Desember 2014

Januari / Februari / Maret / April / Mei / Juni / Juli / Agustus / September / Oktober / November / Desember / Kesimpulan

Desember 2014

Seminar Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal di era JKN

Pada PKMK menyelenggarakan seminar nasional terakhir di tahun 2014 dengan judul: Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional: Bagaimana Mengurangi Kesenjangan Geografis yang Semakin Besar? Yogyakarta, 13 Desember 2014. Seminar Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal ini menghasilkan beberapa kesimpulan untuk kebijakan pemerintah ke depan, diantaranya:

  1. Dalam era JKN, sistem pembayaran kapitasi dan klaim INA-CBG saat ini mempunyai risiko negatif dimana akan memperbesar kesenjangan geografis. Tanpa adanya kegiatan investasi yang signifikan untuk membangun fasilitas dan mengembangkan SDM kesehatan, daerah-daerah tertinggal kemungkinan besar akan semakin tertinggal dibanding daerah yang sudah maju;
  2. Program pengiriman tenaga kesehatan secara perorangan ke daerah-daerah tertinggal yang saat ini dilakukan, merupakan program yang sulit dipertanggung-jawabkan efektivitasnya. Program pengembangan tenaga kesehatan ke daerah tertinggal sebaiknya dilakukan secara kelompok (team) dengan susunan yang interprofesi. Sebagai catatan: di berbagai daerah tertinggal sulit mencari PNS karena memang tidak ada yang bersedia bertugas di tempat sulit sampai pensiun.
  3. Daerah tertinggal membutuhkan tidak hanya biaya operasional, namun juga biaya investasi untuk pembangunan fasilitas kesehatan dan penyediaan SDM. Di era JKN saat ini biaya investasi disediakan oleh pemerintah pusat, ataupun pemerintah daerah yang mampu sesuai dengan UU. BPJS tidak mempunyai tugas menyediakan dana investasi.
  4. Pengiriman SDM Kesehatan pelayanan primer yang dilakukan ke daerah tertinggal secara kelompok dapat terdiri dari dokter, perawat, bidan, sampai ke ahli manajemen pelayanan primer/obat.
  5. Pengiriman SDM Kesehatan pelayanan kesehatan rujukan ke daerah tertinggal secara kelompok dapat tersusun oleh berbagai spesialis sesuai kebutuhan, tenaga manajemen rumahsakit/pelayanan kesehatan, tenaga ahli rekam medik dan sebagainya.
  6. Hubungan kerja diharapkan menggunakan model kontrak, antara pemerintah daerah/pemerintah pusat dengan pihak ketiga (sebagai kontraktor) yang mampu menyediakan tenaga kesehatan.
  7. Sistem kontrak dilakukan dengan dasar tata hukum keuangan Negara. Dengan system kontrak ini diharapkan anggaran dapat digunakan secara efektif, efisien, dan mempunyai penyerapan tinggi.
  8. Sumber pendanaan: Dana investasi dan operasional untuk daerah tertinggal diharapkan berasal dari Pemerintah Pusat, dari Pemerintah daerah, dan dana operasional dari BPJS (dana kompensasi) untuk layanan primer. Dana kompensasi BPJS sudah diatur dengan UU dan regulasi di bawahnya, namun belum pernah dipergunakan pada tahun 2014. Saat ini dana kompensasi belum dipastikan dapat digunakan untuk pelayanan sekunder dan tersier. Akan dilakukan pertemuan di Jakarta dalam waktu dekat untuk membahas dana kompensasi BPJS bagi pelayanan sekunder dan tertier;
  9. Diperlukan kegiatan untuk pengembangan kemampuan pihak ketiga (kontraktor-kontraktor) penyedia tenaga kesehatan untuk ditempatkan di daerah terpencil. Pihak ketiga ini bekerja berdasarkan tata-aturan kontrak namun berdasarkan semangat kemitraan (partnership). Contoh model ini adalah Sister Hospital NTT.
  10. Kontraktor yang berasaskan kemitraan ini dapat berupa Yayasan (lembaga nonprofit) seperti Pencerah Nusantara, Perguruan Tinggi seperti FK UGM ataupun Konsorsium RS-RS besar (pengalaman Sister Hospital NTT) yang didukung oleh jaringan alumnusnya, dan lembaga-lembaga kontraktor tenaga berbentuk PT (for-profit). Preferensi kontrak harapannya diberikan ke lembaga non-profit.

 

 

 

Pertemuan Pakar: Memperkuat kapasitas Peneliti dan Pengambil Kebijakan dalam Health Policy and System Research (HPSR)

Reporter: Prof. Laksono Trisnantoro

Bagian 1: Laporan Kegiatan

Hari I

Sesi 1: Moderator Irene Agyepong

Pemetaan Pendidikan dan Pelatihan untuk HPSR.

Pembicara 1: Pengajaran dan pelatihan untuk HPSR. Presentasi Mapping Studies oleh Tara Tancred.
Pembicara 2: Pemetaan institusi-institusi dan jaringan kerja oleh Michelle Jiminez
Pembicara 3: Adnan Hyder, Pertemuan Baltimore dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health

Sesi 2: Round Table Discussion

Sesi ini membahas berbagai laporan dari negara-negara yang melakukan pengembangan Riset Kebijakan dan Sistem Kesehatan.

Sesi 3: Brainstorming Pengembangan Kapasitas

lucyProf. Lucy Gilson

Setelah makan siang, dilakukan sesi 3 yaitu brainstorming mengenai arah pengembangan kapasitas HPSR dan peran Aliance. Brainstorming dipimpin oleh Prof Lucy Gilson dari University of Cape Town. Hasil brainstorming ada tiga yaitu:

A. Isu-isu pengembangan HPSR ke depan? Dalam brainstorming ini ada berbagai hal yanG masuk sebagai isu pengembangan untuk HPSR.

  • Apakah penting untuk membedakan fokus Health Policy and Health System? Hal ini menjadi kunci, karena metode penelitian berbeda. Dalam hal ini memang perlu dilihat ada riset kebijakan, ada riset sistem kesehatan, dan kombinasi keduanya.
  • Kelompok-kelompok mana yang perlu dilibatkan: dosen, peneliti, pengambil keputusan, civil society. Kemampuan perlu dikembangkan di dalam konteks perorangan, kelembagaan, serta jaringan.
  • Pengembangan harus dilakukan di level organisasi, National Level, Regional-Cross Regions.
  • Perlu perhatian mengenai politics and policy.
  • Apa gap dalam inisiasi saat ini?
  • Perlu Monitoring and Evaluation.
  • Perlu ada komunikasi yang lebih baik.
  • Tujuan HSPR bukan hanya untuk penelitian saja, melainkan juga untuk mengubah sistem.

Pihak yang terlibat antara lain perorangan, organisasi (PH, university, LSM, funders), kemudian two global bodies yaitu Alliance, dan Health System Global.

B. Beberapa pandangan ke depan:

  • Support the Young researchers
  • South-South partnership
  • Pub Health and Social-Scientist
  • Karir yang baik untuk mereka yang meneliti di kebijakan dan manajemen
  • Pengembangan Modul pendidikan dan pelatihan
  • Kemampuan mentoring perlu dikembangkan
  • Mutu Penelitian
  • Masalah kesulitan bahasa perlu diperhatikan termasuk bagaimana mind-set
  • Domestic Funding perlu dicari
  • Monev perlu diperhatikan termasuk efektifitas kebijakan
  • Perlunya pembahasan Value and Ethics dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan.

C. Peranan HPSR:

Dalam konteks global, Alliance mempunyai berbagai peran sebagai berikut:

  • Tenaga untuk mengumpulkan berbagai pihak (Convening Power) yang terkait.
  • Global Position for influencing many persons
  • Enabler what others are doing
  • Direct Support untuk pengembangan kapasitas.
  • Knowledge Management
  • Innovation
  • Act as a broker and entrepreneur.

Setelah brainstorming, kemudian dilakukan diskusi kelompok ke tiga unit

Bagian 2. Refleksi, Relevansi untuk Indonesia

 PENGANTAR

whobuildingWHO Building GenevaPekerjaan sebagai tenaga ahli yang memberikan masukan-masukan bagi WHO tentunya tidak hanya terbatas memberikan. Selama pertemuan, sebagai tenaga ahli, dapat belajar dari berbagai negara dan juga dari pakar-pakar lainnya. Oleh karena itu, kesempatan selama dua hari di Geneva tidak hanya dalam konteks memberi masukan namun juga mengambil makna atau refleksi sebagai hasil observasi dan pembelajaran. Dalam hal ini, refleksi dilakukan dalam konteks Indonesia yang juga sedang mengembangkan kapasitas dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan.

Sebagaimana yang (sekarang ini) sedang dikembangkan dalam web www.kebijakankesehatanindonesia.net Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia aktif mengembangkan kemampuan para dosen dan peneliti untuk melakukan penelitian Kebijakan dan Sistem Kesehatan. Dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia, ada lebih dari 150 FKM, 70 FK, dan banyak Poltekkes yang membutuhkan kemampuan penelitian kebijakan dan sistem kesehatan. Setiap tahun, JKKI menyelenggarakan program pengembangan kapasitas penelitian.

Pertemuan di Geneva, ini menjadi sangat relevan dalam usaha ini. Ada berbagai pembelajaran yang dapat ditarik dari diskusi untuk keperluan Indonesia. Setelah mengikuti Workshop selama dua hari ini, di bawah ini refleksinya.

  Kebaruan isu dan masalah serta jenis penelitian

  • Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan merupakan hal yang baru di Indonesia. Dalam hal ini, ternyata di tingkat global juga masih dalam tahap pengembangan. Dengan demikian, pengembangan di Indonesia tidak terlalu tertinggal dibanding dengan pengembangan di global.
  • Salah satu isu yang menjadi perdebatan adalah: Apakah perlu memisahkan antara Health System dan Health Policy Research. Hal ini memang menarik, ada pragmatism dimana ada tiga kelompok yang tidak hitam putih.
    1. Kelompok Penelitian Kebijakan Kesehatan (Health Policy Research), yang muatannya banyak pada kebijakan.
    2. Kelompok Penelitian Sistem Kesehatan (Health System Research), yang banyak membahas sistem kesehatan, dan
    3. Kelompok Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan. Dalam hal ini, memang peneliti di Indonesia juga menggunakan pendekatan ketiga jenis ini yang tentunya saling terkait.

      gen18
  • Siapa yang perlu aktif? Dalam hal ini, tidak hanya dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat atau FK, namun juga dosen dari FISIPOL (Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik). Dalam konteks Riset Kebijakan, berbagai metode penelitian yang dipergunakan di FISIPOL perlu dipergunakan dalam konteks kebijakan kesehatan (Health Policy Research).


  Apa makna Alliance untuk Indonesia?

  • Apakah penguatan HPSR untuk tujuan internasional atau nasional? Jawabannya adalah penguatan ini untuk kebijakan internasional dan domestik dalam sektor kesehatan atau saling melengkapi.Dalam hal ini, peranan network domestik seperti Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) dapat saling menguntungkan dala hubungannya dengan AHSPR.
  • Tujuan JKKI bekerja adalah men-support penyusunan kebijakan, termasuk penelitian-penelitian kebijakan dan sistem kesehatan. JKKI telah ditetapkan untuk sementara menggunakan model dimana kegiatan-kegiatan Jaringan dilakukan oleh anggota. Untuk sementara ada sistem koordinasi dari UGM sampai ada kemampuan untuk berjalannya Yayasan.
  • Apa peranan JKKI? Apakah mirip dengan Alliance?
    1. Repository yang merupakan tempat untuk menyimpan dan menyebarkan berbagai materi pelatihan, produk riset, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Saat ini kegiatan semacam ini dilakukan oleh UGM dengan berbagai web kebijakan dan manajemen.
    2. Fungsi mengumpulkan orang-orang dan pihak terkait, dilakukan secara besar dalam Forum Tahunan yang dikerjakan secara bergantian. Pada tahun 2015, akan diselenggarakan di Padang dengan penyelenggara Universitas Andalas. Kegiatan-kegiatan pertemuan ilmiah lain dapat dilakukan oleh tiap-tiap anggota.
    3. Mengembangkan kapasitas Health System di daerah terpencil, misal Papua dan NTT.
    4. Mengembangkan sumber dana untuk Riset Kebijakan dan Sistem Kesehatan. Kegiatan ini akan dilakukan oleh cikal bakal Yayasan Kebijakan Kesehatan.
    5. Melakukan kerjasama dengan jaringan serupa di negara lain.


  Bagaimana masalah sumber dana untuk Penelitian Sistem Kesehatan dan Penelitian Kebijakan Kesehatan?

  • Sumber dana berasal dari mana? Di level internasional, memang tergantung dari donor. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.
  • Sebaiknya dari mana dana pengembangan dan pelaksanaan penelitian kebijakan? Dalam hal ini, perlu dipikirkan untuk mencari dana dalam negeri, yang diatur dengan peraturan. Misalnya untuk setiap program dan kebijakan kesehatan perlu ada anggaran 1% (sebagai gambaran) untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi kebijakan dan program-programnya. Dana ini bisa berasal dari pemerintah pusat ataupun daerah.

  Bagaimana Etika dalam Riset Kebijakan di Indonesia

Di Indonesia pasti akan mengalami berbagai masalah etika penelitian, misalnya:

  • Masalah Informed-consent
  • Melaporkan hasil buruk
  • Adanya sensor atau embargo hasil

  Bagaimana cara menyebarkan Metode Penelitian dan Modul?

Di Indonesia perlu dilakukan identifikasi lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian yang tertarik mengembangkan Riset Kebijakan dan Riset Sistem Keseahtan. Hal ini penting untuk mendukung kebijakan desentralisasi di sektor kesehatan, serta pelaksanaan kebijakan-kebijakan besar nasional seperti Jaminan Kesehatan Nasional, AIDS, TB, Malaria, KIA dan berbagai hal lainnya.

Perlu mengembangkan teknologi penyebaran dan diseminasi yang tepat guna dan efisien. Dalam hal ini pilihan Blended Learning merupakan hal yang penting. Ada beberapa program pengembangan di tahun 2015 dengan menggunakan Blended Learning.

  • Mengembangkan materi untuk policy influence ke Pemerintahan yang baru di setiap Kelompok Kerja. Kegiatan ini akan dilakukan dalam tahun 2015.
    1. Pelatihan mengenai Stakeholders analysis
    2. Pelatihan proses policy Influence
    3. Pelatihan mengenai bagaimana mengarahkan hasil ke pengambil keputusan.
    4. Pelatihan teknik berdebat dan argumentasi.
  • Mengembangkan Modul-modul pelatihan dalam tahun 2015.

Dimulai di bulan Desember 2014. Akan diluncurkan pada bulan April 2015
Sebagai follow-up partisipasi ini, akan diteruskan dengan rapat kerja JKKI dan rencana kegiatan di tahun 2015. Agenda yang akan dilakukan di tahun 2015 antara lain:

  • Penelitian-penelitian
  • Pelatihan dan Workshop
  • Penyebaran ilmu
  • Penulisan Policy Brief
  • Seminar-seminar
  • Forum Nasional

Demikian refleksi kegiatan di Geneva.

 

 

Reportase Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era JKN

TOR Kegiatan & Materi Presentasi

SESI I

Sambutan dan Pembukaan

giriDr. dr. Sugiri Syarief, MPAPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Komisariat Fakultas Kedokteran UGM, pada hari Sabtu, 13 Desember 2014 menyelenggarakan Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional. Seminar yang bertempat di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM tersebut mengangkat tema "Bagaimana Mengurangi Kesenjangan Geografis yang Semakin Besar?". Membuka acara seminar, Dekan Fakultas Kedokteran UGM Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, SpB (K)Onk memberikan apresiasi kepada tim PKMK FK UGM dengan salah satu program Sister Hospital-nya di beberapa daerah khususnya daerah tertinggal, terbukti mengangkat derajat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Sehingga harapannya program dan dukungan ini dapat diteruskan.

Sementara itu Penanggung Jawab kegiatan, dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD mengemukakan dalam sambutan pembukaannya, bahwa fakta menarik dan paling mencolok yang ada di Indonesia adalah masalah kesenjangan. Baik kesenjangan dari pembangunan infrastruktur, sosial, ekonomi, termasuk pembangunan sektor kesehatan. Dan yang paling memprihatinkan, fenomena yang terjadi adalah kecenderungan banyaknya warga negara Indonesia di perbatasan yang memilih pindah ke negara tetangga karena merasa kurang diperhatikan di Indonesia.Sulitnya berbagai akses menuju kesejahteraan, salah satunya pelayanan kesehatan menjadi alasan maraknya fenomena tersebut. Oleh karena itu seminar kali ini, diharapkan akanmenghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang dapat diaplikasikan ke tataran kebijakan, untuk kemudian dipraktekkan melalui aksi-aksi nyata jangan hanya sampai pada tataran teoritis saja.

Demikian pula disampaikan oleh Ketua Kagama, Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA bahwa memang ketersediaan SDM dan fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan utama sektor kesehatan di daerah tertinggal. Oleh karena itu UGM yang menjadi pioneer pembangunan daerah tertinggal, tidak pernah berhenti untuk membantu perjuangan masyarakat di daerah tertinggal guna mendapatkan keadilan pembangunan, termasuk di bidang kesehatan.

 

SESI 1: Situasi terkini pelayanan kesehatan di daerah tertinggal

  Kementerian Kesehatan

bambang sdr. Bambang Sardjono, MPHMengawali sesi pertama kegiatan seminar, Staf ahli Kementrian Kesehatan RI Bidang Peningkatan Kelembagaan dan Desentralisasi, dr. Bambang Sardjono, MPH menjelaskan bahwa sesuai 9 agenda prioritas (nawa cita) Pemerintahan Jokowi-JK salah satunya ialah pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa dalam NKRI. Namun fakta memprihatinkan yang terjadi di lapangan, masyarakat di perbatasan justru lebih senang mencari akses pelayanan kesehatan di negara tetangga karena dirasa lebih mudah. Bambang Sardjono juga membenarkan bahwa masalah kesenjangan masih merupakan persoalan utama yang terjadi antar daerah di Indonesia, termasuk dalam pelayanan kesehatan. Sehingga pendekatan yang perlu dibuat adalah, khusus untuk masyarakat di daerah tertinggal khususnya di pedalaman tidak hanya sekedar dibuatkan kartu sehat saja namun perlu ada sistem khusus yang diberlakukan untuk mereka.

Selain itu, kendala lain dalam upaya pembangunan di daerah tertinggal yakni masalah lokalitas. Banyaknya SDM yang kurang kompeten duduk di jajaran pembuat kebijakan daerah, lebih disebabkan oleh faktor lokalitas yang berkaitan dengan kondisi politik di daerah tersebut sehingga maksimalisasi program kebijakan sulit tercapai. Belum lagi masalah ketidaktersediaannya infrastruktur pendukung, seperti sumber daya listrik dan air menyebabkan sulitnya mencari tenaga kesehatan yang mau bertugas di daerah tertinggal.Sehingga perlunya menanamkan nilai pengabdian kepada calon-calon tenaga kesehatan Indonesia, untuk mau berkontribusi mendukung pemerataan pembangunan.

 

  Pembahasan materi (Kagama Kedokteran)

budidr. Budiono Santoso. PhD, SpF(K)Menanggapi penjelasan dari Kementrian Kesehatan, dr. Budiono Santoso, PhD, SpF (K) dari Kagama mengemukakan agar pemerintah jangan hanya menggunakan parameter statistik dalam mengukur keberhasilan suatu program, karena banyak laporan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Budiono Santoso mencontohkan, seperti ketersediaan oksitosin di puskesmas di Indonesia, berdasarkan laporan statistiknya angkanya cukup merata antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, namun faktanya ada over stock di beberapa daerah, demikian pula ada under stock di beberapa daerah lain. Selain itu, dengan Rancangan Teknokratik yang masih sangat birokratis dan terpusat, menyulitkan bottom up planning dari daerah sebagai garis depan penerap kebijakan sehingga diperlukan desentralisasi perencanaan kebijakan, serta koordinasi vertikal dan horizontal antar lembaga. Budiono berpendapat, bila tidak kunjung diperbaiki, akan selalu ada kesenjangan antara outcome program dengan praktek di lapangan.

 

  SESI DISKUSI

Sementara itu dalam diskusi yang berlangsung cukup menarik, muncul beragam masukan, gambaran, serta pendapat dari para peserta seminar. Seperti dikemukakan oleh Sunarno selaku tenaga kesehatan yang pernah bekerja di Papua, tentang pentingnya pendekatan kultural untuk bisa menyentuh masyarakat di daerah tertinggal dalam penerapan program pemerintah, termasuk bidang kesehatan. Karena faktor budaya memainkan peran penting dalam keberhasilan program, bila mau memahami karakter dan kebiasaan masing-masing masyarakat di daerah tertinggal khususnya pedalaman.
Demikian pula disampaikan oleh salah satu peserta dr. Aisyah, bahwa perlunya membuat puskesmas percontohan di daerah tertinggal dan program residensi tenaga kesehatan, dimana tentunya hasil program tidak dapat diukur dalam waktu yang singkat, namun setidaknya membutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun atau 3 periode kementrian untuk melihat efektifitas program.

 

 

 

Pra Simposium 1, 29 September 2014

 

Satellite Session R.1.42

Transforming Health Workforce Education for Health Equity: Practical Tools and Approaches

30sept-1Kate Tulenko (Dok. Pkmk)Kebutuhan tenaga kesehatan yang terlatih ternyata tidak hanya dialami oleh Indonesia. Hal ini juga dialami beberapa negara di dunia. Kekurangan tenaga kesehatan juga menyebabkan ketidakadilan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Sebagai contoh di Sub Sahara Africa, ketidakadilan pelayanan kesehatan disebabkan; 1) lebih dari 50% kasus kelahiran tidak ditangani tenaga kesehatan terlatih, 2) lebih dari 10 penduduk hidup dengan HIV yang tidak dapat mengakses ART, 3) dan perkiraaan kurang dari 25% yang mengakses KB. Sehingga hal ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan, dimana; 1) secara global masih kekurangan 7,2 juta dokter, perawat, dan bidan, 2) ketidak merataan distribusi tenaga kesehatan baik daerah pedesaan maupun perkotaan, 3) keahlian campuran antara jenis dan spesialisasi yang tidak dimiliki tenaga kesehatan yang dibutuhkan.

Hal-hal tersebut didukung oleh beberapa laporan yang menandai bukti-bukti dalam hal tantangan untuk tenaga kesehatan seperti; 1) laporan WHO dan rekomendasi (2006), rekomendasi peningkatan akses pendidikan bagi tenaga kesehatan didaerah pedesaan dan daerah terpencil (2010), transforming dan meningkatkan pendidikan profesional kesehatan dan pelatihan (2013), 2) Laporan di Jurnal Lancet (2010) mengenai komisi global untuk pendidikan profesional kesehatan, dimana merekomendasikan agar mereformasi instruksional dan institusional untuk menghasilkan tim tenaga kesehatan yang mampu menemukan kebutuhan kesehatan masyarakat dan merata dan efisien, 3) Konferensi Mahidol Awards di Thailand 2014, yang menjelaskan transformasi pembelajaran untuk pemerataan kesehatan, dan bagaimana reformasi bagi pendidikan pemimpin tenaga kesehatan.

Pengalaman di berbagai negara menunjukkan pendidikan tenaga kesehatan memiliki tantangan tersendiri. Kebutuhan di lapangan dan proses pendidikan di tingkatan lembaga pendidikan tidak sama. Bahkan lulusan yang sudah dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang banyak ditemui tidak dapat menyesuaikan kebutuhan daerah.

Untuk mengatasi hambatan pendidik tenaga kesehatan, muncul beberapa inovasi untuk membangun kapasitas institusi dalam sistem yang terhubung antara sistem kesehatan dan sistem pendidikan. Inovasi ini dijalankan dengan beberapa tools atau pendekatan yang telah dijalankan beberapa negara seperti di Kenya yaitu BBB (Bottleneck and Best Buys). BBB tools ini merupakan suatu alat untuk mengkaji atau menilai sekolah kedokteran pda sembilan bagian seperti yang telah diidentifikasi oelh WHO dan WFME. Pada bagian ini proses sistemtik menggunakan cross sectional survey untuk pengambilan datanya dan informasi yang didapatkan akan digunakan untuk menemukan bottleneck dan mengembangkan keputusan investasi berbasis bukti. BBB ini telah direview dari berbagai tingkatan dan cocok digunakan di Kenya dan inovasinya juga diadopsi atau dipergunakan.

Beberapa inovasi berhasil menemukan bottleneck gap yang berhubungan antara misi institusi dan perencanaan dan pengawasan untuk keuangannya. Kemudian menemukan gap pada penyusunan kebijakan yang dibutuhkan dan implementasinya seperti isu gender, isu tentang petunjuk teknis klinis. Ditemukan juga gap pada pengembangan fakultas, gap pada instruktur klinis, investasi pada infrastruktur dan peralatan, gap pada pendukung akademik, kemahasiswaan, dan keuangan.

Akhirnya aksi prioritas yang harus dijalankan untuk inovasi dalam mengatasi bottleneck adalah;

  1. Melakukan pengembangan kebijakan, mendiseminasikan kebijakan tersebut, dan melakukan advokasi,
  2. Pembangunan kapasitas manajemen dengan perencanaan stratejik, bisnis, dan investasi, serta juga memobilisasi sumber daya,
  3. Penguatan pada kurikulum pemerintah di tingkat nasional, sub nasional, dan institusi,
  4. Membangun kompetisi fakultas dan mengembangkannya, termasuk didalamnya yaitu instruksi klinis dan pengawasan khusus,
  5. Penguatan pendekatan OdeL,
  6. Pendekatan pada penguatan inovasi dan mobilisasi berbagai macam sumber daya dan manajemen yang ditransformasi ke sektor bisnis dan kerjasama
  7. Hubungan strategis dengan tingkat nasional dan sub-nasional.

Sebagai implementasi aksi untuk transformasi pendidikan kesehatan menuju keadilan kesehatan perlu dilakukan;

  1. mengaplikasikan pendekatan BBB,
  2. Meningkatkan program pendidikan bagi bidan,
  3. Mengadopsi pendidikan berbasis masyarakat,
  4. Melakukan penelusuran terhadap kelulusan mahasiswa atau alumni,
  5. Melakukan estimasi besarnya biaya untuk pendidikan kesehatan atau unit cost,
  6. Penguatan sekola melalui pembuatan keputusan berdasarkan data informasi.

Reporter: M. Faozi Kurniawan

 

 

Pra Simposium 2 , 30 September 2014

 

Satellite Session R.1.41

Better Hospital, Better Health System, Better Health

A Proposal for a Global Hospital Collaborative for Emerging Economies

30sept-41Dari kiri: Dr. Jonathan, Amanda Glassman, Gerard La Forgia, Maureen Lewis (Dok. PKMK)

Sebuah tim kecil dari the Center for Gobal Development (CGD) – lembaga think tank yang berbasis di Washington DC – mengembangkan sebuah konsep kerjasama antar-RS di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, untuk memperkuat organisasi rumah sakit. Hal ini dilakukan atas dasar pemikiran bahwa RS di negara-negara tersebut terabaikan oleh para pembuat kebijakan dan masyarakat. Padahal RS memiliki peran penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat karena membuka akses terhadap pelayanan spesialistik dan menetapkan standar sistem kesehatan nasional. Para pembuat kebijakan di level nasional mengabaikan kebijakan dan kinerja RS dari agenda kesehatan global. Hanya beberapa RS swasta – yang melayani masyarakat kelas atas – yang memenuhi standar internasional. Selain itu, pemerintah bisa mengeluarkan anggaran kesehatan hingga 70% untuk mendukung RS-RS berkinerja rendah, untuk memenuhi kebutuhan sumber daya mereka.

RS yang berkinerja tinggi dan melayani masyarakat kelas menengah ke bawah jarang sekali ada di negara berkembang. RS merupakan simbol yang paling jelas terlihat mengenai baik atau buruknya sistem pelayanan kesehatan di suatu negara. Meskipun demikian, peran dan fungsi RS ternyata sangat berbeda antar negara, tergantung pada sejarah, model governance, kepemilikan dan klasifikasinya. Sebuah RS berkapasitas 10 tempat tidur tanpa adanya air mengalir di sebuah desa di Siberia, RS kabupaten di Kenya hingga RS tersier di Johannesburg, semuanya memenuhi kualifikasi untuk disebut sebagai RS.

Saat ini biaya pelayanan kesehatan sangat tinggi dan terus meningkat, padahal di sisi lain banyak RS yang tidak efisien. Menurut WHO (2007), pengeluaran RS seringkali memakan separuh dari total anggaran negara, bahkan di beberapa tempat bisa mencapai 70%.

Alokasi anggaran ynag tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja dan mutu pelayanan yang baik. Sampai hari ini, kita masih sering mendengar atau membaca berita keluhan terhadap output layanan RS. Di Hanoi, seorang dokter terpaksa mengoperasi ulang seorang anak yang mengalami gagal ginjal karena kesalahan pada operasi sebelumnya. Di Uganda, sebuah laporan menulis bahwa RS adalah jebakan kematian. Di Brazil, seorang dokter dikabarkan membunuhi pasiennya untuk mengosongkan TT RS (agar bisa digunakan pasien lain).

Di level akar rumput, masalahnya adalah tidak adanya pemikiran stratejik tingkat tinggi mengenai peran, stuktur, distribusi dan organisasi RS di sistem kesehatan di negara-negara berkembang. Sementara itu insentif untuk meningkatkan kualitas pelayanan sangat kurang. Sebagai contoh, kebijakan akreditasi sudah dimulai tahun 1999 di Brazil, namun hingga kini hanya 3% RS yang terakredikasi. Karena mahalnya biaya akreditasi, hanya RS swasta untuk masyarakat kelas atas yang mampu menempuhnya. Tentu saja pada akhirnya hal tersebut mempengaruhi tarif RS. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kelangsungan sistem kesehatan dan hambatan finansial bagi masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan. Semua hal tersebut menjadikan alasan mendasar mengapa perlu ada kolaborasi RS global yang perlu segera dibentuk.

GHC memiliki visi untuk menjadikan dunia dimana RS berkinerja tinggi yang melayani masyarakat kelas menengah ke bawah merupakan hal biasa an menjadi kkomponen kunci dalam upaya mencapai UHC, menguatkan sistem kesehatan, serta menghasilkan outcome kesehatan yang lebih baik dengan biaya yang lebih masuk akal bagi masyarakat. Misinya adalah menyediakan platform perubahan global yang akan menyediakan informasi dan dukungan teknis bagi pembuatan kebijakan yang berbasis bukti dalam rangka meningkatkan kinerja RS.

Dalam jangka pendek, rencana GHC adalah:

  1. Menyediakan overview teknis dan pengalaman-pengalaman berbagai RS di negara berkembang.
  2. Membandingkan kinerja, praktek manajemen dan penganturan tata kelola RS di sebuah bagian kecil dari negara-negara berkembang, dengan maksud untuk membantu stakeholders dalam menentukan path menuju peningkatan efisiensi, kualitas dan koordinasi dengan partner yang lain.
  3. Menciptakan pengetahuan berbasis web yang relevan dengan RS.
  4. Pilot project pendampingan teknis untuk beberapa negara terpilih.

Dalam jangka panjang, GHC akan melakukan:

  1. Layanan konsultasi practitioner-to-practitioner bagi RS atau kelompok RS
  2. Membangun sistem data yang terstandarisasi dengan aksesibiltas terhadap input, kualitas, outcome dan pengukuran kinerja lainnya
  3. Menerbitkan serial brief sintesis dan review inovasi
  4. Mengembangkan program riset operasional

Sesi ini berbeda dengan sesi-sesi lainnya dalam The Third Global Health Symposium, karena disini bukan memaparkan hasil riset melainkan mempromosikan inisiatif untuk membentuk GHC. Tujuannya adalah untuk menjaring respon dan inisiatif baru dari para peserta yang berlatarbelakang konsultan dan peneliti dalam bidang manajemen rumah sakit. Para panelis dalam sesi ini antara lain:

  1. Dr. Jonathan Blommberg, CEO Discovery Health di Discovery Limited. Ia merupakan ahli pelayanan kesehatan yang telah terkenal di Afrika dan menjadi konsultan pada berbagai projects manajemen pelayanan kesehatan nasional maupun internasional dalam bidang strategi, keuangan dan ekonomi.
  2. Amanda Glassman, Direktur Global Health Policy dan peneliti senior pada Center for Global Development. Ia banyak bekerja pada priority-setting, alokasi sumber daya dan value for money di global health, berpengalaman 20 tahun bekerja dalam program dan kebijakan kesehatan dan perlindungan sosial di Amerika Latin.
  3. Gerard La Forgia, Kepala Health Specialist di World Bank dan saat ini bekerja di Kantor Washington. Ia sudah berpengalaman bekerja dalam area kinerja RS dan reformasi sistem kesehatan serta menerbitkan buku mengenai asuransi kesehatan.
  4. Maureen Lewis, adalah profesor tamu di Global Human Development Program di School of Foreign Service kerjasama dengan Masters in Global Health Program. Dia sudah bekerja selama 22 tahun di World Bank dengan berbagai posisi.

Reporter: Putu Eka Andayani

 

 

Simposium 1 , 1 Oktober 2014

 

Pembukaan Simposium

Reportase Third Global Symposium on Health System Research

Pembukaan
Reporter: Laksono Trisnantoro

ireneIrene Agyepong (Dok. Laksono)Acara pembukaan dibuka oleh moderator Irene Agyepong dengan pidato dari Margaret Chan,
Direktor Jendral WHO Geneva.

Sebagai pimpinan WHO, Margaret memulai pidatonya dengan mengemukakan masalah Ebola. Mengapa terjadi hal yang menyedihkan ini? Hal ini disebabkan sistem kesehatan yang tidak lengkap. Fasilitas yang kurang memadai, pendidikan yang kurang, lemahnya pemahaman mengenai surveilans dan berbagai hal lain termasuk tidak adanya vaksin. Namun, kita semua harus berjuang bersama untuk mengatasi masalah ini. Margaret menekankan mengenai perlunya Sistem Kesehatan yang harus people center. Sistem ini harus harus berfokus pada masyarakat, bukan hanya pada pemberi pelayanan. Selanjutnya dalam pidato pembukaan ditekankan agar sistem kesehatan memperhatikan kegagalan yang ada karena kita tidak mempunyai basis infrastruktur. Dalam hal ini, riset diperlukan untuk mengkaji infrastruktur. Selain itu, diperlukan evidence yang tepat. Di akhir pidatonya, Margaret Chan mengucapkan selamat mengikuti simposium.

 

Debora Bix, Ambassador at Large dan Koordinator US Global AIDS.

deboraDebora Bix (dok. Laksono/Pkmk)Debora dalam sambutannya menekankan bahwa untuk AIDS, Amerika Serikat memberikan banyak dana untuk menangani fenomena ini. Kemudian, sebagian dana dipergunakan untuk sistem kesehatan horisontal. Kemudian, apa efeknya? Insiden dapat turun walaupun hal ini tidak terjadi di semua negara . Banyak negara di Afrika yang masih mengalami masalah. Dalam hal ini, SDM sangat berat juga infrastuktur, misal di Malawi dan Mozambique.

Tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat, mempunyai kemampuan yang terbatas. Untuk itu diperlukan pengembangan untuk mereka. Deborah menekankan perlunya control untuk epidemik dengan pendekatan: Right Things, Right Place, and Right Times. Di ujung pidatonya, Debora menegaskan, bahwa pekerjaan belum selesai. Setiap minggu ada 4600 bayi terinfeksi AIDS. 3600 anak mati , 25 ribu orang dewasa mati. Hal ini yang menjadi pemicu semangat.

 

Malebona Precious Matsoso, Dirjen Kesehatan Afrika Selatan.

malebonaMalebona Precious Matsoso (Dok. Laksono/Pkmk)Topik mengenai Ebola masih menjadi isu kunci. Ada banyak wabah di Afrika, infrastruktur yang kurang, konflik yang berkepanjangan menjadi masalah besar. Banyak bantuan dari luar negeri. Dari US, Jepang, dan lain-lain, di dalamnya termasuk dari perguruan tinggi besar. Dalam situasi seperti ini, Malebona menyatakan bahwa perlu ada evidence, yang dapat mendukung proses pengambil keputusan agar perencanaan dapat terinformasi dan dapat mencapai hasil yang baik. Oleh karena itu, perlu investasi dalam health system research.

Kita perlu champion, perlu budaya untuk melaksanakan riset. Kita harus mengembangkan kapasitas terutama untuk penelitian. Harapannya simposium ini dapat menginspirasi para peneliti, pengambil kebijakan dan memicu policy maker untuk melakukan investasi dalam riset. Tema people centre in health system sangat tepat, dan perlu ada penekanan masyarakat sebagai pusat pengembangan, juga untuk user dan provider.
Afrika Selatan ditunjang dengan konstitusi sehingga kesehatan adalah rights (hak), kemudian ada patient-charters. Afrika Selatan akan terus berkomitmen untuk mendukung young scientist untuk mengembangkan riset. Selamat bersimposium.