Sulitnya Membuat Peraturan Rokok di Indonesia

Jakarta, Sampai saat ini RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tembakau belum juga disahkan oleh pemerintah, padahal prosesnya sudah berlangsung cukup lama. Bahkan beberapa RPP yang diajukan setelah RPP tembakau sudah disahkan terlebih dahulu. Mengapa sangat sulit membuat peraturan soal rokok di negeri ini?

Setelah lebih dari setahun diskusi panitia antara kementerian dan lolos harmonisasi oleh Kementerian Hukum dan HAM, RPP yang telah memenuhi syarat tambahan yaitu persetujuan dua Menko pertengahan April lalu dan Rapat Kabinet pada akhir Juni 2012 masih juga 'disandera' sampai di penghujung tahun 2012. Padahal Presiden telah mengumumkan akan segera menandatangani 1 Agustus yang lalu.

"Formalin saja sudah diatur, tapi susah sekali mengatur rokok yang jelas-jelas berbahaya. Dari anak kecil hingga dewasa merokok semua. Kita sudah ketinggalan jauh dari Kamboja, Thailand apalagi," tutur Bambang Wispriyono, PhD, Dekan Fakultasi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pada acara bincang-bincang dengan media di Cali Deli Resto, Jl Warung Buncit, Jakarta Selatan, Selasa (18/12/2012).

RPP ini disyaratkan harus ditanda tangani oleh 6 Menteri setelah persetujuan Presiden, yaitu oleh Menteri Kesehatan, Perindustrian, Keuangan, Hukum dan HAM, Menko Kesra dan Menko Polhukam.

Saat ini, RPP tembakau sudah mengantongi 3 tanda tangan Menteri, yakni Menteri Kesehatan, Menko Kesra dan Perindustrian akhir Agustus 2012 lalu, tapi kemudian mandeg di Kementerian Keuangan hingga sekarang.

"RPP (tembakau) mandeg tanpa alasan yang jelas. RPP telah dimarginalkan, dikalahkan dengan RPP lain yang telah disusun sesuai prosedur-prosedur. Hanya 2 sampai 3 minggu di Kementerian lainnya, tapi di (Kementerian) Keuangan sampai 3 bulan. Kalau ada masalah, kenapa tidak segera diselesaikan? Kenapa harus sampai 3 bulan?" jelas Dr Widyastuti Soerojo, MSc, Koordinator Pengembangan Peringatan Kesehatan di Kemasan Rokok FKM UI.

Dr Tuti, panggilan akrabnya, menjelaskan bahwa dalam RPP tembakau tidak ada larangan untuk penanaman tembakau, tidak ada pelarangan untuk penjualan rokok, juga tidak ada pelarangan untuk merokok.

RPP tembakau bermaksud untuk melindungi orang-orang non perokok dari bahaya asap rokok orang lain dan mencegah bertambahnya perokok pemula akibat iklan dan sponsor rokok yang amat gencar.

Namun sebagai RPP kesehatan, lanjut Dr Tuti, RPP tembakau dianggap telah dijadikan bisnis politik yang memojokkan perlindungan kesehatan masyarakat dengan berita-berita menyesatkan seakan-akan bakal menggangu stabilitas politik dan keamaan, dengan dimasukkan syarat tanda tangan Menko Polhukam.

"Pemerintah melanggar konstitusi dan Undang-undang karena tidak segera mengesahkan RPP. Mestinya RPP disahkan tahun 2010, ini sudah molor. RPP susu formula saja sudah disahkan untuk melindungi balita. Bahaya mana susu formula atau rokok? Saya rasa sebahayanya susu formula masih jauh bahaya rokok," ujar Tulus Abadi, anggota pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

(sumber: health.detik.com)

UU BPJS Tak Selesai, Pemerintah Lakukan Pelanggaran

JAKARTA—Pemerintah dinilai secara nyata melakukan pelanggaran pasal 70 Undang-Undang No.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan sebelumnya pemerintah telah melanggar UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan tidak menyelesaikan UU BPJS sebelum 2009.

"Belum diselesaikannya peraturan pelaksana BPJS Kesehatan hingga saat ini, yakni Perpres Jaminan Kesehatan dan PP Penerima Bantuan Iuran oleh pemerintah juga merupakan bukti nyata terjadinya pelanggaran itu," kata dia, Senin (17/12/2012).

Dia menjelaskan belum selesainya Perpres (peraturan presiden) dan PP (peraturan pemerintah) terkait dengan BPJS Kesehatan itu akan mengancam pelaksanaan Jaminan Kesehatan pada 1 Januari 2014.

Selain itu, agenda atau jadwal kegiatan yang sudah dirancang untuk sosialisasi peraturan pelaksana BPJS Kesehatan ke masyarakat juga akan terganggu.

"Ini masalah serius yang harus sungguh-sungguh dikawal oleh DPR, karena dengan adanya fungsi pengawasan di legislatif, seharusnya lembaga itu mengawasi dan berani menegur kelambanan pemerintah," tegas dia.

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi menegaskan pemerintah dipastikan sulit mengejar beberapa indikator kinerja kesehatan yang ditetapkan sebagai program tahunan, terutama menyangkut target jangka menengah.

"Target itu diantaranya penerapan jaminan kesehatan nasional lewat BPJS dan pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDG's) di bidang kesehatan," ujarnya.

(sumber: www.solopos.com)

Rumah Sakit Swasta Boleh Tak Ikut SJSN

Jakarta, Pada tahun 2014 nanti, seluruh masyarakat itu sudah tercakup jaminan kesehatannya dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Artinya, tidak ada warga negara Indonesia yang tidak bisa berobat karena masalah biaya. Pihak rumah sakit diminta mempersiapkan diri menghadapinya.

"Sistemnya adalah asuransi kesehatan, di mana ada yang membayar premi, ada kegotongroyongan antar peserta. Peserta untuk fakir miskin dan tidak mampu dibayar oleh pemerintah. Yang sudah bekerja membayar 5 persen, di mana 2 persen di bayar yang bersangkutan, 3 persen dibayar oleh pemberi kerja," kata Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi dalam acara peresmian RS Bethsaida, Serpong, Rabu (12/12/2012).

Menkes menjelaskan pada peserta yang sudah bekerja, sistemnya mirip dengan asuransi kesehatan untuk pegawai negeri sipil. Namun bagi peserta yang mampu membayar premi sendiri, boleh memilih membayar melalaui SJSN ataupun asuransi swasta.

SJSN sendiri tidak bersifat mengikat mutlak karena bisa disinergikan dengan pihak asuransi swasta. Selain itu, rumah sakit swasta yang tidak berminat juga sah-sah saja jika tidak ikut bergabung dengan SJSN. Namun bagi yang ingin bergabung, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.

"RS swasta boleh ikut ataupun tidak ikut. Kalau yang mau ikut, maka dia paling tidak harus menyiapkan pelayanan kelas III sehingga tidak akan menolak pasien yang menjadi anggota Jamkesmas. Begitu juga Askes, ada RS swasta yang sepakat bekerja sama dengan PT Askes, maka PNS yang sakit bisa ke rumah sakit tersebut sesuai standarnya," terang Menkes.

Untuk mempersiapkan pelaksanaan SJSN ini, pemerintah tengah berupaya mengembangkan pelayanan dan fasilitas rumah sakit. Tak hanya untuk menyambut penerapan SJSN saja, melainkan untuk membendung makin banyaknya pasien di Indonesia yang lebih memilih berobat ke luar ngeri.

Menurut Tanto Kurniawan, President Comisioner RS Bethsaida Serpong, yang membedakan antara rumah sakit di dalam dan luar negeri sebenarnya adalah persepsi pasien. Kebanyakan orang Indonesia masih menganggap kalau berobat ke luar negeri lebih besar tingkat kesembuhannya. Apalagi pelayanan dokter di tanah air juga ada yang masih kurang ramah.

"Persepsi itu yang harus diubah bahwa dokter-dokter di sini banyak yang bagus juga. Di Indonesia juga biasanya dokter memposisikan diri sebagai pihak yang super, tahu segala-galanya. Pada saat ditanya pasien biasanya tidak mau memberi tahu. Rumah sakit yang modern seharusnya tidak begitu. Adanya keyakinan daripada para pasien akan menyababkan kesembuhan bisa lebih cepat," terang Tanto.

(sumber: health.detik.com)

Mengecewakan, Anggaran BPJS Rp 1 Triliun Hangus

[JAKARTA] Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan Sohibul Iman menyayangkan kemungkinan besar hangusnya anggaran untuk persiapan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebesar Rp 1 triliun, yang dialokasikan dalam APBNP 2012.

"Dengan kondisi ini, kita melihat tidak ada keseriusan pemerintah dalam mensejahterakan rakyat. Presiden SBY harus tegas mengevaluasi kinerja menteri-menteri terkait karena akan mengganggu kinerja SBY di mata rakyat. Amanat Konstitusi Pasal 34 adalah membangun sistem jaminan sosial nasional, bukan jaminan sosial yang sporadis. Karena itu persiapannya harus dilakukan secara serius dan matang," katanya dalam rilis yang diterima SP di Jakarta, Senin (10/12).

Sebelumnya, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan menyampaikan Anggaran BPJS sebesar Rp 1 triliun yang dialokasikan dalam APBNP 2012 tidak bisa cair. Hal ini karena Kementerian Kesehatan belum melengkapi persyaratan pencairan anggaran.

Anggaran BPJS yang tidak cair tahun ini otomatis akan hangus. Dananya kemudian akan masuk ke Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) dan tidak bisa diakmulasikan untuk digunakan untuk BPJS kedepan. Dalam APBN 2013 pemerintah juga mengalokasikan anggaran persiapan BPJS dengan besaran yang sama yaitu Rp 1 triliun.

"Potensi dana Rp1 triliun untuk memperkuat BPJS Kesehatan yang akan dimulai awal tahun 2014 menjadi hilang. Ini tentu sangat mengecewakan," tegasnya.

Sohibul Iman juga menyayangkan belum selesainya penetapan peraturan pelaksanaan UU BPJS untuk mendukung beroperasinya BPJS Kesehatan yang seharunya ditargetkan selesai tanggal 25 November 2012. Sampai saat ini belum satupun Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2011 yang ditetapkan.

"Kita minta pihak-pihak terkait untuk bersungguh-sungguh menyelesaikan berbagai peraturan ini. Karena ini amanat UU dan menyangkut kepentingan rakyat secara luas, jasminan sosial ini harus dipersiapkan dengan sangat baik", tegasnya.

(sumber: www.suarapembaruan.com)

Indonesia Kekurangan Puluhan Ribu Dokter Penyakit Dalam

Jakarta : Permasalahan kesehatan di Indonesia semakin beragam, terutama soal penyakit dalam. Namun jumlah dokter tak seimbang dengan jumlah pasien yang harus ditangani. Menurut data per 1 Desember 2012, jumlah anggota PAPDI di 36 Cabang di Indonesia hanya 2.556. Sedangkan idealnya, dokter khusus penyakit dalam dibutuhkan lebih dari 20.000 orang.

Masalah ini nantinya akan dibahas pada pelaksanaan Kongres Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI XV PB PAPDI) yang akan dilaksanakan pada tanggal 12 s/d 15 Desember 2012 di Medan, dengan tema kegiatan "55 Tahun Peran Profesional PAPDI : Menapak Era Globalisasi di Tengah Masyarakat Indonesia dan Kedokteran Universal"

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Dr. dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP, kekurangan itu mengakibatkan banyaknya daerah di Indonesia terutama bagian kepulauan dan perbatasan tidak memiliki dokter penyakit dalam.

Di Indonesia sendiri, jumlah internis terbanyak ada di DKI Jakarta dengan jumlah sekitar 526 orang. Di posisi kedua diduduki oleh Jawa Barat dengan jumlah dokter sebanyak 197 orang. Yang mengejutkan, jumlah internis di Sulawesi Tenggara hanya 11 orang.

Tak bisa dipungkiri, penyebab utama dari minimnya internis di daerah disebabkan karena tak tersedianya fasilitas yang memadai dan ilmu yang selama para internis selama di bangku kuliah tak dapat berkembang secara maksimal.

"Banyak dokter spesialis di daerah kepulauan dan perbatasan akhirnya memilih mundur dan kembali ke daerah asal karena tidak ada alat kesehatan yang memadai atau keahlian mereka tidak dihargai secara layak,' kata dokter Dr. dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP.

Adapun tantangan yang harus dihadapi oleh para pemerintah nantinya adalah populasi di Indonesia semakin meningkat, banyaknya jenis penyakit baru, dan perlu penambahan dokter spesialis.

PAPDI dan kolegiumnya bersama universitas/fakultas kedokteran berupaya menghasilkan internist-internist umum yang handal. Dengan kesadaran bahwa layanan primer itu sangat penting, PAPDI juga mempunyai komitmen untuk bekerja sama erat dengan dokter umu, baik dalam konteks konsultatif maupun pendidikan yang berkesinambungan.

(sumber: health.liputan6.com)

Kaum Muda Berhak Dapat Informasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Nusa Dua, Berbagai masalah kesehatan seksual dan reproduksi banyak terjadi di kalangan kaum muda. Agar bisa tumbuh sehat dan bisa berkontribusi dalam pembangunan, kaum muda perlu dan memang berhak mendapat informasi yang komprehensif tentang kesehatan seksual dan reproduksi.

Hak untuk mendapatkan informasi kesehatan yang komprehensif tersebut termuat dalam rekomendasi International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994. Hingga saat ini, pemenuhan hak tersebut terus diupayakan oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) termasuk Indonesia.

"Kita sangat concern oleh karena kalau anak-anak muda tidak diberikan informasi yang benar, maka bisa terjadi perilaku seksual yang berisiko," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Republik Indonesia, Nafsiah Mboi, saat ditemui dalam acara Global Youth Forum (GYF) di Nusa Dua Bali Convention Center, Selasa (4/12/2012).

Menkes mencontohkan meningkatnya kehamilan di luar nikah merupakan salah satu dampak dari kurangnya informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif atau menyeluruh. Demikian juga dengan aborsi atau pengguguran kandungan, yang meningkat sebagai dampak lain dari kehamilan yang tidak diharapkan.

Peningkatan kasus infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada kaum muda juga salah satunya merupakan akibat dari kurangnya informasi yang komprehensif. Menkes mengatakan, 40 persen infeksi HIV di Indonesia terjadi di kelompok usia muda yakni 25 tahun ke bawah.

"Ini kan karena mereka nggak tahu. Mestinya mereka berhak untuk dapat informasi yang benar dan lengkap," lanjut Menkes.

Pentingnya pemenuhan hak-hak atas informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif juga disampaikan oleh Rishita Nandagiri dari Women's Global Network for Reproductive Rights yang dalam GYF bertindak sebagai Co-chairs of International Steering Committee. Lebih khusus gadis berdarah India ini mengatakan perempuan muda paling merasakan dampaknya saat hak-hak reproduksi itu dilanggar.

"Aspek positif dari pemenuhan hak-hak reproduksi contohnya perempuan muda bisa menunda perkawinan, menunda kehamilan sampai kuliahnya selesai dan memiliki kekuatan lebih besar untuk terlibat dalam pembangunan di negaranya," kata Rishita.

Global Youth Forum yang berlangsung 4-6 Desember 2012 di Nusa Dua Bali digelar sebagai review atas pelaksanaan rekomendasi ICPD 1994. Tak kurang dari 600 delegasi anak muda dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) hadir untuk mengikuti forum ini.

(sumber: health detik.com)

 

 

Tak Efektif Cegah HIV/AIDS, Kondom Ditinggalkan

JAKARTA - Jumlah lelaki Indonesia yang rutin menggunakan jasa pekerja seks komersial (PSK) berkisar delapan juta hingga 10 juta orang per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 61 persen yang bersedia menggunakan kondom, atau turun tujuh persen dibanding 2007.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, kenaikan angka penggunaan kondom justru terjadi pada waria yang beranjak ke angka 80 persen. Sementara penggunaan kondom pada hubungan seks lelaki dengan lelaki turun satu persen. Penurunan pengguna kondom disebabkan asumsi bahwa karet kontrasepsi itu tak efektif mencegah penularan virus HIV.

"Mereka nggak mau pakai kondom, tapi kalau kena penyakit minta kita (pemerintah) yang bayar," ujar Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam rilis peringatan Hari AIDS, Minggu (2/12).

Hingga September tahun ini, kasus infeksi HIV menurun menjadi 9.883 kasus, sementara kasus AIDS turun menjadi 3.541 kasus. Kasus kematian akibat HIV/AIDS juga tercatat turun menjadi 514 orang.

Tahun lalu, jumlah kasus HIV tercatat sejumlah 21.031, kasus AIDS 6.178, dan kematian akibat HIV/AIDS 825 orang. Penurunan kasus AIDS diduga disebabkan peningkatan konsumsi obat retroviral di kalangan asosiasi pekerja seks Indonesia, persaudaraan korban narkotika, asosiasi waria, dan Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).

Dalam peringkat daerah, Papua masih menjadi daerah endemik HIV dengan 7.572 kasus, diikuti DKI Jakarta 6.299 kasus, dan Jawa Timur 5.257 kasus.

(sumber: www.jpnn.com)

Peneliti Kesehatan: Jumlah Kasus HIV-AIDS Perempuan Meningkat

Sejumlah LSM menggelar kampanye memperingati hari HIV & AIDS se-Dunia di bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Peringatan kali ini bertema "Lindungi Perempuan dan Anak dari Zat Adiktif, Narkotika, Psikotropika dan HIV & AIDS".

Firmanto Sanghyang, dari Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, mengatakan berdasarkan data Kementrian Kesehatan dalam kurun waktu 13 tahun, Indonesia memiliki jumlah kasus AIDS sebanyak 30.430 kasus, 5.484 diantaranya kasus kematian. Hal ini dilaporkan secara kumulatif antara 1 Januari sampai dengan 31 Maret 2012.

Sedangkan kasus AIDS yang dilaporkan 2006 oleh kemenkes juga telah diagresikan berdasarkan jenis kelamin, 6.604 kasus pada laki-laki dan 1.529 pada perempuan. Namun, bila dibandingkan dengan periode 31 Maret 2012, penderita HIV AIDS untuk jenis kelamin lelaki sebanyak 20.665 kasus sedangkan pada perempuan mencapai 8.339 kasus. Dari data tersebut jelas terlihat peningkatan kasus pada perempuan mengalami kenaikan signifikan selama enam tahun terakhir.

"Rokok, narkotika dan psikotropika adalah zat adiktif yang menjadi pintu masuk menuju prevalensi HIV&AIDS, karena selain remaja menyukai sesuatu yang baru, mereka tidak mengenal resiko, sulitnya mendapatkan informasi, dan maraknya iklan rokok," ujar Firmanto di Bundaran HI, Ahad (2/11).

Disisi lain, Chya Wibisono dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia juga menjelaskan kerentanan perempuan terhadap HIV. "Berbagai faktor menjadi pengaruh, seperti ketimpangan gender yang berakibat pada ketidakmampuan perempuan mengontrol perilaku seksual suami atau pasangan seksualnya, dan kemampuan bernegosiasi dalam hal hak melindungi diri dengan kondom saat berhubungan seks beresiko," jelasnya.

Dalam aksi yang juga mengkampanyekan 16 hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan itu diikuti Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T) bersama Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Kelompok Peduli Remaja (KPR).

(sumber: news.liputan6.com)