DPR Dorong Pembentukan Timwas BPJS

Jakarta – DPR mendorong pembentukan tim pengawas (timwas) implementasi Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Timwas ini untuk menyikapi berbagai masalah yang masih terjadi.

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka mengatakan, DPR memiliki fungsi pengawasan dan tanggung jawab moral dalam memastikan undang-undang (UU) yang telah dihasilkan benar-benar terlaksana sesuai dengan tujuan awal dibentuk. Implementasi BPJS Kesehatan yang ditargetkan beroperasi awal Januari 2014 ternyata masih banyak masalah."Inilah salah satu alasan yang mendasari pentingnya dibentuk timwas pelaksanaan UU BPJS," ungkap Rieke saat dihubungi SINDOkemarin.

Menurut dia, berbagai permasalahan yang terjadi dalam persiapan pelaksanaan BPJS perlu segera disikapi seperti lambatnya pembuatan aturan turunan UU BPJS,polemik penentuan besaran iuran untuk penerima bantuan iuran (PBI), serta karut-marut data penduduk miskin yang diusulkan menjadi PBI. Sejumlah masalah tersebut tidak cukup hanya disikapi Komisi IX, tapi perlu melibatkan lintas komisi melalui pembentukan timwas."Ada banyak masalah yang perlu disikapi,"ujarnya.

Rieke menjelaskan, dalam UU BPJS diamanatkan bahwa pemerintah harus menerbitkan aturan turunan setahun sejak UU BPJS diundangkan. Dia menyebutkan,secara keseluruhan aturan turunan UU SJSN dan UU BPJS yang harus dituntaskan sekitar 25,dengan rincian 19 peraturan pemerintah (PP),15 peraturan presiden (perpres), dan 1 keputusan presiden (keppres). "Khusus aturan jaminan kesehatan nasional, per 25 November 2012 sudah harus selesai.Tapi, sampai sekarang belum ada yang selesai,"ungkapnya.

Selain itu, dia juga menekankan pentingnya pembentukan timwas untuk menyikapi karut-marut data penduduk miskin yang diusulkan menjadi peserta PBI.Persoalan data penduduk serta akurasi dalam menentukan warga yang berhak mendapatkan bantuan iuran BPJS dinilai dapat berimplikasi langsung pada pelaksanaan BPJS. "Persoalan data penduduk ini perlu segera disikapi bersama,"kata dia.

Anggota Komisi IX dari Fraksi PAN Riski Sadiq mengatakan, masih akan melihat urgensi pembentukan timwas tersebut. Hingga saat ini pelaksanaan UU BPJS terkait lintas komisi dan kementerian, pengawasan cukup dilakukan melalui Komisi IX DPR. Namun, pihaknya tidak menampik pentingnya pembentukan timwas jika sampai akhir 2012 tidak ada kemajuan yang signifikan dalam persiapan pelaksanaan BPJS."Kita lihat dulu hingga akhir tahun," kata Riski.

Menurut dia, usul pembentukan timwas pelaksanaan UU BPJS penting dijadikan peringatan bagi pemerintah agar lebih serius menyiapkan berbagai kebutuhan pelaksanaan BPJS. Riski mengkritisi lambatnya persiapan infrastruktur kesehatan di daerah, khususnya di daerah terpencil dan kawasan perbatasan.

Sementara itu, anggota Komisi IX dari Fraksi Demokrat Dian Agrileoda Syahkroza mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan perlu dan tidaknya pembentukan timwas pelaksanaan UU BPJS karena masih akan dibicarakan terlebih dulu di internal fraksi.Namun, pihaknya mengakui masih ada banyak permasalahan dalam persiapan pelaksanaan BPJS yang perlu segera disikapi. (Seputar-indonesia.com)

Indonesia Targetkan Bebas Perilaku Buang Air Besar Sembarangan 2014

Pemerintah menargetkan tidak akan ada lagi penduduk Indonesia yang buang air besar sembarangan pada 2014.

Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan perkiraan sekitar 109 juta orang di Indonesia yang belum mendapatkan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dan air bersih. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada Senin (10/9) mengatakan bahwa tidak adanya akses tersebut antara lain karena rendahnya tingkat pengetahuan dan karena tingkat ekonomi masyarakat yang tidak mampu untuk membangun fasilitas sanitasi.

Padahal sanitasi dan perilaku hidup sehat akan mengurangi kejadian penyakit yang menular melalui air, serta memberikan manfaat sosial, lingkungan, dan ekonomi yang signifikan, ujar Nafsiah pada Konferensi Tingkat Menteri Asia Timur mengenai sanitasi dan kebersihan di Nusa Dua, Bali.

"Coba saja kalau semua orang buang air besar di tempat yang seharusnya sehingga tidak menyebarkan kuman-kuman, berapa persen diare bisa dikurangi? Jika penanganan air dan sanitasi komprehensif, itu bisa menurunkan hingga 90 persen. Berarti dana untuk mengobati bisa dipakai untuk hal-hal yang lebih produktif," tutur Nafsiah.

Dormaringan H. Saragih, staf bidang air perkotaan, sanitasi dan kebersihan dari badan PBB yang mengurus anak-anak (UNICEF) Indonesia menyatakan di Indonesia terdapat sekitar 40 juta orang yang masih buang air besar sembarangan, tidak hanya di daerah pedesaan tetapi juga di daerah perkotaan

"Justru di kota, terutama di kawasan kumuh itu jauh lebih kompleks. Mereka bukan warga tetap, pemukimannya sangat padat dan segala macam. Akhirnya ada dari mereka kemudian sambil mau pergi kerja contohnya, kemudian dia buang air besar di rumah, sambil di jalan dibungkus plastik kemudian dibuang ke selokan atau tempat sampah. Kalau di desa dia akan pergi ke kebun," ujarnya.

Berdasarkan penelitian Bank Dunia, dampak sanitasi yang buruk terhadap ekonomi di Asia Tenggara menyebabkan kerugian ekonomi minimal US$9 miliar per tahun. Sementara laporan pemantauan bersama antara badan kesehatan dunia (WHO) dan UNICEF pada 2012 menyebutkan lebih dari 2 miliar orang di dunia memperoleh akses ke sumber-sumber air yang lebih baik selama 1990 hingga 2010.

(voaindonesia.com)

Bali Tempat Pertemuan Menteri Asia Timur Bahas Sanitasi

Jakarta - Indonesia menjadi tuan rumah seminar internasional bidang kesehatan. Kali ini adalah konferensi 3rd East Asia Ministerial Conference on Sanitation and Hygiene (EASAN-3) yang akan digelar di Bali, mulai 10-12 September 2012 besok.

Pertemuan EASAN-3 mengagendakan komitmen dan usaha mencapai target MDG, memperkuat kerjasama diantara negara-negara Asia Timur dan regional lainnya, menggali sumber pendanaan untuk pembangunan sanitasi dan memperkuat upaya mengarahkan negara Asia Timur mencapai target MDG's.

"EASAN-3 merupakan pertemuan dua tahunan Menteri di bidang sanitasi dan higiene negara Asia Timur," tutur Direktur Penyehatan Lingkungan Kemenkes, Wilfried H Purba di Kementerian Kesehatan, belum lama ini.

Rencananya, acara ini dihadiri para menteri kesehatan dari negara-negara Asia Timur seperti Kamboja, Mongolia, Myanmar, Malaysia, Thailand, dan Timor Leste. Konferensi dua tahun sekali ini digelar untuk kali pertama di Beppu, Jepang dan Manila.

"Deklarasi Manila menekankan kerjasama negara-negara regional Asia Timur dalam pencapaian target MDG bidang sanitasi. Untuk deklarasi Bali nanti akan lebih membahas action plan yang lebih detail dalam usaha pencapaian MDG tahun 2015 dan upaya sesudahnya," tuturnya. (tribunnews.com)

Jakarta Berpeluang Jadi Pusat Medical Tourism

Sayangnya, rumah sakit yang ada di Indonesia belum mampu memenuhi standar kesehatan yang diinginkan oleh masyarakat modern.

Jakarta berpeluang menjadi pusat medical tourism dengan rumah sakit berteknologi tinggi dan pelayanan yang berkualitas. Demikian dikatakan Rizal Sini, Komisaris Utama PT Bundamedik.

"Kesadaran masyarakat khusus nya yang tinggal di kota-kota besar Indonesia terhadap kesehatan begitu tinggi sehingga menuntut tersedianya fasilitas kesehatan dan kedokteran berkualitas yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Ini peluang besar bagi rumah sakit di Jakarta, sekaligus menjadikan kota ini sebagai pusat medical tourism," kata Rizal Sini di Jakarta, Rabu (5/9).

Dia menjelaskan, kesadaran kesehatan di masyarakat modern saat ini sudah tak sekadar tindakan pasif semata yaitu mengobati bila sudah terkena suatu penyakit ter tentu saja, namun telah berevolusi menjadi sebuah tindakan aktif dalam bentuk preventif.

"Mereka melakukan pemeriksaan-pemeriksaan rutin demi memantau riwayat kesehatan hingga terdeteksi lebih dini penyakit yang mungkin ada," lanjut Rizal.

Sayangnya, lanjut Rizal, sepertinya rumah sakit yang ada di Indonesia terutama di Jakarta belum mampu memenuhi standar kesehatan yang diinginkan oleh masyarakat modern.

Akibatnya, sesal Rizal, mereka memilih berobat ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan China, yang dianggap memiliki fasilitas kesehatan dan kedokteran terlengkap dengan didukung dokter-dokter berpe- ngalaman.

Indonesia, kata Rizal, telah kehilangan triliunan rupiah per tahun atas biaya medis yang dikeluarkan masyarakatnya di luar negeri. Menurut WHO, tahun 2010 angka ini berkisar sekitar Rp 7 triliun per tahun.

Fenomena ini mendasari Bundamedik Healthcare System segera meresmikan RSU Bunda Jakarta di Menteng, Jakarta Pusat, pada 12 September mendatang.

Peresmian rumah sakit yang menerapkan Robotic Surgery yang pertama di Indonesia ini akan dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi.

Pada kesempatan ini juga sekaligus diresmikan kawasan Menteng Healthcare Boulevard Sentra diagnostik yaitu Bunda Philips International Radiodiagnostic Center yang akan dibuka oleh HE Ambassador Belanda.

"Sudah selayaknya kota Jakarta menjadi ikon baru dalam pelayanan perumahsakitan yang berkualitas dan menjadi sebagai pusat medical tourism seperti layaknya negara-negara tetangga, terutama untuk pasar domestik/nasional,"ujar Rizal. (Beritasatu.com)

11 Menteri Kesehatan se ASEAN Lahirkan Deklarasi Yogyakarta

Sleman - Tiga puluh delegasi Menteri Kesehatan dari 11 negara di Asia Tenggara gelar pertemuan di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta pada hari Selasa (04/9/2012). Mereka berkumpul untuk membahas komitmen peningkatan kesehatan bagi manula terutama di negara – negara berkembang di wilayah Asia Tenggara.

Melalui pertemuan bertajuk 30th Health Ministers Meeting of Countries of The WHI South East Asian Region tersebut, Menteri Kesehatan RI, Nafsiah Mboi memastikan bahwa langkah tersebut dinilai sangat penting, mengingat populasi manula di kawasan ASEAN kini sudah mencapai jumlah yang tak sedikit yakni hingga lebih dari 142 juta orang. Adapun di Indonesia sendiri, jumlah manula sudah mencapai 19 juta lebih atau 8,2 % dari seluruh penduduk Indonesia.

"Di tahun 2025 nanti, akan menjadi 13,2 %, dan pada tahun 2050 mendatang akan meningkat lagi hingga seperempat penduduk Indonesia," ungkapnya.

Kondisi tersebut, menurut Nafsiah karena angka harapan hidup sudah semakin panjang seiring dengan keberhasilan program kesehatan. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan akan memicu terjadinya ledakan jumlah manula sebagaimana yang akan terjadi beberapa puluh tahun mendatang. Oleh karena itu, dalam pertemuan yang juga dihadiri Wapres Boediono tersebut, mereka membahas isu tentang penuaan dan kesehatan (aging and health) serta pada masalah jaminan kesehatan yang terangkum dalam program kebijakan yang disebut Yogyakarta Declaration on Ageing and Health (Deklarasi Yogyakarta-Red).

"Sekarang memang belum semua tercover jaminan kesehatan, namun pada tahun 2019 mendatang kami targetkan semua penduduk Indonesia sudah memeroleh jaminan kesehatan," paparnya.

Adapun hingga kini, baru sekitar 63 % penduduk Indonesia yang sudah memeroleh jaminan kesehatan, sedangkan sisanya masih belum terjangkau. Pihaknya akan mulai melaksanakan penuntasan masalah jaminan kesehatan mulai 1 Januari 2014 mendatang dengan target selesai pada tahun 2019 dimana seluruh penduduk Indonesia sudah memeroleh jamina kesehatan baik itu melalui Askes, Jamkesmas maupun Jamkesda.

Namun begitu, capaian tersebut memeroleh apresiasi dari Direktur WHO Kawasan Asia Tenggara Samlee Plianbanchang. Menurutnya, jaminan kesehatan tersebut sudah cukup baik, terlebih pihaknya tak menemukan lagi kasus polio di Indonesia. Terakhir, kasus polio ditemukan di India tepatnya sekitar bulan Januari 2011 silam. Paling tidak, setiap negara harus bisa memastikan tidak ada polio hingga tahun 2014 untuk memeroleh label bebas polio.

"Saya memuji Indonesia, jaminan kesehatan masyarakat meningkat dan sudah mencakup 60 persen dari sekitar 240 juta penduduk," katanya.

Hal lain yang juga mereka bahas yakni terkait implementasi regulasi kesehatan internasional tahun 2005 (International Health Regulation). Terkait hal itu, Nafsiah menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menerapkannya pada tahun 2014 mendatang. Serta akan menindaklanjuti Jaipur Declaration on Antimicrobial Resistance dengan cara melakukan berbagai upaya untuk mempromosikan penggunaan obat rasional, terutama antibiotik termasuk di rumah sakit.

"Kerjasama global harus didasari tanggung jawab bersama sesuai dengan kapabilitas masing-masing negara. Juga harus memberdayakan negara miskin dan berkembang untuk mengatasi tantangan kesehatan global," jelas Wapres Boediono saat mengomentari penyelenggaraan pertemuan tersebut. (Tribunnews.com)

Idealnya Jaminan Kesehatan Bisa Dipakai di Negara Tetangga

Jakarta - Program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk Jaminan Kesehatan secara nasional mulai 1 Januari 2014 mendatang dirasa belum bisa berpihak di masyarakat di wilayah perbatasan.

Pasalnya, banyak penduduk yang tinggal di wilayah itu lebih suka berobat ke negara tetangga karena kedekatan jarak layanan kesehatan dibandingkan dengan layanan di tanah air.

"Idealnya Jaminan Kesehatan Nasional tidak hanya berlaku di seluruh Indonesia tapi juga dengan RS wilayah tetangga. Tujuannya mengakomodasi masyarakat yang berada di wilayah perbatasan," tutur Hasbullah Thabrany

dari Center for Health Economics and Policy

School of Public Health, Universitas Indonesia di Jakarta, Senin (3/9/2012).

Jika jaminan bisa berlaku di rumah sakit di negara tetangga, masyarakat akan bisa terbantu karena mendapatkan layanan yang sama saat berada di wilayah RI.

Terkait dengan penduduk yang berpindah atau sedang bepergian terserang penyakit, ia menilai tidak ada masalah. Satu-satunya BPJS Kesehatan hanya satu, sehingga mudah penagihannya.

Pemerintah secara resmi akan menjalankan program SJSN mulai 1 Januari 2014 mendatang. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menganut sistem asuransi sosial di mana perserta wajib beriuran kecuali orang miskin dan tidak mampu iurannya ditangggung pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat 4 UU No 40/2004 tentang SJSN. Tahap pertama yang dibayarkan pemerintah adalah program jaminan kesehatan. (tribunnews.com)

"Masalah Kesehatan Harus Jadi Prioritas Utama"

Jakarta - Masalah kesehatan seharusnya masih menjadi perhatian penting di Indonesia, mengingat masih banyaknya birokrasi yang menjadi kendala sehingga fasilitas kesehatan belum memadai.

Hal itu diungkapkan Dwi Rianta Soerbakti, MBA Pendiri dan Ketua yayasan Dwi Rianta Soerbakti Foundation dalam rangkaian acara pengobatan gratis dan penyediaan obat- obatan bagi 400 warga masyarakat di Lapangan serba guna Peninggaran, Bendi Besar, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Rianta menjelaskan, pengobatan gratis dan pengadaan obat memang sudah seharusnya menjadi prioritas utama yayasan untuk memfasilitasi pengobatab gratis yang memang menjadi program dari pemerintah daerah.

"Untuk kegiatan pengobatan yang bersifat terus menerus ini pihaknya telah menyiapkan obat-obatan untuk 500 orang, lebih banyak dari target yang ditetapkan sebagai langkah antisipasi," jelas Rianta.

Tak hanya itu, pihknya juga akan memberikan pelayanan pengobatanlanjutan bagi warga yang membutuhjab hingga tuntas.

Menurut Rianta yang juga anggota DPRD DKI Jakarta, bersama yayasan Obor Berkat Indonesia dan Dwi Rianta Soerbakti Foundation juga menyediakan pengobatan gratis yang meliputi pemeriksaan kesehatan secara umum dan pemeriksaan gigi.

"Dalam aksinya kali ini yayasan kami telah menyiapkan tim tenaga medis terlatih sebanyak 10 orang dokter umum, 10 orang dokter gigi serta 6 orang apoteker," ungkap Rianta.

Pengobatan gratis ini, sambung Rianta diperuntukan bagi seluruh lapisan masyarakat dan selalu mendapat respon yang positif. " Ini bukti yang menunjukkan adanya apresiasi dari warga terhadap kegiatan sosial yayasan kami," urai Rianta. (Gayahidup.inilah.com)

Kematian akibat Flu Burung Masih Tinggi

Jakarta - Kasus flu burung yang berujung pada kematian masih tinggi. Bahkan, kematian akibat flu burung di Indonesia tertinggi di dunia.

Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sepanjang 2012 ada delapan kasus flu burung yang berakhir dengan kematian. Jumlah itu paling tinggi dibandingkan dengan negara lain, seperti Banglades, Kamboja, China, Mesir, dan Vietnam. Sejak muncul kasus flu burung di Indonesia tahun 2005, total ada 159 kematian dari 191 kasus.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, Rabu (29/8), mengatakan, tingginya kematian terkait faktor virus (H5N1) dan manusia. "Sejauh ini virus tidak berbeda dengan virus sebelumnya," kata Tjandra. Kementerian Kesehatan masih menganalisis kemungkinan perbedaan keganasan virus, tetapi belum ada konfirmasi.

Tjandra menegaskan, belum terjadi penularan flu burung dari manusia ke manusia. Penularan masih dari kontak penderita dengan hewan sumber walau tidak selalu terdeteksi.

Penyebab kematian akibat keterlambatan mendapat pertolongan. Obat antiflu burung oseltamivir efektif jika diberikan dalam waktu 48 jam sejak gejala awal. "Flu burung sulit dibedakan dengan flu biasa pada awalnya," ujarnya. Tenaga kesehatan yang mendapatkan pelatihan tentang flu burung harus waspada dengan kemungkinan infeksi flu burung.

Ahli biomolekuler dari Avian Influenza-zoonosis Research Center-Universitas Airlangga, CA Nidom, mengatakan, flu burung dapat menjadi bom waktu di Indonesia. Sumber penularan, yakni unggas yang terinfeksi, masih ada dan hidup bersama dengan pembawa virus flu musiman. "Virus-virus itu dapat bermutasi atau saling bertukar gen. Terbuka juga kemungkinan penularan H5N1 antarmanusia," ujarnya.

Dia beranggapan, titik pandang dalam menghadapi flu burung di antara berbagai pemangku kepentingan harus sama, yakni menyelamatkan manusia. "Berbagai instansi, seperti Kementerian Pertanian, harus bergerak dengan fokus sama," kata Nidom. (health.kompas.com)