Reportase Diskusi Pokok - Pokok Pemikiran Mengenai IDI dan Kolegium Sebagai Organisasi Profesi yang Terpisah di Dunia Kedokteran Indonesia

dskidi

PKMK - Senin, 11 September 2017 telah dilaksanakan diskusi webinar dengan judul “Diskusi Pokok-Pokok Pemikiran Mengenai IDI dan Kolegium sebagai Organisasi Profesi yang Terpisah di Dunia Kedokteran Indonesia”. Kegiatan yang dilaksanakan selama 2 jam ini menghadirkan pemateri, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D, dan dua pembahas Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME, PKK, dan dr. Bambang Suryono, M.Kes, Sp.An., KIC, KAO.

Diskusi ini dibuka dengan pemaparan materi dari Prof. Laksono yang menjelaskan tentang sektor kesehatan dan mekanisme pasar dimana terjadi kemungkinan monopoli dalam dunia kedokteran Indonesia. Hal ini dapat dilihat melalui peran ganda Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di sektor pelayanan kesehatan dan pendidikan profesi. Peran ganda ini mengakibatkan hilangnya atau pembatasan hak kontitusi masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan kedokteran. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, diperlukan pemisahan Kolegium dari IDI dengan Kolegium berfokus pada pengembangan inovasi pada pendidikan kedokteran, sedangkan IDI fokus mengatur kesejahteraan dokter dalam praktek dan melayani masyarakat. Pemisahan ini dapat mendukung terjadinya mekanisme check and balance pada mutu pendidikan dan jumlah serta pemerataan dokter.

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan penjelasan materi oleh dr. Judilherry sebagai salah satu pemohon judicial review IDI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Judilherry mengutarakan teori dimana korupsi terjadi karena adanya monopoli, diskresi (kekuasaan), namun minim akuntabilitas. Saat ini, IDI memonopoli kewenangan tapi minim akuntabilitas karena belum memiliki badan pengawas sehingga IDI memiliki potensi terjadinya kesalahan penggunaan wewenang. dr. Judilherry menjelaskan pula tentang kronologis perubahan UU Praktik Kedokteran sejak 2004 hingga 2015 “Kalimat badan yang dibentuk oleh organisasi profesi ini diminta untuk dihapus untuk mencegah monopoli kekuasaan oleh IDI” Ujar beliau. Pemaparan materi kemudian ditutup dengan pepatah dari Edmun Burke, kejahatan akan menang jika orang baik tetap diam, dan kami tidak akan tinggal diam, tegas dr. Judilherry.

dskidi2dr. Bambang selaku mantan Ketua IDI wiliayah D.I. Yogyakarta lalu menyampaikan pihaknya terkejut bahwa terdapat perubahan besar di IDI. Menurutnya, selama ini anggota kolegium selalu independen terdiri dari orang-orang yang berdedikasi di dunia pendidikan kedokteran. Bahkan rela terus berjuang meski tanpa dukungan dari pemerintah karena sadar bahwa dokter harus terus berinovasi untuk mengejar kompetisi global. Bambang juga menekankan terkait hal ini, perlu diadakan forum bersama untuk berdialog membahas isu ini dengan kepala dingin dan hati yang lapang untuk mencari solusi bersama dari berbagai pihak yang bersangkutan.

Pasca pemaparan dari ketiga narasumber, diskusi pun dibuka. Sudjoko Kuswadji menanyakan mengapa bisa terjadi perubahan besar seperti ini di IDI? Apakah karena pengaruh internal atau eksternal? Misal businessman, karena dokter berada di lingkaran bisnis RS dan farmasi. Apakah mungkin mereka mempengaruhi IDI karena dokter mayoritas bukan businessman. Menanggapi pertanyaan ini, Prof. Laksono menjelaskan perlu diteliti lebih lanjut mengapa hal ini bisa terjadi.

dr. Bambang menyatakan sepertinya memang ada tangan-tangan dari luar yang ingin melemahkan organisasi profesi dokter, namun tidak bisa diidentifikasi siapa. Ada langkah-langkah yang sistematis ingin melemahkan IDI. Tuduhannya seperti gratifikasi dan lain-lain. Sehingga jika ada masalah, kita harus konsolidasi untuk menyelesaikannya.

Penanya kedua menanyakan apakah setuju jika UU di-review atau direvisi terkait monopoli IDI? Menurut dr. Bambang, tidak mengapa jika kolegium dikembalikan menjadi independen agar terdapat check and balance. Dr. Judilherry kemudian menuturkan bahwa dulu saat terpisah, kolegium berhak menetapkan bidang ilmu baru, namun sekarang hanya bisa menyarankan ke IDI dan menunggu persetujuan dari IDI terkait hal tersebut. Spesialis sebanyak kurang lebih 15 ribu, dibandingkan dengan dokter umum sebanyak 120 ribu mungkin tidak merasa diganggu, namun bagi dokter umum monopoli ini sangat berbahaya. Sebagai contoh, ketua kolegium dapat diambil dari Ilmu Kesehatan Masyarakat padahal notabene mungkin tidak paham tentang pendidikan kedokteran sehingga kolegium ini perlu dipisah agar dapat dibenahi.

Penanya ketiga, dr. Marulam sebagai Sp.PD dan kardiologi menyatakan bahwa pihaknya melihat ada oknum yang ingin mengobrak abrik IDI. “Mohon dimengerti bahwa kita ingin meletakkan kolegium sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran, dan IDI sesuai dengan UU Asosiasi Pelayanan Kesehatan dan mengembangkan kesejahteraan anggota. Faktanya seluruh pihak harus meyakini bahwa pengajuan judicial review bukan usaha untuk meruntuhkan IDI. dr. Bambang menyatakan masalahnya sudah sampai di UU, maka biarlah hukum yang memutuskan. “Kami yang di daerah kurang paham dengan pergolakan di Jakarta., harus disinkronkan. Produk-produk hukum di Senayan harus dikawal betul karena di titik-titik terakhir bisa saja ada perubahan. Mana yang dipandang lebih betul di pandangan hukum yang akan berhasil”.

Penanya terakhir, Prof. Ahmad bertanya tentang jika Kolegium dan IDI dipisah, bagaimana mensinkronkan antara pelayanan kesehatan dan pendidikan kedokteran?. Menanggapi pertanyaan tersebut, Prof. Laksono mengusulkan untuk diadakan muktamar yang terdiri dari berbagai elemen organisasi di dunia kedokteran seperti IDI, Kolegium, AIPKI, dan KKI. dr. Bambang turut mendukung usul tersebut. Muktamar ini mungkin dapat dianalogikan sebagai majelis musyawarah rakyat, dimana DPR dan MPR duduk bersama, sebut saja namanya, Majelis Permusyawaratan Dokter (MPD), dimana pemerintah juga turut ikut di dalamnya. Harus ada pengendalian dan pengawasan dan memberikan pertanggungjawaban ke MPD sehingga akuntabilitas tetap terjaga. Dr. Judilherry menjelaskan meski Kolegium dan IDI terpisah namun secara fungsional saling menguntungkan dan menghargai yuridiksi masing-masing.

Diskusi webinar diakhiri dengan pernyataan dari Prof. Laksono, “Diskusi ini akan terus dilanjutkan mengingat isu ini penting dalam menghadapi dunia yang semakin dinamis, serta penting bagi dunia pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan.”

Reporter: dr Noor Afi Mahmudah

{jcomments on}

Diskusi Pokok - Pokok Pemikiran Mengenai IDI dan Kolegium Sebagai Organisasi Profesi yang Terpisah di Dunia Kedokteran Indonesia

Webinar & Live Streaming

Pokok - Pokok Pemikiran Mengenai IDI dan Kolegium Sebagai Organisasi Profesi yang Terpisah di Dunia Kedokteran Indonesia

Senin, 11 September 2017

  Pengantar

Dalam dunia kedokteran Indonesia, terdapat tiga komponen penting; (1) pemerintah; (2) masyarakat (termasuk organisasi profesi); dan (3) pelaku usaha. Hubungan perlu dikelola menjadi tata aturan yang baik dalam sistem pelayanan. Sejak UU Pendidikan Kedokteran ditetapkannya pada 2013, terdapat 2 sektor yang berbeda di dunia kedokteran Indonesia, yaitu: sektor pendidikan sebagai tempat lahirnya dokter; dan sektor pelayanan kesehatan. Sektor pendidikan kedokteran Indonesia menggunakan dasar terutama UU Pendidikan Kedokteran dan berbagai UU di sektor pendidikan pada umumnya. Sementara itu, sektor sistem Pelayanan Kedokteran menggunakan UU Praktek Kedokteran dan berbagai UU lainnya seperti UU Kesehatan, UU Rumah Sakit.

Dengan demikian dua sektor tersebut berbeda namun menjalin satu secara sinergis membentuk “Dunia Kedokteran Indonesia”.

  Tujuan Diskusi

Setelah disahkannya UU Praktek Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran, sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat mengenai dua sektor yang terpisah tapi berhubungan tersebut. Oleh karena itu, diselenggarakan diskusi makan siang ini dengan tujuan membahas:

  1. Apa yang terjadi di pelaksanaan 2 UU tersebut;
  2. Adanya peran ganda IDI di sektor pelayanan kesehatan dan pendidikan dokter;
  3. Hak konstitusi masyarakat yang dapat dilanggar akibat peran ganda di dua sektor;
  4. Perlunya pemisahan Kolegium dari IDI untuk kebaikan bangsa dan pengembangan perhimpunan profesi secara berkelanjutan.

Agenda

Narasumber

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

materi   video

Pembahas
  • Dr. dr. Judilherry Justan, MM, ME, PKK
  • dr. Bambang Suryono, M.kes, Span. KIC, KAO

materi   video   diskusi

Reportase

 

Waktu

Senin, 11 September 2017 
Tempat: Studio Kepemimpinan Gedung IKM Lantai III FK UGM

 

{jcomments on} 

Laporan dari Manila Hospital Management Asia 2017

Konferensi Hospital Management Asia yang merupakan ajang tahunan kembali digelar di Manila pada 23 hingga 24 Agustus 2017. Forum regional Asia ini setiap tahun diselenggarakan berpindah dari satu kota besar ke kota besar lainnya di Asia. Kegiatan tahun ini disponsori oleh Siemnsneering dari Jerman. Berikut ini beberapa highlights dari pertemuan pleno, dan expo.  Forum yang diadakan setahun sekali ini populer di berbagai negara Asia, namun tidak begitu populer di Indonesia. Sebagian besar pendukung kegiatan ini adalah RS-RS swasta di Asia. Dengan demikian, isi forum lebih banyak pada tantangan dan kesempatan  di sektor swasta. Namun beberapa tahun terakhir juga ada sesi-sesi mengenai RS pemerintah. Secara garis besar ada 5 track yang dipergunakan sebagai panduan untuk mengikuti Forum ini. Para peserta dapat memilih:

  1. Quality and Accreditation & Safety
  2. Patient Care & Engagement
  3. Leadership, Strategy & Management
  4. Talent Management
  5. IT Innovation & Sustainability.

Kemudian ada track ke 6 Featured Sessions for C-Levels.

mn1

Berikut ini beberapa highlights kegiatan.

DAY 1, Wednesday, 23 August (08:45 - 09:25)

Welcome Remarks by our co-host

Dr. Rustico Jimenez, President, Private Hospitals Association of the Philippines, Inc.
Forum ini diharapkan dapat membahas masalah - masalah manajemen rumah sakit di Asia serta bagaimana cara mengatasinya. Dr. Jimenze kemudian mempersilakan pembicara yaitu Speech of the Guest of Honour: Mr. Manuel V. Pangilinan, Managing Director and Chief Executive Officer, First Pacific Company Ltd. Poinnya, Manuel sebagai CEO perusahaan konglomerasi ini menceritakan pengalamannya bahwa asal mulanya pelayanan rumah sakit merupakan CSR perusahaan. Saat ini merupakan usaha yang sangat besar, namun tetap mempunyai misi mulia untuk melayani masyarakat melawan penyakit. (Sebagai catatan perusahaan induknya baru mulai pada 2007 mengelola rumah sakit di Filipina. Dengan investasi di Makati Medical Center). Perusahaan kami juga menaruh perhatian pada pelayanan preventif dan pelayanan di rural, serta bagaimana sanitasi dapat dikembangkan. Jaringan rumah sakit kami juga mengembangkan penyebaran ilmu secara online. Dalam pengembangannya,kami menekankan bahwa efisiensi menjadi isu kunci. Industri kesehatan saat ini mempunyai banyak tantangan, termasuk standar mutu dan masalah akses.

Welcome Remarks by the Department of Health

Dr. Elmer Punzalan, Assistant Secretary of Health, Department of Health (Philippines)
Sebagai pejabat pemerintah, Dr. Punzalan menekankan mengenai hubungan RS Swasta dengan RS Pemerintah dalam konteks bagaimana jika ada pasien yang gagal ditangani di swasta. RS-Swasta merupakan partner pemerintah yang harus diawasi, maka pelayanan menjadi inti. Dalam konteks ini, ada rujukan yang tidak perlu ke RS pemerintah. ini yang harus diawasi, Punzalan menyampaikan selamat berkumpul di Manila. Selama 10 tahun ini, Punzalan menyaksikan perkembanan RS-RS di Filipina dengan berbagai permasalahannya. Pihaknya berharap bahwa forum ini dapat memberi pengaruh positif pada perkembangan RS-RS di Fiilipina dan Asia.

Welcome Remarks by our Title Sponsor

Ms. Elisabeth Staudinger, President, Siemens Healthineers, Asia Pacific
Trend yang terjadi di dunia yaitu digitalisasi. Bagaimana untuk menciptakan value,serta connect ke pengguna RS. Elisabeth mengajak para peserta untuk mengikuti seminar ini dengan nikmat.

Plenary I

Designing the hospital for our future: - How will it interact with its key stakeholders: the government, insurance, physicians, patients, employees

Penyaji: Ms. Paula Wilson, President & CEO, Joint Commission International (USA)
Moderator: Dr. Timothy Low, Chief Executive Officer, Farrer Park Hospital (Singapore)

Dr. Paula berbicara mengenai trend rumah sakit yang berkembang atau berubah setiap tahun. Apa yang ada saat ini? RS memang mempunyai fokus pada pelayanan spesialis. Peralatan mahal untuk diagnosis. RS dirancang untuk pembedahan dan kemoterapi. Banyak pasien yang harus dimonitor. Sementara itu terjadi global trends: aging population dan penyakit kronis, keterbatasan finansial, kekurangan tenaga dokter dan masalah akses, serta cost dan mutu yang menjadi masalah utama.

Dua isu utama terjadi saat ini: bergerak ke value based health care dan perkembangan teknologi yang membawa perubahan ini. Di Amerika Serikat banyak RS ditutup. Pemerintah sebagai pembayar jaminan kesehatan meminta value-based service. Hal ini mengubah cara bekerja RS dari do more menjadi do better dengan penekanan pada patient-centre. Secara kasat mata, tren terlihat dimana misalnya Karolinska Hospital di Swedia menyediakan banyak barang seni, Banner Health menggunakan tele-ICU for remote critically ill patients. Pada 2016: Kaiser Permanante Group memberikan setengah dari konsultasinya melalui telpon, email dan video konferens. Johns Hopkins menggunakan sebuah pusat komando yang mirip NASA untuk perencanaan dan telekonferens. Ada banyak teknologi baru dipakai.

Bagaimana dampak yang terjadi pada stakeholders utama? Pemerintah diharapkan mampu membangun infrastruktur untuk mendukung; pihak jaminan kesehatan/Askes: tentu tertarik untuk mengurangi cost; Pasien diberi kesempatan untuk memahami kesehatan masing-masing. Minat meningkat selaras dengan pembayaran out of pocket yang semakin meningkat. Dokter: ada tantangan dan peluang baru. Bagaimana cara membayar mereka?. Beberapa spesialisasi menghadapi risiko seperti Radiologi. Ada peluang penggantian dokter oleh robot. Nmaun pelayanan masih primer menjadi kunci. Juga dibutuhkan tenaga kerja baru, dimana perlu ketrampilan-ketrampilan baru.

Sebagai penutup pemikiran ke depannya adalah rumah sakit akan berbeda, yang memerlukan perubahan berfikir secara budaya.

 

Reporter: Prof. Laksono Trisnantoro (PKMK FK UGM)

 

Reportase Indonesia Development Forum (IDF)

Sesi Inspire Plenary

Sesi Inspire Plenary

Pada Rabu, 9 Agustus 2017, bertempat di Hotel Westin GAMA Tower, Jakarta Pusat, diselenggarakan kegiatan sharing knowledge dalam sebuah platform yang bernama Indonesia Development Forum (IDF). Forum ini merupakan platform bagi pemimpin Indonesia di pemerintahan, sektor swasta, akademisi, dan anggota masyarakat lainnya untuk berkolaborasi membentuk agenda pembangunan Indonesia. Platform ini diprakarsai oleh Bappenas. Tahun ini, IDF mengambil tema Inspire, Imagine, dan Innovate. Ketiga tema ini kemudian menjadi judul besar dalam sesi diskusi yang berlangsung di dalamnya. Kegiatan ini memiliki beberapa sesi diskusi yang berlangsung secara paralel. Salah satu sesi diskusi yang diikuti oleh PKMK FK UGM adalah sesi Inspire Plenary. Sesi ini dipandu oleh Alvito Denova (Moderator) dari CNN Indonesia. Dalam sesi ini terdapat 4 orang narasumber yang sangat berkelas dan memiliki banyak pengalaman serta pengetahuan yang komprehensif yang berkenaan dengan topik “Inequality and Its Context”.

Narasumber dalam sesi ini adalah Prof. Bambang P.S. Brodjonegoro, Ph.D, Menteri Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Indonesia, Chris Tinning (Chief Economist – Development, Department of Foreign Affairs and Trade Australia), Hob. Tevita Lavemaau (Minister of Finance and National Palnning of Tonga), dan Prof. Mari Elka Pangestu (Broad of Trustees at Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta).

Sejalan dengan topik yang diangkat, sesi ini banyak sekali mengulas terkait dengan ketimpangan dan segala aspek di dalamnya. Isu GDP Nasional, kesenjangan sosial, masalah kebijakan, serta strategi dan tantangan dalam pengentasan ketimpangan dan kemiskinan menjadi diskusi yang sangat mengena untuk peserta. Hal ini didukung juga dengan para narasumber yang komunikatif dalam menyampaikan materi presentasinya.

Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi di Indonesia, memiliki pengaruh terhadap kontinuitas dan kualitas pembangunan di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh 4 faktor utama yaitu ketimpangan penguasaan lahan dan tanah, ketidakadilan dalam pasar tenaga kerja, lemahnya rantai nilai antara sektor usaha, dan permasalahan konektivitas. Dari faktor ini diketahui bahwa dimensi ketimpangan itu bukan hanya masalah kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, namun berbagai pihak baik itu pemerintah, swasta, dan bahkan masyarakat sendiri termasuk dalam elemen yang menyusun kesuksesan pembangunan Indonesia. Mengurangi ketimpangan secara absolut memiliki banyak sekali area yang harus diperbaiki. Pertumbuhan dan pembangunan yang lebih baik dilakukan dengan upaya antara lain, menurunkan angka stunting, menurunkan kemiskinan, memberikan peluang pekerjaan, menurunkan ketimpangan kekayaan, dan menguatkan industri berbasis rakyat.

Menunjang upaya tersebut, diperlukan pula praktek cerdas yang dapat mencakup elemen targetting, pendampingan, dan sektor prioritas. Perlu digarisbawahi bahwa dalam upaya pembangunan ini, keberlanjutan income masyarakat dilihat dengan target sebagai awal perencanaan tetapi dibarengi dengan adanya pendampingan yang jelas/serius. Upaya mengurangi kemiskinan juga menjadi salah satu bagian kerjasama yang dapat mulai dibangun oleh pemerintah dan sektor usaha swasta yang memiliki best practice dan pilot activities untuk meningkatkan kemandirian dan penghasilan masyarakat.

Secara umum dikatakan bahwa ketimpangan ini merupakan sesuatu yang mempengaruhi pertumbuhan kapasitas negara dalam mengayomi rakyatnya, dimana seharusnya jika ada pertumbuhan yang positif, seharusnya hal ini dapat menurunkan ketimpangan. Sehingga, ke depan ketimpangan ini tidak menyebabkan dampak ketidakstablian sosial dan konflik. Dari pemerintah diperlukan program-program yang komprehensif, holistik, sistematik dan longterm.

Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

 

 

{jcomments on}

Reportase Paradigma Baru Dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Implikasinya Pada Kebijakan Publik dalam Era JKN

PKMK - Pada Selasa (20/6/2017), Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM mengadakan diskusi dengan judul Paradigma Baru Dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Implikasinya Pada Kebijakan Publik dalam Era JKN. Diskusi ini bertujuan untuk membahas perubahan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Materi pada diskusi ini dibawakan oleh dr Gunawan Setiadi, MPH (Alumnus FK UGM dan mantan staf WHO SEARO di New Delhi). Moderator pada diskusi ini adalah Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD.

Pada sesi materi dr Gunawan menyampaikan beberapa paradigma seputar masalah kesehatan jiwa. Paradigma yang pertama ialah mulai munculnya gerakan masyarakat sekitar tahun 1970-1980 yang mencakup penderita gangguan jiwa untuk menuntut hak-haknya agar didengar pendapatnya, agar masalah kesehatan jiwa menjadi sebuah masalah yang dipehatikan oleh pemerintah dan dunia kesehatan. Paradigma yang kedua ialah adanya pemahaman di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa berat (severe mental illness) dapat pulih. Namun beberapa pihak justru berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa sulit untuk dapat pulih kembali. Diantaranya pendaPat Dr Emil Kraeplin (1902) bahwa kondisi sebagian besar (hampir semua) penderita schizophrenia akan semakin memburuk dengan berjalannya waktu. American Psychiatrist Association (APA) (1980, 1987) pun berpendapat yang serupa.

Pendapat ini sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar psikiater di Indonesia. Sementara terdapat beberapa penelitian ilmiah (1972-1987) yang melalui studi jangka panjang menyimpulkan bahwa beberapa pasien penderita penyakit jiwa dapat pulih meskipun tidak sepenuhnya. Adanya harapan untuk penderita gangguan jiwa dapat pulih ini mendorong perubahan dalam pelayanan kesehatan jiwa, yang salah satunya pada 2003 dalam President’s New Freedom Commission on Mental Health terdapat sebuah poin baru yang mengatakan bahwa pelayanan kesehatan jiwa harus berorientasi pada pemulihan.

Paradigma yang ketiga, adalah pengobatan berbasis bukti (evidence based medicine) dimana dr Gunadi menyampaikan beberapa contoh pengobatan psikososial yang digunakan dan telah berkembang berdasarkan pengobatan berbasis bukti. Selain pengobatan, juga ada pelayanan supporting service seperti edukasi kesehatan yang juga berbasis bukti. Sementara paradigma keempat adalah pelayanan kesehatan jiwa dan kaitanya dengan jaminan kesehatan nasional (JKN) di Indonesia, yang mana JKN mempercepat terjadinya de-institusionalisasi pelayanan kesehatan jiwa. Sistem JKN yang menerapkan penetapan tarif layanan pada seluruh rumah sakit jiwa, sementara sistem rujukan pelayanan mendorong Rumah Sakit Jiwa harus merujuk balik pasien gangguan jiwa ke FKTP. Kekurangan yang ada sekarang ialah belum ada upaya khusus dalam skala nasional mempersiapkan FKTP agar mampu menangani penderita gangguan jiwa berat, dan belum ada protokol untuk menawarkan terapi keluarga kepada setiap penderita gangguan jiwa berat.

Di akhir paparan, dr Gunadi menyampaikan beberapa poin yang harus segera didorong dalam memperbaiki pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia seperti mengubah iklim di Rumah Sakit Jiwa dan Klinik Kesehatan Jiwa agar memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang berorientasi pada pemulihan serta mengkaji ulang efektivitas FKTP dalam penanganan penderita gangguan jiwa berat.

Setelah sesi materi selesai langsung dilanjutkan dengan sesi diskusi. Dimana peserta cukup antusias dalam berpendapat dan memberikan pertanyaan. Salah satu masalah yang di diskusikan ialah adanya kasus pemasungan sebanyak 50 penderita gangguan jiwa di Kebumen, Jawa Tengah. Kejadian ini dikarenakan masyarakat sekitar yang belum memilih untuk mengobati penderita penyakit jiwa ke Rumah Sakit. Padahal diwilayah Kebumen setidaknya terdapat 4 (empat) rumah sakit yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Selain itu, peserta juga mengungkapkan masalah-masalah lainya yang masih menjadi PR besar dalam layanan kesehatan jiwa.

Saat penutupan, disimpulkan bahwa sangat diperlukan upaya advokasi kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan perbaikan layanan kesehatan jiwa di Indonesia, selain itu advokasi juga perlu dipublikasikan melalui media massa sehingga masalah-masalah kesehatan jiwa di Indonesia bisa ‘terangkat’ dan diketahui masyarakat luas (FH).

{jcomments on}

Paradigma Baru Dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Implikasinya Pada Kebijakan Publik dalam Era JKN

Diskusi Kebijakan Kesehatan

Paradigma Baru Dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Implikasinya Pada Kebijakan Publik dalam Era JKN

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

  PENGANTAR

Setidaknya ada 4 perubahan mendasar yang berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Pertama, pemahaman bahwa penderita gangguan jiwa berat (psikosis) dapat pulih dan kembali hidup di masyarakat secara produktif. Kedua, gerakan hak azasi manusia penderita gangguan jiwa yang menuntut haknya untuk didengar dalam pemberian pelayanan kesehatan jiwa. Ketiga, era BPJS yang mendorong terjadinya de-institusionalisasi pelayanan kesehatan jiwa. Keempat, tuntutan agar pelayanan kesehatan didasarkan pada bukti nyata (evidence based).

Perubahan pertama dan kedua menuntut adanya perubahan orientasi pelayanan kesehatan jiwa menjadi pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pemulihan dengan 10 komponen utamanya, yaitu: self-direction, individualized dan person centered, empowerment, holistic, non-linier, strengths based, peer support, respect, responsibility, dan hope. Perubahan ketiga dan keempat menuntut adanya restrukturisasi pelayanan kesehatan jiwa di kabupaten yang bersifat multidisiplin dan multisektor yang didukung oleh masyarakat yang bersifat inklusif.

Paradigma baru ini berada dalam era Jaminan Kesehatan Nasional yang tentunya akan mengundang pertanyaan klasik: Siapa yang membiayai restrukturisasi ini? Apakah BPJS, apakah pemerintah daerah,dFilantropis, Masyarakat ataukah gabungan semuanya.


  TUJUAN

Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan perubahan yang terjadi pada pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia, khususnya dalam era Jaminan Kesehatan Nasional.


  PESERTA

Peserta kegiatan ini adalah:

  1. Kementerian Kesehatan RI
  2. Dinas Kesehatan DI Yogyakarta
  3. Fakultas Psikologi UGM
  4. Departemen Penyakit Jiwa FK UGM
  5. Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia
  6. Peneliti, Praktisi, dan Akademisi


  AGENDA

Diskusi akan diselenggarakan pada Selasa, 20 Juni 2017; pukul 15:30 – 17.15 WIB; bertempat di Gedung IKM, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Perkembangan seputar pembiayaan kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ 


  PEMBICARA

dr. Gunawan Setiadi, MPH
(Alumnus FK UGM dan mantan staf WHO SEARO di New Delhi)


  SUSUNAN ACARA

Waktu Materi
15:30-15:40 Pembukaan
15:40-16:30

Penyampaian oleh Pembicara : dr. Gunawan Setiadi, MPH

materi   Reportase

16:30-17:00 Diskusi dan Tanya Jawab
17:00-17:15 Kesimpulan dan Penutup
17.15- selesai Buka Bersama


  INFORMASI DAN PENDAFTARAN

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website: http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ 

 

Pembelajaran Baik dari Pelaksanaan UHC di Inggris

guy dulyPertemuan semi formal ini diselenggarakan oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk berdiskusi mengenai pengalaman Inggris dalam mengelola model asuransi sosial untuk kesehatan. Pembicara utamanya adalah Prof. Guy Daly yang merupakan ahli kebijakan publik dari Coventry University. Peserta yang hadir dalam diskusi merupakan perwakilan dari Kementerian Kesehatan, DJSN, PAMJAKI, PERSI, kelompok asuransi swasta dan lembaga riset.

National Health Service (NHS) dimulai sejak 1948, dan saat ini telah diakui sebagai salah satu skema asuransi kesehatan sosial terbaik dalam hal kualitas perawatan, akses, efisiensi dan keadilan sosial. NHS menjamin sejumlah pelayanan komprehensif bagi seluruh rakyat Inggris, sementara asuransi swasta tetap dipertahankan untuk melayani 3-5% populasi yang berpenghasilan tinggi.

Pelayanan primer (Klinik Dokter Umum) bertugas sebagai gatekeeper, yang melindungi lebih dari 95% penduduk. Pelayanan sekunder dan tersier dirancang dengan berbasis pada pengelompokkan keahlian klinis. Pelaksanaan NHS didukung oleh regulasi di berbagai tingkat. Pemerintah pusat menetapkan aturan-aturan umum, sedangkan hal-hal yang bersifat spesifik diatur sendiri di Wales, England, Scotland dan Northern Ireland.

Di samping semua keberhasilan yang telah dicapai, beberapa masalah yang masih ada hingga saat ini adalah kurangnya pendanaan, perbedaan di dalam maupun antar kelompok demografi, meningkatnya risiko penyakit tidak menular (PTM) karena perubahan gaya hidup dan kebijakan Brexit yang berujung pada kekurangan tenaga kesehatan. Beberapa pembelajaran baik dari implementasi NHS antara lain (1) Kesehatan menjadi komoditas publik yang didanai dan disediakan oleh pemerintah, (2) Perubahan prinsip, dari kompetisi terbuka menjadi kolaborasi, (3) Data sangat penting, dan (4) Pasien/pengguna layanan menjadi lebih berdaya.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia, yang diluncurkan sejak 2004, sangat menyerupai NHS dalam banyak hal. Oleh karena itu, mempelajari dinamika implementasi NHS akan sangat bermanfaat seiring dengan usaha menjadikan JKN sebagai asuransi kesehatan sosial yang dapat diandalkan bagi lebih dari 250 juta penduduk Indonesia

Materi selengkapnya dapat diakses pada link berikut

powerpoint

Reporter: drg. Yanti Leosari (PKMK FK UGM)

{jcomments on}