Reportase Hari 1
Plenary 1 bertema Quality of health system - The missing piece between better access and Improved Health”. Sesi ini disampaikan oleh Edward Kelley dan dipandu oleh Schule Alexander dari Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC), Direktur Department of Service Delivery WHO, Kruk Margaret dari Harvard T.H Chan School of Public Health, dan Yogan Pillay, Deputy Director General of the National Department of Health, South Africa. Pada sesi ini, ketiga narasumber memaparkan kualitas dari sistem kesehatan dari berbagai perspektif sebagai salah satu indikator Millennium Development Goals (MDGs).
MDGs telah menggerakkan sumber daya dalam skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masih terdapat tantangan besar yang mengarah pada penilaian ulang terhadap kerangka kerja MDGs. Salah satu kritiknya terletak pada fokus ke aspek penyakit yang terlalu besar, sehingga mengorbankan sistem kesehatan dan kualitas pelayanan. Oleh karena itu, kualitas pelayanan digambarkan sebagai faktor yang perlu mendapat perhatian untuk menerjemahkan cakupan intervensi dari sistem kesehatan. Narasumber menjelaskan beberapa tantangan utama serta temuan-temuan yang muncul kaitannya dengan pendekatan ukuran dan peningkatan kualitas serta pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan etika mengenai hak atas perawatan kesehatan yang berkualitas dan distribusi yang adil.
The Lancet Global Health telah menginisiasi terbentuknya Komisi terkait sistem kesehatan yang berkualitas. Komisi ini telah mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk mengukur dan meningkatkan kualitas dalam mengejar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Senada dengan hal tersebut, Kruk Margaret memaparkan bahwa The Lancet Global health telah menerbitkan laporan, naskah akademik, dan laporan komisi di berbagai negara terkait kualitas dari sistem kesehatan, usulan indikator kualitas, dan upaya baru terkait perubahan sistem. Kualitas kesehatan menurut Margaret tidak selalu berkaitan dengan cakupan (coverage) karena cakupan kesehatan yang tinggi belum tentu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Contoh konkretnya adalah cakupan kesehatan ibu dan anak yang tinggi di beberapa negara tidak diikuti dengan penurunan angka kematian ibu dan anak. Indonesia adalah salah satu negara dengan angka kematian ibu dan anak yang masih cukup tinggi. Salah satu isu yang diangkat mengenai kompetensi tenaga kesehatan. Berdasarkan data dari 18 negara, masyarakat hanya mendapatkan setengah dari jumlah pemeriksaan kesehatan yang seharusnya dalam kunjungan ke fasilitas kesehatan. Beberapa publikasi juga menunjukkan bahwa kompetensi tenaga kesehatan tidak dapat menyediakan pemeriksaan kesehatan yang baik dan seharusnya. Hal tersebut diharapkan akan diminimalkan seiring dengan perbaikan sistem kesehatan dari aspek kualitas.
Menurut Margaret dan Yogan, sebuah sistem kesehatan yang berkualitas harus mempertimbangkan 3 hal penting yakni konsisten dalam memberikan pelayanan, bernilai dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, serta respons terhadap perubahan yang terjadi. Fondasinya adalah masyarakat itu sendiri, pemerintah, platform, tenaga kesehatan, dan alat penunjang. Didukung oleh sebuah proses belajar dan perubahan maka diharapkan tercapai indikator kesehatan yang lebih baik, sistem yang terpercaya dan kontinuitas, serta keuntungan secara ekonomis. Berdasarkan data yang ada di beberapa negara Low Middle Income menunjukkan sebuah sistem kesehatan yang berkualitas akan menyelamatkan 7,8 juta kehidupan, dimana 3,2 juta berkaitan dengan perbaikan akses kesehatan dan 4,6 juta lainnya terkait dengan perbaikan kualitas pelayanan kesehatan.
Hal serupa diungkapkan oleh Edward Kelley, hanya 34% diagnosis akurat yang ditemukan di negara Low Middle Income (LMI). Kemudian yang menjadi perhatian berikutnya, ditemukan 40% dari fasilitas kesehatan memiliki akses air bersih yang rendah dan 20% memiliki sanitasi yang buruk. Diperburuk bahwa wanita di negara-negara tersebut menjadikan wanita sebagai korban, rendahnya respek terhadap pelayanan, dan ekslusi (pengecualian) dari pengambil keputusan pada pelayanan prenatal dan post natal. Jika dilihat dari ilustrasi Universal Health Coverage, maka dengan jelas terlihat bahwa indikator cakupan memegang peranan penting, akan tetapi timbul pertanyaan besar yakni apakah pemerintah dapat menggalakkan pelayanan gratis kepada ibu hamil hanya untuk meningkatkan cakupan ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan, sementara di lain sisi, pelayanan yang diberikan dapat tergolong berbahaya?.
Salah satu alternatif dalam mengatasi masalah tersebut adalah strategi kebijakan pemerintah yang juga dituntut berkualitas. Indikatornya adalah adanya prioritas masalah kesehatan, indikator kualitas yang bersifat nasional dan dapat diterapkan di daerah, kerja sama lintas sektor, analisis situasi, struktur pemerintahan yang jelas, perubahan dari segi metode dan intervensi, serta sistem informasi dan manajemen data yang terpadu. Hal terpenting adalah pelayanan kesehatan yang terintegrasi dan alur rujukan yang jelas. Perbaikan pelayanan kesehatan di Primary Health Care (PHC) juga sangat penting karena 80-90% dari kebutuhan kesehatan dapat dideteksi sejak awal di fasilitas kesehatan tersebut. Langkah WHO ke depan terkait isu ini yaitu melakukan pendekatan di level pollitik dengan menghasilkan dokumen peningkatan kualitas kesehatan sebagai indikator utama dalam mencapai UHC, di level strategis yakni memberikan dukungan teknis berupa pilihan kebijakan dan jenis intervensi yang sesuai, serta di level operasional dengan mengembangkan development plan yang disertai dengan monitoring dan evaluasi seperti pada program UHC 2030.
Paralel Session 1
Sesi paralel yang pertama mengenai “e-training and medical education, a leverage to restructire the health system”. Sesi ini berupa sesi sharing informasi menngenai E-medical education yang telah diterapkan di berbagai negara. Banyak negara di Asia Tengah dan Eropa Timur menghadapi kekurangan dokter yang signifikan di daerah pedesaan. Tren ini terjadi di seluruh dunia. Ini adalah hasil dari kombinasi beberapa faktor seperti kurangnya insentif dan kompensasi untuk bekerja di daerah terpencil, isolasi, kehidupan yang sulit dan kondisi kerja, akses yang sulit terhadap dukungan para ahli dan pelatihan. Pendidikan kedokteran memiliki tanggung jawab tertentu dan berkontribusi secara tidak langsung terhadap situasi ini. Dengan memusatkan pada mayoritas, proses pelatihan di lembaga akademik yang terletak di pusat kota besar, mengurungkan niat siswa dari daerah pedesaan. Hal ini menjadi alasan perlunya E-Medical Education.
Pembicara pertama adalah Petr V. Glybochko dari Universiy of Setchenov Moscow, Russin Federation. Petr memaparkan mengenai e-training yang ikut melibatkan 3 juta e-library. e– training juga disertai dukungan penuh dari pusat studi yang ada sehingga aplikasi dari training dapat dilaksanakan. Program ini terbukti dapat menjangkau wilayah rural sehingga meminimalisasir masalah terkait ekuitas tenaga kesehatan. Penerapan program ini juga memerlukan kontrol kualitas yang baik untuk menjamin kualitas keluaran yang baik pula.
Teknologi komunikasi baru saja memainkan peran penting dalam proses tersebut. Kursus pelatihan elektronik formal disediakan bagi lembaga daerah yang terlibat, konsultasi dapat diselenggarakan melalui sosial media. Reformasi pendidikan kedokteran gabungan dan pengembangan teknologi memberikan peluang yang menjanjikan untuk penguatan sistem kesehatan yang inovatif.
Pembicara lainnya adalah Aigul Azimova dari Public Foundation Initatives in Medical Education/Medical Education Reforms Project, Kyrgiztan. Aigul mengemukakan bahwa Kyrgiztan juga mengalami masalah kekurangan tenaga dokter di daerah rural dan remote area. 50% diantara daerah rural tidak memiliki dokter. 70% dokter yang bertugas di daerah rural akan memasuki masa pensiun. Masalah yang dihadapi adalah sekitar 2500 lulusan dokter dari beberapa perguruan tinggi, hanya 6%-nya yang bersedia ditempatkan di daerah. Faktanya banyak diantara lulusan kedokteran tidak memenuhi kualifikasi dan tidak kompeten. Hal yang perlu dilakukan antara lain, mendorong reformasi pendidikan kedokteran yang berusaha mencakup pra pendidikan dokter yang berfokus pada pelatihan Good Clinical Practice, strategi baru dalam upaya menerapkan continuing medical education (CME), desentralisasi pelatihan pendidikan kedokteran ke daerah, meng-upgrade kompetensi perawat untuk meningkatkan peran dari perawat dalam manajemen penyakit di fasilitas kesehatan, meningkatkan organisasi profesi kesehatan, dan melibatkan peran serta pemerintah dalam memecahkan masalah yang ada. Isu yang lain yang ditemukan adalah bahwa supervisor tidak termotivasi untuk melatih calon dokter serta tidak ada peluang untuk dapat memberikan gaji kepada dokter yang menjalani training di daerah.
Hal yang bisa menjadi bahan diskusi bersama berdasarkan paparan ini adalah bahwa sistem postgraduate training harus berdasarkan pada kebutuhan di fasilitas kesehatan, desentralisasi tidak hanya diperlukan untuk mengirim dokter ke daerah tetapi juga secara progresif mencegah masa kerja dokter yang sangat singkat di daerah. Pemerintah daerah di Kyrgiztan juga berupaya memfasilitasi rumah tinggal bagi dokter selama masa training sehingga selangkah demi selangkah perubahan dapat dijalankan. Clinical supervisor juga dilatih dengan kurikulum yang baru sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. e-learning membutuhkan kerjasama yang baik antara universitas dan pemerintah daerah, untuk menunjang kualitas training yang diberikan.
Plenary 2
Sesi ini berkaitan dengan “Access to health: put the patient at the heart of our concerns”. Moderator dari sesi ini adalah Katz Zachary dari Foundation for Innovative New Diagnostic (FIND). Pemateri pertama Nassim Khoja Olimzoda dari MInister of Health, Tadjikiztan. Nassim memaparkan periode reformasi bidang kesehatan yang tidak mudah di Tadjikiztan. Dimulai dengan masa kolaps pada 1992-1995, kemudian restorasi yang dilanjutkan dengan pengembangan kebijakan terkait masalah kesehatan masyarakat dan prioritasnya, serta dimulainya modernisasi fasilitas kesehatan hingga sekarang. Proses modernisasi fasilitas kesehatan mencakup 1010 fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan obsetrik, pelayanan pediatrik, TB dan lainnya. Hal yang lainnya adalah pemerintah Tadjikiztan menerapkan 650 standar, guideline, dan protokol diagnostik, serta norma kesehatan masyarakat, guna memproteksi masyarakat terutama pada kelompok khusus. Seluruh reformasi yang dilakukan bertujuan untuk menjamin akses kesehatan masyarakat.
Hal yang berbeda disampaikan oleh Vuyiseka Dubula. Dari Africa Center for HIV /AIDS Management, South Africa. Dubula menjelaskan bahwa jika ingin melihat pasien sebagai pusat dari pelayanan kesehatan, penting untuk tahu terlebih dahulu social determinant masyarakat dalam mengakses kesehatan. Sistem kesehatan bisa saja diterjemahkan sebagai program yang ditujukan untuk masyarakat miskin, akan tetapi banyak hal yang mempengaruhi preferensi masyarakat dalam memutuskan untuk mengakses dan jenis pelayanan apa yang diinginkan. Salah satu isu yang terjadi di Afrika Selatan adalah terkait gender dan orientasi seksual, dimana hal tersebut menjadi faktor yang juga mempengaruhi akses ke pelayanan kesehatan. Masalah ekonomi menjadi salah satu faktor, dalam hal keterjangkauan menuju fasilitas kesehatan dan dalam mengakses obat-obatan yang harganya terjangkau. Di sebagian besar wilayah Afrika, preferensi masyarakat tidak berada pada aspek kualitas layanan, akan tetapi berkisar pada mendapatkan atau tidak mendapatkan layanan. Hal lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa tidak hanya berfokus pada penyediaan layanan, tetapi jauh lebih kepada solidaritas. Tanggung jawab moral menjadi landasan untuk menyediakan fasilitas yang berkualitas dan sama basic need-nya untuk seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, komitmen bahwa pasien sebagai pusat pelayanan kesehatan dapat diawali dengan menciptakan sistem informasi di fasilitas kesehatan yang efektif sehingga mengurangi waktu tunggu pasien di fasilitas kesehatan. Sistem informasi tersebut juga dapat menjadi landasan tenaga kesehatan dalam menentukan pengobatan apa yang diperlukan, tidak lupa melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.