Reportase Pengembangan Platform Digital untuk Analisis Kebijakan dan Advokasi Pengelolaan Penyakit Tidak Menular: Diabetes Melitus, Jantung, dan Katarak

9 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Diskusi 1 dengan topik Pengembangan Platform Digital untuk Analisis Kebijakan dan Advokasi Pengelolaan Penyakit Tidak Menular: Diabetes Melitus, Jantung, dan Katarak pada hari Jumat (09/08/2024). Kegiatan ini dimoderatori oleh Mentari Widiastuti, S.Farm., Apt., MPH. Narasumber utama adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD.

Laksono membahas pentingnya pengembangan platform digital untuk mendukung analisis kebijakan dan advokasi dalam pengelolaan Penyakit Tidak Menular (PTM), dengan fokus khusus pada Diabetes Melitus, Jantung, dan Katarak. Platform digital yang sedang dikembangkan ini merupakan bentuk kepedulian dari perguruan tinggi, dengan tujuan untuk menganalisis kebijakan transformasi kesehatan dan menerjemahkannya menjadi tindakan nyata di lapangan. Laksono juga menjelaskan bahwa konsep evidence-informed policy-making, yang memastikan bahwa kebijakan yang diambil didasari oleh bukti ilmiah, meskipun diakui bahwa faktor lain seperti budaya politik, sosial, dan ekonomi juga turut berperan. Oleh karena itu, advokasi menjadi seni penting dalam mempengaruhi kebijakan, yang membutuhkan pendekatan strategis untuk mengatasi berbagai hambatan dan mencapai dampak besar. Laksono juga menekankan peran penting Fakultas Kedokteran (FK) dan Departemen IKM-IKP-IKK dalam mendukung penelitian dan advokasi kebijakan kesehatan. Departemen IKM diharapkan menjadi jangkar dalam penelitian kebijakan kesehatan di setiap fakultas kedokteran dengan pendekatan transdisiplin yang melibatkan berbagai bidang seperti ekonomi dan ilmu politik. Peran ini dipengaruhi oleh motivasi dosen dalam menjalankan kegiatan pembelajaran kelembagaan sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Pengembangan platform digital ini juga didorong oleh momentum yang dihadirkan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Platform ini dapat digunakan sebagai alat untuk advokasi yang efektif dalam berbagai isu seperti regulasi, tata kelola, alokasi anggaran (APBN), dan lainnya. Platform digital ini sangat penting untuk menerjemahkan kebijakan transformasi kesehatan menjadi realitas dalam program kesehatan sehari-hari. Platform ini juga mendukung pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan serta program penanganan masalah kesehatan secara komprehensif. Kompleksitas pencegahan dan pengelolaan PTM, seperti Diabetes Melitus, di tingkat kabupaten/kota memerlukan alat yang dapat menangani data dan kebijakan dengan lebih efektif.

Sesi Pembahas

9ags1dr. Yudhi Pramono, MARS (Plt Dirjen P2P Kemenkes RI)

Yudhi menyoroti bahwa perencanaan berbasis data sedang dimulai di Kemenkes, namun data penelitian saat ini masih minim dan belum optimal. Meskipun dulu pernah ada badan litbang, hasil penelitiannya sering kali sulit dipahami oleh staf program maupun masyarakat karena bahasa yang terlalu teknis. Masyarakat sendiri masih skeptis terhadap hasil penelitian dan lebih percaya pada sumber informasi yang tidak kredibel.

Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan komunikasi sains (science communication). Kementerian kesehatan juga membutuhkan lembaga yang menjembatani peneliti dengan pengambil kebijakan. Platform digital ini bisa juga sebagai solusi untuk menyampaikan hasil penelitian dan memenuhi kebutuhan program.

9ags2dr. Fatchan Nur Aliyah, MKM (Ketua Tim Kerja Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) Direktorat PTM Kemenkes RI)

Fatchan menjelaskan bahwa platform ini telah diinisiasi sejak dua tahun lalu dengan tujuan untuk menyusun kebijakan yang berpijak pada tujuan yang akan dicapai, yaitu menurunkan morbiditas dan mortalitas, bukan hanya prevalensi. Biaya yang dikeluarkan harus sebanding dengan kemampuan negara kita, sehingga analisis cost-effectiveness menjadi penting. Pihaknya menambahkan bahwa platform digital perlu memetakan situasi sekarang dan per 3 tahun atau per 5 tahun untuk evaluasi efisiensi dan implementasi kebijakan. Hal ini juga harus mencakup kebutuhan petunjuk teknis berdasarkan kebijakan yang ada.

9ags3dr. Ika Gladies Syaferani (Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Dinkes Provinsi Kalimantan Timur)

Ika menyampaikan bahwa platform digital dapat digunakan sebagai bahan advokasi Dinas Kesehatan provinsi kepada para stakeholder, terutama terkait pengendalian Diabetes Melitus. Platform ini membantu mengidentifikasi dan merumuskan masalah berdasarkan rumah transformasi kesehatan. Sebagian besar instansi memiliki anggaran khusus untuk pencegahan dan pengendalian DM, namun ada juga instansi lintas sektor seperti pemerintahan desa yang terlibat.

Kegiatan ini ditutup oleh closing statement dari Laksono, yaitu penting bagi dosen dan peneliti Fakultas Kedokteran (FK) serta Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) untuk menjadi pionir dalam penerapan evidence-informed policy making, terutama dengan adanya momentum yang dihadirkan oleh UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024. Platform digital dapat menjadi titik awal bagi dosen dan peneliti dalam berbagai disiplin ilmu kesehatan untuk mengambil peran ini, menawarkan perspektif yang lebih luas dan mendalam terhadap permasalahan kesehatan melalui kerangka sistem dan transformasi kesehatan. Dengan potensi kolaborasi dari berbagai pihak, platform digital ini memiliki peluang besar untuk dikembangkan lebih jauh dalam mendukung inovasi kebijakan kesehatan yang efektif dan berbasis bukti.

Reporter: Via Anggraini, S.K.M (PKMK UGM)

 

 

 

 

 

 

Reportase Penulisan Artikel

Penelitian Kebijakan dengan Menerapkan Prinsip Evidence Based/ Informed Policy oleh Fakultas-Fakultas Kedokteran di Indonesia

8 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Pembelajaran Kelembagaan Penelitian Kebijakan dengan Menerapkan Prinsip Evidence Based/ Informed Policy oleh Fakultas-Fakultas Kedokteran di Indonesia pada hari ketiga, Kamis (8/8/2024) dengan topik Penulisan Artikel. Kegiatan ini dimoderatori oleh Monita Destiwi, SKM.,MA. Narasumber utama adalah Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua

Dalam paparan materi yang disampaikan oleh Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua, menegaskan bahwa penulisan artikel ilmiah sangat penting untuk menyebarluaskan hasil penelitian, memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan sebagai bukti kompetensi seorang peneliti. Artikel yang baik juga bisa menjadi referensi penting dan membantu dalam pengembangan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Beliau menguraikan perbedaan antara artikel kebijakan dan artikel lainnya yang mungkin menyinggung kebijakan. Artikel kebijakan umumnya lebih mendalam, melibatkan riset kebijakan, dan dapat mencakup analisis kebijakan dengan melibatkan para stakeholder. Artikel kebijakan seringkali menghasilkan rekomendasi untuk penyusunan kebijakan baru atau perbaikan kebijakan yang ada.

Dalam penulisan artikel tentunya perlu sebuah struktur penulisan yang efektif mulai dari judul hingga daftar pustaka. Struktur dan komponen artikel riset kebijakan kesehatan dalam jurnal ilmiah umumnya mengikuti format yang baku untuk memastikan konsistensi dan memudahkan pembaca dalam memahami isi penelitian. Hanevi juga menekankan pentingnya etika dalam penulisan artikel, terutama terkait data dan penulis. Mengenai data, penulis harus memastikan bahwa data yang digunakan adalah etis dan valid. Sedangkan untuk etika penulis, hanya orang yang memberikan kontribusi signifikan terhadap penelitian yang boleh tercantum sebagai penulis, urutan penulis harus mencerminkan kontribusi masing-masing penulis, serta penulis harus mengungkapkan setiap konflik kepentingan yang mungkin mempengaruhi penelitian.

Proses review dan publikasi artikel ilmiah merupakan tahap krusial. Hanevi menjelaskan bahwa proses ini melibatkan beberapa tahap, mulai dari pengajuan artikel, penilaian oleh reviewer, pengambilan keputusan oleh editor, revisi dan penyuntingan hingga publikasi. Penting untuk memilih jurnal yang sesuai dengan topik artikel dan memahami ketentuan serta format yang disyaratkan.Dalam memilih jurnal untuk publikasi, Hanevi memberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Integritas Jurnal: Pastikan jurnal yang dipilih kredibel dan bukan jurnal predator. Tujuan publikasi juga harus diperhatikan, misalnya apakah publikasi ditujukan untuk sosialisasi kepada stakeholder tertentu, seperti dinas kesehatan, dan lain-lain.
  2. Tujuan dan Pembaca: Tujuan publikasi akan menentukan siapa pembaca utama artikel tersebut. Misalnya, untuk pengambil kebijakan dari sisi makro/nasional/internasional.
  3. Reputasi Jurnal: Perhatikan reputasi jurnal yang dipilih, apakah masuk dalam daftar Scopus atau kategori Q1, Q2 untuk jurnal internasional, atau dalam peringkat Sinta 1, 2, 3 untuk jurnal nasional.

Hanevi menutup dengan menegaskan bahwa penulisan artikel ilmiah adalah keterampilan yang perlu terus diasah. Dengan pemahaman yang baik tentang struktur penulisan, etika, proses review, dan pemilihan jurnal, peneliti dapat menghasilkan tulisan yang berkualitas dan berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan serta praktik di bidangnya.

Reporter: Via Anggraini, S.K.M (PKMK UGM)

 

 

 

Reportase Penggunaan Data

Penelitian Kebijakan dengan Menerapkan Prinsip Evidence Based/ Informed Policy oleh Fakultas-Fakultas Kedokteran di Indonesia

7 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Pembelajaran Kelembagaan Penelitian Kebijakan dengan Menerapkan Prinsip Evidence Based/ Informed Policy oleh Fakultas-Fakultas Kedokteran di Indonesia pada hari kedua, Rabu (07/08/2024) dengan topik Penggunaan Data. Kegiatan ini dimoderatori oleh Mentari Widiastuti, S.Farm.,Apt.,MPH. Narasumber utama adalah Dr. dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo.

Dr. dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo membawakan materi dengan judul "Big Data for Strengthening Health Systems". Dalam paparannya, Guardian menyampaikan berbagai aspek penting dari big data dan analitik dalam konteks sistem kesehatan. Materi ini mencakup pengumpulan data rutin, transformasi digital, dan implementasi analitik big data serta artificial intelligence (AI) untuk meningkatkan pelayanan medis dan kesehatan masyarakat.

Guardian mengawali dengan menjelaskan rencana strategis Kementerian Kesehatan Indonesia, yang berfokus pada pengumpulan data rutin kesehatan berbasis indikator kesehatan. Transformasi dari paradigma pelaporan data agregat menuju pemanfaatan teknologi digital untuk data individu menjadi sorotan utama. Pengumpulan data dilakukan mulai dari level komunitas hingga fasilitas kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, dan posyandu.

Big data didefinisikan sebagai koleksi data yang sangat besar dan kompleks, yang terdiri dari data terstruktur dan tidak terstruktur. Narasumber menekankan pentingnya big data analytics untuk menemukan pola dan informasi berharga dalam data kesehatan. Karakteristik big data dijelaskan dengan aspek volume, velocity, variety, variability, veracity, value, complexity, dan sparseness. Berbagai contoh penggunaan big data analytics dalam pelayanan kesehatan yang dibahas, termasuk:

  • Average Hospital Stay (Rata-rata Waktu Rawat Inap) : Mengevaluasi durasi pasien di rumah sakit.
  • Bed Occupancy Rate (Persentase Pemakaian Tempat Tidur): Memantau ketersediaan tempat tidur.
  • Medical Equipment Utilization (Utilisasi Peralatan Medis): Melacak penggunaan peralatan.
  • Patient Drug Cost Per Stay (Biaya Obat Pasien per Rawat Inap): Mengelola biaya pengobatan.
  • dan lain-lainnya.

Pemanfaatan big data diharapkan mampu mendorong pengambilan keputusan berdasarkan data misalnya prediksi kebutuhan logistik. Selanjutnya Precision Medicine, untuk mengurangi efek samping dan meningkatkan outcome layanan. Early Detection of Disease, untuk mendeteksi dini penyakit melalui analitik prediktif, dan masih banyak lagi manfaat dari big data lainnya. Guardian juga menyoroti aspek Etik dalam Penggunaan Big Data dan AI Kesehatan. Prinsip-prinsip seperti informed consent, relevansi, integritas data, fungsi verifikasi, tujuan tertulis dan kontrol akses berbasis peran menjadi bagian penting dalam praktek pengelolaan data kesehatan.

Pembelajaran ini memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya big data dan analitik dalam meningkatkan sistem kesehatan di Indonesia. Dengan pemanfaatan teknologi digital dan analitik yang tepat, diharapkan sistem kesehatan dapat menjadi lebih efisien, responsif, dan mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Reporter: Via Anggraini, S.K.M (PKMK UGM)

 

 

 

Reportase Riset Implementasi untuk Kebijakan Kesehatan di Indonesia

dan Pembukaan Pembelajaran Kelembagaan untuk Melakukan Penelitian Kebijakan bagi Fakultas Kedokteran di Indonesia

2ags

PKMK-Semarang. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Workshop dengan topik “Riset Implementasi untuk kebijakan kesehatan di Indonesia dan Pembukaan Pembelajaran Kelembagaan untuk Melakukan Penelitian Kebijakan bagi Fakultas Kedokteran di Indonesia” pada Jumat (02/08/2024). Kegiatan ini merupakan salah satu sesi acara dalam Pertemuan Ilmiah Nasional dan Musyawarah Nasional BKS-IKM-IKK-IKP. Webinar diselenggarakan secara daring dan dimoderatori oleh Dr. Sukma Sahadewa, dr., M.Kes. SH., MH., M.Sos. Narasumber utama adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (UGM), dengan pembahas sesi pertama yaitu Yunita Dyah Suminar, SKM, M.Sc, M.Si (Kadinkes Provinsi Jateng) dan Dr. Mochamad Abdul Hakam, Sp.PD FINASIM (Kadinkes Kota Semarang). Kemudian untuk pembahas sesi dua yaitu Dr. dr. Minarni Wartiningsih, M.Kes., FISPH., FISCM (Bendahara BKS-IKM-IKK-IKP) dan Dr. Umatul Khoiriyah, M.Med.Ed., Ph.D (AIPKI).

Pada sesi pertama, Laksono membahas Fakultas Kedokteran dan Riset Kebijakan. Laksono menekankan perlunya reformasi dan transformasi untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Narasumber merujuk pada kerangka sistem kesehatan WHO yang mencakup tenaga kerja kesehatan, pelayanan, informasi, produk medis, vaksin, teknologi, pendanaan, serta kepemimpinan dan tata kelola. Fokus reformasi dan transformasi ini adalah mengatasi ketidakmerataan pelayanan kesehatan dan memastikan sistem pendanaan yang berkelanjutan, dengan tujuan akhir meningkatkan status kesehatan secara keseluruhan di Indonesia.

Selain itu, Laksono juga menyoroti pentingnya akses dan analisis data rutin untuk ilmu kesehatan masyarakat (IKM) serta peran riset kebijakan dalam penyusunan undang-undang kesehatan. Fakultas Kedokteran diharapkan dapat berperan dalam pengambilan kebijakan dengan menyediakan bukti dan melakukan monitoring hasil kebijakan, seperti yang terlihat pada analisis diabetes melitus (DM) dalam konteks UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Transformasi sistem kesehatan diharapkan sejalan dengan visi Presiden untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkeadilan, dengan fokus pada peningkatan kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, pengendalian penyakit, dan regulasi pembiayaan kesehatan yang adil dan berkelanjutan.

Pembahas pertama sesi 1 yaitu Yunita Dyah Suminar, SKM, M.Sc, M.Si (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah) mengungkapkan pentingnya analisis dan validasi data untuk kebijakan kesehatan, terutama dalam konteks promosi dan pencegahan penyakit seperti tuberkulosis (TB) dan stunting. Data yang valid dan terverifikasi sangat diperlukan untuk menentukan langkah-langkah kebijakan yang tepat, dengan penekanan pada kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk akademisi, untuk mengatasi isu kesehatan secara efektif.

Sementara itu, pembahas kedua sesi 1 yakni Dr. Mochamad Abdul Hakam, Sp.PD FINASIM, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, menjelaskan bahwa inovasi dalam pelayanan kesehatan, seperti program Pelangi Nusantara, sudah terintegrasi antara masyarakat dan data. Program ini fokus pada pelayanan kesehatan gizi dan penyuluhan untuk anak dan remaja, serta menangani balita dengan gizi buruk dan stunting melalui kerjasama dengan institusi pendidikan dan organisasi profesi, sesuai dengan transformasi kesehatan yang ditetapkan oleh Kemenkes.

Pada sesi kedua, diskusi dimoderatori oleh dr. Aristanto Prambudi, CHt. M. Kes. Laksono selaku narasumber utama membahas buku yang diterbitkannya dengan berjudul Pengayaan Ilmu Kedokteran untuk Mengatasi Masalah Klinis dan Kesehatan Masyarakat. Penggunaan kata "Pengayaan" yang mengintegrasikan ilmu kebijakan dan manajemen di Fakultas Kedokteran (FK) dan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM). Buku ini bertujuan untuk memperkaya nilai kedokteran dan kesehatan masyarakat dengan membahas tantangan keilmuan dari tahun 1990-an hingga saat ini. Buku tersebut dibagi menjadi tiga bagian: pertama, membahas pendekatan awal dalam pengayaan ilmu; kedua, mengulas kemajuan dalam manajemen dan kebijakan; dan ketiga, menilai perkembangan dan harapan masa depan. Selama 30 tahun, proses pengayaan melibatkan penelitian, diskusi, dan solusi praktis dengan fokus pada desain lintas disiplin dan joint appointment dosen. Pembelajaran terkait penelitian kebijakan kesehatan juga tersedia di website resmi.

Pembahas pertama sesi diskusi kedua ialah Dr. dr. Minarni Wartiningsih, M.Kes., FISPH., FISCM., sebagai bendahara BKS-IKM-IKK-IKP, menekankan pentingnya workshop ini untuk disebarluaskan ke seluruh fakultas kedokteran di Indonesia agar setiap data dapat digunakan sebagai dasar promosi kesehatan. Workshop ini diharapkan memberikan pembaruan terkini mengenai isu kesehatan, mendukung pengabdian masyarakat, serta menjadi bahan untuk penulisan artikel penelitian.

Kemudian pembahas kedua sesi dua yaitu Dr. Umatul Khoiriyah, M.Med.Ed., Ph.D., dari AIPKI, menyoroti urgensi kebijakan dan manajemen pelayanan kesehatan dalam pendidikan kedokteran, yang mencakup kepemimpinan dan kemampuan manajemen untuk menghasilkan pelayanan kesehatan berkualitas. Paradigma pembelajaran konstruktif di level sarjana diharapkan dapat mengembangkan kemampuan siswa melalui pengalaman belajar yang diberikan oleh pendidik, sehingga lulusan tidak hanya menguasai teori klinis tetapi juga memahami implementasinya secara holistik.

Link terkait: Pembelajaran kelembagaan untuk penelitian kebijakan

Reporter: Ainy Hasna (PKMK UGM)

 

 

 

Reportase Seri 2: Analisis Kebijakan Jantung dan Katarak dengan menggunakan Pendekatan Transformasi Kesehatan

29 Juli 2024

PKMK UGM – Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan webinar bagian 2 bertajuk “Pengenalan Pembelajaran Kelembagaan untuk Penelitian Kebijakan bagi FK-FK di Indonesia” dengan topik “Analisis Kebijakan Jantung dan Katarak dengan menggunakan Pendekatan Transformasi Kesehatan” pada Senin (29/7/2024). Kegiatan ini diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting yang dimoderatori oleh M Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH. Narasumber sesi ini ialah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD yang merupakan seorang Dosen dan Guru Besar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM.

Laksono memaparkan kebijakan kesehatan jantung dan katarak dengan menggunakan pendekatan transformasi kesehatan berbasis platform digital. Dalam analisisnya, Laksono menekankan bahwa penggunaan platform digital sangat penting untuk mengatasi kompleksitas kebijakan kesehatan di era transformasi, terutama dalam kasus penyakit jantung. Laksono menjelaskan bahwa kebijakan kesehatan untuk penyakit jantung berbeda dengan penyakit lainnya karena detail kompleksitasnya yang unik. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan digitalisasi untuk mempermudah proses pengambilan kebijakan. Beliau juga menyoroti pentingnya penggunaan data rutin yang diolah untuk mendukung pengambilan kebijakan, seperti yang dilakukan di UGM melalui pengolahan data BPJS terkait diabetes mellitus. Data rutin ini, menurutnya, akan semakin akurat dan menjadi tumpuan dalam kebijakan riset di masa depan.

Dalam diskusi mengenai kebijakan katarak, Laksono menjelaskan bahwa biaya klaim BPJS untuk penanganan katarak meningkat lebih tinggi dibandingkan penyakit jantung. Hal ini disebabkan oleh backlog penanganan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, serta sistem JKN yang belum mampu mencegah dan menangani kecurangan serta masih ditemukannya dokter yang memberikan penanganan operasi katarak tidak berbasis pada indikasi medis, tapi untuk kepentingan ekonomi. Laksono menekankan bahwa transformasi kesehatan melalui platform digital juga diperlukan untuk penanganan katarak secara komprehensif. Dengan adanya platform digital ini, penanganan kebijakan katarak dapat dilakukan secara menyeluruh dan multidisiplin, serupa dengan kebijakan kesehatan jantung. Platform ini diharapkan dapat mengurangi risiko kegagalan transformasi pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Dari hasil diskusi, Dr. dr. Febri M.Kes dari BKS-IKM-IKK-IKP menyatakan bahwa kebijakan kesehatan adalah salah satu pilar penting dalam ilmu kesehatan masyarakat, terutama dalam pencegahan penyakit katastropik seperti penyakit jantung dan stunting. Febri mendukung penuh inisiatif platform digital ini sebagai langkah positif untuk menangani penyakit-penyakit tersebut dan menekankan pentingnya pencegahan dibandingkan pengobatan. Dr. Ade Meidian Ambari, PhD, Sp.JP(K) dari PERKI menyoroti distribusi yang tidak merata dari dokter spesialis jantung di Indonesia, dengan sebagian besar SDM terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Ade juga menekankan perlunya sistem rujukan berjenjang dan pendidikan yang lebih baik untuk meningkatkan jumlah dokter spesialis jantung. Prof. Dr. M. Bayu Sasongko, SpM(K), PhD, menambahkan bahwa katarak menjadi indikator kesehatan global yang signifikan. Namun, banyak masalah seperti fraud, backlog, dan keterbatasan layanan katarak masih menjadi tantangan besar. Dia menekankan pentingnya peningkatan skrining preventif dan pembangunan infrastruktur yang memadai untuk mengatasi masalah ini.

Reporter: Hasna (PKMK UGM)

 

 

 

 

Reportase Pengenalan Pembelajaran Kelembagaan

untuk Penelitian Kebijakan bagi Fakultas-Fakultas kedokteran di Indonesia

22 Juli 2024

22jul 2

PKMK UGM – Pada 22 Juli 2024, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan webinar bertajuk “Pengenalan Pembelajaran Kelembagaan untuk Penelitian Kebijakan bagi FK-FK di Indonesia”. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting yang dimoderatori oleh Via Anggraini, SKM. Narasumber pada webinar ini adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD yang merupakan dosen dan guru besar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM.

Laksono membahas Pengenalan Pembelajaran Kelembagaan untuk penelitian kebijakan kesehatan di Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia. Konsep ini menggabungkan pembelajaran individu dan pembelajaran organisasi, dengan tujuan meningkatkan kinerja lembaga melalui pemahaman dan penerapan kedua jenis pembelajaran tersebut. Fokus utamanya adalah bagaimana FK dapat berkontribusi dalam pembuatan kebijakan kesehatan. Pada pembelajaran kelembagaan menekankan kolaborasi antara peneliti, pengelola data, penulis policy brief, dan advokator untuk menciptakan kebijakan yang efektif. Tantangannya adalah memastikan hasil pembelajaran individu dapat diintegrasikan ke dalam konteks organisasi sehingga dapat mempengaruhi proses kebijakan dan menyelesaikan masalah kesehatan di dunia nyata. Pembelajaran organisasi penting untuk memastikan bahwa hasil penelitian diimplementasikan dalam dunia nyata, bukan hanya berhenti di jurnal ilmiah.

Narasumber juga menyoroti pentingnya Evidence-Based Medicine (EBM) dan Evidence-Based Policy Making (EBP) dalam proses penyusunan kebijakan kesehatan. Dalam pembuatan kebijakan, diperlukan bukti terbaik yang saat itu tersedia untuk membuat keputusan dalam keadaan masalah yang mendesak. Kebijakan tidak hanya berdasarkan bukti ilmiah, tetapi juga harus mempertimbangkan pengalaman, kepercayaan, dan nilai-nilai. Bukti ilmiah seringkali tidak mencapai pembuatan kebijakan karena berbagai faktor. Fakultas Kedokteran (FK) memainkan peran penting dalam banyak kebijakan, seperti dalam kasus diabetes mellitus. Diperlukan kebijakan untuk memastikan masalah yang ada tidak dibiarkan dan memberikan impact yang dapat diukur. Kebijakan harus memiliki indikator yang jelas untuk melihat dampaknya dan memastikan perubahan positif terjadi.

Pada sesi tanya jawab, Johny Setyawan, MBA menanyakan mengenai bahwa perguruan tinggi sering tertinggal dalam memahami permasalahan mendesak di dunia nyata. Laksono menekankan bahwa memang terdapat kesenjangan antara perguruan tinggi dan dunia nyata dalam memahami dan menangani masalah kesehatan yang mendesak. Meskipun pembuat kebijakan di lapangan membutuhkan bukti ilmiah terkini, seringkali penelitian dari perguruan tinggi kurang update terhadap isu masalah kesehatan terkini. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih integratif, di mana akademisi secara aktif menerapkan ilmu mereka di lapangan salah satunya melalui pendekatan problem-solving.

Materi   video

Reporter:
Hasna dan Via Anggraini (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

 

Reportase webinar Menerjemahkahkan Hasil Riset untuk Proses Kebijakan melalui Policy Brief

Rangkaian webinar penelitian kebijakan untuk para dosen Poltekkes

  7 Februari 2024

7feb1Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Ph.D., selaku Guru Besar dan Pakar Bidang Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM memberikan pengantar pada Seri ke-3 Webinar Penelitian Kebijakan untuk Para Dosen Poltekkes menyampaikan bahwa teman-teman Poltekkes telah hadir dalam webinar perlu diberikan opsi untuk mengikuti webinar secara perorangan, meskipun dianjurkan untuk membentuk kelompok. Meskipun ada ujian perorangan, kelompok juga diperbolehkan.

Dosen menekankan pentingnya berpartisipasi dalam kelompok, tetapi para dosen memahami bahwa beberapa peserta mungkin tidak memiliki kelompok. Selama sesi, mereka memasuki topik kebijakan publik, membahas bagian-bagian penting dari proses kebijakan, dimana hasil riset dan analisis disampaikan. Mereka juga membahas hasil angket minggu sebelumnya yang dapat menjadi landasan untuk pembahasan dalam konteks kebijakan. Webinar ini mencatat partisipasi aktif dari sekitar 500 peserta dari 1000 yang terdaftar. Dosen menyampaikan pentingnya pembuatan proposal bersifat multicenter untuk penelitian atau implementasi, seperti contoh riset implementasi dalam menggunakan alat antropometri.

7feb2

Sebelum memulai sesi webinar, Tri Muhartini, MPA., selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyampaikan hasil pengisian angket evaluasi yang telah diisi oleh peserta pertemuan webinar sebelumnya bahwa hasil angket menunjukkan peningkatan pemahaman peserta setelah mengikuti webinar dari pertemuan sebelumnya. Dari 346 peserta yang mengisi angket, terlihat bahwa sebelum webinar, 63% peserta tidak memahami pertanyaan riset implementasi, namun setelahnya, jumlah peserta yang memahami meningkat menjadi 78%, sementara yang sangat paham naik dari 2% menjadi 20%.

Pemahaman tentang peran riset implementasi dalam siklus kebijakan juga mengalami peningkatan, dari 21% sebelum webinar menjadi 78% setelahnya. Pemahaman peserta mengenai contoh-contoh metode penelitian juga meningkat, dan pemahaman tentang outcome dari implementasi kebijakan mengalami perubahan positif secara signifikan. Meskipun masih ada peserta yang belum memahami beberapa aspek, secara keseluruhan, webinar ini membawa peningkatan pemahaman peserta terkait implementasi kebijakan dan metode penelitian. Evaluasi ini memberikan dasar untuk tindakan selanjutnya dan menunjukkan bahwa ada potensi perbaikan pada karakteristik implementasi yang masih perlu ditingkatkan untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi.

7feb3Narasumber pertama, Shita Listyadewi, MPP., selaku Kepala Divisi Public Health PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa bagaimana kita menerjemahkan hasil riset untuk proses kebijakan melalui policy brief. Shita yakin Indonesia memiliki banyak riset-riset yang telah dilakukan, dan pihaknya juga yakin bahwa ada terbersit keinginan hasil riset tersebut dimanfaatkan oleh para pengambil kebijakan. Webinar pada pagi hari ini sangat cocok bagi peserta karena akan membantu para peserta memperoleh pemahaman dasar mengenai cara menerjemahkan hasil-hasil tersebut untuk proses kebijakan.

Kita akan membahas tiga hal, pertama, peran evidence dalam proses penyusunan kebijakan; kedua, pemahaman tentang knowledge translation; dan ketiga, strategi penggunaan policy brief untuk mempengaruhi proses pengusungan kebijakan. Perlu diingat bahwa evidence policy menjadi isu yang disorot belakangan ini, dimana evidence harus menjadi dasar pengambilan kebijakan. Namun, hal ini tidak selalu mudah karena adanya faktor-faktor lain seperti konteks politik, nilai-nilai yang berbeda, dan ketersediaan sumber daya yang mempengaruhi penerimaan dan pemanfaatan evidence oleh para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan strategi knowledge translation untuk mendekatkan para peneliti dengan para pengambil kebijakan agar bukti-bukti penelitian dapat bermanfaat dalam proses kebijakan.

7feb4Narasumber kedua, Tri Muhartini, MPA., selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa pada dasarnya, policy brief sering didefinisikan sebagai dokumen ringkas atau ringkasan kebijakan, juga dikenal sebagai produk kebijakan di Kementerian Kesehatan. Policy brief awalnya adalah ringkasan kebijakan yang sering menjelaskan evidence atau hasil penelitian dalam bentuk grafik dan teks. Policy brief memiliki tujuan untuk memberikan informasi kepada pengambil keputusan tentang masalah yang perlu diperhatikan dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan.

Dalam penyusunan policy brief, penting untuk memperhatikan standar dokumen, baik yang umum maupun kompleks, dan memperhatikan faktor penyebab masalah serta opsi kebijakan yang diajukan. Policy brief dapat disusun oleh lembaga penelitian, kelompok advokasi, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, dan ditujukan terutama kepada pembuat kebijakan, birokrasi pelaksanaan, dan akademisi. Dalam penyusunan policy brief, strategi advokasi perlu diterapkan, dengan memperhatikan faktor penyebab masalah, ukuran masalah, dan rekomendasi kebijakan yang spesifik. Standar dokumen policy brief yang kompleks dapat membantu dalam proses dialog kebijakan dan strategi advokasi yang lebih efektif.

Di akhir sesi, terdapat beberapa pertanyaan dari peserta. Pertanyaan pertama Dewi Aryani dari Poltekkes Tasikmalaya, “Mohon diberi penjelasan yang spesifik atau best practice mengenai dialog kebijakan (khususnya perbedaan dengan FGD)?”. Shita Listyadewi menjawab, “FGD merupakan teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggali informasi dari para informan yang diundang ke dalam sesi diskusi. Namun, dalam konteks dialog kebijakan, kegiatan ini lebih spesifik dan difokuskan pada isu kebijakan. Dialog kebijakan membahas secara mendalam isu kebijakan tertentu dengan tujuan yang jelas terkait pembahasan kebijakan tersebut.

Perbedaan mendasar terletak pada fokus dan tujuan yang lebih jelas dalam dialog kebijakan dibandingkan dengan FGD yang lebih berorientasi pada pengumpulan informasi. Meskipun ada banyak perbedaan dalam pelaksanaannya, webinar ini menjadi peluang bagi peserta untuk mendalami topik tersebut lebih lanjut. Dengan demikian, perbedaan utama terletak pada tujuan, fokus, dan output yang dihasilkan dari kedua kegiatan tersebut”. Selain itu, Tri Muhartini juga menambahkan, “Jika kita melibatkan diri dalam dialog kebijakan, perlu diingat bahwa ini adalah suatu proses yang sangat berbeda dengan politik konvensional. Berdasarkan pengalaman kami, praktek yang umum dilakukan pada tahap akhir dialog kebijakan adalah mencapai suatu kesepakatan dengan pengambil keputusan terkait rekomendasi dan opsi kebijakan yang telah kita ajukan. Dalam konteks ini, kita berupaya memastikan bahwa pemangku kepentingan dan pengambil keputusan yang diundang dapat mencapai kesepakatan untuk mengadopsi salah satu opsi kebijakan yang telah diusulkan”.

Pertanyaan kedua Asrie Abu dari Poltekkes Mamuju, “Apakah judul policy brief dapat dimodifikasi atau dibuat sedikit berbeda dengan judul primary research-nya?”. Shita Lisyadewi menjawab “Policy brief yang merupakan ringkasan penelitian, dapat berbeda dengan judul penelitian utama. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam sifatnya. Ringkasan penelitian tentu harus memiliki judul yang sama persis dengan penelitian utama yang dilakukan. Namun, dalam konteks policy brief, judulnya diperbolehkan untuk berbeda, bahkan sebaiknya berbeda.

Hal ini dikarenakan sulit membayangkan apakah judul policy brief yang sama persis dengan penelitian utama dapat memberikan motivasi kepada pengambil kebijakan untuk bertindak. Nature dari policy brief sendiri menuntutnya untuk dapat memotivasi pengambil kebijakan dalam melakukan suatu tindakan. Sehingga, judul policy brief cenderung membahas tema, isi, atau permasalahan di dalam suatu isu yang berbeda.

Singkatnya, judul policy brief sebaiknya berbeda dengan judul penelitian utama, mencerminkan sifatnya yang lebih bersifat motivasional dalam memicu tindakan”. Tri Muhartini juga menambahkan, “Dalam melaksanakan kebijakan tersebut, penting untuk menciptakan judul policy brief yang sesuai. Berdasarkan pengalaman pribadi, seringkali judul policy brief yang dibuat berbeda dengan judul penelitian yang dilakukan. Dalam konteks ini, policy brief-nya pun bisa lebih dari satu, tergantung pada temuan dan konteks penelitian.

Sebagai contoh, dalam penelitian inklusivitas yang pernah saya lakukan, kita memecah hasil penelitian menjadi beberapa policy brief berdasarkan konteks daerahnya, terutama karena advokasi ditujukan kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, jumlah policy brief dapat disesuaikan dengan konteks penelitian dan target advokasi yang kita miliki”.

Reporter: Agus Salim, MPH.
(Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

 

Reportase Webinar Penelitian Kebijakan untuk Para Dosen Poltekkes

  25 Januari 2024

Seri I Riset Kebijakan Kesehatan Sebagai Peluang Policy Windows

Acara ini diawali dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD dan dilanjutkan pemaparan materi utama yang disampaikan oleh Dr. Gabriel Lele, M.Si. Topik yang diangkat pada seri pertama ini mengangkat mengenai riset kebijakan yang diperuntukkan bagi para dosen yang berbasis di Politeknik Kesehatan (Poltekkes), dan apa peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan dari adanya riset kebijakan.

Pengantar oleh Prof. Laksono Trisnantoro

25jan1Terdapat 4 poin utama yang disampaikan oleh Prof. Laksono, pertama mengenai tantangan untuk Poltekkes, kemudian dilanjutkan dengan paparan hasil survey exposure, diikuti penjelasan kegiatan yang dilaksanakan dalam seri webinar ini dan terakhir adalah pembelajaran yang diperuntukkan bagi perorangan dan kelembagaan. Pada situasi terkini dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berjalan beriringan dengan Transformasi Sektor Kesehatan, banyak kebijakan yang diinisiasi oleh pemerintah. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan terhadap stunting, kebijakan untuk penyakit menular dan tidak menular, alat kesehatan, jaminan kesehatan dan masih banyak lagi.

Banyaknya kebijakan yang disusun oleh pemerintah tentu saja tidak lepas dari siklus proses kebijakan seperti penetapan agenda, perumusan kebijakan, penetapan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan monitoring serta evaluasi kebijakan (Monev). Peran monev ini cukup krusial karena proses ini dapat melihat ke seluruh proses tadi tentang bagaimana penyelenggaraannya dan konsep-konsep apa yang digunakan untuk menelurkan kebijakan yang akan diimplementasikan. Evaluasi ini tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah atau instansi pengawas di luar pemerintahan, tetapi juga dilaksanakan oleh pihak masyarakat seperti universitas, pusat studi, lembaga swadaya masyarakat dan media massa.

Posisi Poltekkes dalam peran monev ini perlu untuk diperkuat dan diperbanyak untuk turut serta. Jangan sampai posisi Poltekkes yang strategis untuk menjalankan riset tidak digali dan berakhir menjadi “penonton” saja. Peningkatan kapasitas untuk dosen Poltekkes supaya dapat turut serta dalam proses monev kebijakan menjadi cukup penting.

Hasil survey yang melibatkan 260 dosen Poltekkes menunjukkan hasil bahwa riset mengenai kebijakan adalah riset yang paling sedikit dilakukan. Khususnya pada studi berbasis evaluasi (research evaluation) dan systematic review. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas bagi dosen Poltekkes untuk masuk ke dalam proses riset kebijakan kesehatan. PKMK FK-KMK UGM memfasilitasi dosen Poltekkes dengan series webinar yang bebas dan gratis untuk diakses, dan bisa menjadi awalan untuk membuka pengetahuan mengenai apa-apa saja peluang dan kemampuan apa saja yang harus dimiliki supaya dapat melaksanakan riset kebijakan. Selain materi yang diberikan, peserta di dalam webinar seri riset kebijakan juga diberikan peluang untuk dilatih skill-skill yang dibutuhkan.

pemaparan materi oleh Dr. gabriel Lele

25jan2Pokok-pokok pembelajaran yang disampaikan oleh Gabriel sebagai pemateri yaitu mengenai Dasar-Dasar dari Riset Kebijakan. Riset kebijakan adalah bagian dari studi kebijakan publik, dan kebijakan publik itu sendiri bermakna pilihan-pilihan yang diambil untuk dilaksanakan atau untuk tidak dilaksanakan oleh pemerintah (Thomas Dye). Gabriel juga mengutip pernyataan dari Easton bahwa kebijakan publik juga dapat dimaknai sebagai sebuah instrumen bersifat otoritatif untuk mengalokasi nilai.

Riset kebijakan didefinisikan sebagai sebuah proses investigasi atau analisis mengenai suatu masalah sosial yang penting atau fundamental untuk memberikan rekomendasi praktis bagi pembuat kebijakan supaya menyelesaikan masalah yang diinvestigasi. Sifat dari riset kebijakan bermacam-macam, dapat bersifat deskriptif, eksploratif, eksplanatif dan juga retrospektif. Contohnya pada saat ada perumusan kebijakan baru bisa dilaksanakan evaluasi kebijakan yang sedang berjalan seperti apa, dengan mengukur perubahan sosial, proyeksi (forecasting) fenomena tertentu, atau permodelan. Perlu juga diketahui dalam proses riset kebijakan umumnya dibarengi dengan pendekatan multi dan lintas disiplin.

Terdapat perbedaan antara riset kebijakan dan analisis kebijakan, pada riset kebijakan orientasinya adalah akademis yang digunakan untuk menghasilkan pengetahuan dengan sedikit implikasi praktis. Selain itu riset kebijakan atau studi kebijakan juga bersifat retrospektif, sebab yang didalami adalah kebijakan yang sudah berjalan atau yang sedang berjalan saat ini. Sementara analisis kebijakan orientasinya praktis dan juga bersifat preskriptif (menyelesaikan persoalan).

Meskipun demikian, orientasi antara keduanya dicampur dengan analisis kebijakan yang dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan dengan menggunakan beragam metodologi. Orientasi riset kebijakan seperti yang disebutkan di awal adalah praktis, karena berurusan langsung maupun tidak langsung dengan pengambil kebijakan. Metode yang digunakan dalam riset kebijakan diantaranya adalah: kualitatif, kuantitatif, eksperimental, semi-eksperimental. Kasus yang diteliti dapat merupakan fenomena tunggal maupun jamak. Nilai-nilai yang difokuskan dalam rist kebijakan mencakup efisiensi, efektivitas, pemerataan dan keadilan. Lokus riset kebijakan meliputi agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan sesi diskusi (tanya-jawab) antara narasumber dan peserta webinar, rekaman kegiatan dapat disimak ulang melalui link berikut

VIDEO

Reporter: Eurica Steffany Wijaya (Divisi Public Health, PKMK UGM)