ada sekitar 700 district hospitals (100 TT), 9 % berada di daerah sangat terpencil, dan 16% terpencil. Kebijakan yang dijalankan adalah mengatur supply tenaga kesehatan, mengembangkan distribusi dan penggunaan yang baik, serta memberikan insentif berupa non-keuangan dan keuangan.

Kebijakan tersebut mencoba mengatur dinamika perpindahan dokter dari rural ke urban. Muncul peraturan wajib kerja sejak tahun 1972. Kemudian pada tahun 1980 ada kebijakan investasi di RS Swasta. Jumlah RS Swasta meningkat menjadi 25% (sebelumnya hanya 10%). Ada brain drain dari RS rural ke RS swasta yang berada di kota-kota besar. Di lapangan, jumlah dokter tidak bertambah banyak. Di pertengahan 1997 terjadi krisis ekonomi. Sebagian RS Swasta menurun kinerjanya. Ada pengembangan balik, dimana dokter migrasi dari swasta ke pemerintah. Namun sejak tahun 2002 terjadi economic recovery dan kembali ada migrasi dari rural dan pemerintah ke swasta.

Untuk meredam dinamika ini, kebijakan yang dilakukan adalah menambah jumlah mahasiswa kedokteran dan menambah jumlah rural dokter karena selama ini semakin banyak dokter spesialis, dan GP menurun. Kebijkan insentif terus dikembangkan. Akan tetapi kebijakan insentif keuangan belum memberikan hasil maksimal. Dalam menjalankan kebijakan retensi dokter ini prinsipnya adalah Plan Long-Act Short-Update Open.

Kesimpulan dari diskusi ini:

Kebijakan retensi dokter merupakan hal yang penting dalam Human Resources for Health. Berbagai kebijakan telah dilakukan di tiga negara. Hasil memang belum menggembirakan, akan tetapi usaha sudah mulai dilakukan. Pelajaran penting dari Thailand adalah perubahan sistem pembiayaan akan mengubah dinamika dan migrasi dari urban ke rural dan sebaliknya. Insentif keuangan memang penting, tapi bukan satu-satunya insentif seperti yang dilakukan di Vietnam dan Thailand. Dalam hal ini, promosi jabatan juga menjadi isu penting.

caatatCatatan dari Prof Laksono untuk Indonesia (tidak dibahas di Sidang, namun untuk dibawa pulang).

Dalam sesi ini ada beberapa catatan untuk Indonesia, yaitu:

1. Bagaimana kebijakan retensi ini di Indonesia?
2. Apakah perlu ada suatu kebijakan baru?

 

  1. Kebijakan untuk retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil.

    Di Indonesia, belum ada kebijakan yang jelas mengenai retensi tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya sampai saat ini. Memang sudah ada kebijakan dokter atau bidan kontrak, insentif daerah terpencil atau pengembangan daerah tertinggal. Akan tetapi belum jelas, juga dalam hubungannya dengan proses produksi.

  2. Apakah perlu ada kebijakan baru? Ya dan hal ini telah menjadi perhatian Dr Untung Suseno MKes, Kepala Badan PPSDM Kemenkes yang baru dilantik, dan hadir aktif mengikuti kegiatan di Bangkok ini. Dalam konteks ini Universitas Gadjah Mada akan menyelenggarakan pertemuan usulan Kebijakan SDM Kesehatan di daerah terpencil di bulan Maret 2013. Selama 5 tahun terakhir ini FK UGM melakukan berbagai kegiatan untuk mendukung pengembangan SDM di daerah terpencil, antara lain :

    1. Memberikan affirmative selection untuk calon mahasiswa baru di daerah terpencil. Dengan memberikan tempat yang hanya diperebutkan oleh lulusan SMA setempat, ada jaminan lulusan SMA dapat masuk ke FK UGM.
    2. Mengembangkan Sister Hospital yang berusaha untuk mendidik residen dari daerah terpencil di pedalaman NTT dan sambil menunggu kedatangan kembali, mengisi dengan tenaga kontrak untuk mengurangi kematian ibu dan bayi.
    3. Mengembangkan studi persiapan untuk mendukung dokter di daerah terpencil, termasuk pengembangan perhimpunan dokter di daerah sulit.

 

0900-030 

Plenary Session 3 Cross country analysis; Lessons from Intersession activities (Intersession activity of AAAH)
Coordinator: AAAH secretariat

Pisake Lumbiganon, MD, MS(Penn)

Barbara McPake, Sophie Witter

Regional HRH networks – diverse models

1030-045

Coffee break

1045-215

Parallel Session 4

The Roles of the Public and Private Sectors in HRH Education and Regional Labour Markets (Sub-theme 5)

Coordinator: Dr Viroj Tangcharoensathien

 

Dr.Gantuya Sengee,MOH

A/Prof. Le Cu Linh, PhD.

Dr. Piniru Perera

Akira Shibanuma

Parallel Session 5

HRH Rural Retention Policy Analysis (Sub-theme 6)

Coordinator: Researcher from intersession research

 

Parallel Session 6

Ensuring the Quality and

Effectiveness of HRH Financing

  (Sub-theme 7)

Coordinator: Dr Marilyn Lorenzo

1215-300

Lunch

1300-1700

Field visits 3 sites (Participants will be separated into 3 groups.) –[one group per one site] 

1700-900

Official Conference Celebration Dinner –on the Chao Praya Grand River Cruise

 

  

Hari 1 Sesi Poster

   

Hari 1 Sesi Poster

photobankok2Suasana di salahsatu area pameran poster

Setelah makan siang diselenggarakan Poster Session dimana ada diskusi dengan pemilik poster.  Ada 11 poster, tapi satupun tidak ada yang berasal dari penulis Indonesia. Apa saja judul posternya?

A.  Kelompok Pendidikan Tenaga Kesehatan.

  1. Thai new Medical graduates confidence in medical and public health competency
  2. Differential Responses of attitudes toward inter-professional health care teams and the education to program for the first and third year undergraduate students.

B. Kelompok Manajemen dan Kepemimpinan

  1. Leadership/Management Capacities of Nursing Professionals at the Policy Level across various state of India
  2. Medical Leadership
  3. Assessment of health system contribution in promoting leadership amongst community health workers in Sri Lanka.
  4. Entangle issues of Nurse Retention : The Absence of Nurse’s Leadership.
  5. District Program Management Units in Rajasthan India: Changing Organization Culture.
  6. The 3rd Eye; using information technology in Human Resource management. A Sri Lankan experience

C. Kebijakan SDM terutama untuk menjamin tenaga kesehatan tetap berada di daerah terpencil.

  1. Retention of health workers to serve population in rural area in extremely important strategy in Lao PDR, but what and how to do?
  2. How policy intervention of human resources development of midwifery contributed to the reduction of maternal mortality in Cambodia.
  3. Retention factors and strategies of rural health care professionals in Sri Lanka.

Isi poster–poster tersebut menunjukkan adanya suatu pengembangan baru yang mengacu pada hubungan antara masalah SDM dalam pelayanan kesehatan dengan system produksinya. Hal  ini ditunjukkan oleh para penulis poster yang sebagian berasal dari isntitusi pendidikan, dan sebagian lain dari lembaga pelayanan kesehatan.

Mengapa tidak ada poster dari Indonesia? Hal ini merupakan pertanyaan menarik. Ada kemungkinan Aliansi ini tidak begitu dikenal di Indonesia walaupun pada pertemuan ke V diselenggarakan di Bali pada tahun 2010.  Kemungkinan lain, tema  yang menggabungkan antara kebutuhan pelayanan kesehatan dengan system pendidikan (produsen tenaga kesehatan) memang belum begitu dipahami pentingnya . Diharapkan pada pertemuan AAAH tahun 2014, akan lebih banyak penyaji dan penulis poster dari Indonesia. (Laksono Trisnantoro).  

 

Laporan Pertemuan Hari 1- Sesi 1

   

Laporan Pertemuan Hari 1- Sesi 1

bangkok1aSuasana pertemuan 7th AAAH di Bangkok , Thailand

Pertemuan ini diawali oleh Dr. Junhua Zhang, Chair of SC dalam pertemuan AAAH ke-7 yang dihadiri sekitar 250 wakil dari negara-negara di Asia Pacific, mulai dari Mongolia hingga Australia. Hal yang ditekankan bahwa perlu ada respon strategis dalam hal Human Resources for Health untuk menghadapi pencapaian MDGs dan adanya himbauan untuk upaya Universal Coverage di seluruh dunia. Berbagai usaha ini perlu dijalankan secara nyata. Wakil dari Kementerian Public Health menyatakan perlunya pengembangan kepemimpinan tenaga kesehatan sejak usia muda. Setelah pidato-pidato pembukaan, dilanjutkan dengan pemberian Award AAAH untuk dua pelaku pelayanan kesehatan di Nepal dan Burma.

Pertama, Khima Kumari Poudel adalah seorang pembantu bidan di Nepal yang diberi penghargaan karena usahanya yang sangat gigih dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kedua, yaitu pemberi pelayanan dari Burma bernama Dr.Myint Thein Tun, selau Kepala Dinas Kesehatan Kota Paukkaung. Award ini diberikan karena dedikasinya selama puluhan tahun untuk pengembangan kesehatan ibu di daerahnya. Kandidat dari Indonesia belum terpilih dalam Award AAAH tahun ini.

Sesi 1 setelah pembukaan adalah Sidang Pleno yang membahas Pengembangan Kepemimpinan dan Tantangan untuk Penguatan Sistem Kesehatan. Sidang Pleno 1 dipimpin oleh Dr. Budihardja MPH, mantan DirJen Gizi dan KIA Kemenkes. Pembicaranya adalah:

  1. Prof. Laksono Trisnantoro, Ketua S2 Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, IKM, Universitas Gadjah Mada
  2. Prof. Sanjay Zodpey, Director-Indian Institute of Public Health
  3. Dr. Muhammad Mahmood Afzal, Head of Country Facillitation Team, Global Health Workforce Alliance, Geneva.

Sesi 1 diawali dengan pembukaan oleh moderator yang menyatakan bahwa kepemimpinan dalam HRH merupakan komponen penting untuk pencapaian status kesehatan masyarakat. Dalam diskusi akan diawali oleh pengalaman Indonesia dalam pengembangan kepemimpinan di KIA yang bersifat multi-aktor, lintas sector dan mempunyai target penurunan kematian. Kemudian pembicara kedua membahas mengenai konsep kepemimpinan dan penanganannya secara makro.  Pembicara ketiga membahas mengenai peran dari Country Coordination and Facilitation untuk pengembangan SDM Kesehatan di Negara-negara anggota WHO.

Pembicara 1, Prof Laksono Trisnantoro
pada intinya menyatakan bahwa pengembangan kepemimpinan dalam HRH untuk mencapai penurunan kematian KIA harus dilakukan dengan prinsip memahami bahwa kegiatan KIA merupakan sebuah jaringan. Dalam Jaringan tersebut, misal di kabupaten, terdapat berbagai pemimpin yang terbagi atas pemimpin birokrasi kesehatan (KaDinkes di level kabupaten), pemimpin politik pemerintahan (bupati), pemimpin teknis kesehatan (spesialis atau dokter, atau taskshifting ke profesi lain yang mempunyai komitmen dan paling tinggi pendidikannya dalam ilmu kesehatan), serta pemimpin masyarakat. Situasi kepemimpinan tidak mudah karena belum terkoordinasi, sementara itu pemimpin teknis kesehatan seperti spesialis masih banyak yang belum sadar akan perannya.
Materi presentasi Prof. Laksono Trisnantoro download.

Pembicara 2, Prof Sanjay Zodpey
menyatakan bahwa ada krisis SDM kesehatan di dunia.  Secara kuantitatif diperkirakan ada kekurangan sebanyak 4 juta SDM kesehatan di berbagai profesi.  Disamping itu ada mal-distribution. Sebagai respon untuk krisis setiap Negara harus mempunyai strategi dalam SDM kesehatan.  Selanjutnya Prof Sanjay membahas mengenai situasi di India yang mengeluarkan berbagai kebijakan seperti  adanya Konsil Kedokteran, Konsil Perawatan, peningkatan mutu pendidikan kesehatan dan kedokteran, serta adanya Task-Force untuk pengembangan Public Health. Diharapkan pemerintah pusat menjadi pemimpin dalam pengembangan kebijakan SDM kesehatan.

Pembicara 3,  Dr MH Afzal
memaparkan mengenai peran Country Coordination and Facilitation (CCF) dari Global Health Workforce Alliance dengan pengalaman di Pakistan.  Sejak tahun 2009 CCF yang berbasis di Geneva telah memberikan support untuk 25 negara di dunia untuk menggunakan pendekatan CCF untuk kebijakan SDM. Berbagai negara seperti Pakistan, Nepal, Afganistan dan Indonesia, telah berhasil melaksanakan dengan dukungan CCF.  Konsultan luar yang menilai mengenai CCF mengakui manfaatnya di berbagai negara Afrika. Salahsatu kunci pentingnya adalah bagaimana mendorong diskusi kebijakan dengan pengambil kebijakan.  Berbagai materi mengenai CCF dapat dibaca di www.aaahrh.org

Setelah presentasi dilakukan diskusi selama 30 menit. Sebagian besar komentar dan pertanyaan ditujukan kepada Prof. Laksono Trisnantoro.

Ada beberapa pertanyaan sebagai berikut di Termin 1:

Komentar  1 dari Nepal : Mengapa Leadership. Kepemimpinan untuk memotivasi dan mempengaruhi agar terjadi perubahan di lapangan. Contoh dari Nepal menunjukkan hal tersebut. Saya sepakat dengan isi dari seluruh pembicara.

Komentar  2 dari Prof Syeh, India. Saya sangat terkesan dengan presentasi Dr. Laksono. Ada kesamaan antara Indonesia dengan India. Kepala Dinas Kesehatan berada dalam posisi yang susah dan sering dijadikan sasaran kesalahan kalau ada kegagalan dalam pencapaian status kesehatan. Mereka kurang didukung oleh wewenang dan anggaran untuk memimpin. Hal ini merupakan tantangan yang perlu dibahas di AAAH secara kontinyu.

Komentar 3 Prof Ajun dari Nepal: Saya tertarik dengan pernyataan Dr. Laksono. Apakah sudah ada pengembangan kurikulum di fakultas kedokteran mengenai system kesehatan dan kepemimpinan? Kita perlu untuk memperkuat kepemimpinan sejak dari pendidikan.

Komentar 4 dari Hanoi :Bagaimana Dr. Laksono bisa menyampaikan isu penting mengenai pengembangan leadership ke Menteri Keuangan yang harus mendanai pelatihannya? Mohon di beri tahu.

Kementar 5. Dr. Ohta: Bangladesh. : Apakah Indonesia akan mengembangkan kegiatan kepemimpinan di luar KIA

Ringkasan Jawaban Prof Laksono Trisnantoro di Termin 1:

Ya… kepemimpinan adalah sebuah hal yang perlu dibuktikan di lapangan apakah ada pengaruh atau tidak. Seorang pemimpin harus mempunyai pengaruh dan dalam kasus di program KIA adalah menurunnya kematian ibu dan anak. Untuk Prof Syed dari India: kepemimpinan kepala Dinas Kesehatan ini memang yang paling unik karena dalam jaringan KIA mereka harus “memimpin” para “pemimpin lain” yang lebih powerful, lebih senior,  dan lebih tinggi status social ekonominya. Celakanya mereka rentan terhadap pemecatan karena adanya power Bupati. Mungkin sama dengan di India. Oleh karena itu pemimpin teknis seperti spesialis harus banyak aktif. Tidak bisa masalah MDG dibebankan kepada pemimpin Dinas Kesehatan saja. Di level nasional Ketua Perhimpunan Ahli harus aktif dan berperan dalam merancang kebijakan SDM nasional. Untuk Prof Adjun, sejak 3 tahun yang lalu secara resmi Fakultas Kedokteran UGM telah memasukkan ke kurikulum pendidikan kedokteran mengenai Sistem Kesehatan dan Kepemimpinan. Topik ini merupakan salahsatu dari topik-topik favorit mahasiswa. Di pendidikan residensi juga sudah diberikan. Kami berharap AAAH dapat mengembangkan hal ini. Untuk  Ibu dari Hanoi, pihak Kemenkes tentunya atas persetujuan dari Kemenkeu sudah mendukung kegiatan ini. Masalahnya adalah bagaimana metode yang paling tepat untuk melatih leadership di para pemimpin di lapangan. Kami memilih menggunakan Problem Solving Method.  Untuk Dr. Ohta, kami memang merencanakan juga untuk leadership dalam penyakit tidak menular (NCD). Logikanya para spesialis harus bekerja bersama tenaga kesehatan lain dan menjadi pemimpin teknis untuk penanganan NCD di sebuah kabupaten. Sayangnya perhatian spesialis masih rencah.

Prof Laksono kemudian minta para peserta yang spesialis mengacungkan jari. Ternyata dari 250 peserta hanya sekitar 7 orang yang spesialis. Dari delegasi Indonesia ada yaitu Dr. Wawang Sukarya mewakili KKI.  Prof Laksono kemudian mengajak AAAH untuk memberikan kesempatan bicara bagi spesialis pada pertemuan tahunan mendatang.

 

Komentar/Pertanyaan di Termin 2:

Komentar 6. Ramesh. Nepal. Local Government : Bagaimana penghubung antara dokter yang sangat teknis dengan masyarakat biasa?

Komentar 7, Dr. Untung Suseno: Indonesia. Mengajak spesialis untuk membahas hal-hal seperti ini sangat sulit karena mereka sibuk bekerja. Perlu ada penekanan tentang hal ini.

Komentar 8. Prof Tim dari BRAC Dakka. Leadership tidak sederhana, perlu consensus yang sangat spesifik antar berbagai pemimpin. Komplesitas leadership di kesehatan sangat besar. Sering terjadi kekurangan consensus di berbagai pemimpin yang mempunyai kekuasan besar.

Ringkasan Jawaban Prof Laksono Trisnantoro pada Termin 2 :

Ya pada intinya kami melihat bahwa para spesialis adalah pemimpin pentingan dalam jaringan di system kesehatan. Mereka pemain kunci yang juga harus memberikan pemahaman teknis ke masyarakat seperti yang dinyatakan oleh Ramesh. Mengenai waktu yang sangat sulit bagi spesialis, saya setuju dengan Dr. Untung. Akan tetapi ini tidak menjadi halangan asal ada pemahaman dari para spesialis mengenai konsep "probono". Konsep ini menyatakan bahwa profesi yang terhormat, dan kaya, seperti pengacara, mereka biasanya mempunyai kebiasaan untuk meluangkan waktu memberikan pelayanan publik bagi mereka yang miskin. Peluangan waktu ini merupakan sebuah tanggung jawab social. Tidak hanya berupa pengobatan gratis tapi juga mendorong pengembangan status kesehatan masyarakat. Saya sudah diskusi dengan banyak spesialis. Mereka sangat berminat, namunmemang tidak tahu harus bagaimana.

Untuk Prof Tim, memang sekali lagi saya tekankan bahwa kepemimpinan HRH harus dilihat di level local karena disinilah perubahan pada status kesehatan masyarakat terjadi. Kita tidak bisa hanya terus bicara dan seminar di hotel. Perlu ada action riil di lapangan yang kompleks. Tenaga-tenaga kesehatan tertentu sangat potensial karena walaupun tidak mempunyai power, tetapi mereka mempunyai influence (pengaruh), Sayang masih belum dimaksimalkan karena memang masih sulit. Tapi mari kita mulai dari sekarang.

Pada penutupan sesi, moderator menyimpulkan sebagai berikut:

We are aware that HRH is a bottleneck for improving health outcomes. To some extent this is due to lack of clarity in messaging and role of the multiple actors, a comprehensive planning exercises and overall policy dialogue. Efforts have been made in such a big way in many countries, however the increased awareness of the need HRH as the backbone of the health systems has not translated into corresponding investments.

Therefore, leadership in articulating policy options is one of the key words in building up a sound HRH for effective health systems to lead to better health outcomes for the populations. Areas that are strategic for articulating sets of policy options include:

  • Measuring and monitoring trends of HRH situation, including production, deployment and health labour market.
  • Institutional strategies for scaling up education and production of health professionals.
  • Embed HRH planning in the sectoral policy dialogue
  • Aligning national policy dialogue on HRH plans with wide sector approach and aid-effectiveness initiatives.
  • Benchmarking (exchange of experiences) among the countries of the AAAH Network on quality, production, deployment and HRH management

 

Time

Topic / activity

0900-1015

  • Opening ceremony
  • Opening address by 2-3 key persons (4 minutes per speaker)
  • Dr Junhua Zhang, AAAH Chairperson
  • AAAH award ceremony and keynote speeches from 2 awardees  (10 minutes each)

1015-1030

Coffee break

Press Conference

1030-1200

Plenary Session 1 Leadership Development and Challenges for Health System Strengthening: A Focus on HRH (Theme)
Coordinator: Dr Budihardja Singgih

Dr. Myint Thein Tun
Dr. Muhammad Mahmood Afzal
Prof. Laksono Trisnantoro
Prof. Sanjay Zodpey, MD, PhD

1200-1300

Lunch

1300-1430

Plenary Session 2 HRH Policy Strengthening through Leadership Development (Sub-theme 1)
Coordinator: Dr Gulin Gedik

Gantuya Sengee, MD, MCH.,
Dr. Christine Joan R. Co

1430-1445

Coffee break

1445-1530

Poster presentation

1530-1715

Parallel Session 1

Improving Information Systems and Evidence on HRH (Sub-theme 2)
Coordinator: Dr Gulin Gedik

Dr. Mario R. Dal Poz, MD, PhD
Dr. Kenneth G. Ronquillo
Chosita Pavasuthipaisit M.D., MS.c
Case Study: HRIS Development in Lao PDR

Parallel Session 2

Community Involvement in HRH Development (Sub-theme 3)
Coordinator: Dr Bambang Giatno

Development: Samoa Experience
Dr Muhammad Mahmood Afzal
M Zobair Hasan

1715-2000

Conference Welcome Dinner

 

 

 

Training in Qualitative Methods Health Seeking Behavior and Health Expenditure Tracking Study

Training in Qualitative Methods

Health Seeking Behavior and Health Expenditure Tracking Study

Surabaya 3, 4, dan 5 Desember 2012.

Potret dari kemakmuran rakyat diukur melalui berbagai indikator seperti bertambah tingginya tingkat pendapatan penduduk dari waktu ke waktu, kualitas pendidikan dan derajat kesehatan yang membaik, bertambah banyaknya penduduk yang menempati rumah layak huni, lingkungan permukiman yang nyaman bebas dari gangguan alam dan aman. Pelaksanaan beberapa program kesehatan oleh pemerintah untuk mencapai indikator-indikator tersebut telah dilaksanakan selama beberapa tahun ini. Program yang dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan diluncurkannya beberapa macam jaminan untuk rakyat miskin agar bisa menjangkau ke fasilitas kesehatan. Bantuan-bantuan tersebut, antara lain; jamkesmas, jampersal, jamkesda, dan lain sebagainya. Bahkan program bantuan ini tidak dilakukan oleh pemerintah pusat saja, namun pemerintah daerah juga berpartisipasi.

Skema jaminan kesehatan yang telah diluncurkan oleh pemerintah sudah banyak diteliti. Saat ini muncul pertanyaan besar mengenai bagaimana sebenarnya utilisasi jaminan kesehatan tersebut oleh masyarakat, terutama masyarakat miskin, padahal pemerintah sudah mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk meluncurkan program-program tersebut. AusAID, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Air langga bekerja sama untuk meneliti lebih lanjut pola pencarian layanan kesehatan oleh masyarakat miskin di Provinsi Jawa Timur beserta utilisasi program jaminan kesehatan oleh masyarakat miskin tersebut.

Secara khusus, tujuan dari penelitian ini antara lain melihat dari dua sisi, yaitu sisi permintaan (dari masyarakat/rumah tangga) dan dari sisi penawaran (dari pemerintah melalui pelayanan kesehatan primer di Puskesmas). Tujuan penelitian dari sisi permintaan yaitu : (1) Mengetahui jenis layanan kesehatan yang saat ini terdapat di Jawa Timur (pemerintah, pihak swasta), (2) Untuk mengidentifikasi penggunaan sumber daya kesehatan (formal dan non formal) oleh masyarakat miskin, (3) Mengidentifikasi penggunaan dan kualitas pelayanan perawatan primer dengan orang miskin dan hampir miskin di Jawa Timur, (4) Mengeksplorasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan mengenai penggunaan dari fasilitas kesehatan untuk mencari perawatan kesehatan, dan (5) Mengeksplorasi faktor sosial budaya yang berkontribusi ke kesehatan dan mencari perilaku masyarakat miskin dan hampir miskin, terutama faktor yang mungkin mengurangi penggunaan pelayanan kesehatan. Sedangkan dari sisi penawaran, yaitu pemberi layanan kesehatan, akan dianalisis (1) Identifikasi penggunaan sumber daya dan dana oleh pelayanan kesehatan dasar di PUSKESMAS, (2) Identifikasi perencanaan dan penganggaran, serta sumbatan dan hambatan yang ada di pelayanan kesehatan primer dengan focus kepada pelayanan kesehatan ibu dan anak dengan target kepada rumah tangga miskin dan hampir miskin di Jawa Timur, (3) Eksplorasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan mengenai perencanaan dan penganggaran bidang kesehatan dalam pelayanan kesehatan dasar di PUSKESMAS, (4) Studi dokumen perundangangan dan regulasi terkait pelayanan kesehatan dasar di PUSKESMAS.

Untuk provinsi Jawa Timur mengambil 4 kabupaten sebagai lokasi penelitian yaitu: Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Sampang, sedangkan 2 kabupaten untuk daerah perbandingan (comparison districts) adalah Kabupaten Sumenep, Kabupaten Probolinggo. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan (metode) sehingga diharapkan data yang diperoleh dapat bermutu, berkualitas dan mencerminkan fakta yang terjadi di daerah penelitian. Kegiatan pelatihan metode kualitatif ini bertujuan untuk membahas lebih jauh mengenai pendekatan yang akan digunakan dalam pengambilan data penelitian.

Maksud dari pertemuan ini untuk menjelaskan mengenai metode penelitian,proses pengambilan data, dokumen terkait dan aplikasi metode kualitatif dalam pengambilan data penelitian di lapangan. Fokus dari pertemuan ini, memaparkan secara detail mengenai penelitian ini termasuk dari;

• Latar belakang

• Tujuan umum dan spesifik dari penelitian

• Pemaparan waktu penelitian

• Proses pengambilan data kualitatif

• Data apa yang dicari dan harus ditemukan dalam penelitian ini.

• Proses transkrip hasil focus group discussion dan indepth interview

Peserta pertemuan ini dapat mengetahui, dan terjadi;

• Terjadi kepahaman dan satu pengertian dalam berbagai proses tahap dalam pengambilan data,

• Mendapatkan data yang bermutu dan berkualitas. Sehingga data yang diperoleh merupakan gambaran dari wilayah penelitian.

• Seluruh pihak yang terkait dengan penelitian mengetahui tujuan umum dan spesifik dari penelitian.

• Selain itu juga terjadi kepemahaman untuk jobdesk atau deskripsi tugas masing-masing orang.

• Seluruh pihak yang terkait dalam penelitian mengetahui time line penelitian.

Berdasarkan kebutuhan tersebut di atas, pertemuan pembahasan penelitian ini akan dilakukan selama 3 hari penuh.

Pertemuan dilakukan dengan presentasi, diskusi dan latihan secara langsung dengan bimbingan narasumber.

Pertemuan ini akan dilakukan pada tanggal 3, 4, dan 5 Desember 2012 di Surabaya (tempat pelatihan tercantum dalam undangan)

Pelatihan ini diselenggarakan oleh AusAID bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Air langga

Senin, 3 Desember 2012

08.00 – 08.30 : Registrasi

08.30 – 09.00 : Pembukaan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, perwakilan dari UGM dan perwakilan Unair.

09.00 – 10.30 : Overview penelitian oleh tim UGM

10.30 – 11.00 : Break/ istirahat

11.00 – 12.00 : Koordinasi dan diskusi dengan Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten (6

kabupaten) dan BPS Provinsi

12.00 – 13.00 : Makan siang, istirahat, ibadah

13.00 – 14.00 : Penjelasan penelitian kualitatif secara umum, cara kerja penelitian dan tugas

masing-masing pihak

14.00 – 15.00 : Overview penelitian kualitatif dan kuantitatif

15.00 – 16.00 : Pemilihan lokasi dan sampel penelitian

Selasa, 4 Desember 2012

08.30 – 09.00 : Penjelasan mengenai "health seeking behavior" dan "health expenditure tracking study" (R. Siwi Padmawati - Deni Harbianto,UGM).

09.00 – 09.15 : Diskusi

09.15 – 10.00 : Penjelasan mengenai focus group discussion dan teknik memfasilitasi FGD

10.00 – 10.30 : Break/ istirahat

10.30 – 12.00 : Latihan memfasilitasi FGD

12.00 – 13.00 : Makan siang, istirahat, ibadah

13.00 – 14.00 : Penjelasan mengenai wawancara dan teknik wawancara

14.00 – 15.00 : Praktik wawancara (indepth interview)

15.00 – 16.00 : Overview bagaimana memahami dan beradaptasi dengan budaya lokal

Rabu, 5 Desember 2012 (Tim Health Seeking Behaviour)

08.30 – 09.00 : Penjelasan mengenai traskrip wawancara

09.00 – 09.15 : Penjelasan mengenai envivo dan open code

09.15 – 10.00 : Manajemen data kualitatif

10.00 – 10.30 : Break/ istirahat

10.30 – 12.00 : Praktik transkrip

12.00 – 13.00 : Makan siang, istirahat, ibadah

13.00 – 14.00 : Penjelasan mengenai koding dan kategorisasi

14.00 – 15.00 : Praktek koding dan kategorisasi

15.00 – 16.00 : Rencana pengambilan data di lapangan (pembagian kerja, sistem pelaporan,

honorarium)

Rabu, 5 Desember 2012 (Tim Health Expenditure Tracking Study)

08.30 – 09.00 : Penjelasan mengenai definisi operasional dan delivery order kegiatan

09.00 – 10.00 : Penjelasan mengenai study pengumpulan dokumen perundangan dan regulasi

10.00 – 10.30 : Break/ istirahat

10.30 – 12.00 : Manajemen Data dan Analisis Dokumen

12.00 – 13.00 : Makan siang, istirahat, ibadah

13.00 – 14.00 : Penjelasan mengenai instrument kualitatif dan kuesioner

14.00 – 15.00 : Praktek menggunakan kuesioner

15.00 – 16.00 : Rencana pengambilan data di lapangan (pembagian kerja, sistem pelaporan,

honorarium)

Pelatihan ini akan melibatkan koordinator studi masing-masing penelitian beserta seluruh enumerator atau pengambil data di lapangan. Secara detail peserta pelatihan adalah sebagai berikut:

1. Koordinator penelitian Health Seeking Behavior Study Universitas Air Langga

2. Koordinator penelitian Health Expenditure Tracking Study Universitas Air langga

3. Enumerator penelitian Health Seeking Behavior Study (8 orang) dari Provinsi Jawa Timur

4. Enumerator penelitian Health Expenditure Tracking Study (4 orang) dari Provinsi Jawa Timur

Penyusunan Bentuk Hukum Pengelola Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Penyusunan Bentuk Hukum
Pengelola Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

dan

Pembahasan Policy Brief dan pengembangannya
untuk dua topic prioritas:

BPJS dan KIA

10 dan 11 Desember di Jakarta

llap1lap2bpjslap2kia

Pengantar

Pada bulan September 2012 telah berlangsung pertemuan besar Jaringan Kebijakan Kesehatan III di Surabaya dengan topik BPJS dan KIA. Pertanyaan Kritis mengenai pertemuan kebijakan kesehatan ini: Apakah pertemuan ini bisa langsung merubah kebijakan? Jawabannya adalah tentu tidak mungkin langsung merubah, apalagi tidak semua pengambil kebijakan datang.

Dalam hal ini perlu follow-up yang focus pada aspek-aspek kebijakan. Dibutuhkan detailing kebijakan dimana dilakukan advokasi kebijakan secara terus menerus dan sistematis seperti apa yang dilakukan oleh detailer-obat. Dalam detailing kebijakan ini diharapkan proses advokasi kebijakan ini dilakukan secara sistematis dengan berfokus pada topic-topik prioritas. Tema di Surabaya berfokus pada kebijakan KIA dan BPJS.

Isu lain adalah pengembangan infrastruktur Jaringan. Pengembangan infrastruktur sangat penting karena kegiatan advokasi kebijakan oleh kelompok-kelompok focus ini dapat didukung oleh Jaringan dengan berbagai cara antara lain:

  • Meningkatkan kemampuan advokasi (akan dilakukan di web dan tatap muka);
  • Melakukan publikasi di website;
  • Menyusun policy brief dan mengarahkan ke target pengambil kebijakan,
  • Penulisan Artikel di Jurnal mass-media, dan
  • Melakukan dukungan untuk penelitian kebijakan kesehatan.

Fungsi Jaringan yang sangat strategis ini perlu didukung dengan bentuk hukum yang pasti. Untuk itu maka diperlukan kegiatan pasca Surabaya berupa Pertemuan dua hari di Yogyakarta dengan tujuan:

  1. Pemaparan Policy Brief
  2. Pembahasan Policy Brief dan
  3. Penguatan tata kelola Jaringan oleh tim kecil yang tersusun atas sekitar 20 orang peneliti/dosen di kesehatan masyarakat dan kedokteran.

 

Tujuan:
 

  1. Merumuskan bentuk hukum Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia.
  2. Merumuskan Policy Brief di dalam KIA dan SJSN dan rencana penggunaannya.
  3. Menyusun Plan of Action untuk advokasi kebijakan KIA dan SJSN

Jadwal Kegiatan : Senin – Selasa, 10 – 11 Desember 2012

Senin, 10 Desember 2012

Pukul

Agenda

Keterangan

12.00 – 13.00

Makan Siang

 

13.30 – 15.00

Pembukaan dan Mengapa Networking

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

15.00 – 15.30

Coffee Break

15.30 – 17.00

Membahas Bentuk Hukum Jaringan

17.00 – 19.30

ISHOMA

19.30 – 21.00

Membahas Policy Brief dan Sistem Komunikasi Elektroniknya

Selasa, 11 Desember 2012

08.30 – 16.00

KELOMPOK BPJS

KELOMPOK KIA

 

Daftar Undangan:

Hari 1 dan Hari 2 :

  1. Kelompok dosen FK
    1. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (UGM)
    2. Prof. dr. Bhisma Murti, MPH (UNS)
    3. Prof. Dr. dr. Endang Basuki, MPH (UI)
    4. dr. Subur Prayitno, MS (UNAIR)
    5. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D (UGM)
    6. Dr. dr. Deni Sunjaya, DES (Unpad)
    7. dr. Felix Kasim, MPH (Universitas Maranatha)
    8. dr. Rahmad Bachtiar, M.Kes (Universitas Mulawarman)
    9. dr. Ketut Suardjana (Universitas Udayana)
    10. Prof. Dr. dr. Charles Suryadi, MPH (Universitas Atmajaya)
       
  2. Kelompok dosen FKM
    1. Prof. dr. Ascobat Gani, MPH (UI)
    2. Prof. Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH (UNHAS)
    3. Dra. Tinny Nurul Rochmah, Ec., M.Kes (UNAIR)
    4. Dr. drg. Nyoman Anita Damayanti, M.Kes (UNAIR)
    5. Dra. Chriswardani Suryaningtyas, M.Kes (UNDIP)
    6. Dr. Dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS (UI)
    7. Dr. Drs. Surya Utama, MS (USU)
    8. Dr. dr. Grace Kandau, M.Kes (UNSRAT)
    9. Dwijo Susilo, SE, MPH (UMJ)
    10. Tadeus Andreas Laga Regaletha (UNDANA)
       
  3. Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI
    1. Kepala Badan Litbangkes Kemenkes RI
    2. Dr. Soewarta Kosen, MPH
       
  4. AusAid

 

Hari Kedua :

Konsorsium KIA oleh Kementerian Kesehatan

 

Workshop Leadership Obsgyn hari II

Jumat, 27 April || Sabtu 28 April 

Jalannya kegiatan Hari II 

 

Waktu

Materi

Pembicara

08.00 – 08.30

Root Cause Analysis :

Mengapa Terjadi Kematian Ibu di daerah masing-masing 
(membahas dan menganalisis penyebab kematian ibu dan bagaimana peran dan leadership pengelola KIA)

dr. Ova Emilia, Sp.OG (K), Ph.D

08.30 – 10.00

Diskusi Kasus dalam Kelompok:

(mendiskusikan masalah yang timbul dengan paradigma pembelajaran dan kepemimpinan sesuai masalah yang ada di daerah peserta)

dr. Ova Emilia, Sp.OG(K), Ph.D

10.00 – 10.20

Istirahat

10.20 – 13.00

Presentasi Pleno :

Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusinya kepada 3 pembahas

(menilai sejauh mana peserta dapat mengaplikasikan paradigman pembelajaran dan kepemimpinan dalam mengatasi masalah di daerahnya dan akan dibahas dari aspek teoritis dan empiris oleh pembahas)

Presentasi Kelompok I

Presentasi Kelompok II

Presentasi Kelompok III

Presentasi Kelompok IV

Prof. dr. Hari Kusnanto, Dr.PH

Dr. R. Soerjo Harijono, DRTM&B(Ch), Sp.OG(K)

Prof. dr. Moh. Hakimi, Ph.D, Sp.OG(K)

13.00 – 13.30

ISHOMA

13.30 – 14.30

Pembuatan PoA

(peserta diharapkan dapat membuat PoA untuk menghadapi masalah KIA di daerahnya)

dr. Rukmono Siswishanto, M.Kes., Sp.OG(K)

dr. Siti Noor Zaenab, M.Kes

dr. Ova Emilia, Sp.OG(K), Ph.D

14.30 – 15.00

Presentasi PoA

(PoA yang telah dibuat diharapkan dapat dilaksanakan di daerah peserta dan di evaluasikan pada pertemuan selanjutnnya)

Kelompok I

Kelompok II

Kelompok III

dr. Rukmono Siswishanto, M.Kes., Sp.OG(K)

dr. Siti Noor Zaenab, M.Kes

dr. Ova Emilia, Sp.OG(K), Ph.D

15.00 – 16.00

Pembahasan PoA

Kegiatan Penyuluhan kesehatan pada Nakes dan Toma di RS Seribuide 

dr. Rukmono Siswishanto, M.Kes., Sp.OG(K)

dr. Siti Noor Zaenab, M.Kes

dr. Ova Emilia, Sp.OG(K), Ph.D

15.00 – 16.00

Penutupan

Prof. dr. Moh. Hakimi, Ph.D, Sp.OG(K)

 

 

 

 

National Conference on Primary Health Care Education

National Conference on Primary Health Care Education

Meeting: Family Medicine as the Care-Coordinator of Primary Health Care
and Its Implementation in Indonesian Higher Education Institutions"

Component 1. – Health Professional Education Quality (HPEQ Project)
Sub Component 1.2 – Development of Undergraduate Medical Education and Competency Standard

Makassar, 19 November 2012

BACKGROUND

One target of component 1-HPEQ program is the development of medical curriculum and competency standard. HPEQ, actually has conducted many meetings and preparations due to those points. Moreover, it also has its responsibility towards the establishment of "next SKDI" standard for medical students. But, before we move to our further journey, lets we rethink of our existing undergraduate medical curriculum, is it still reliable for 6 years ahead? Is it well prepared? Or, do we have to do something related to the nation development, especially in facing the universal coverage (SJSN) in 2014.

Looking back on the spirit of Alma Ata Declaration, 1978, entitled "The Health for All", which is stated that the main tasks of Indonesian national health sector are to maintain and to improve health care services for every citizen in Indonesia. To accomplish this, the health care system must prioritize promotion and preventive services along with disease management and rehabilitative efforts. To achieve this vision, the Indonesian national health system has some missions to carry out: (1) developing a medical system that is consistent with the national vision, (2) encouraging healthy life styles for both the individual and the community, (3) maintaining and improving individual, family and society including environmental health and the main point, (4) improving physician training and providing high quality and affordable health care regardless of the economic means of the family or community. It is a big dream, and need a systematic approach to make it real.

In line with this spirit, WHO on its report in 2008 stated that the main actor of country health status is the Primary Health Care. it is also stated that there are 4 pillars in the establishment of this sector: universal coverage, medical service, good leadership and policy. From this point, the main responsibility of Medical Faculty can be "how to produce the graduate doctor who can guide Indonesian people to reach their qualified health service". This initiative cannot be separated from interdisciplinary cooperation between education and health system perspective.

Previously, the SKDI standard (KKI, 2006) stated that the undergraduate medical curriculum should be oriented to family medicine, but what kind of the "family medicine/family doctor oriented" they want to produce? What kind of the family doctor that they want to use in guiding the SJSN? If, the government wants to use the existing doctors, whether they are able to overcome the patient's problem? Or do they need a special skill in primary health care level?

In the other hand, still focused on problems, list of diseases and statement of "family medicine oriented curriculum", it also lacks of the involvement of 7 areas of competencies such communication, and doctors awareness of patient as a member of their community. The education process still also focused on the teaching hospital. It is good, but may impact on the risk that graduate doctors meet many difficulties in handling patients in real cases. Green et al (2001) stated that the cases in teaching hospital are only represented 1% problems in the community. The arrangement of early exposure in primary care and community could be the best answer as the patient live in those settings.

19nov1

Herewith we also want to explain the comparison of education between the primary care doctor and

other specialists:

19nov2  

From those points, the educational aspect plays the important role in guiding the SJSN 2014. It is, of course take time but not an impossible thing to achieve.

Previously, several meetings to rethink our Primary Health Care were held based on HPEQ project, from those, the consortium committee agreed to revitalize the Indonesian PHC condition as stated in the DECALARATION TOWARDS BETTER PHC WITH FAMILY DOCTORS AS THE CARE  KOORDINATORS (Jakarta 22 September 2012). They also had prepared its implementation in Indonesian Higher Education Institutions through educational and supporting document policies framework.

AIMS :

  1. A national initiative towards accessible high quality primary health care with family doctors as the backbone for every citizen of Indonesia
  2. To prepare of Indonesian medical faculties in implementing family medicine in their medical curriculum from undergraduate medical education to postgraduate family medicine masters and specialization
  3. To build the critical mass and home-base for general practitioners and family doctors in Indonesia.

MEASURABLE OUTCOME

The commitment of Indonesian medical faculties in the implementation of family medicine educational approaches from undergraduate to postgraduate levels.

DATE AND PLACE

This conference meeting will be held on :
Date : 19 November 2012
Place : Makassar

DETAIL SCHEDULE(S) 

A tool for assessing Health Financing Institutions and Organizations, to support progress to UHC

A tool for assessing Health Financing Institutions and Organizations,
to support progress to UHC

 

Live Webstreaming Link :  

mms://wbmswebcast1.worldbank.org/external-1

Presenter

Inke Mathauer
Health Systems Development Specialist
Health Financing Policy, WHO

Chair

John C. Langenbrunner
Lead Economist, HDNHE

Synopsis

A health financing system review is an important process to assess a country's current health financing performance and the way in which the three health financing functions of collection of funds, pooling and purchasing work. The WHO Department of Health Systems Financing has developed an approach that can help guide such a systematic health financing system review. Such a detailed understanding provides the basis to explore and propose adequate health financing policy options and institutional and/or organizational changes within the health financing system in order to enhance health financing performance and ultimately to move (more rapidly) towards universal coverage or maintain it in the long run.

The approach is called OASIS - Institutional and Organizational ASsessment for Improving and Strengthening Health Financing. This approach is complementary to the 2010 World Health Report's key messages by providing practical guidance of how to diagnose problems in a country's existing health financing system as a basis for identifying appropriate country policy options and actions for reaching universal coverage. The distinctive characteristic of this approach is its focus on institutional design and organizational practice of health financing, on which health financing performance is dependent. Health financing and the move towards universal coverage can be enhanced by actively shaping the institutional design of the health financing system and by improving its organizational practice.

About the Speaker

Inke Mathauer is a health systems development specialist, holding a MSc and PhD from the London School of Economics. She is working in the Department of Health Systems Financing of the World Health Organization (WHO) in Geneva. Her work focuses on health financing system reviews, country-level health financing policy advice and conceptual work on health financing performance and the role of institutional design and organizational practice in health financing in low- and middle-income countries. Her current interest lies particularly in the institutional design of government subsidization programs for vulnerable groups in health insurance type schemes. She publishes on a range of health systems and health financing related aspects.

Prior to WHO, she worked for over 5 years for the German International Cooperation (GIZ, previously GTZ) at Headquarters in health systems development. In Kenya, she headed the quality management as well as health financing project activities of the GIZ supported health sector program and provided policy and technical advice to the Ministry of Health and the National Hospital Insurance Fund. Inke Mathauer has also undertaken several institutional analysis consultancies for the World Bank in the field of health and social protection. Earlier, she worked in Benin and Uganda.