Hari Pertama
21 September 2018
Host pagi ini adalah Lakshmi Pratury. Lakshmi menyatakan pentingnya setiap hadirin untuk menemukan satu momen tertentu dalam event ini yang menginspirasi kita dan yang akan menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu di bidang kita masing-masing. Lakshmi merujuk pada foto bumi yang dibuat oleh Voyager dari luar angkasa, yang memperlihatkan betapa kecilnya bumi ini, dan betapa tidak berartinya semua hal yang kita lakukan sehari-hari jika kita tidak melakukan sesuatu yang membuat kehidupan umat manusia di bumi ini lebih baik.
Kegiatan dibuka oleh Ben Chang, CEO idsMed grup, yang menggarisbawahi paradox yang terjadi saat ini, dimana investasi sebesar 8 trilyun dollar telah dikeluarkan untuk kesehatan di seluruh dunia namun separuh populasi dunia tidak memiliki akses ke pelayanan dasar, dan 4.8 milyar orang tidak memiliki akses ke layanan bedah, dan sebagian besar masyakarat jatuh miskin karena biaya kesehatan yang tinggi. Ben menyatakan hal ini terjadi karena saat ini sistem kesehatan berkembang begitu cepat di dalam silos mereka sendiri, mengakibatkan layanan yang terfragmentasi, mahal, dan tidak efektif. Ben memperhatikan bahwa kita seringkali mengabaikan faktor-faktor social yang mempengaruhi kesehatan yang merupakan 60% variable penentu status kesehatan kita, sementara layanan kesehatan hanyalah 10% (dan sisanya adalah genetic). Jadi kita seringkali membuat investasi yang salah, membuang sumberdaya untuk memperbaiki faktor yang 10% tetapi mengabaikan faktor yg 60%. Ben mengingatkan, bahwa tanpa perubahan di sisi kita, kita akan gagal menjadikan era ini sebagai era terbaik dalam sejarah manusia dan sebaliknya menjadikannya era terburuk, tidak soal seberapa maju teknologi yang telah kita punyai.
Sejalan dengan itu, pembicara utama pagi ini, George Papandreaou (mantan Perdana Menteri Yunani), juga menyatakan bahwa tantangan utama dalam memperbaiki situasi dunia saat ini, termasuk dalam sektor kesehatan, bukanlah tantangan teknis tetapi tantangan etik dan politik (bukan dalam artian negative dari politik, tetapi kembali ke akar kata “politik” dalam konteks Yunani kuno), yaitu sebagai masyarakat, apa yang kita lakukan dapat menentukan arah dan masa depan yang kita inginkan. Tetapi ada beberapa hal yang harus kita beresi terlebih dahulu yaitu untuk memastikan adanya tatakelola yang menjamin akuntabilitias, termasuk tatakelola digital, yang akan mengarah pada efisiensi. Selain itu, harus memastikan inklusi. Sejalan dengan Ben, George juga mengingatkan kita pada kutipan dari dr Martin Luther King, yaitu, dari semua ketidakadilan di dunia, ketidakadilan dalam bidang kesehatan adalah ketidakadilan yang paling tidak manusiawi.
Panel pagi ini difasilitasi oleh Lakshmi Pratury (pendiri INK – Innovation and Knowledge), yang mengarahkan topik ke arah bagaimana membentuk layanan kesehatan di masa depan (“The Big Picture: Shaping Public Healthcare for the Future”).
Sejalan dengan observasi yang dibuat oleh Ben, Dr Ashish Jha, dari Harvard Global Health Institute, juga melihat adanya paradox, yang disebabkan oleh adanya pengetahuan yang lebih sistematis terkumpul, data dan bukti serta adanya komitmen dan prioritas dari banyak Negara dan lembaga internasional. Namun, karena dunia telah berubah dengan sangat cepat, khususnya teknologi dan inovasi, sehingga tanpa adanya kolaborasi dan kerjasama, tidak mungkin permasalahan yang kita hadapi dapat kita selesaikan. Ashish menyatakan bahwa public-private partnership menjadi norma yang wajib di masa depan. Ashish melanjutkan bahwa yang harus diupayakan adalah transparansi, dan kemampuan mengubah pengetahuan dan wawasan menjadi aksi.
Dr. Somsak Chuncharas, dari National Health Foundation Thailand, melanjutkan diskusi dengan menyoroti pengalaman cakupan kesehatan semesta di Thailand dan apa pelajaran yang bisa diambil. Pertama, adalah ke berhasilan (dan kegagalan) sebuah sistem sangat bergantung pada bagaimana suatu sistem dirancang. Kedua, walau pun kepemimpinan politis penting, tetapi yang lebih penting adalah kepemimpinan dari semua stakeholder. Ketiga, bahwa kita harus selalu siap untuk ‘rethinking’ dan ‘redesign’. Namun kesempatan untuk melakukan hal ini hanya dapat dimungkinkan apabila kita mencari jawaban atas apa higher purpose yang ingin kita penuhi. Sistem kesehatan harus memiliki kemampuan untuk rethinking dan redesign. Kesehatan harus menjadi prioritas bagi semua stakeholders. Dan kesehatan yang dituju adalah wellbeing secara keseluruhan. Hal ini membutuhkan sikap kepemimpinan yang berbeda, bukan hanya evidence-based, tetapi menyadari bahwa tidak ada solusi yg sempurna, sehingga kepemimpinan yang harus ada adalah kepemimpinan yang ‘participative and learning’, termasuk belajar dan mendengarkan dari pihak-pihak yang bertentangan dengan kita. Hanya hal ini yang dapat menjauhkan sistem kesehatan dari fragmentasi.
Prof. Laksono Trisnantoro, dari FK-KMK Universitas Gadjah Mada, menceritakan mengenai berbagai masalah ketidakadilan dalam kesehatan yang saat ini terjadi di Indonesia dan bagaimana sistem pembiayaan yang baru (JKN) diaplikasikan di Indonesia. Laksono menyatakan bahwa pemerintah bukanlah satu-satunya sumber keuangan yang memadai untuk mengatasi masalah, mengingat struktur perpajakan Indonesia yang lemah. Dengan memastikan partisipasi masyarakat (yang non poor) dan sektor private dalam pembiayaan, Indonesia dapat memiliki kesempatan untuk menggunakan inovasi dan kewirausahaan untuk mengatasi masalah kesenjangan, misalnya pemanfaatan telemedicine.
John Petrovich, dari Alfred Mann Foundation, menyoroti mengenai bagaimana kebutuhan layanan kesehatan di China berubah secara drastis karena perubahan demografi akibat “kebijakan satu anak”, dimana piramida penduduk akan berubah akibat besarnya kelompok lansia dibanding dengan penduduk usia produktif. Akibatnya, dalam waktu dekat, China akan mengalami tantangan terbesar mereka dimana biaya kesehatan untuk lansia akan meningkat secara eksponensial, yang John sebut sebagai ‘a public health crisis in-the-making ’. Pemerintah China mempersiapkan investasi sebesar 125 juta dollar (2017) dan 1.4 milyar dollar (2018) untuk mengembangkan teknologi robotic, AI, drone dan kendaraan otomatis, yang semuanya dikembangkan untuk layanan kesehatan, namuni ini dirasa tidak mencukupi. Pemerintah China juga menyadari jumlah milyuner yang mereka miliki, sehingga pembiayaan melalui charity adalah sumberdaya baru yang mereka gali.
Setelah makan siang, Dr Peter Piot, direktur London School of Hygiene & Tropical Medicine, menyampaikan sesi mengenai tantangan kesehatan masyarakat di masa depan. Peter merefleksi pengalaman krisis kesehatan mulai dari epidemi flu Spanyol (yang mengakibatkan kematian hingga 100 juta orang, bahkan di masa penerbangan komersial belum ada) yang bahkan mencapai Singapura dan Hong Kong. Epidemi ini secara positif berimplikasi pada ekspansi riset klinis, dan perubahan paradigma dimana pemerintah kini dianggap sebagai pihak yang harus bertanggungjawab untuk mengantisipasi krisis kesehatan masyarakat. Namun di sisi lain, Peter menyebut bahwa sejak itu, ada berbagai epidemi fatal lainnya, misalnya STD, Ebola, H2N2, SARS, Nipah, dst, dan seluruh komunitas klinisi dan peneliti medis menghadapi tantangan besar untuk mengatasinya. Di forum Ekonomi Dunia dibahas pula bagaimana risiko global epidemi juga mempengaruhi perekonomian dunia. Epidemi juga memiliki implikasi sosial, misalya risiko proporsi anak-anak yatim piatu dsb. Ketika epidemi Ebola kembali mulai di Afrika Barat, saat ini negara-negara yang terinfeksi merupakan negara-negara yang tengah berada di dalam konflik, sehingga sistem kesehatan sedang lumpuh, dan epidemi ini menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Namun, Epidemi juga dapat menghasilkan implikasi positif berupa komitmen dari pemerintah dan para peneliti klinis, dan juga produsen obat dan vaksin. Sebagai contoh, ARV yang semula membutuhkan USD 14,000 saat ini dapat ditekan menjadi USD 300.
Epidemi dipicu oleh berbagai hal, termasuk perubahan ekologi, perubahan iklim, praktek pertanian, polusi dan juga transportasi komersial. Kita tidak mungkin menghindari munculnya epidemi, tetapi yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi wabah, dengan memperkuat sistem kesehatan masyarakat (surveilans, kemampuan deteksi dini, kemampuan respons cepat), reformasi terhadap tata kelola kesehatan global (termasuk WHO) dan partisipasi yang lebih aktif dari NGO dan sektor swasta. Yang tidak kalah penting adalah mengurangi disinsentif bagi pemerintah untuk mendeklarasi adanya wabah di negara tersebut (wabah biasanya diikuti oleh penutupan transportasi komersial, dsb, sehingga hal ini merupakan disinsentif bagi mereka).
Sesi berikutnya berfokus pada ‘Delivering Value’ melalui upaya layanan kesehatan yang lebih baik dan tidak lebih mahal. Dalam sesi ini, para pembicara adalah para innovator yang produk-produknya telah digunakan secara luas. Marc Koska, inventor alat suntik disposable berbicara mengenai evolusi dari alat suntik disposable yang nantinya akan memiliki pengaruh besar terhadap penurunan infeksi. Kevin Caldwell, berbicara mengenai potensi bank sumsum tulang belakang untuk memastikan pasien yang membutuhkan sumsum tulang belakang akan mendapat match. Sunny Singh, berbicara mengenai pendekatan yang terintegrasi untuk menghasilkan solusi. Hal ini berangkat dari observasi Sunny bahwa layanan kesehatan saat ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai ‘manajemen penyakit’ karena layanan saat ini berpusat pada penanganan penyakit, bukan pada menghasilkan ‘wellbeing’.
Di sore hari, terdapat 4 topik yang berbeda yang dapat dihadiri peserta terkait kewirausahaan dan invoasi, yaitu (1) Kemajuan teknologi, (2) Inovasi dalam Pelayanan, (3) Inovasi untuk memastikan akses, dan (4) mass-customization untuk mengatasi masalah berskala besar.
Kami mengikuti topik mengenai inovasi dalam pelayanan. Dalam sesi ini inovasi yang dibahas adalah layanan dialisis di India. Walau pun prevalensi pasien yang membutuhkan dialisis terus membesar, tetapi akses sangat terbatas karena kebanyakan hanya tersedia di RS. Hal ini diubah melalui penyediaan layanan dialisis oleh network (hal ini dimungkinan karena ada skema public-private partnership yang memungkinkan reimbursement biaya dialisis oleh pembiayaan asuransi pemerintah) dan dalam 8 tahun telah tumbuh menjadi nomor 2 di India, dan biaya dialisis mereka sangat rendah (sekitar USD 25 per episode). Biaya dapat ditekan melalui penggunaan obat generik dan melalui protokol ketat yang menyaring pasien dengan infeksi, sehingga memungkinkan reuse.
Selain itu dibahas pula mengenai potensi pemanfaatan teknologi. Di AS dan Cina, spending terbesar (sekitar USD 3,5 trilyun) digunakan untuk digital health, AI dan block chain. Pasar yang paling potensial untuk tumbuh adalah aplikasi yang ada di telepon. AI yang dibuat merupakan open platform yang mengkombinasikan berbagai data yang dikumpulkan oleh aplikasi lain, misalnya Fitbit, iHealth, personal medical records, dll, sehingga menghasilkan data yang komprehensif (termasuk seberapa aktif pasien tersebut atau makanan yang dikonsumsi pasien sehari-hari, obat atau vitamin yang dikonsumsi) yang dapat diakses oleh dokter saat melakukan diagnosis jarak jauh. Aplikasi ini juga dapat mengirimkan laporan bulanan kepada penggunanya berbagai saran kesehatan yang customized sesuai dengan status kesehatannya dan juga kebiasaannya sehari-hari. Aplikasi ini tetap melindungi pengguna melalui enskripsi data.
Inovasi teknologi lain yang dibahas adalah alat deteksi dini stroke. Alat ini disebut SONAS (stroke or not a stroke). Alat ini dapat digunakan di rumah (berbentuk seperti headset).
Refleksi untuk Indonesia
Teknologi mengubah cara orang melakukan pekerjaan mereka, sehingga teknologi merupakan kekuatan yang menghasilkan disrupsi. Penggunaan telemedicine, teknologi digital dan AI dalam sektor kesehatan memiliki potensi mengatasi masalah. Walau pun dalam jangka pendek teknologi merupakan jawaban yang cepat atas berbagai masalah dalam sektor kesehatan, namun perubahan perilaku pengguna membutuhkan waktu. Oleh karena itu, investasi terhadap teknologi harus dibuat dengan sangat hati-hati. Selain itu, ada potensi besar bagi Indonesia untuk menghasilkan inovasi produk tersendiri yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, dan yang diproduksi lokal, sehingga berpotensi menekan biaya. Oleh karena jiwa kewirausahaan harus ditumbuhkan, namun juga diikuti oleh sikap kepemimpinan, yaitu kemauan untuk mengambil inisiatif yang akan menjadi solusi bagi kebutuhan spesifik.
Selain itu, beberapa pembicara yang berbeda mengulang pesan bahwa upaya untuk mengumpulkan uang lebih banyak untuk dapat menjawab tantangan sisi demand tidak akan berguna dalam jangka panjang, karena pertumbuhan demand tidak akan dapat dibendung, sementara sumber keuangan akan selalu terbatas. Oleh karena itu yang lebih penting untuk dilakukan adalah mendisain ulang bagaimana suatu sistem dilaksanakan. Lebih penting untuk berbicara dan mendengarkan kebutuhan dari semua stakeholders dalam melakukan disain ulang sistem kesehatan tersebut.
Reporter: Shita Dewi (PKMK FK-KMK UGM)
Hari Kedua
22 September 2018
Hari kedua dibuka oleh dua paparan. Pertama, Professor Han Demin, yang berbicara mengenai “Healthy China”. Kontribusi sektor kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah 5.9 %, namun distribusi fasilitas kesehatan di Cina tidak merata, kebanyakan terkonsentrasi dan sangat maju di kota besar, namun tidak demikian halnya di daerah pedesaan. Biaya kesehatan sangat tinggi, sehingga sistem kesehatan harus berubah dari ‘mengobati penyakit’ menjadi layanan yang lebih promotif. Salah satu cara yang dipilih adalah menggunakan AI dalam industry kesehatan. Hal kedua yang menjadi prioritas adalah pemanfaatan ‘big data’ mengingat penduduk Cina yang saat ini sudah mencapai 4.1 milyar. Pembangunan big data di Cina dibagi ke dalam tiga tahap, membangun systematif platform, aplikasi big data, dan inovasi dalam AI.
Kedua, Jerry Liao, pendiri WeDoctor. WeDoctor didirikan karena Jerry merefleksi jumlah pasien rawat jalan di Cina saat ini (7.9 milyar per tahun), dan pola akses kesehatan yang mereka lakukan (46% di RS tersier, 40% di RS sekunder dan hanya 14% di primary care). Jerry menilai ada asimetri informasi sangat tinggi antara penyedia layanan dengan pasien dan juga inefisiensi yang tinggi, sehingga menyadari pentingnya konektivitas untuk memperbaiki pengalaman akses kesehatan dari masyarakat. WeDoctor adalah ‘dokter internet’ terbesar di China, yang bekerja sama dengan 2700 RS, lebih dari 240.000 dokter, lebih dari 15.000 apotek dan lebih dari 160 juta anggota. WeDoctor membantu masyarakat yang berada di pedesaan dan jauh dari fasilitas kesehatan untuk tetap mendapatkan diagnose dan pengobatan yang dibutuhkan walau pun berada di rumah, dan membantu mengurangi waktu tunggu untuk rawat jalan di fasilitas kesehatan. Jerry mengharap WeDoctor di masa depan dapat membantu menurunkan hingga separuh dari kebutuhan kesehatan untuk dapat dipenuhi di rumah, dan 35% dari kasus dapat dikontrol dan diselesaikan di primary care. WeDoctor juga dilengkapi dengan WeDoctor primary care di 100 kota, dan juga mobile clinic yang khusus ditempatkan di wilayah pedesaan, untuk menyediakan layanan kesehatan yang selama ini sulit didapatkan. Tahun depan, WeDoctor mentargetkan mobile clinic dapat melayani 100 juta orang di pedesaan.
Sesi kedua berisi topik-topik terkait inovasi teknologi yang telah digunakan saat ini. Teknologi pertama yang dibahas adalah teknologi genomes yang memastikan bahwa obat yang digunakan cocok dengan DNA kita. Pembicaranya adalah Dr Robert Green dari FK Harvard. Robert memprediksi bahwa di masa depan precision medicine akan menjadi arah baru dalam pengobatan, dan gen sequencing adalah cara untuk melakukannya. Genetika kita mengandung informasi yang sangat detil mengenai berbagai risiko kesehatan yang mungkin akan kita alami (khususnya penyakit khusus dan rare), sehingga kita dapat melakukan tindakan atau perubahan yang diperlukan untuk mengurangi risiko tersebut. Robert mendirikan Genomes2People yang memungkinkan setiap orang melakukan gen sequencing dan menghasilkan laporan ringkas (1 halaman) yang mudah dimengerti oleh orang awam, sehingga mereka mendapatkan informasi yang mereka butuhkan mengenai risiko-risiko khusus (termasuk risiko yang akan diturunkan kepada anak-anak kita), respon yang lebih baik (atau lebih lambat) terhadap pengobatan tertentu, dsb. Robert memberikan contoh, Angelina Jolie yang melakukan masektomi karena secara genetika memiliki kemungkinan kanker payudara yang langka. Namun ada pula pendekatan yang tidak terlalu ekstrim, misalnya seseorang yang secara genetika memiiki risiko kanker usus mungkin akan melakukan colonoscopy secara teratur.
Pembicara berikutnya, Dr Catherine Morh, berbicara mengenai bedah robotic. Walau pun bedah robotic merupakan hal yang sering dianggap ‘mahal’, namun Catherine mengingatkan bahwa investasi yang tinggi biasanya bukan pada produknya itu sendiri melainkan pada berbagai pelatihan dan perubahan dalam disain, sistem dan organisasi RS untuk mengakomodasi bedah robotic. Selain itu Catherine mengingatkan bahwa dalam layanan termasuk layanan kesehatan, ‘biaya’ bukan pokok utamanya, melainkan ‘value’. Sebagai contoh, kebutuhan risiko yang menyertai tindakan bedah mungkin akan selalu ada, tetapi risiko dapat diperkecil melalui minimum invasive surgery. Namun agar bedah robotic hanya akan bermanfaat di sistem yang value-based, yang memiliki karakter pay for performance, quality of service, rendahnya readmisi. ‘Value’ adalah outcomes dan patient experience yang dibandingkan dengan biaya langsung dan tidak langsung. Catherine menyebutkan, misalnya, dampak jangka panjang (terkadang seumur hidup) yang harus dialami pasien akibat suatu tindakan bedah. Hal ini mungkin luput dari perhatian dokter, namun Catherine mengingatkan akan kualitas hidup pasien yang merupakan “biaya tidak langsung” yang lebih tinggi bagi pasien.
Saat makan siang, Victor Fung menyampaikan arti penting layanan kesehatan dalam ekonomi global. Victor menggarisbawahi ada tiga hal yang mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu perdamaian, globalisasi dan teknologi. Hanya hal-hal ini yang memungkinkan pencapaian SDG no 3 tanpa melupakan keseteraan dan keadilan. Victor mengingatkan bahwa hanya kesehatan individu dan keluarga yang memungkinkan orang untuk menjadi produktif. Dan sebaliknya, dengan menjadi produktif, akan tersedia sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara setara dan adil. Namun Victor juga menyatakan bahwa dunia yang berubah begitu cepat membutuhkan orang-orang yang dapat melakukan learn dan unlearn, learn sesuatu yang baru, dan unlearn hal-hal lama yang mereka percayai. Tanpa kemampuan unlearn, kita tidak dapat learn sesuatu yang baru. Unlearn pertama adalah bagi masyarakat untuk berhenti mengejar kesembuhan (dari penyakit) , tetapi lebih berpikir pada wellbeing secara keseluruhan. Victor mengingatkan, bukan hanya longevity yang penting, tetapi healthy ageing, healthy and happy longevity. Unlearn yang lain, adalah unlearn dari pemerintah bahwa pemerintah adalah satu-satunya sumber solusi bagi semua masalah dalam menyediakan layanan bagi publik. Pemerintah perlu mengakui dan menghargai potensi dari sektor swasta dan masyarakat akan kemampuan mereka menyediakan solusi yang inovatif dan praktis. Unlearn berikutnya adalah unlearn dari dunia usaha dan masyarakat. Victor berbicara mengenai pentingnya sebagai dunia usaha untuk tidak hanya berpikir mengenai profit jangka pendek tetapi juga value dan manfaat jangka panjang, serta berkeinginan untuk bekerjasama dengan banyak pihak, dan bahwa setiap individu harus merenungkan bagaimana mereka dapat give-back kepada masyarakat, menjadikan kehidupan lebih baik. Hanya dengan cara ini, perdamaian, globalisasi dan teknologi dapat tercapai dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Setelah makan siang, sesi diisi oleh berbagai pendekatan holistic terhadap kesehatan dan wellbeing. Dibahas mengenai dua praktek kuno yang berasal dari Asia, yaitu Ayurvedic dan pengobatan tradisional Cina, yang memiliki potensi luarbiasa untuk menjaga kesehatan dan wellbeing dengan risiko yang sangat rendah. Dr Mao Shing Ni dari Yo San University, menceritakan bagaimana ia pulih dari kelumpuhan dan brain damage berkat pengobatan herbal Cina. Dr Mao juga merawat pasiennya dengan pengobatan tradisional, olahraga dan life-coaching. Pembicara berikutnya, Dr Suhas Kshirsagar mengingatkan bahwa hidup yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan tidak menyeimbangkannya dengan hal-hal yang mendatangkan wellbeing akan mengarah pada hidup yang tidak sehat, tidak bahagia dan bahkan toxic. Ketidakbahagiaan merupakan salah satu alasan utama mengapa orang menjalani cara hidup yang tidak sehat (makan berlebihan, dsb). Hal ini dikontraskan oleh pembicara ketiga dengan bagaimana krisis kesehatan terjadi di Amerika, sehingga muncul istilah ‘generasi Rx’. AS mengkonsumsi USD 1,026 per capita untuk obat-obatan. Dalam setiap dollar, 20% akan digunakan untuk biaya kesehatan. Sang pembicara, Robyn O’Brien menyatakan bahwa apa yang kita makan merupakan salah satu penyebabnya. Makanan yang diproduksi secara GMO, dan pestisida akan mempengaruhi kita pada jangka panjang. AS mulai memproduksi tanaman pangan GMO pada tahun 1980an, dan sejak itu angka alergi terhadap makanan meningkat dengan pesat di AS, begitu pula kanker serta autism. Oleh karena itu kita diingatkan untuk kembali ke makanan alami dan organik, untuk menghindarkan kita dari penyakit di masa depan.
Sesi terakhir pada hari ini berbicara mengenai kualitas hidup dan apa hal-hal penting yang dapat dilakukan untuk memastikan hal ini dalam jangka panjang. Berbagai contoh yang diangkat khususnya terkait apa yang dibutuhkan lansia, yaitu konektivitas sosial, interaksi, hidup yang aktif dan bermakna. Sisi manusiawi dari sebuah hubungan sosial menjadi penting untuk diangkat kembali, khususnya dalam dunia yang serba digital di mana interaksi face-to-face semakin berkurang.
Sebagai penutup acara, host kita Lakshmi, membuat refleksi dari acara dua hari ini. Kita semua diingatkan kembali ke kuotasi yang membuka acara kemarin, “It was the best of times, it was the worst of times, it was the age of wisdom, it was the age of foolishness, it was the epoch of belief, it was epoch of incredulity …”. Baik buruknya masa hidup kita dan masa depan kita akan ditentukan oleh keputusan yang kita buat.
Refleksi untuk Indonesia
Teknologi, khususnya teknologi digital telah menghasilkan disrupsi yang mengarah pada layanan kesehatan yang lebih baik. Berbagai inovasi yang dibahas hari ini adalah tidak hanya yang bersifat high-tech dan mahal misalnya bedah robotic terbaru, gen sequencing, dll, tetapi juga berbagai inovasi dalam produk portable dan wearables. Yang dibutuhkan adalah inovasi dan kemampuan untuk melihat value dalam layanan untuk kualitas hidup dan wellbeing dari pasien. Inovasi tidak harus mahal, seringkali inovasi dapat menjadi affordable dan praktis, awalnya hanya memiliki tactical competitive advantage tetapi dapat berkembang menjadi strategic competitive advantage dengan mengubah business model mereka. Pada tahap yang lebih matang, kita harus memiliki frugal mental model, yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi dan melakukan inovasi dengan menggunakan teknologi dan knowledge yang saat ini sudah ada, dan mendorong co-creation (inovasi yang dapat dilakukan bersama-sama, lintas ilmu).
Dari perspektif sistem kesehatan, kalimat yang berulangkali disebut dalam pertemuan ini, mau pun pertemuan ini 2 tahun yang lalu, tetap sama, yaitu bahwa sistem kesehatan kita harus berpindah dari ‘sick-care’ menjadi ‘health-care’. Selain itu, bahwa secara individual kita harus lebih memperhatikan dan mengambil keputusan yang bertanggungjawab untuk causes of health untuk diri kita sendiri. Masyarakat kita perlu diedukasi untuk melihat kesehatan sebagai total wellness, yaitu jiwa dan raga. Hal ini khususnya semakin relevan mengingat populasi di Indonesia akan menua, dan biaya kesehatan lansia adalah 3-5 kali dari biaya kesehatan usia produktif.
Reportase: Shita Dewi (PKMK FK-KMK UGM)
Disclaimer: Kehadiran kami dimungkinkan oleh dukungan idsMed dan IndoHealthCare.