Day V

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector and Engagement in Health

Seperti biasa, peserta membuat ringkasan dari hari kemarin. Hal ini merupakan keuntungan lebih bagi peserta karena kemarin kelas terbagi dalam dua kelompok (kelompok UMIC dan kelompok LMIC), dan mereka juga terbagi ke dalam kelompok pada saat kunjungan lapangan. Dengan demikian peserta tetap mendapat gambaran umum dari kelompok-kelompok lain.

Ringkasan dari kunjungan lapangan dari kelompok lain kemarin adalah:

  1. Friendly Care

    Ini merupakan jaringan (terdiri dari 6 klinik) penyediaan layanan dasar untuk kelompok middle class, dengan berbagai pelayanan untuk family planning and reproductive health, termasuk konsultasi spesialis, laboratory services, diagnostic, radiology, physical mobile clinics, some minor surgery, etc. Friendly Care mengenakan biaya hanya sepertiga dari harga umum, hanya utk BEP. Mereka tidak mendapat dana dari pemerintah dan mereka merupakan organisasi nirlaba, sehingga biaya yg mereka kenakan hanya untuk menutup BEP, sekitar sepertiga dari harga sector swasta pada umumnya.

  2. Well-Family midwive clinic

    Menyediakan franchise pelayanan untuk ibu hamil dan melahirkan, saat ini terdiri dari 137 klinik kebidanan. Keuntungan menjadi anggota franchise ini adalah mereka mendapat pelatihan (di awal mau pun untuk refreshing/upgrading), peralatan (bisa dipinjam atau dibeli) dan sudah terakreditasi PhilHealth sehingga bisa melayani pasien yg di-cover PhilHealth. (PhilHealth akan membayar P1,500 untuk ANC, P8,000 untuk melahirkan, dengan catatan: hanya dibayar P650 jika ibu yg melahirkan ini merupakan hasil rujukan dari rumah bidan (tujuannya: memotivasi bidan untuk mengusahakan agar ibu melahirkan di fasilitas, bukan di rumah - lalu menunggu situasi darurat sebelum dirujuk ke fasilitas), dan P1,550 untuk post-natal care). Biaya yg dikenakan (untuk pasien yg belum di-cover PhilHealth) lebih rendah juga dari biaya umum (swasta) tetapi lebih tinggi dari biaya di sector pemerintah. Biasanya pasien yg dilayani berasal dari kelompok menengah ke bawah.

Setelah itu, kembali sesi diisi dengan penjelasan mengenai salah satu tools lain, kali ini membahas dari sisi konsumen, dengan menggunakan instrument pembiayaan.

Demand Side Financing (Malabika Sarker)

vaKonsep yg mendasari pentingnya tools ini adalah pembiayaan berbasis hasil, artinya mengaitkan insentif dengan kinerja tertentu. Konsep ini bisa diterapkan baik di sisi supply (performance based financing, misalnya), mau pun di sisi demand (conditional/unconditional cash transfer dan vouchers, misalnya).

Cash transfer biasanya diberikan ke rumahtangga baik menggunakan prasyarat tertentu (jika ibu menggunakan layanan kesehatan selama masa kehamilan dan melahirkan dan pasca melahirkan, misalnya) atau pun tanpa prasyarat tertentu (misalnya memberikan tambahan pendapatan bulanan untuk rumahtangga). Pengalaman di beberapa Negara berkembang menunjukkan bahwa conditional Cash Transfer (CCT) memiliki potensi untuk menstimulasi demand terhadap pelayanan kesehatan, sementara unconditional cash transfer biasanya lebih ditujukan untuk penanggulangan kemiskinan secara umum. Keberhasilan CCT akan sangat bergantung pada nilai uang yg diberikan ke rumahtangga, bagaimana mekanisme pemberiannya, bagaimana enforcement terhadap prasyaratnya (sistem pencatatannya), ketepatan sasaran dan transparansi dari pengelolaannya.

Vouchers biasanya digunakan oleh pemerintah atau donor-driven. Sasarannya didefinisikan secara jelas (untuk kelompok tertentu, pada wilayah geografis tertentu, dsb). Voucher diberikan kepada kelompok sasaran, tetapi pembayarannya dilakukan oleh pemerintah atau donor kepada provider-nya. Biasanya voucher dikombinasikan dengan pemberian uang/cash untuk mengganti biaya transport.

Hal terpenting yang perlu diingat adalah:

  1. Demand-side financing tidak akan berhasil jika kita tidak memiliki control terhadap kualitas (artinya: kita tidak bisa memastikan bahwa pelayanan yg tersedia bermutu), dan tidak memiliki control terhadap supply-chain (artinya: kita tidak bisa memastikan bahwa pelayanan, obat dan peralatan yg dibutuhkan tersedia pada saat pasien membutuhkan).
  2. Sampai sejauh ini bukti literature menunjukkan bahwa demand-side financing yang efektif meningkatkan demand adalah yg dilakukan di Negara-negara dimana telah tersedia pelayanan yg gratis (misalnya, karena sudah disediakan secara Cuma-Cuma oleh pemerintah atau sudah di-biayai melalui asuransi social). Belum tersedia bukti yg cukup dimana demand-side financing akan berhasil di Negara-negara dimana pelayanan yg tersedia masih mengenakan biaya untuk pasien. Artinya, kita perlu menggarisbawahi bahwa financial-barrier ada pada point dimana pelayanan tersedia, dan juga pada kemampuan pasien untuk pergi ke tempat pelayanan. CCT, misalnya, diberikan bukan supaya rumahtangga bisa membayar biaya (charges) untuk mendapatkan pelayanan, tetapi supaya mereka bisa membayar biaya (cost) yg dibutuhkan untuk pergi ke fasilitas kesehatan, atau sebagai insentif untuk pergi ke fasilitas pelayanan (tidak soal apakah fasilitas ini merupakan fasilitas swasta atau pemerintah).
  3. Demand-side financing juga tidak akan mengatasi masalah jika masyarakat tidak mengakses pelayanan kesehatan karena factor non-financial barriers.

Sesi berikutnya kembali berupa studi kasus. Kali ini, studi kasusnya adalah bagaimana vouchers diterapkan di Bangladesh.

Sesi selanjutnya bukan merupakan sesi tentang tools yg tersedia, tetapi lebih pada salah satu actor dalam sector swasta yaitu penyedia pelayanan informal dan bagaimana kita merespon hal ini.

Informal Providers (Dominic Montagu)

Di region Asia, para penyedia layanan informal adalah bagian besar dari sistem, walau pun mereka secara resmi tidak pernah terlihat (invisible) di dalam sistem. Biasanya bila suatu service delivery dijelaskan di dalam sistem, maka yg ditampilkan biasanya adalah berapa jumlah tenaga kesehatan di puskesmas, berapa puskesmas, berapa pustu, berapa polindes, dst. Tetapi dalam dunia nyata, masyarakat pergi bukan ke dokter di puskesmas atau bahkan ke puskesmas, melainkan pergi ke informal providers (mulai dari bidan praktek sampai penyembuh tradisional). Sehingga bila dilihat sebenarnya share terbesar adalah di sector swasta, tidak soal apakah mereka formal atau informal, terlatih atau tidak. Sehingga apabila kita memikirkan tentang bagaimana melibatkan sector swasta, kita tidak bisa (dan tidak boleh) mengabaikan mereka.

Informal providers biasanya tidak memiliki gelar tertentu (berdasarkan jalur pendidikan khusus), tidak ada standar kualitas yg disepakati, tidak berada di bawah aturan regulasi/sistem monitoring atau supervisi dan jarang sekali yg membentuk suatu asosiasi.

Contoh informal providers:

  • Penjual obat
  • Dukun bayi
  • Penyembuh tradisional

Sebuah systematic literature review (sekitar 109 literature) membahas intervensi apa yg cukup potensial untuk menghadapi informal providers (berdasarkan experiences di beberapa negara berkembang), yaitu:

  • Merubah situasi pasar (bukan melatih para informal providers ... karena ternyata ini bukan intervensi yg efektif) : misalnya mengaitkan insentif dengan perilaku tertentu, microfinancing, dll
  • Memasukkan mereka ke dalam sistem melalui proses regulasi: misalnya di-register sehingga bisa mulai di-data dan di-supervisi. Tetapi tentu saja kita harus mempertimbangkan biaya yg terlibat untuk melakukan supervise (misalnya: siapa yg melakukan, apa otoritas mereka, dsb). Jika tidak, maka yg terjadi adalah adanya sekelompok aparat yg berkeliling menangkap/memenjarakan para informal providers, atau mengancam utk menangkap/memenjarakan sehingga secara tidak langsung menciptakan peluang 'pemerasan' dan pungli.
  • Mengurangi fragmentasi di antara para informal providers itu sendiri dengan cara mendorong mereka untuk membentuk asosiasi, sehingga memudahkan interaksi antara pemerintah dengan mereka (misal: Dinkes akan sulit berkomunikasi/menyampaikan informasi kebijakan kepada 2,000+ toko obat, tetapi akan lebih mudah seandainya ada Asosiasi Penjual Obat)
  • Membuat mapping informal providers
  • Mengaitkan mereka ke dalam sistem rujukan, tetapi untuk melakukan ini kita harus mengatasi keberatan dari Dinkes dan dari organisasi profesi/bidan

Dengan selesainya sesi ini, selesai pula penyampaian materi course ini. Esok, di hari terakhir, hanya akan diisi dengan ringkasan harian (seperti biasa), disusul dengan ringkasan/review seluruh course, presentasi poster hasil kerja kelompok peserta, pemilihan poster terbaik dan penutupan.

 

Day IV

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector and Engagement in Health

Oleh Shita Listyadewi

Hari ini difokuskan pada salah satu tools yang paling sering dilakukan: contracting. Peserta dibagi ke dalam dua kelas, satu kelas berfokus pada pengalaman contracting di Negara low-middle income, sementara kelas lain berfokus pada pengalaman contracting di Negara upper-middle income; hal ini dilakukan untuk memperdalam pemahaman dan membedakan peluang dan tantangan di dua konteks yg berbeda.

Contracting: Low Middle Income Countries (Syed Farid-ul-Hasnain)

Mekanisme contracting memisahkan peran penyedia dengan peran pembayar, dan menciptakan mekanisme insentif untuk mencapai suatu kinerja tertentu dan tujuan tertentu.

Elemen kontrak harus detil untuk masing-masing komponen di bawah ini:

  1. Jenis layanan
  2. Berapa banyak
  3. Untuk siapa
  4. Harganya
  5. Pembayaran: kapan, berdasarkan apa/prasyarat yg harus dipenuhi, bagaimana caranya dibayar
  6. M&E
  7. Jangka waktu kontrak
  8. Mekanisme penyelesaian masalah (jika ada)
  9. Kondisi untuk pemutusan hubungan kontrak

Disini tersirat keahlian yg terkait, yaitu kemampuan dan kapasitas dari keduabelah pihak untuk berinteraksi, menarik minat satu sama lain, dan menjaga hubungan, termasuk kapasitas untuk mengawasi dan kapasitas untuk memenuhi perjanjian.

Untuk contoh, diberikan hasil kasus contracting di Vietnam (dilakukan tahun 1999 – 2003 di 12 distrik) yang cukup berhasil untuk daerah yang miskin yang menunjukkan bahwa cakupan pelayanan meningkat, bahwa ada focus yang lebih tepat sasaran untuk pro-poor dan menurunkan OOP, jika dibandingkan dengan 3 distrik lain yang tidak melakukan contracting.

Beberapa kunci keberhasilan contracting adalah:

  1. Tujuan harus jelas dan spesifik (kuantitas, kualitas yg diharapkan, bagaimana prinsip equity diterapkan misal menetapkan target catchment area dan populasi atau kelompok populasi tertentu) dan terukur (dan ukurannya harus ditetapkan dan disepakati, dan cara untuk mengukurnya juga harus disepakati). Hal ini berimplikasi pada beberapa hal:
    • Harus ada insentif untuk pencapaian tujuan (dan sebaliknya "hukuman" apabila tujuan tidak tercapai)
    • Harus ada data baseline
    • Harus ada penggunaan sistem informasi yg tepat waktu
       
  2. Harus ada kejelasan mengenai mekanisme procurement dan standard kualitas yang harus dipenuhi, harus ada kejelasan mengenai "ukuran" yang digunakan untuk mendefinisikan jasa yang diminta: apakah berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan, atau berdasarkan cakupan atau seberapa banyak target populasi terlayani; begitu pula harus ada kejelasan mengenai mekanisme yang akan dilakukan untuk memonitor dan mengevaluasi

ivbKemudian disajikan mengenai kasus hasil evaluasi contracting di Pakistan (kasus tersedia dalam bahan bacaan yg harus dibaca peserta). Contracting di Pakistan dilakukan pada level Basic Health Units (BHU) yang menyediakan pelayanan primer. Hal ini dilakukan karena masyakarat menganggap pelayanan di sector public buruk, dokter tidak ada di tempat, akibatnya masyarakat lebih suka pergi ke fasilitas swasta. Oleh karena itu disusunlah kontrak dengan pihak swasta (PRSP) untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan. Daerah dibagi ke dalam cluster, dimana 3 BHU dikelompokkan ke dalam 1 cluster dan dimanajemeni oleh seorang dokter. Saat itu ada 12 dokter, kemudian PRSP merekrut 23 dokter baru. Insentif yang ditawarkan menarik: termasuk peningkatan gaji sebesar 150% tetapi mereka dilarang melakukan praktek pribadi, pinjaman tanpa bunga untuk mobil, dan lain-lain. Setelah masa kontrak berakhir terlihat dari evaluasi bahwa utilitas pelayanan meningkat, kepuasan pasien terhadap pelayanan meningkat, fasilitas di-upgrade dan dokter tersedia. Hal-hal ini tersedia walau pun nilai kontrak yang diberikan tidak lebih mahal daripada nilai yang dikeluarkan pemerintah selama ini untuk sector public, jadi secara umum ada peningkatan efisiensi dan cost-effectiveness. Namun ada satu hal yang tidak masuk di dalam kontrak yaitu kualitas, sehingga evaluasi tidak menunjukkan bahwa kualitas (clinical care quality) berubah (tidak bertambah baik walau pun juga tidak bertambah buruk).

Lesson learnednya adalah: MoU harus eksplisit, karena you'll get you what you asked for: jika kita ingin mengatasi masalah A, maka mekanisme contracting dapat mencapai A, tetapi bukan A + B.

Beberapa peserta kemudian berbagi pengalaman "contracting" di negara mereka dan fasilitator memperjelas konsep mana yang "contracting" mana yang bukan (misalnya: banyak peserta menganggap bahwa "purchasing" atau "outsourcing" adalah "contracting" padahal bukan).

Contracting: Upper Middle Income Countries (Chantal Herberholz)

Isi dari sesi ini sama untuk bagian awal, yaitu menjelaskan apa itu contracting, apa kelebihan dan kekurangannya, apa tantangannya, kapan kita mungkin perlu mempertimbangkan untuk melakukan contracting (dan kapan tidak). Dijelaskan pula beberapa tipologi yang berbeda yang harus kita bedakan:

  • Management contract (infrastruktur disediakan pemerintah, pelayanan disediakan oleh swasta)
  • Service delivery contract (infrastruktur dan pelayanan disediakan oleh swasta)

Yang berbeda adalah contoh kasus yang diberikan, yaitu aplikasi contracting di Negara-negara Upper-middle income misalnya Malaysia dan Thailand.

Beberapa catatan penting dari pengalaman Negara-negara itu adalah bahwa contracting membutuhkan pendekatan yang sistematis, bahwa pemerintah harus mempertimbangkan economies of scale (baik dari sisi financial, dari sisi bagaimana kontrak dikelola dan bagaimana kontrak dimonitor dan dievaluasi) karena mekanisme contracting juga menyangkut transactional dan administrative cost. Ditambahkan pula bahwa mekanisme pay-for-performance adalah mutlak, dan bahwa pemerintah harus menahan diri dari kecenderungan untuk menghalangi otonomi dari pihak swasta (misalnya: men'dikte' bagaimana suatu pelayanan harus disediakan, terlalu kaku dalam hal anggaran/line-item budget, memaksa pihak swasta menggunakan standard pemerintah dalam hal recruitment atau pun insentif utk pegawai yg dikontrak, atau bersikeras mempertahankan fungsi pemerintah dalam hal procurement (khususnya barang inputs yg stratejis).

Perlu dipertimbangkan pula seberapa banyak potential contractors yang tersedia dan memiliki kapasitas yang dibutuhkan, apakah menggunakan competitive bidding atau tidak, bagaimana lingkungan politik dan birokrasi serta landasan hukum yang tersedia (dan diperlukan) agar mekanisme contracting dapat dilakukan.

Akhirnya, diidentifikasi langkah-langkah penting dalam contracting:

  1. Melakukan dialog dengan stakeholders
  2. Mendefinisikan layanan yg diminta (dengan jelas)
  3. Merancang metode M&E
  4. Menentukan bagaimana menetapkan kontraktor
  5. Merancang manajemen kontrak
  6. Men-draft dokumen kontrak
  7. Melakukan proses bidding dan akhirnya memanajemeni kontrak

(Untuk referensi mengenai Contracting, silakan lihat Performance-Based Contracting for Health Services in Developing Countries: a Toolkit)

Contracting by PhilHealth (CEO PhilHealth: Eduardo "Dodo" Banzon)

Konteks di Filipina:

  • Upaya mencapai Universal Coverage sebagai bagian dari Aquino Health Agenda
  • Sektor informal besar
  • Kebijakan nasional lemah dalam hal regulasi sector informal: Dual-practice, biaya kesehatan tinggi, pelayanan sector public lemah sementara layanan private di sector public berkembang pesat.

Dodo menekankan: You can not cure the system unless you kill the bad legacy. Bad legacies yang dimiliki PhilHealth saat ini adalah:

  • Fokus mereka adalah pada protecting funds rather than protecting members
  • Miskonsepsi umum mengenai reserve fund: berpegang pada pension fund mentality dan rebate mentality
  • Percaya pada mekanisme Fee-for-service payment
  • Melakukan 'accreditation' (akreditasi dalam tanda kutip karena sebenarnya PhilHealth intinya hanya melakukan lisensi ulang provider yang sebenarnya sudah di-licensed oleh pemerintah) dan mengaitkannya dengan 'contracting' (yaitu: yang bisa dikontrak hanya fasilitasi yang sudah di'akreditasi' PhilHealth)
  • Kepersertaan voluntarily untuk sector informal.

Jadi per 1 April 2012 PhilHealth memulai contracting dengan nafas baru: tidak lagi disebut kontrak tetapi disebut "performance commitment", dan mempercayai proses licensing yang telah dilakukan oleh pemerintah (tidak lagi perlu di-'akreditasi' oleh PhilHealth)

ivaStrategi yg dilakukan adalah market domination: karena tanpa market share yg besar, PhilHealth akan sulit bernegosiasi dengan providers. Dan sebaliknya, bagaimana kita bisa melakukan market domination jika kita tidak tahu siapa market kita. Oleh karena itu kunci dari strategi ini adalah sistem informasi: PhilHealth saat ini memiliki informasi yg paling lengkap mengenai rumahsakit di Filipina, jauh lebih lengkap dari data yg dimiliki pemerintah (depkes).

Sisa hari ini digunakan untuk melakukan kunjungan ke lapangan untuk melihat mekanisme contracting yang dilakukan PhilHealth di Filipina. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok: satu kelompok melihat bagaimana mekanisme contracting dijalankan untuk program DOTS, dan kelompok lain melihat bagaimana mekanisme contracting dijalankan untuk klinik maternity (catatan: penulis memilih untuk pergi ke klinik DOTS).

Klinik DOTS didirikan oleh Tropical Disease Foundation, Inc, sebuah NGO yang tadinya merupakan research arm dari RS Makati Medical Centre (swasta). TDF tadinya adalah NGO yang melakukan riset national TB surveillance survey (tahun 1997) dan hasil temuan mereka menunjukkan bahwa health seeking behavior masyarakat mengindikasikan bahwa mereka lebih suka pergi ke klinik swasta untuk pengobatan TB. TDF akhirnya mendirikan klinik DOTS utk deteksi TB khususnya MDR-TB yang dibantu oleh dana dari Global Fund, fundraising mau pun pendapatan dari melakukan riset. Karena pada saat itu klinik itu merupakan OPD dari MMC, maka staff mau pun obat mau pun peralatan dibiayai oleh MMC.

Pada tahun 2010, TDF dipisahkan dari MMC, mereka memiliki gedung sendiri (lokasinya di seberang MMC) dan mereka tidak lagi mendapat dana dari MMC. Keterlibatan mereka dengan PhilHealth dimulai pada tahun 2011 ketika PhilHealth berinisiatif untuk mengajak mereka menjadi anggota jaringan provider dan menjelaskan mekanisme klaim dan eligibility pasien, form yang harus diisi utk keperluan klaim, dll. Penghasilan mereka saat ini berasal dari (1) 'purchasing' oleh PhilHealth (sistem claim P4000/pasien/case findings), (2) subsidi pemerintah kota Makati utk bahan habis pakai dan treatment kit dan (3) penghasilan dari melakukan penelitian untuk perusahaan farmasi dalam bidang manajemen TB. Seluruh penghasilan tersebut masuk ke dalam global budget dari TDF. Klinik TDF kini tidak lagi menerima dana Global Fund untuk MDR-TB tetapi mereka masih melakukan treatment utk regular TB dan masih melakukan screening untuk MDR-TB di local community mereka yang populasinya kebetulan kecil (hanya 150 orang, namun kebanyakan belum di-cover oleh PhilHealth). Kebanyakan pasien mereka adalah para karyawan dari daerah perkantoran sekitar (sudah dibayar melalui PhilHealth). Kasus MDR-TB kini mereka rujuk ke Treatment Klinik milik NGO lain yang menerima dana Global Fund.

Day III

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector Policies and Engagement in Health

Oleh Shita Lisyadewi

iiiaHari ketiga dimulai dengan ringkasan dari hari kedua. Sama seperti kemarin, peserta yang menyajikan ringkasan ini. Peserta hari ini cukup kreatif karena kali ini ringkasan disajikan dalam bentuk seolah-olah dua peserta melakukan Tanya jawab dalam sebuah acara TV. Hal ini membuat presentasi ringkasan lebih menarik untuk diikuti dan kadang-kadang diselipi lelucon.

Social Marketing (Dominic Montagu)

Social marketing adalah aplikasi dari konsep dan teknik pemasaran untuk mempengaruhi perilaku di dalam kelompok target tertentu demi kepentingan mereka sendiri dan masyarakat sekitar mereka.

 

  1. Commodity social marketing

    Commodity social marketing berbeda dengan behavior-change social marketing dalam hal bahwa pendekatan ini tidak hanya melihat dari sisi demand (perubahan perilakunya) tetapi juga dari sisi supply-nya (ketersediaan barang yg mendukung perubahan perilaku tersebut).

    Disinilah letak potensi peran swasta dalam hal ini, karena mereka bisa terlibat dalam penyediaan barang yang dibutuhkan secara Cuma-Cuma atau dengan harga yang sangat murah (karena banyak disubsidi) dimana mereka tetap bisa membuat sedikit keuntungan. Ini adalah kampanye yg langsung terkait dengan produk /barang tertentu (biasanya disubsidi sehingga harganya sangat murah) dan melibatkan supply chain/retailer. Contohnya: ORT, kelambu dengan insektisida, alat kontrasepsi, garam beryodium, pemurni air, dsb.

    Behavior-change social marketing: measures of success

    Commodity social marketing: measures of success

    Perubahan social/perilaku: namun, sulit mengaitkan secara langsung perubahan perilaku secara spesifik terhadap intervensi yg telah dilakukan

    Volume of sales: ini daya tariknya dari sisi swasta

     

    Market share: walau pun ini bukan tujuan utama. Tetap ada populasi sasaran khusus.

     

    Patient usage: ini insentif utama dari sisi promosi kesehatannya

     

    CYP (coupled year of protection)

     

    DALYs averted

     

    Cost/CYP

     

    Market growth: ini harapannya ketika perilaku masyarakat sudah berhasil dirubah

    Tantangannya adalah sulit menemukan sector swasta yang tertarik untuk "menjual" barang yg terlibat dalam commodity social marketing yang terkait dengan hal yg sensitive/tabu dan sulit di"promosi"kan, misal: morning-after pills.

    Misalnya: Apotik akan lebih senang menjual alat suntik sekali pakai untuk masyarakat umum (misalnya penderita diabetes) walau pun alat ini sebenarnya/awalnya ditujukan bagi pemakai narkoba untuk menghindarkan mereka dari HIV.

  2. Social Franchising

    Social franchising di region Asia bertumbuh, beberapa studi kasus (misalnya Blue Star di Filipina) menunjukkan keberhasilan pendekatan ini untuk memobilisasi layanan pada banyak delivery points. Tetapi biasanya social franchise lebih berhasil untuk melayani niche tertentu.

    Tetapi tetap diperlukan intermediary sedangkan peran pemerintah secara utama adalah sebagai perencana, pembayar dan fasilitasi antara para pelaksana dengan para donor.

    Hari ini ditutup dengan teaching case lain, kali ini membahas aplikasi social franchising di Myanmar. Para peserta dibagi ke dalam dua kelompok, masing-masing kelompok membahas pro dan kontra atas pilihan yg perlu dibuat untuk meluaskan pelayanan kesehatan yg terintegrasi ke masyarakat pedesaan: menggunakan social franchising yg telah terbukti berhasil di daerah perkotaan tetapi memiliki biaya monitoring dan pelatihan yang cukup tinggi, ATAU menggunakan jaringan sukarelawan dari antara masyarakat yg diberi kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan produk-produk yg tidak berhubungan langsung dengan program kesehatannya.

    Di dalam course ini peserta dari Negara yang sama juga dikelompokkan dan ditugasi untuk membuat rencana strategi engagement sector swasta di Negara mereka. Setiap hari, kelompok ini diberi waktu satu sesi penuh untuk berdiskusi di antara mereka sendiri untuk membahas aplikasi konsep yang disajikan pada hari tersebut di dalam konteks Negara mereka sendiri. Diskusi ini akan membantu dalam setiap langkah penyusunan rencana engagement sector swasta, mulai dari identifikasi dan pemilihan masalah, merencanakan PHSA dan identifikasi penelitian/data tambahan yg dibutuhkan, memilih strategi engagement yg workable, dan akhirnya memilih setidaknya dua tools/instrument untuk melaksanakan strategi tersebut. Pada hari terakhir dari course, para peserta akan mempresentasikan hasil diskusi mereka dalam bentuk poster, dan akan diadakan voting pemilihan poster terbaik.

     

day II

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector Policies and Engagement in Health

Oleh Shita Listyadewi

foto1Hari kedua dimulai dengan penyajian ringkasan dari sesi-sesi pada hari pertama. Menariknya, peserta yang diminta membuat dan menyajikan ringkasan, sehingga ini bisa menjadi indikasi pemahaman peserta terhadap materi yang disampaikan.

Private Health Sector Assessment/PHSA (Siripen Supakankunti and Chantal Herberholz)

PHSA adalah guideline (bukan blueprint) untuk mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang tersedia tentang sector swasta (atau bagian khusus dari sector swasta) dengan cara mengidentifikasi apa isu dan informasi yg dibutuhkan, kemudian mengidentifikasi bagaimana caranya mengumpulkan informasi tersebut, bagaimana cara menganalisanya dan menyajikan informasi tersebut.

Yang tercakup di dalam PHSA adalah:

  • Memahami dan mengakui siapa saja yang menyediakan pelayanan tersebut ('mengakui' disini penting, karena kadang-kadang ada penyedia pelayanan yg secara nyata ada di dalam masyarakat tetapi tidak eksis di dalam sistem (misalnya: penyedia pelayanan informal/tradisional))
  • Memahami konteks pembiayaan dari pelayanan yg tersedia tersebut
  • Memahami siapa saja yg menjadi intermediaries pelayanan tersebut yang harus dipertimbangkan, misalnya organisasi profesi tertentu, perusahaan atau kelompok perusahaan tertentu, dan bagaimana hubungan mereka dengan pemerintah
  • Memahami kapasitas pemerintah untuk berinteraksi dengan sector swasta, berdasarkan kapasitas kepemimpinan, unit/kelompok khusus yg akan membangun hubungan dengan sector swasta, dan pengalaman yg dimiliki selama ini dalam bekerjasama dengan sector swasta

Mengapa PHSA dilakukan? Karena kita ingin meningkatkan kinerja sistem kesehatan dalam salah satu tujuan kesehatan, karena kita ingin mencapai tujuan sistem kesehatan dengan meningkatkan potensi dan kontribusi sector swasta. Jadi, PHSA dilakukan jika ada masalah kinerja dalam salah satu tujuan kesehatan kita (catatan: lihat kembali kerangka pikir course ini). Tetapi tentu saja PHSA tidak akan mungkin dilakukan jika kita tidak mengakui bahwa sector swasta eksis (dan sebenarnya ukurannya cukup besar) untuk dapat menjadi partner dan member daya ungkit dalam pencapaian tujuan kesehatan tersebut. Untuk memahami seberapa penting peran sector swasta dalam pencapaian tujuan kesehatan, tentu saja kita perlu mengetahui bagaimana situasi sector swasta yg sebenarnya, dan apa strategi yg bisa dilakukan untuk meningkatkan kontribusi mereka. Oleh karena itu kita perlu memikirkan data (kuantitatif dan kualitatif) apa yg dibutuhkan untuk mengetahui situasi sector swasta dan bagaimana cara mengumpulkan data tersebut, dan inilah esensi dari PHSA.

Langkah-langkah dalam melakukan PHSA adalah:

  1. Langkah 1: Mendapatkan pemahaman utuh mengenai sector swasta

    1. Mendapatkan informasi berdasarkan data sekunder yg tersedia tentang informasi umum Negara/region/propinsi/distrik dimana kita berada, mengenai sistem kesehatan (bagaimana caranya di-organisir, bagaimana caranya di-manajemeni dan bagaimana caranya dibiayai), informasi umum mengenai siapa saja actor sector swasta yg ada/menyediakan pelayanan
    2. Mendapatkan informasi mengenai situasi lingkungan dimana sector swasta berada. Hal ini mencakup (tetapi tidak terbatas pada):

      1. Belanja kesehatan yang tersedia untuk mereka
      2. Pemilik dari para penyedia layanan tersebut dan karakteristik mereka
      3. Peran mereka dalam hal infrastruktur mau pun layanan (termasuk layanan swasta yg mungkin tersedia di sector public)
      4. Landasan dan kerangka hukum yg tersedia bagi mereka
      5. Seberapa besar korupsi menjadi factor yg mempengaruhi mereka
      6. Perkembangan baru dalam pembiayaan kesehatan (jika ada)
      7. Hambatan yang mungkin ada (trade barriers), sistem perpajakan, fluktuasi kurs
      8. Regulasi yg tersedia (atau tidak) mengenai situasi persaingan

    Point (i-iii) terkait dengan seberapa besar peran mereka dalam sistem kesehatan, sementara point (iv – viii) terkait dengan seberapa luas atau seberapa terbatas ruang gerak mereka, yang tentu saja akan mempengaruhi seberapa besar mereka bisa meningkatkan kontribusi mereka (Artinya, pemerintah mungkin bisa merubah salah satu dari point iv-viii untuk memperluas/membatasi ruang gerak mereka).

    Data yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi ini adalah: data sekunder yang tersedia (review literature, survey rumahtangga, survey fasilitas kesehatan, dan data NHA), mau pun data primer (menggunakan focused group, interview, melakukan survey ke fasilitas, ke penyedia pelayanan dan ke konsumen/pengguna). Pertimbangkan pula factor-faktor yg mungkin mempengaruhi kualitas data yg tersedia dan data yg bisa dikumpulkan.

  2. Langkah 2: Berdiskusi dengan stakeholder (baik stakeholder di pihak pemerintah mau pun stakeholder di pihak swasta). Intinya adalah harus ada kaitan antara pemahaman dan informasi yg kita peroleh dengan melakukan engagement. Faktor yg sangat penting disini adalah seberapa besar trust (atau mistrust) yang ada di antara keduabelah pihak (pihak pemerintah dan pihak swasta). Faktor lain yang penting disini adalah kemungkinan besar diperlukan capacity building di kedua belah pihak untuk dapat memperbaiki/meningkatkan hubungan di antara keduanya.

  3. Langkah 3 : Melakukan penelitian yang targeted, dengan tujuan untuk mengumpulkan salah satu aspek tertentu dari sector swasta dengan tujuan untuk dapat mengidentifikasi strategi. Penelitian ini dapat berupa:

    1. Segmen tertentu dari sector swasta
    2. Jenis layanan yang tersedia dari segmen ini
    3. Area cakupan mereka dan populasi yg mereka layani
    4. Strategi terdahulu yang mungkin telah terbukti berhasil

    Hasil akhir dari PHSA ini harus dapat membantu kita memilih strategi apa yang tepat (dan workable) (Catatan: lihat kembali kerangka pikir course ini untuk melihat pilihan strategi dan instrument yang tersedia).

pppd1

Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan contoh bagaimana PHSA dilakukan di Bangladesh. Sesi berikutnya adalah teaching case. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok, dan masing-masing diberi tugas yang merupakan simulasi dari melakukan PHSA. Setelah diskusi dalam kelompok, setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi mereka.

Program Pengembangan Metode Penelitian Kebijakan dan Pelaksanaannya

banneridrc

 

Program Pengembangan Metode Penelitian
Kebijakan dan Pelaksanaannya

 

Dengan Fokus Pada Topic Pemerataan Pelayanan Kesehatan

Diselenggarakan oleh:
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran UGM

Bekerjasama dengan IDRC Canada

Pengantar

Bab I. Pendahuluan

Situasi sistem kesehatan di Indonesia saat ini masih mempunyai berbagai tantangan berat. Ada masalah pemerataan pelayanan kesehatan, perencanaan kesehatan yang tidak tepat sasaran, pelaksanaan yang terdesak waktu, belum baiknya kesinambungan dan integrasi antar program kesehatan. Secara geografis masih terdapat ketimpangan antar regional dalam pelayanan kesehatan. Sebagai catatan di tahun 2014 program BPJS akan berjalan dengan asumsi sudah terjadi pemerataan pelayanan kesehatan.

Sementara itu, kecenderungan regionalisasi dan desentralisasi sistem kesehatan semakin meningkat. Berbagai peraturan baru mengatur kebijakan regionalisasi dan desentralisasi. Konsekuensinya, kebijakan di pusat dan daerah harus sambung, tidak boleh terfragmentasi.

Di sisi pengambilan kebijakan, masih ada kekurangan pemahaman mengenai kebutuhan penelitian yang dapat meningkatkan efektifitas pengambilan kebijakan. Dalam dekade 2000an ini berbagai kebijakan nasional dan regional tentang kesehatan terlihat ditetapkan tanpa masukan penelitian. Bagaimana hasilnya? Sejarah telah mencatat berbagai kebijakan nasional yang sulit disebut sebagai efektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah memang tidak diperlukan penelitian kebijakan?

Pertanyaan ini menarik karena masalahnya adalah belum tersedianya peneliti tentang kebijakan kesehatan di nasional dan regional/daerah dalam jumlah yang cukup. Saat ini peneliti kebijakan masih langka. Pusat-pusat penelitian kebijakan kesehatan masih terbatas, dan terutama berada di kota-kota besar di Jawa.

Dengan minimnya tenaga peneliti kebijakan, terjadi suatu situasi dimana tidak ada dorongan untuk melakukan penelitian kebijakan. Celakanya di sisi pengambil kebijakan, masih ada pendapat yang menganggap tidak perlu adanya penelitian kebijakan yang independen. Sejarah mencatat bahwa beberapa kebijakan besar (contoh Askeskin, penurunan angka kematian ibu dan bayi, penggunaan pathways), dilakukan tanpa didahului, dimonitor pelaksanaannya, dan dievaluasi oleh penelitian yang independen. Akibatnya efektifitas kebijakan menjadi buruk dan sulit dinilai.

Dalam suasana ini, dapat dipahami bahwa saat ini terjadi kekurangan peneliti dalam kebijakan kesehatan. Kekurangan ini diperburuk dengan knayataan bahwa penelitian kebijakan merupakan bentuk penelitian multidisiplin yang belum terbiasa dilakukan oleh peneliti di bidangkesehatan. Banyak ilmu dan konsep yang berasal dari ilmu-ilmu sosial dan politik, serta ekonomi. Fakta lain adalah bahwa dana untuk penelitian kebijakan menjadi tidak terperhatikan. Resultan dari berbagai hal tersebut berakibat buruk yaitu metode penelitian kebijakan dalam sistem kesehatan menjadi tidak terperhatikan.

Akan tetapi pada beberapa tahun belakangan ini, WHO dalam kelompok Alliance for Health Policy menyelenggarakan berbagai pertemuan dan penelitian untuk menguatkanmetode riset dalam kebijakan kesehatan serta sistem kesehatan. Di tahun 2012 keluar buku yang diedit oleh Lucy Gilson berjudul Health Policy and Systems Research: A Methodology Reader. Buku ini memberi peluang bagi peneliti di Indonesia untuk mengembangkan kemampuan dalam penelitian kebijakan kesehatan dan sistem kesehatan.

Bab II. Kompetensi

Program ini berusaha mengembangkan peneliti di berbagai daerah di Indonesia yang kompeten dalam merencanakan, melaksanakan, serta melakukan penelitian kebijakan dalam sistem kesehatan dan penyampaian hasilnya berbasis metodologi yang tepat.

Dalam program ini, penelitian kebijakan dalam sistem kesehatan akan difokuskan ke isu pemerataan dalam pelayanan kesehatan. Isu pemerataan ini mencakup pemerataan sosial ekonomi dan pemerataan geografis.

Bab III. Tujuan dan Manfaat

Tujuan

  1. Memahami ilmu kebijakan yang diterapkan di sistem kesehatan, khususnya dalam topik pemerataan pelayanan kesehatan;
  2. Meningkatkan pemahaman dan kemampuan peserta dalam metode penelitian kebijakan dan sistem kesehatan sejak dari menyusun proposal, melaksanakan penelitian kebijakan, dan menuliskan hasil;
  3. Meningkatkan pemahaman dan kemampuan peserta dalam metode analisis kebijakan, penyebaran hasil penelitian, dan advokasi kebijakan;
  4. Mengembangkan pusat pengembangan kebijakan kesehatan nasional dan regional dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi di sektor kesehatan.

Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari kegiatan ini:
Bagi peneliti:

  1. Semakin memahami aplikasi ilmu kebijakan dalam sistem kesehatan
  2. Semakin memahami metode penelitian kebijakan dan sistem kesehatan (Health Policy and System Research).
  3. Terciptanya kesempatan bagi para peneliti kebijakan kesehatan di Indonesia terutama para peneliti muda untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam melaksanakan penelitian kebijakan dan sistem kesehatan.

Bagi perguruan tinggi dan lembaga penelitian

  1. Semakin berkembangnya penelitian kebijakan kesehatan yang dilaksanakan oleh para peneliti kebijakan.
  2. Perintisan model think-tank di dalam perguruan tinggi yang bermanfaat bagi pengambil kebijakan nasional maupun regional

Bagi pengambil kebijakan/policy makers

  1. Semakin berkembangnya kebijakan kesehatan yang memiliki kerangka berpikir logis yang tepat sehingga meningkatkan kinerja kebijakan kesehatan yang dilaksanakan
  2. Adanya dukungan dari peneliti dalam menyusun kebijakan
  3. Meningkatkan komitmen untuk pengemangan penelitian riset kebijakan dan sistem kesehatan.

 

Bab IV. Peserta dan Fasilitator

Peserta:

  • Peneliti kebijakan kesehatan di perguruan tinggi
  • Peneliti kebijakan kesehatan di lembaga-lembaga penelitian;
  • Mahasiswa pascasarjana kesehatan masyarakat dan kedokteran

Fasilitator;

Fasilitator Isi:
Laksono Trisnantoro, Dumilah Ayuningtyas, Yodi Mahendradata, Shita Dewi

Fasiltator jarak-jauh:

Bab V. Struktur Program Pelatihan

Pelatihan ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode gabungan antara pelatihan internet dan workshop tatap muka.

Pelatihan melalui Internet:
Angkatan 1: Waktu bulan Juni dan Juli 2012
Angkatan 2: Agustus-September 2012
Angkatan 3: Oktober-November 2012

Cara belajar melalui internet:

  1. Peserta mempelajari modul-modul yang tersedia
  2. Peserta menjawab berbagai pertanyaan di tiap modul
  3. Peserta aktif menjadi peserta diskusi di internet

Tujuan kegiatan di Internet:

Tindakan selanjutnya adalah:

  • Proposal dikirim ke panitia untuk kemudian dilakukan seleksi.
  • Peserta terpilih kemudian akan melakukan presentasi Proposal dan Pengembangan lebih lanjut (tatap muka) selama 2 hari.

Jadual kegiatan tatap muka adalah sebagai berikut:

  1. Angkatan 1 Yogyakarta (Peserta diseleksi menjadi 20 orang). Pertemuan dilaksanakan tanggal 8 dan 9 Agustus 2012
  2. Angkatan 2 Medan (Peserta diseleksi menjadi 20 orang). Pertemuan dilaksanakan pada Bulan Oktober 2012
  3. Angkatan 3 Makassar (Peserta diseleksi menjadi 20 orang). Pertemuan dilaksanakan pada Bulan Desember 2012.

Hasil Presentasi Proposal penelitian yang baik (sekitar 25% dari seluruh peserta tatap muka) akan mendapat pendanaan sekitar Rp 10 juta (Sekitar 10 - 15 pemenang) dengan syarat menjadi anggota penelitian collaborative.

Penelitian akan dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juni tahun 2013. Dalam penelitian dilakukan pula kegiatan advokasi kebijakan ke pemerintah pusat atau propinsi/kabupaten.

Penyajian hasil dilakukan pada pertemuan Jaringan Kebijakan Kesehatan di bulan September tahun 2013. Para peneliti akan menyajikan hasil penelitian pada Forum Jaringan Kebijakan Kesehatan Nasional IV.

Bab VI. Proses Pengembangan

 
  • Kurikulum dan Metode Pembelajaran
  • Proses Pembelajaran

Kurikulum dan Metode Pembelajaran
Ruang lingkup materi yang akan disampaikan dalam pelatihan ini meliputi beberapa modul:

  1. Modul Jarak Jauh I;
  2. Modul Tatap Muka selama 2 hari;
  3. Modul Jarak Jauh II yang meliputi:

    1. Modul Pelaksanaan Penelitian;
    2. Modul Pelaksanaan Advokasi; dan
    3. Modul Presentasi Hasil Pelaksanaan dan Advokasi


A. Modul Jarak-Jauh

Modul Jarak jauh tersusun atas 3 modul:
Modul 1. Memahami Ilmu Kebijakan dan Isi Kebijakan;
Modul 2. Metode Riset untuk Kebijakan
Modul 3. Melakukan translasi hasil-hasil riset kebijakan ke pengambil keputusan

Dalam mempelajari modul jarak jauh, para peserta diharapkan mengalokasikan waktu tiap harinya secara efektif. Waktu tersebut digunakan untuk membaca berbagai sumber belajar dan menuliskan tugas. Para peserta diharuskan mengirimkan tugas berdasarkan jadual kegiatan yang ada di setiap modul.

{showhide title="Silahkan Klik Disini" template="strong" changetitle="Klik untuk menutup" mousetitleistitle=true closeonclick=true titleasspan=true}

  1. Modul 1. Memahami Sistem Kesehatan, Ilmu Kebijakan dan Isi Kebijakan (11 Juni – 29 Juni 2012)

    Modul ini secara umum membahas aplikasi ilmu kebijakan dalam system kesehatan. Para peserta pelatihan didorong untuk mempelajari system kesehatan, arti ilmu kebijakan dan penerapannya di system kesehatan, serta kebutuhan akan penelitian kebijakan kesehatan dan system kesehatan. Disamping memahami isi, Modul 1 menyiapkan peserta untuk menulis bagian pendahuluan dari proposal yang akan disusun pada Modul 2.

    Modul 1 tersusun atas beberapa bagian.

    • Modul 1a. Membahas arti sistem kesehatan, Ilmu Kebijakan, dan aplikasi ilmu kebijakan di sistem kesehatan. Dilaksanakan antara 11 Jun – 14 Juni 2012.
    • Modul 1b. Membahas isu Ideologi dalam sistem kesehatan serta penanganan masalah pemerataan (equity). 15 juni – 19 Juni 2012.
    • Modul 1c. Membahas Desentralisasi di sektor kesehatan. Dilaksanakan pada tanggak 20 juni – 23 Juni
    • Modul 1d. Memahami Topik-topik Prioritas dan Isu-isu penting dalam Kebijakan Kesehatan yang dibahas pada tanggal 24 – 28 Juni 2012.
    • Modul 1e. Membahas penggunaan data besar untuk penelitian kebijakan. Dilakukan pada tanggal 28 Juni – 29 juni 2012

    Penutup Modul 1. Setelah mengikuti Modul 1 ini diharapkan para peserta dapat melakukan penulisan awal untuk pendahuluan dan identifikasi fokus penelitian yang akan dipergunakan di Modul 2. Untuk itu para peserta diharapkan melakukan penulisan awal proposal penelitian (lebih kurang 500 kata) dan dikirimkan ke pengelola kursus dengan kode: XXXM1pendahuluan.doc. Dikirim 30 Juni 2012.

  2. Modul 2. Metode Riset untuk Kebijakan (2 Juli – 22 Juli 2012)

    Modul ini kelanjutan dari Modul 1 dan merupakan inti program pengembangan ini. Setelah memperoleh fokus tentang kebijakan kesehatan, para peserta akan melanjutkan ke metodenya. Ada beberapa modul sebagai berikut:

    • Modul 2a. Introduction to health policy and system research (HPSR)
    • Modul 2b. Doing HPSR:key steps in the process
    • Modul 2c. Overview of research strategies
       
  3. Modul 3. Melakukan translasi hasil-hasil riset kebijakan ke pengambil keputusan

    Modul ini sebagian akan diberikan di tatap muka.

{/showhide}

Sumber belajar:

Program pengembangan ini bersifat digital. Sumber belajar diusahakan semaksimal mungkin dapat diakses melalui internet. Sumber belajar dapat berupa situs web yang terkait, laporan workshop, pelatihan, sampai ke berbagai artikel ilmiah yang bersifat open-access.
Pintu utama untuk mencari referensi adalah pada: www.kebijakankesehatanindonesia.net . Pintu utama ini akan membuka banyak jalur ke sumber belajar dalam negeri ataupun luar negeri.

Sebagian bahan belajar akan diberikan alamat aksesnya, namun para peserta diharapkan mencari sendiri berbagai sumber bacaan lain, termasuk yang harus membayar dengan dana sendiri (bukan open-access). Dengan model belajar ini para peserta akan mendapatkan kepustakaan terbaru yang ada di dunia pengetahuan, dan komputer yang ada menjadi perpustakaan pribadi di manapun berada.

Apabila menggunakan buku cetak, diusahakan agar buku tersebut dapat dibeli di toko buku setempat atau dipesan melalui internet. Salahsatu anjuran adalah para peserta diharapkan mempunyai buku-buku tentang ilmu kebijakan dan penelitian kebijakan yang berasald dari ilmu-ilmu sosial. Contoh pengarang yang terkenal adalah William Dunn yang bukunya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan dapat dibeli di berbagai toko buku dan melalui toko buku on-line.

Proses Pembelajaran

diagramalur idrc

Diagram Alur Kegiatan Pelatihan

Bab VII. Monitoring dan Evaluasi Pelatihan

Pengembangan ini membutuhkan waktu cukup panjang, sekitar satu setengah tahun. Oleh karena itu dilakukan proses monitoring dan evaluasi sebagai berikut:

  1. Dalam pembelajaran Modul Jarak Jauh 1, para peserta akan didampingi oleh fasilitator. Tugas fasilitator adalah memastikan bahwa para peserta tepat waktu dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan (fungsi monitoring).
  2. Para peserta akan dievaluasi pertama kali dalam menyusun proposal. Evaluasi ini akan menghasilkan 20 peserta yang dinilai mempunyai kemampuan dan minat dengan didukung oleh institusi yang mengirim.
  3. Pada saat tatap muka, 20 peserta yang terpilih akan menyajikan proposalnya pada sebuah panel penilai. Para peserta akan dinilai isi proposal dan kemampuan untuk menyajikan materi secara oral dan poster.
  4. Akan dipilih 5 peserta untuk mendapatkan insentif dana penelitian masing-masing sebesar Rp 10 juta rupiah. Bagi yang tidak terpilih, diharapkan untuk mencari sumber dana. Dalam hal ini penyelenggara akan memfasilitasi ke berbagai sumber dana.
  5. Para peserta yang 5 orang akan meneruskan ke Modul Jarak Jauh II dengan monitoring saat pelaksanaan. Para peserta yang tidak terpilih dapat mengikuti kegiatan secara pasif melalui internet, atau dapat pula aktif dengan membayar biaya.
  6. Para peserta yang 5 orang akan didanai untuk menyajikan hasil kegiatannya di forum Kebijakan Kesehatan Nasional ke IV. Dalam forum ini akan ada penilaian terakhir mengenai hasil dan kemampuan menyajikan hasil.

Disamping itu, aka nada monitoring dan evaluasi program pengembangan ini dengan metode Kickpatrick.

Bab VIII. Sertifikasi

Akan ada beberapa sertifikat dalam pengembangan ini:

  1. Sertifikat mengikuti pelatihan Jarak Jauh I selama 1.5 bulan (bagi 108 peserta jarak jauh).
  2. Sertifikat mengikuti pelatihan tatap muka selama 2 hari (bagi 20 orang peserta tatap muka).
  3. Sertifikat mengikuti pelatihan Jarak Jauh II selama beberapa bulan (bagi 5 peserta yang terpilih dan peserta yang menndaftar aktif)
  4. Sertifikat mengikuti Forum Kebijakan Kesehatan Nasional ke IV (Bagi peserta yang presentasi).


Formulir pendaftaran secara online

Formulir Pendaftaran (word document) Formulir_Pendaftaran.docx 

Informasi Lebih Lanjut:

Angelina Yusridar
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Jl. Farmako, Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax. +62274 – 549425 (hunting)
Mobile. +628111 498 442
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

day 1

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

Strategies for Private Sector Policies and Engagement in Health
Makati City, Manila, 14 – 19 May 2012

foto2Ini adalah sebuah course yang disusun bersama oleh Asia Network for Health System Strengthening (ANHSS) bekerjasama dengan World Bank Institute. ANHSS menyelenggarakan empat acara tahunan, yang meliputi topik-topik Hospital Reform, Public-Private Partnership, Flagship program on Health Sector Reform dan Equity in Health. Course ini adalah bagian dari kegiatan Public-Private Partnership cluster dan telah diselenggarakan untuk tahun ke-tiga. Pada tahun pertama (2010), course ini diselenggarakan di Bali dan secara umum memperkenalkan kerangka pikir PPPs. Pada tahun kedua (2011), course ini diselenggarakan di Bangkok dan memiliki dua jalur; satu jalur khusus berfokus pada PPPs dalam level pelayanan primer, dan jalur yang lain berfokus pada PPPs pada level RS. Untuk course kali ini, lebih terfokus kembali pada PPPs pada level pelayanan primer, dengan dua jalur konsentrasi yaitu dalam konteks Lower-Middle Income Countries dan konteks Upper-Middle Income Countries.

Peserta course kali ini berasal dari Mauritus, Afghanistan, Filipina, Mongolia, Bangladesh, dan representasi dari developing partners (World Bank, ADB, JICA, dan GIZ).

Opening remarks – Health Secretary

Pembukaan oleh Health Secretary, Dr. Enrique Ona, menyampaikan beberapa peran penting sector swasta dalam pencapaian tujuan kesehatan di Filipina. Peran swasta dalam pembangunan infrastruktur untuk kesehatan telah mulai dilakukan sejak peraturan pemerintah ttg hal ini dikeluarkan tahun 90an. Selain itu di Departemen Kesehatan telah dibentuk unit khusus yang menangani PPPs untuk kesehatan, khususnya terkait dengan infrastruktur dan procurement. Hal ini sejalan dengan strategi nasional dalam memperluas cakupan kesehatan dan perbaikan kualitas rumah sakit dan pelayanan kesehatan rural. Program strategis yang dilakukan antara lain pembangunan Pusat Ortopedi dan Research Institute for Tropical Medicine serta upgrade sekitar 25 regional medical center. Selain itu, dalam rangka mencapai tujuan financial protection, PhilHealth sejak didirikan telah melibatkan sector swasta sebagai penyedia pelayanan mengingat sector swasta adalah sector yang dominan dalam pelayanan kesehatan. Selain itu, dari sekitar 30-an sekolah pendidikan kedokteran, hanya 4 yang milik Pemerintah, menunjukkan betapa besar peran sector swasta di Filipina.

Sebagai penutup, Health Secretary menekankan bahwa yang perlu diingat adalah bagaimana kita mendefinisikan "partnership", apa peran dan tanggungjawab yang dapat dijalankan oleh keduabelah pihak, khususnya untuk memenuhi tujuan kesehatan dengan prioritas bagi masyarakat miskin. Pihak pemerintah harus memahami dan menghargai motivasi sector swasta untuk berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, dan begitu pula sebaliknya. Untuk melakukan PPPs secara berhasil dibutuhkan ketrampilan khusus, dan untuk itulah pemahaman mengenai konsep dan aplikasi yang dapat dipelajari dalam course ini dapat menjadi sangat berguna.

Private Primary Care in the Region (Tim Evans)

Ada terlalu banyak 'bias' dalam istilah PPPs sehingga kita perlu memperjelas apa yang tercakup di dalam hubungan dan interface antara sector 'publik' dan sector swasta dalam kesehatan, agar pemahaman kita lebih komprehensif dan lebih tepat.

Selain itu kita harus memahami konteks dimana sistem kesehatan nasional kita bergerak. Secara umum, ada tiga trend utama di regional Asia: Survival menjadi lebih baik (dalam hal angka kematian) tetapi morbiditas tidak; bertambahnya ageing population dan transisi di sector kesehatan yang bergerak ke arah Non Communicable Diseases, obesitas dan permasalahan kesehatan yang terkait dengan itu, dan urban health deprivation. Secara umum, ekspektasi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meningkat, dan tugas menuju pencapaian MDGs belum selesai. Inequality masih menjadi masalah, dan sistem kesehatan semakin menjadi kompleks. Oleh karena itu, semakin tajam kita dapat melihat interface antara sector public dan sector swasta, semakin baik kita dapat mendisain partnership yang efektif.

Interface pertama adalah dalam hal service provision. Hal pertama yang perlu disadari adalah betapa besar peran swasta dalam penyediaan pelayanan kesehatan dan apa preferensi dari masyarakat sebagai pengguna. Sebagai contoh, sebuah studi dilakukan yang melihat dimana ibu-ibu melahirkan (studi dilakukan di beberapa Negara di Asia). Di quintile yang miskin justru lebih banyak melahirkan di private facility - mulai dari "rumah" baik rumah sendiri mau pun rumah penyedia pelayanan (formal mau pun informal), berbagai klinik, dan rumah sakit swasta; sementara di quintile yang lebih kaya lebih banyak melahirkan di public facility. Hal ini juga memberikan indikasi kepada kita bahwa bukan hanya masyakarat lebih banyak mengakses pelayanan di sector swasta, tetapi juga menggambarkan betapa banyaknya 'aktor' penyedia layanan di level primary care swasta (baik formal mau pun informal, baik for-profit mau pun not-for-profit). Jadi, yang dimaksud dengan 'sektor swasta' adalah semua non state sector terdiri dari multiple actors yang sangat beragam, dan yang dimaksud dengan 'primary care' adalah first-line care, tidak soal siapa penyedianya.

Interface berikutnya adalah tantangan yang terlibat dalam tumbuhnya sector swasta. Salah satu hal kunci yang perlu dilakukan untuk menyusun strategi Primary Care suatu negara adalah memiliki pemahaman yang lengkap dan tepat mengenai pergerakan pasien dan pergerakan keuangan di level primary care (sector public dan sector swasta) mau pun antara level primary care dan level rujukannya. Namun, tanpa sistem informasi yang terintegrasi, hal ini mustahil dilakukan. Masing-masing unit penyedia layanan biasanya membuat sendiri sistem informasinya sendiri, tetapi tidak ada cara untuk me-linked-kannya sehingga menghasilkan informasi yang berguna. Selain itu, hal ini menimbulkan duplikasi dalam banyak hal. Harus ada strategi untuk mengatasi tantangan ini.

Interface ketiga yang perlu dicermati adalah dalam hal tenaga kesehatan. Trend yang muncul di Asia adalah berkembang pesatnya institusi pendidikan kesehatan swata (untuk pendidikan kedokteran, keperawatan, kebidanan, dsb). Supply yang semakin bertambah tentu saja mendorong pula kompetisi antara sector public dan sector swasta dalam hal merekrut dan mempertahankan tenaga kesehatan. Ini juga mendorong pergerakan tenaga kesehatan ke Negara-negara lain yang dianggap lebih 'menjanjikan'.

Interface lain yang terkait dengan continuity of care. Berbagai studi akan menunjukkan kepada kita betapa pasien bergerak/berpindah antara sector public dan sector swasta sepanjang continuity of care: baik across services, across level (rujukan) mau pun across life-cycle. Begitu pula ada interface yang terkait dengan medical products (termasuk produksi dan distribusi obat, perbekalan, peralatan, dan sebagainya). Akan ada tiga interface lain yang akan dibahas secara lebih mendalam dalam sesi-sesi berikutnya yaitu financing, stewardship dan regulasi.

Private Sector PHC and Course Framework (Dominic Montagu)

Hal pertama yang perlu ditekankan adalah apa yang kita maksud dengan "PPPs" dan apa yang bukan "PPPs".

Hal kedua yang penting pula diingat adalah bahwa kita tidak boleh terjebak dalam kepercayaan bahwa ketika tombol "PPPs" kita tekan, semua permasalahan dalam sistem kesehatan kita akan otomatis menjadi lebih baik.

Berikut ini adalah framework yang digunakan dalam course ini:

pppd1

Framework ini adalah kerangka pikir dari sisi pemerintah untuk melibatkan sector swasta. Komponen pertama adalah tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah melalui sistem kesehatan: equity dalam hal distribusi pelayanan, efisiensi dalam pelayanan dan memastikan kualitas pelayanan. Berdasarkan tujuan-tujuan ini, perlu difokuskan pada aspek khusus dalam tujuan yang ingin dicapai, dan permasalahan apa yang ada dalam aspek tersebut, dan apa prioritasnya.

Setelah ada identifikasi masalah, maka perlu melakukan assessment: apa potret sebenarnya dari sistem kesehatan kita: siapa yang men-deliver services, dan bagaimana sistem kesehatan itu dibiayai. Kemudian, perlu diidentifikasi intermediaries apa saja yang terlibat dan bagaimana hubungan mereka dengan pemerintah. Akhirnya perlu pula dipahami apa kapasitas pemerintah dalam hal berinteraksi dengan sector swasta.

Setelah ada pemahaman diatas, maka baru dipilih strategi apa yang akan dipakai: menumbuhkan sector swasta, atau mendayagunakan sector swasta yang sudah tumbuh pesat, atau meng-konversi sector pemerintah (rangenya mulai dari otonomisasi, korporatisasi sampai privatisasi) atau membatasi peran sector swasta.

Untuk menjalankan strategi yang dipilih, tersedia beberapa tools yang dapat digunakan pemerintah: mekanisme contracting, regulasi, demand-side financing, dsb.

Financing of Private Primary Care (Tim Evans)

Mengapa financing penting dalam primary care? Terdapat dua alasan penting, yaitu karena ini berkaitan dengan fairness dan equity: seberapa banyak payment akan ditanggung langsung oleh masyarakat? Dan, apakah layanan yang dibiayai pemerintah adalah layanan yang paling penting sesuai dengan kebutuhan kesehatan setempat? Selain itu, terdapat pula dampak logis dari alokasi pembiayaan yang balanced atau tidak karena resources yang terbatas harus dibagi di berbagai level sehingga alokasi (khususnya, yang tidak efisien) di satu level otomatis mengurangi alokasi di level lain. (Pertanyaannya: Apakah financing terlalu banyak di primary care level? Terlalu banyak di secondary atau tertiary care level?)

Berikutnya dibahas konsep dan perbedaan antara berbagai sumber pembiayaan:

  1. Government expenditure
  2. Pooling and pre-payment
  3. Employer
  4. OOP
  5. Philanthropy

Selanjutnya juga dibahas konsep dan perbedaan antara bagaimana pembayaran dilakukan:

  1. Langsung oleh konsumen
  2. Melalui provider
  3. Mekanisme reimbursement e.g DRG, capitation, fee-for-service

Namun ada hal yang cukup sering terjadi (dalam kenyataan) di level primary care, yaitu "informal payment" walau pun mungkin sebenarnya primary care tersedia free at point of service, dan juga subsidi "tidak resmi" (misalnya: dual-practice, dimana tenaga kesehatan public ternyata melayani di sector swasta pada jam kerja resmi pemerintah)

Key message-nya adalah bahwa masing-masing mekanisme pembiayaan dan pembayaran akan member peluang dan tantangan yang spesifik di masing-masing Negara, dan tidak ada magic bullet yang bisa di-resep-kan untuk menjawab: manakah mekanisme pembiayaan dan pembayaran yang paling baik. Biasanya yang terjadi adalah mixed dari berbagai mekanisme, namun tujuan utamanya adalah harus tersedianya pelayanan pada level primary care yang affordable.

Stewardship (Tim Evans)

Isi dari presentasi kebanyakan adalah konsep governance and stewardship yang bersumber dari referensi WHO. Dijelaskan pula beberapa instrument governance:

  • Formal/"hard" misalnya aturan, hukum, dsb. Sifatnya mengikat secara hukum dan biasanya memiliki konsekuensi hukum
  • Informal/"Soft" misalnya norma, kebiasaan, consensus, kesepakatan, dan code of practices; biasanya 'ketundukan'nya secara sukarela dan bergantung pada self-regulation.

Terkait dengan primary health care, kita tidak bisa secara ekstrim memutuskan untuk melakukan segala sesuatunya secara centrally-planned, namun tidak dapat pula membiarkannya begitu saja (laissez-faire).

Nishtar (2010) menulis tentang mixed health system yang biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • Diversity dalam penyedia layanan kesehatan
  • Sektor swasta yang dominan tetapi poorly organized
  • Layanan sector public yang compromised
  • Ketidakjelasan/pemisahan yang tidak jelas antara sector public dan sector swasta

Nishtar juga menyatakan bahwa implikasi dari mixed health system yang tidak memiliki fungsi stewardship yang baik akan berimplikasi pada:

  • Biaya kesehatan yang tinggi bagi pengguna
  • Kualitas yang bervariasi
  • Irregular ethical conduct
  • Penyebaran pelayanan kesehatan yang tidak tersedia secara equal

Dengan kata lain, apabila sistem kesehatan kita mengalami hal-hal di atas, ini merupakan indikasi tidak berjalannya fungsi stewardship.

pelatihan analisis kebijakan

TERMS OF REFFERENCE

PELATIHAN ANALISIS KEBIJAKAN BIDANG KESEHATAN
FORUM KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA III
SURABAYA, 5 - 6 JUNI 2012

I. PENDAHULUAN

Kebijakan kesehatan memiliki peran strategis dalam pengembangan dan pelaksanaan program kesehatan. Kebijakan kesehatan juga berperan sebagai panduan bagi semua unsur masyarakat dalam bertindak dan berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan. Melalui perancangan dan pelaksanaan kebijakan kesehatan yang benar, diharapkan mampu mengendalikan dan memperkuat peran stakeholders guna menjamin kontribusi secara maksimal, menggali sumber daya potensial, serta menghilangkan penghalang pelaksanaan pembangunan kesehatan.

Kegiatan pelatihan analisis kebijakan bidang kesehatan melatih para peserta melakukan review analisis kebijakan di bidang kesehatan. Tujuan pelatihan adalah mempertajam dan memperkuat pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan analisis serta penelitian di bidang kebijakan kesehatan. Narasumber dan trainer dalam pelatihan ini adalah pakar dan praktisi di bidang analisis kebijakan dan penelitian kebijakan bidang kesehatan.

Leaflet Pelatihan Analisis Kebijakan Kesehatan 

II. PELATIHAN ANALISIS KEBIJAKAN

  1. Nama Kegiatan

    Kegiatan yang akan diselenggarakan adalah "Pelatihan Analisis Kebijakan"

  2. Tempat dan Waktu Kegiatan

    Kegiatan ini direncanakan diselenggarakan di:
    Hari      : Selasa - Rabu
    Tanggal : 5 - 6 Juni 2012
    Tempat : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya

  3. Rancangan Kegiatan

    Dalam kegiatan Pelatihan Analisis Kebijakan ini nantinya para peserta pelatihan akan mendapatkan pencerahan dan materi tentang:

    1. Konsep Analisis Kebijakan (Policy Analysis)
      1. Definisi, Pengertian, Teori dan Masalah Kebijakan
      2. Ruang Lingkup Kebijakan
      3. Kebijakan di Bidang Kesehatan sebagai Kebijakan Publik
      4. Konsep Analisis Kebijakan (Policy Formulation, Policy Implementation, Policy Review)
         
    2. Review Kebijakan (Policy Review), meliputi:
      1. Ruang Lingkup Review Kebijakan
      2. Prinsip Review Kebijakan
      3. Pendekatan dalam Review Kebijakan
      4. Tahapan Review Kebijakan
         
    3. Penyusunan Policy Brief
       
  4. Hasil Pelatihan yang Diharapkan

    Setelah mengikuti kegiatan Pelatihan Analisis Kebijakan, para peserta diharapkan:

    1. Mampu memahami konsep analisis kebijakan
    2. Mampu melakukan review kebijakan
    3. Mampu menyusun policy brief
       
  5. Narasumber Kegiatan

    Narasumber dan Trainer dalam Kegiatan Pelatihan Analisis Kebijakan ini adalah:

    1. Prof. Ascobat Gani, dr., MPH., Dr.PH (Pakar Kebijakan Bidang Kesehatan, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)
    2. Prof. Dr. Jusuf Irianto, Drs., M.Com.(Pakar Kebijakan Publik, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga)
    3. 3. Dr. Dumillah Ayuningtyas, Dra., M.Kes. (Pakar Penelitian Bidang Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)
       
  6. Run Down Kegiatan

    Hari

    Waktu

    Kegiatan

    Nara Sumber

    Selasa,
    5 Juni
    2012

    07.30 – 08.30

    Registrasi dan Coffe

    Morning

     

    08.30 – 09.00

    Pembukaan

    Panitia

    09.00 – 10.00

    Keynote Speaker :

    Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur

    Dr. Budi Rahaju, MPH.

    Notulensi 

    10.00 – 10.45

    Diskusi dan Tanya jawab

     

    10.45 – 11.45

    Pemberian Materi :

    Konsep Analisis

    Kebijakan Publik

    Prof. Dr. Jusuf Irianto, Drs., M.Com

    Notulensi

    11.45 – 12.30

    Diskusi dan Tanya jawab

    pelsby

     

    12.30 – 13.30

    ISHOMA

     

    13.30 – 14.30

    Pemberian Materi :

    Kebijakan Kesehatan

    Prof. Dr. Jusuf Irianto, Drs., M.Com

    slide 1 - Pelatihan kebijakan publik

    slide 2 - Pelatihan kebijakan publik

    slide 3 - Stakeholder analisis bidang kesehatan

    14.30 – 15.15

    Diskusi dan Tanya jawab

     
           

    Rabu,
    6 Juni
    2012

    08.30 – 09.00

    Pemberian Materi :

    Review Kebijakan

    Prof. Ascobat Gani, dr., MPH., Dr.PH

    09.00 – 12.00

    Latihan Review :

    Kebijakan (UU BPJS)

    Prof. Ascobat Gani, dr., MPH., Dr.PH dan Tim

    12.00 – 13.00

    ISHOMA

     

    13.00 – 14.30

    Latihan Review :

    Kebijakan (UU BPJS)

    Prof. Ascobat Gani, dr., MPH., Dr.PH dan Tim

    14.30 – 16.30

    Latihan Policy Brief

    slide contoh health Policy Brief

    slide contoh policy brief kesehatan indonesia

    slide contoh policy brief Gerhan 2007

    slide contoh policy brief jaminan pembiayaan

    Prof. Ascobat Gani, dr., MPH., Dr.PH dan Tim

    Notulensi

     

    16.30 – 17.00

    Penutupan

    Panitia

     

 III. SASARAN PESERTA

Peserta pelatihan analisis kebijakan kesehatan diharapkan berasal dari:

  1. Dinas Kesehatan
  2. Praktisi Analisis Kebijakan
  3. Dosen/Akademisi
  4. Mahasiswa Pasca Sarjana (S2/S3)
  5. Organisasi Pelayanan Kesehatan

IV. KEBIJAKAN YANG DIREVIEW

Pelatihan analisis kebijakan kesehatan akan mereview kebijakan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial.

laporan hari II (HOGSI)

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III

LAPORAN PIT V HOGSI

(PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE V HIMPUNAN OBSTETRI GINEKOLOGI SOSIAL INDONESIA)
DI HOTEL ROYAL AMBARUKMO YOGYAKARTA, 30 APRIL-2 MEI 2012

Laporan Hari II

Pelapor: dr.Sitti Noor Zaenab, M.Kes

Berbeda dengan acara hari pertama yang sempat tertunda 1 jam menunggu pembukaan resmi, pada hari kedua ini SIMPOSIUM 1 dengan topik " Bugar di Usia Senja" langsung dimulai tepat pukul 08.00 WIB. Tampil 4 pakar kesehatan sebagai pembicara yaitu:

  1. Prof. dr. Ariawan Soejoenoes, SpOG(K), dengan judul: Bugar di Usia Senja
  2. DR. Dr. Tono Juwantono, SpOG(K), dengan judul: Kesehatan Tulang Pasca Menopause
  3. dr. Grace Tumbelaka, dengan judul: Olahraga dan Gaya Hidup
  4. Prof. DR.Wimpie Pangkahila, SpAnd, dengan judul: Aktifitas Seksual Wanita Pasca Menopause

Sesi ini cukup menarik karena yang ditampilkan adalah merupakan masalah yang dihadapi kebanyakan peserta yang rata-rata sudah berumur diatas 45 tahun, apalagi disertakan pula gambar-gambar yang sedikit saru tetapi tetap ilmiah. Saat ini jumlah lansia makin bertambah, hal ini membawa dampak pada masalah ekonomi, sistem kesehatan yang menjamin mutu kehidupan, kemandirian, dan keseimbangan peran keluarga. Dibutuhkan pelayanan publik dan infrastruktur yang ramah lansia. Definisi tua tidaklah sama tergantung dari sudut pandang, dapat dilihat dari 3 sudut pandang yaitu: Chronical age; Biological age; dan Psychological age . Meski menu, yang dibutuhkan adalah kualitas hidup yang meliputi 4 ranah yaitu: Fisik; Psikososial; Hubungan Sosial; dan Lingkungan. Tujuan menua yang sehat adalah: mempertahankan kesehatan fisik dan mental; menghindari kelainan; dan tetap aktif dan mandiri. Untuk mencapai itu perlu melakukan kebiasaan sehat yaitu: mengatur pola makan yang bergizi seimbang; olahraga teratur; dan aktif secara mental. Meskipun sangat dibutuhkan olahraga tetapi tidak semua boleh dilakukan. Yang tidak boleh yaitu: lompat, flexi, aktifitas berpotensi jatuh, abduksi dan adduksi dengan beban berat.

Salah satu masalah di usia tua adalah kesehatan tulang, terutama pada wanita pasca menopause dapat terjadi osteoporosis , yang disebabkan kekurangan hormon eostrogen. Berkurangnya hormon oestrogen menyebabkan ketidakseimbangan antara respon tulang dan formasi tulang, respon tulang menjadi lebih cepat dibanding formasi tulang, akhirnya masa tulang menjadi rendah dan mudah rapuh. Kalau tidak hati-hati dan jatuh dapat menyebabkan patah tulang. Pengobatan osteoporosis ini ada 2 macam yaitu dengan terapi hormonal (Estrogen Replacement Therapy) dan non hormonal. Yang lebih penting lagi adalah pencegahan yaitu dengan cukup asupan Kalsium dan Vitamin D, olahraga teratur, dan cukup gerak. Efek lain dari kekurangan hormon karena usia tua adalah terganggunya kehidupan seksual, sehingga kalau tidak diobati maka gejala akan berjalan terus, kualitas hidup menurun, dan dapat terjadi disharmoni seksual dengan pasangan.

Waktu untuk diskusi sangat singkat sehingga menimbulkan penasaran, dan acara dilanjutkan ke SIMPOSIUM 2 dengan topik "Medikolegal dan Malpraktek", tampil 4 penbicara:

  1. dr.Hani Susiarno, SpOG(K), dengan judul: Malparaktik atau Resiko Tindakan Medis?
  2. dr.Nurdadi Saleh, SpOG, dengan judul: Pengalaman Penanganan Dugaan malpraktik dalam Pelayanan Obstetrik
  3. Prof.DR.Siti Ismijati Jenie, SH, CN, dengan judul: Antisipasi Dugaan Malpraktik
  4. dr.Siswanto Sastrowiyoto, SpTHT, MH, dengan judul: Penanganan Kasus-Kasus Medikolegal, Pengalaman di RS Sardjito

Ketiga pembicara pada sesi ini dari kalangan medis, sehingga sangat menarik ketika tampil seorang proffessor yang murni ahli hukum. Malpraktik dan resiko tindakan medik adalah 2 hal yang berbeda. Malpraktik adalah melakukan kesalahan/kelalaian yang melanggar ukuran kemampuan rata-rata seorang profesional, yang menyebabkan kerugian /kematian pasien. Malpraktik dapat dituntut pidana atau dituntut ganti rugi secara perdata. Sedang resiko tindakan medik adalah bukan kesalahan/kelalaian karena sekecil apapun tindakan medik selalu ada resiko. Resiko tindakan medik tidak boleh ada penuntutan apapun. Oleh sebab itu beberapa hal ini perlu diperhatikan sebelum melakukan tindakan: Tidak menjamin kesembuhan tapi inspanning verbintenis ; Hati-hati pada kasus yang berpotensi menimbulkan medicolegal trouble ; Tidak melakukan pengobatan dibawah standar/tidak sesuai dengan standar profesi; dan Semua prosedur dilakukan dengan informed consent.

Di dalam sebuah organisasi profesi seyogyanya ada Dewan Pertimbangan yang bertugas: Membahas dan menganalis kasus; Memutuskan kasus bisa digolongkan sebagai : putih, abu – abu, atau hitam ;Memberi nasihat untuk melanjutkan kasus tersebut ke proses hukum selanjutnya atau di tempuh mediasi antara para pihak; dan Menentukan saksi ahli. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gugatan malpraktik maka semua pihak yang mungkin menjadi sasaran gugatan malpraktik itu melaksanakan tugasnya sesuai standar profesinya, sesuai pula dengan standar pelayanan rumah sakit, senantiasa mematuhi ketentuan perundang‐undangan di bidang kesehatan, serta memperhatikan code etik masing‐masing profesi. Kalaupun harus menghadapi tuntutan malpraktik maka harus dihadapi bersama-sama (dalam sebuah RS) karena ada yang disebut tanggung gugat dan tanggung renteng.

Kemudian dilanjutkan dengan kuliah umum dari Prof.DR.dr.Nila Djuwita F.Moeloek, SpM(K) dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs, dengan judul: Meningkatkan Kemitraan yang berkelanjutan untuk Menunjang PencapaianTarget MDGs 2015. Disampaikan bahwa obyektif 8 goals dari MDGs adalah meningkatkan kualitas ekonomi dan sosial masyarakat miskin. Ada beberapa target yang sudah dicapai saat ini, ada yang bisa dicapai pada tahun 2015, tetapi ada yang sulit dicapai yaitu Penurunan AKI; Jumlah penduduk dengan HIV/AIDS; dan Tingkat emisi gas rumah kaca, air bersih dan sanitasi. Masalah kematian ibu ditunjang oleh perilaku sex remaja yang tidak sehat, usia perkawinan pertama dibawah 20 tahun yang tinggi, kehamilan yang tidak diinginkan, yang akan berakibat putus sekolah, aborsi tidak aman, meningkatnya resiko kematian ibu, dan resiko mortalitas dan morbiditas. Untuk itu dibutuhkan kerja keras semua pihak yaitu masyarakat, pemerintah, dan swasta. Kerja keras saja tidak cukup tetapi harus bekerja dalam jaringan untuk saling mendukung. Dimulai dari hal-hal kecil dari masing-masing orang dengan menggunakan teknologi informasi yang makin berkembang, misalnya mengirim SMS/BBM yang berisi pesan-pesan Kesehatan Reproduksi (Kespro). Kalau semua mau berperan sesuai kemampuan dan posisi masing-masing tanpa harus saling menunggu atau saling menyalahkan maka target MDGs ini akan tercapai.

Waktu berjalan begitu cepat, masuk ke SIMPOSIUM 3 dengan topik "Peningkatan Pelayanan di RS dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu", dipaparkan oleh 4 pembicara:

  1. dr.HR. Dedi Kuswenda, SpOG (Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kemenkes RI), dengan judul: Peningkatan Kinerja Puskesmas PONED sebagai Jejaring RS PONEK
  2. dr. Diar Wahyu Indriati, MARS (Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan Kemenkes RI), dengan judul: Penyiapan RS PONEK 24 jam
  3. dr.Omo Abdul Majid, SpOG(K), (Direktur Umum dan Operasional RSCM), dengan judul: Peran Manajemen RS dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu
  4. dr.R. Soerjo Hadijono, DTRM&B(Ch)., SpOG(K), (Kepala Departemen Obstetri Ginekologi FK UNDIP) dengan judul: On The Job Training (OJT) PONEK dan Peran Jaringan Nasional Pelatihan Kesehatan (JNPK) dalam meningkatkan Kompetensi Tenaga Kesehatan

Pelayanan Obstetri Emergensi yang adekuat merupakan upaya terakhir mencegah kematian ibu. Puskesmas PONED berperan sebagai tempat Rujukan atau Rujukan Antara dalam Penanganan Komplikasi Obstetri & Neonatal;. Puskesmas PONED dan RS PONEK merupakan suatu kesatuan Sistem Rujukan Emergensi Obstetri & Neonatal. Sehingga diperlukan dukungan berbagai pihak untuk pengembangan Sistem Rujukan, dan diperlukan Komitmen Daerah dan Seluruh Stakeholders . Peningkatan sistem rujukan juga untuk mendukung jejaring pelayanan terpadu dalam mewujudkan universal coverage 2014.

Pelatihan adalah intervensi untuk masalah kompetensi dan peralatan adalah syarat untuk melaksanakan prosedur klinik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pelatihan dilakukan untuk standardisasi pelayanan, peralatan diberikan untuk menyelenggarakan pelayanan, dan supervisi fasilitatif dilakukan untuk membantu pihak rumah sakit dapat menerapkan hasil pelatihan dan menyelenggarakan pelayanan berkualitas. Investasi pelatihan dan penyediaan sarana-prasarana, baru dapat menggerakkan sebagian mesin produksi PONEK, karena program pemerintah pusat, tidak akan memberikan hasil yang memuaskan apabila tidak didukung sepenuhnya oleh pemilik rumah sakit/pemerintah daerah.

Setelah ishoma dilaksanakan sidang paralel yang terbagi pada 3 kelompok, yaitu:

  1. Workshop 5 dengan topik "Kerjasama Lintas Sektoral dalam Upaya Percepatan MDGs 2015"
  2. Sesi Bidan dengan topik " Kontrasepsi, kaitannya dengan Infeksi panggul dan kanker"
  3. Makalah Bebas, yang terbagi 2 yaitu Makalah Bebas 1a dan 1b

Penulis mengikuti WORKSHOP 5 yang diadakan di Ballroom, disini tampil 5 pemakalah yaitu:

  1. dr.Muljo Hadi Sungkono, SpOG(K), dengan judul: Peran, Sumbangan, dan Kendala RS Mitra dalam Program Sister Hospital di NTT
  2. dr.Yuanda Nova , MARS (Ditjen BUK Kemenkes RI), dengan judul: Improvement Collaborative Approach dalam Penanganan Kasus Emergency Maternal dan Neonatal
  3. dr.Rukmono Siswishanto, M.Kes, SpOG(K), dengan judul: Peran dan Dukungan Pemda Setempat dalam Menjaga Keberhasilan dan Kelangsungan Program Sister Hospital di NTT
  4. dr.Diar Wahyu Indriati, MARS (Direktorat BUKR), dengan judul: Peran dan dukungan Kemenkes dalam Keberlangsungan & Keberhasilan Program Sister hospital di NTT
  5. dr.Rosilawati Anggaraeni (UNFPA), dengan judul: Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Pasca Bencana

Pencapaian MDGs bukan sekedar penurunan AKI/AKB tetapi peningkatan KESEHATAN IBU dan ANAK secara komprehensif. Demikian juga terkait dengan penanganan masalah sampai "HULU" bukan hanya penanganan masalah secara instan di "HILIR". Untuk itu diperlukan upaya pencegahan mulai dari hulu sampai hilir yaitu berupa PRIMARY PREVENTION yang meliputi: Mencegah kesakitan maternal dan perinatal, Perubahan Perilaku, Perbaikan Sistem yang berkesinambungan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Kemandirian Daerah; SECONDARY PREVENTION yang meliputi: Menurunkan jumlah kematian ibu dan bayi, dan Penyediaan PONEK 24 jam; dan TERTIARY PREVENTION yang meliputi: Menurunkan komplikasi , Menurunkan Keparahan, dan Menurunkan intensitas penyakit.

Kolaborasi Perbaikan merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang persisten. Kunci dari kolaborasi adalah kesamaan visi dan tujuan untuk melakukan perbaikan diantara pengampu atau pelaku program kesehatan.Bimbingan teknis dan dukungan dari seluruh pengampu/mitra akan sangat menentukan upaya perbaikan yang dijalankan

Isu Exit Strategy untuk Sister Hospital adalah: Kemandirian Rumah Sakit, Pemanfaatan teknologi untuk akselerasi pencapaian kemandirian, Penguatan budaya kerja & partisipasi, misalnya Spirit kearifan local di RSUD Bajawa Su'u papa suru, Sa'a papa laka.

Kemenkes mendukung program Sister Hospital melalui: Pemenuhan anggaran Prog.Pembinaan Upaya Kesehatan yang diarahkan pada pemenuhan TT (kelas 3), PONEK, IGD, UTD RS dan gedung RS yang bermuara pada peningkatan mutu pelayanan (hardware); Peningkatan mutu brainware / software RS yaitu peningkatan kapasitas SDM, manajemen dan pelayanan medik; Diharapkan mampu mempercepat kemandirian RS bergerak &RS Pratama . Untuk itu perlu dukungan Dinkes, FK dan sektor swasta.

Masalah Kespro sering dilupakan dalam kondisi bencana, padahal hal tersebut tidak dapat ditunda. UNFPA yang merupakan bagian WHO mengenalkan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kespro dalam keadaan bencana. Adapun tujuan PPAM adalah: Identifikasi coordinator, Mencegah & menangani konsekuensi kekerasan seksual, Mengurangi penularan IMS/HIV, Mencegah peningkatan kesakitan dan kematian maternal dan neonatal, Merencanakan layanan Kesehatan Reproduksi komprehensif terintegrasi pada layanan kesehatan primer, sesegera mungkin. Sehingga kerjasama lintas sektoral menjadi hal yang wajib dalam mencapai target MDGs 2015.

Selesai sidang paralel para peserta kembali ke Ballroom untuk mengikuti SEMINAR 1 dengan topik "Best Practices in Obstetrics care". Para pemapar dalam seminar ini:

  1. dr.Moh.Hakimi, PhD, SpOG(K), dengan judul: Postpartum Hemorrhage
  2. dr.R.Soerjo Hadijono, DTRM&B(Ch), SpOG(K), dengan judul: Delayed Cord Clamping

SEMINAR 2 dengan topik "Trend and Controversies of Obstetric Care in the Aspect of Medicolegal". Tampil para praktisi sebagai pembicara:

  1. dr.Ova Emilia, M.Med.Ed, PhD, SpOG(K),dengan judul: Water Birth
  2. dr.Zainal Arifin, SpOG, dengan judul: Hypnobirthing

Pada 2 topik seminar ini membahas prmasalahan klinis sebagai tambahan pengetahuan bagi para peserta, yang kebanyakan adalah dokter spesialis obsgyn, dokter umum, dan bidan.

Meskipun pertemuan hari ke dua berlangsung sampai sore, tetapi para peserta tetap antusias mengikuti sampai selesai karena topik-topik yang diangkat cukup up to date dan menarik.

Khusus anggota HOGSI masih melanjutkan Focus Group Discussion pada malam hari, dengan topik "Pelaksanaan dan Hambatan Jampersal di Lapangan". Tentu saja penulis tidak ikut karena bukan anggota HOGSI.

Pertemuan secara umum akan berlanjut besok hari terakhir dengan topik-topik yang makin menarik. Penulis berusaha untuk melaporkan secara keseluruhan, baru akan membahas lesson learnt dari acara PIT V HOGSI baik proses maupun materinya. Mungkin ada sesuatu yang bisa diambil sebagai bagian dari proses pembelajaran di organisasi PMPK FK UGM.