Kota Batu Sepelekan Kesehatan

BATU – Layanan kesehatan untuk masyarakat kota Batu tampaknya, masih dipandang sebelah mata. Buktinya, anggaran pelayanan kesehatan kota itu hanya sekitar 2% dari total RAPBD 2013. Dinas Kesehatan (Dinkes) hanya mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 22,3 miliar dari total RAPBD 2013 sebesar Rp 451 miliar yang kini masih dibahas.

Kepala Dinkes Kota Batu, Endang Triningsih, mengakui, dengan anggaran yang minim itu pihaknya tidak bisa berbuat banyak untuk peningkatan pelayanan kesehatan di Kota Batu.

"Faktanya dana untuk kita memang minim, sulit untuk membuat inovasi kesehatan. Kita hanya bisa memenuhi pelayanan dasar kesehatan saja," ujar Endang, Minggu (28/10).

Minimnya dana untuk layanan kesehatan di luar gaji pegawai ini sendiri, tidak sesuai dengan perundangan. Berdasarkan UU no 36/2009 tentang Kesehatan, pada pasal 171 ayat 2 disebutkan, besar anggaran kesehatan pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten harus 10% dari total APBD di luar gaji pegawai.

"Jangankan sepuluh persen, kita tiga persen saja enggak sampai. Kami menuntut lebih tinggi lagi sejak tahun lalu ya tidak direspon dewan," ujar Endang.

Jika total RAPBD 2013 Kota Batu sebesar Rp 451 miliar, maka anggaran kesehatan harusnya mendapat sekitar Rp 45 miliar. Faktanya, alokasi kesehatan Kota Batu hanya sebesar Rp 22,3 miliar dan sebagian besar adalah gaji pegawai.

Mengutip data dari Bagian Keuangan Pemkot Batu, rincian anggaran itu antara lain, untuk gaji pegawai sebesar Rp 11,4 miliar. Sisanya, Rp 5,9 miliar untuk belanja langsung atau kegiatan Dinkes. Selain itu, Rp 5 miliar untuk Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

"Untuk kegiatan langsung, bentuknya ya operasional rutin di seluruh Puskesmas dan kegiatan lain. Intinya, hanya mencukupi layanan dasar saja. Karena itu, anggaran yang ada ya dicukup-cukupkan," ucap Endang.

Meski demikian, Endang bisa sedikit bernafas lega. Sebab, anggaran untuk program Jamkesda itu sudah meningkat. Awalnya hanya Rp 2,7 miliar saja. "Harapan kita penduduk Kota Batu yang mengajukan SPM terus berkurang. Dengan begitu anggaran untuk program Jamkesda tidak sampai melebihi Rp 5 miliar," tandas Endang.

Terpisah, Kepala Bagian Keuangan Pemkot Batu, Julijanti Wahjuni, mengakui minimnya dana untuk layanan kesehatan di Kota Batu. "Seharusnya memang sepuluh persen dari APBD, tapi karena anggaran kita terbatas ya harus dibagi rata," kata Julijanti.

Jika anggaran Dinkes diberi 10%, sambung dia, resikonya satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang lain tidak kebagian anggaran. Alias mereka akan menganggur karena tidak ada pekerjaan fisik dan non fisik yang bisa dikerjakan dengan memanfaatkan APBD Kota Batu.

Meski demikian, ia berharap ada perubahan yang berujung pada penambahan dana kesehatan. Karena RAPBD 2013 masih dibahas lagi dengan legislative pada November nanti. "Semoga saja dewan menyetujui kalau diminta ada penambahan," pungkas Julijanti. zar

(sumber: www.surabayapost.co.id)

Indonesia Dinilai Mampu Wujudkan Jamkes Universal

Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Sugeng Bahagijo, mengatakan Indonesia sebenarnya mampu menyelenggarakan jaminan kesehatan (jamkes) universal. Tentu saja badan penyelenggaranya adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Sugeng mengatakan besaran jumlah dana yang dibutuhkan mengacu pada pelayanan dan manfaat yang didapat peserta. Jika manfaat dalam Jamkes itu mengikuti skema yang diselenggarakan pemerintah lewat Jamkesmas seperti saat ini, Sugeng memperkirakan dibutuhkan dana sekitar Rp30 triliun.

Sementara, manfaat yang diperoleh peserta mengacu pada program jamkes yang diselengarakan Jamsostek saat ini, dananya diperkirakan mencapai Rp60 triliun. Menurut Sugeng, yang membedakan dari kedua kisaran dana itu adalah berbagai penyakit yang ditanggung oleh program Jamkes. Dalam hal ini, program Jamkes yang dikelola Jamsostek menurutnya menanggung lebih banyak jenis penyakit ketimbang program Jamkesmas. Kedua perkiraan dana itu hanya untuk pembentukan awal sistem Jamkes Universal.

Mengacu jumlah RAPBN 2013 mencapai Rp1.650 Triliun, Sugeng menyebut angka yang dibutuhkan untuk membangun sistem Jamkes Universal itu sangat kecil. Tak lebih dari 4 persen dari RAPBN. Tentu saja dana awal itu tidak akan habis digunakan untuk membangun Jamkes Universal, pasalnya dari 240 juta masyarakat Indonesia, menurutnya tidak akan jatuh sakit pada waktu yang bersamaan.

Dalam sistem tersebut, Sugeng mengestimasi jumlah klaim terbesar yang bakal diajukan sekitar 20 persen dari jumlah peserta atau rakyat Indonesia. Itupun menurutnya hanya kemungkinan terburuk dan jarang terjadi, sekali pun terjadi, dana yang ada dinilai sanggup untuk menanggung. Setelah Jamkes Universal berjalan, maka dana yang dibutuhkan untuk menjamin berjalannya sistem tersebut per tahun lebih kecil ketimbang dana awal itu.

Berbeda dengan mekanisme program Jamkes yang dikelola perusahaan swasta atau dikenal dengan istilah asuransi, Sugeng menjelaskan program Jamkes Universal itu memberikan kebutuhan medis yang dibutuhkan masyarakat. Sedangkan, untuk Jamkes yang dikelola swasta, peserta program itu hanya mendapat pelayanan yang disesuaikan dengan besarnya iuran. Semakin kecil iuran, maka semakin terbatas jenis penyakit dan pelayanan yang dicakup oleh asuransi, begitu pula sebaliknya.

Melihat sistem yang dibangun dalam BPJS Kesehatan, Sugeng menilai mekanisme gotong royong digunakan. Misalnya, dari jumlah penduduk Indonesia, sekitar 140 juta jiwa di antaranya termasuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sehingga, terdapat 100 juta jiwa yang dikategorikan mampu untuk membayar iuran Jamkes Universal. Dari jumlah iuran itulah, orang yang golongan mampu membantu golongan lain yang tidak mampu. Selain menggunakan iuran dari peserta yang mampu, program Jamkes itu juga didanai dari hasil pajak atau APBN.

Dengan adanya iuran tersebut dan dana yang dialokasikan dari APBN, maka penyelenggaraan Jamkes Universal dapat terlaksana dengan baik. Oleh karenanya Sugeng berpendapat tidak ada alasan jika pemerintah menyebut negara tidak punya uang untuk membiayai Jamkes Universal lewat BPJS Kesehatan.

Untuk memperkuat pendapatnya bahwa Indonesia mampu menjalankan sistem itu, Sugeng mengutip studi Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebut negara miskin pun mampu meningkatkan anggaran kesehatan. Sementara, posisi Indonesia di komunitas internasional tidak termasuk negara miskin, namun alokasi anggaran untuk kesehatan lebih kecil ketimbang beberapa negara tergolong miskin itu.

Misalnya, Rwanda, Liberia dan Tanzania. Beberapa negara di Afrika itu mengalokasikan anggaran untuk kesehatan rakyatnya sebesar 15 persen, sedangkan Indonesia mengalokasikan di bawah kisaran angka tersebut. Dari data yang diperoleh Seknas Forum Indonesia untuk Trasparansi Anggaran (Fitra), periode 2005 – 2012 alokasi anggaran kesehatan dari belanja pemerintah rata-rata 2,2 persen.

"Problemkita (untuk menyelenggarakan Jamkes Universal,-red) bukan ada atau tidaknya dana, tapi soal kemauan pemerintah," kata Sugeng dalam diskusi di Jakarta, Rabu (24/10).

Studi WHO itu, Sugeng melanjutkan, tak jauh beda dengan studi Bank Dunia. Dibandingkan negara lainnya di wilayah Asia Tenggara, pemerintah Indonesia dinilai "pelit" dalam mengalokasikan anggaran untuk kesehatan. Contohnya di tahun 2006, pendapatan per kapita Indonesia AS 1.420 Dollar dan anggaran untuk kesehatan dari total belanja pemerintah hanya 5,3 persen. Namun, Vietnam, dengan pendapatan per kapita hanya AS$ 700, presentase belanja kesehatan terhadap total belanja pemerintah mencapai 6,8 persen.

Jika pemerintah enggan mengalokasikan dana APBN untuk Jamkes Universal, menurut Sugeng Indonesia memiliki sumber dana lainnya yang dapat dimanfaatkan. Seperti, mengalihkan sebagian dana subsidi BBM untuk penyelenggaraan Jamkes Universal. Sugeng mengingatkan, subsidi BBM yang dialokasikan pemerintah di tahun 2012 sebesar Rp123 triliun.

Menurutnya, setengah dari jumlah dana subsidi itu sudah lebih dari cukup untuk untuk menyelenggarakan Jamkes Universal bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan itu, pemerintah harus memberlakukan subsidi BBM terbatas hanya untuk sektor tertentu yang sangat membutuhkan seperti transportasi umum, nelayan tradisional dan lainnya.

Sebelumnya, Kabid Kendali Mutu dan Pengembangan Jaringan Pelayanan Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Komaryani Kalsum, mengatakan masyarakat yang tergolong PBI untuk saat ini adalah peserta Jamkesmas. Dengan jumlah total untuk tahun 2013 diperkirakan mencapai 86 juta jiwa, di tahun berikutnya diperkirakan jumlahnya akan bertambah 10 juta jiwa.

Besaran iuran yang disepakati terakhir untuk PBI adalah Rp22 ribu/kepala/bulan. Pemerintah, Kalsum melanjutkan, juga membiayai pegawai Negeri Sipil (PNS), karena posisi pemerintah selaku pemberi kerja. Untuk kepesertaan, Kalsum menyebut dalam rancangan yang ada jumlah peserta BPJS Kesehatan akan mencakup seluruh rakyat Indonesia pada tahun 2019.

Untuk besaran dana yang dialokasikan pemerintah untuk PBI dan PNS, menurut Kalsum terkait dengan kewenangan Kementerian Keuangan untuk melakukan penghitungan agar sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimiliki negara. "Kementerian keuangan akan bertanggungjawab untuk peserta Jamkesmas sebagai PBI juga PNS," tutur Kalsum dalam diskusi yang digelar sebuah media di Jakarta, Selasa (23/10).

Sementara, anggota presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Timboel Siregar, menegaskan bahwa BPJS Kesehatan harus mencakup seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya, hal itu termaktub dalam konstusi, UU SJSN dan UU BPJS. Namun, Timboel merasa perwujudan hal tersebut terhambat. Pasalnya, dalam RPepres Jamkes yang dibentuk pemerintah lewat Kemenkes, Timboel melihat ada pentahapan peserta sejak BPJS Kesehatan berlaku sampai 1 Januari 2019.

Sehingga, pada 1 Januari 2014 nanti, pemerintah hanya mengikutsertakan 139,5 juta rakyat Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan. Adanya pentahapan itu menurut Timboel menimbulkan diskriminasi di tengah masyarakat. Menurut Timboel, pentahapan yang dimaksud dalam UU SJSN bukan pentahapan kepesertaan tapi program sosial. Dengan salah mengartikan makna pentahapan itu, Timboel berpendapat, pemerintah membiarkan lebih dari 100 Juta rakyat Indonesia tidak masuk dalam BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014.

Terkait alasan pemerintah tidak mampu menyelenggarakan Jamkes Universal karena keterbatasan anggaran, Timboel menyebut hal itu tidak beralasan. Pasalnya, mengacu RAPBN 2013 yang mencapai lebih dari Rp1.600 triliun, untuk menyelenggarakan Jamkes Universal, menurut Timboel hanya butuh sekitar 3 persen dari jumlah tersebut. Bagi Timboel jumlah itu sangat kecil jika dibandingkan dengan anggaran pemerintah untuk mengupah PNS dan mencicil hutang.

"Pemerintah sebenarnya mampu, tapi tidak punya niat menyejahterakan rakyat," pungkasnya kepada hukumonlinelewat pesan singkat, Rabu.

(sumber: hukumonline.com)

Menkes: MDGs bidang Kesehatan Sulit Tercapai

Metrotvnews.com, Kupang: Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pesimistis Millenium Development Goals (MDGs) bidang kesehatan bisa tercapai pada 2015. Betapa tidak, dari enam item bidang kesehatan yang harus dicapai sampai Oktober 2012, hanya satu yang sudah tercapai. Ialah pemerintah berhasil mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan kasus baru tuberkulosis (Tb). Demikian dikatakan Nafsiah Mboi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (22/10).

Dia mengemukakan hal itu dalam rapat koordinasi teknis pembangunan kesehatan Provinsi NTT. Acara ini dihadiri para bupati dan pimpinan DPRD, kepala dinas kesehatan, kepala rumah sakit dan kepala badan perencanaan pembangunan se-NTT.

Menurut dia, kelima item lainnya belum tercapai yakni penurunan prevalensi balita kekurangan gizi; penurunan angka kematian bayi dan balita; pengendalian dan penyebaran kasus baru malaria; penurunan angka kematian ibu melahirkan; serta pengendalian dan penurunan jumlah infeksi baru HIV.

"Saya temukan di Kabupaten Manggarai Barat, di sana dinas kesehatan melaporkan ada dua kasus HIV dan AIDS, ternyata yang benar ada 87 kasus," kata Menkes.

Menurut Menkes, NTT memiliki program revolusi kesehatan ibu dan anak (KIA) yang sangat baik untuk menurunkan angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Program ini harus terus digalakkan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu karena memiliki dampak yang cukup baik bagi perkembangan pembangunan kesehatan di NTT.

Walaupun demikian, secara nasional angka kematian ibu melahirkan masih terbesar keempat dari 33 provinsi yakni mencapai 208 orang selama 2011. Dalam kaitan dengan penyakit HIV, Menkes mengatakan penyebaran HIV dan AIDS di NTT terus meningkat setiap tahun.

Hal tersebut juga didukung menjamurnya lokasi prostitusi, terutama di pelabuhan laut dan terminal. Di sisi lain, pemerintah daerah belum melihat lokasi prostitusi menjadi sasaran kampanye penggunaan kondom dan pemeriksaan kesehatan.

Sampai September 2012, jumlah penderita HIV dan AIDS di daerah itu 1.818 orang. Dari jumlah itu 443 orang telah meninggal. "AIDS dan TBC sangat erat kaitannya. Jika bisa mengobati AIDS, TBC juga turun sehingga MDGs bisa tercapai," kata Menkes yang berada di Kupang setelah menyertai kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Manggarai, Ruteng.

(sumber: metrotvnews.com)

HUT IDI: Masih terjadi kelangkaan tenaga dokter di daerah

Sukabumi, GATRAnews - Kelangkaan tenaga dokter masih terjadi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, terbukti dengan masih adanya Puskesmas yang tidak memiliki dokter umum. Selain itu, kelangkaan juga terjadi untuk tenaga dokter spesialis. Kenyataan ini dapat berpengaruh pada usaha mencapai target kesehatan Millennium Development Goals (MDGs) di Sukabumi. Demikian dikatakan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dr Hj Adrialti Samsul MKM, dalam sambutannya pada acara HUT Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke-62, di Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (21/10).

"Salah satu cara untuk mengatasinya, kami mengharapkan Pemda Sukabumi dapat memberikan beasiswa kepada para anak didik putra daerah yang tak mampu untuk menempuh pendidikan kedokteran," kata Adrialti. Hingga saat ini masih ada sejumlah Puskesmas yang tidak memiliki dokter umum. Berkaitan dengan kelangkaan tenaga dokter spesialis, lanjut Adrialti, penyebab utamanya terkait dengan pendapatan gaji mereka yang dapatkan. "Mereka berterus terang tidak betah bekerja karena take home pay yang diterima jauh dari yang dikeluarkan saat mereka menempuh pendidikan kedokteran," kata Adrialti.

Menurut Adrialti, saat ini dokter yang baru diangkat menjadi pegawai negeri mendapat gaji mencapai Rp 1,7 juta perbulan. "Ini tentu jauh dibawah biaya pendidikan dokter yang dapat mencapai hingga Rp 500 juta diluar biaya kos dan transportasi," kata Adrialti lagi.

Tak hanya itu, problem finansial juga terjadi pada masalah tunjangan pendapatan. "Para dokter yang bertugas di daerah terpencil mendapatkan tunjangan mencapai hanya Rp 3 juta per bulan yang hanya selisih sedikit dengan mereka yang bertugas di rumah sakit sebesar Rp 2,5 juta per bulan," kata Adrialti. Untuk itu Adrialti berharap agar anggaran APBD untuk bidang kesehatan dapat ditambah.

Sementara itu, dalam acara yang sama, Ketua IDI Kabupaten Sukabumi, Hendrawan Dwijanto SpOG berharap agar anggota IDI Kab. Sukabumi dapat lebih berperan dalam melayani dan mengatasi kesehatan di Kabupaten Sukabumi. "Sesuai dengan tema HUT IDI kali ini, peran dokter diharapkan lebih meningkat lagi sebagai agen kesehatan pada masyarakat," katanya.

Menanggapi masalah kelangkaan tenaga dokter, Sekretaris Daerah Kabupaten Sukabumi, Adjo Sardjono, mengakui masih banyak masalah yang harus diatasi. "Terutama soal kelangkaan dokter spesialis dan dokter gigi," katanya. Ia berharap dalam penyusunan APBD mendatang, berbagai usulan dan informasi tentang kesehatan dapat ditingkatkan anggarannya.

"Moga moga ada anggaran untuk dokter spesialis dan lulusan SMA yang ingin melanjutkan pendidikan kesehatannya," katanya. Namun, ia mengingatkan dibanding dengan pegawai negri lainnya kondisi para dokter masih lebih bagus karena setidaknya dapat mengandalkan dari pendapatan praktek pribadi

(sumber: gatra.com)

Kartu Sehat Sasar 4,7 Juta Warga DKI

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemberian kartu sehat merupakan salah satu janji yang paling dinanti oleh sebagian besar warga Ibu Kota. Pasalnya, warga yang memegang kartu ini akan terbebas dari seluruh biaya berobat dan rawat inap di puskesmas dan kelas tiga di seluruh rumah sakit.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, teknis pembagian kartu sakti ini tak akan berbelit. Semua warga DKI Jakarta dapat memilikinya dengan mudah. Baik melalui puskesmas, maupun diberikan langsung oleh Gubernur Joko Widodo.

"Pembagiannya nanti tak perlu didata ulang. Gubernur akan membagikan, tapi karena waktunya terbatas, maka bisa diperoleh dari puskesmas saat warga datang untuk berobat," kata Basuki saat dijumpai di Balaikota Jakarta, Kamis (18/10/2012).

Ia menjelaskan, dengan dana kesehatan sebesar Rp 700 miliar yang dimiliki DKI Jakarta, jaminan kesehatan seluruh warga Ibu Kota dapat diberikan oleh pemerintah provinsi. Akan tetapi, teknis di lapangan akan berubah, mengingat masyarakat yang mampu secara finansial dianggapnya tak akan mau berobat atau rawat inap di puskesmas.

Ia memasang target, kartu sehat dapat menyentuh minimal setengah dari jumlah warga DKI Jakarta yang melebihi angka sembilan juta jiwa. "Targetnya 4,7 jiwa bisa dijamin melalui kartu sehat. Itu sekitar setengahnya karena saya yakin enggak akan ada orang kaya yang mau berobat ke puskesmas atau rawat inap di kelas tiga," pungkasnya.

Untuk diketahui, kartu sehat hanya dapat berlaku di puskesmas dan rumah sakit golongan kelas tiga (RSUD dan swasta). Di rumah sakit umum daerah (RSUD), kemungkinan naik kelas ke kelas dua dapat dilakukan apabila kelas tiga di rumah sakit tersebut sudah dipenuhi oleh pasien. Akan tetapi, hal ini tak berlaku di rumah-rumah sakit swasta.

(sumber: megapolitan.kompas.com)

Draf RPP BJPS telah dikirimkan ke Istana

JAKARTA - Draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah dikirimkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi berharap pembahasannya selesai pada 25 November mendatang atau sesuai dengan tenggat waktunya.

"Draf RPP BPJS sudah kami berikan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diharmonisasi dan dari situ sudah dikirim ke Kemenkokesra untuk dilaporkan ke Presiden bahwa harmonisasi sudah selesai dilaksanakan," ujarnya, Selasa (16/10).

Nafsiah menyatakan, draf tersebut juga sudah dikoordinasi dengan lembaga negara lainnya sehingga sudah hampir rampung secara keseluruhan. Dia menyatakan, pembahasannya tak perlu menunggu hingga akhir tahun.

Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan pihak Kementerian Kesehatan terus berupaya untuk menepati tenggat waktu RPP BPJS. Namun ia mengatakan paling lambat RPP BPJS tersebut selesai pada akhir tahun 2012, mengingat penerapan BPJS Kesehatan baru dilakukan pada tahun 2014 mendatang.

(sumber: nasional.kontan.co.id)

IDI Dukung Pembatasan Fakultas Kedokteran

MATARAM -Program pemerintah untuk membatasi pendirian Fakultas Kedokteran didukung Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pusat. Bahkan tidak hanya membatasi pendirian Fakultas Kedokteran baru, IDI memandang bila perlu Fakultas Kedokteran yang sudah ada dan tidak berkualitas ditutup saja.

''Sekarang banyak Fakultas Kedokteran yang akreditasi C. Mau tidak mau bukan hanya dibatasi tetapi yang sudah berdiri kalau tidak berkualitas ditutup saja,'' kata dr Slamet Budiarto SH M.Kes, Sekjen PB IDI kepada Lombok Post (Grup JPNN), Minggu (14/10) di Mataram.

Hal itu dimaksudkan agar dokter yang dihasilkan dari fakultas kedokteran benar-benar bisa dipertanggungjawabkan kualitasnya dan memiliki kompetensi yang baik. ''Hasil uji kompetensi terhadap dokter, ada beberapa Fakultas Kedokteran yang lulusannya tidak kompeten. Baik dari Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta. Itu harus dibantu kalau tidak ditutup,'' ujarnya.

Menurut dr Slamet, perbandingan jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah dokter anggota IDI sebenarnya sudah memadai. Munculnya fakultas-fakultas kedokteran yang baru dikhawatirkan hanya menambah jumlah lulusan tetapi mutunya kurang terjamin. Jumlah dokter anggota IDI saat ini sudah mencapai 110.000 orang. Terdiri dari 85 ribu dokter umum dan 25 ribu dokter spesialis. Ratio kebutuhan dokter terhadap jumlah penduduk adalah 1:3.000. Artinya satu dokter melayani 3.000 penduduk.

''Kalau penduduk Indonesia 230 juta jiwa, berarti kebutuhan dokter sudah cukup. Cuma penyebarannya yang belum merata,'' kata dr Slamet.

Ia mengharapkan pemerintah untuk memperhatikan tenaga dokter dengan memberi reward dan penghargaan. Memperhatikan jenjang karier mereka yang bertugas di daerah terpencil atau di desa-desa. Kalau tidak, dokter akan tetap enggan ke desa, karena dari segi financial tinggal di kota jauh lebih menjanjikan.

dr Slamet datang ke Mataram untuk melantik pengurus Cabang IDI se-NTB sekaligus menghadiri pembukaan seminar ilmiah dalam rangka Hari Bhakti Dokter Indonesia ke-104 dan HUT IDI ke-62 oleh Pengurus IDI Wilayah NTB. Pelantikan dan seminar berlangsung di Hotel Grand Legi Mataram.

Kepada pengurus yang baru dilantik, dr Slamet mengharapkan agar mengoptimalkan fungsi organisasi IDI yaitu melindungi masyarakat dan dokter serta tenaga kesehatan lain dalam hal profesionalisme dan kesejahteraan. Sekaligus juga mengawasi dokter-dokter yang ada.

''Kalau ada kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat, IDI harus protes. Misalnya pelayanan kesehatan yang tidak profesional, membeda-bedakan si miskin dan si kaya. Sebab dokter dilahirkan tidak untuk membeda-bedakan pasien dalam hal pelayanan kesehatan,'' katanya.

Dikatakan, setiap lulusan Fakultas Kedokteran secara otomatis akan menjadi anggota IDI. Rangkaian kegiatan dalam rangka Hari Bhakti Dokter Indonesia ke-104 dan HUT IDI ke-62 oleh Pengurus IDI Wilayah NTB telah dilaksanakan berbagai kegiatan. Diantaranya pemilihan dokter kecil award 2012, seminar untuk umum dengan topik mengenal stroke dan permasalahannya, senam sehat bersama PT Askes dan terakhir kemarin pelantikan pengurus IDI Cabang dan Seminar Ilmiah serta bhakti sosial donor darah

(sumber :jpnn.com)

Wamenkes Optimistis BPJS Rampung Akhir 2012

YOGYAKARTA - Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akan dimulai per 1 Januari 2014 mendatang. Pemerintah melalui kementerian kesehatan maupun kementerian lainnya telah melakukan upaya persiapan untuk pelaksanaan program jaminan kesehatan tersebut.

Persiapan yang terus dilakukan itu dimulai dari peraturan perundangan, Sumber Daya Manusia (tenaga medis), fasilitas kesehatan, sistem pelayanan dan sistem jaminan termasuk besaran iuran.

"Kita optimistis akhir 2012 persiapan dari sisi perundangan sudah selesai, sehingga harapannya nanti pada 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan sudah terbentuk dan beroperasional," ujar Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron Mukti, di Yogyakarta, Kamis (11/10/2012).

Hal itu disampaikan Mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu saat membuka acara The 1 st Regional Symposium on Health Reseach an Development, 'Toward Universal Health Coverage and Equity' di Yogyakarta.

"Planing yang disepakai adalah Rp22.200 untuk PBI (Penerima Bantuan Iuran) per orang perbulan. Untuk pekerja penerima upah diusulkan 5 persen, 3 persen dibayarkan pemberi kerja dan dua persen dibayar pekerja," jelasnya.

Jumlah sasaran masyarakat PBI yang masuk dalam program jamkesmas pada 2012 sebanyak 76,4 juta jiwa. Memasuki tahun 2013 nanti ditarget 86,4 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2014 nanti ditarget ada 96,4 juta jiwa. "Harapan pemerintah kedepan nantinya supaya serempak masyarakat Indonesia mendapatkan jaminan kesehatan," katanya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah sedang mempersiapkan implementasi Univeral Health Coverage (UHC) secara bertahap sesuai amanat UU No 40 tahun 2004. UU no 24 tahun 2011 tentang BPJS menyampaikan bahwa program jaminan sosial akan diselenggarakan oleh dua BPJS, yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

(sumber : economy.okezone.com)