BPJS Kesehatan Gandeng PBNU Optimalkan Kartu Indonesia Sehat

BPJS Kesehatan menggandeng Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk menjalin kerjasama dalam rangka mengoptimalisasi penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Kerjasama yang tertuang dalam penandatanganan nota kesepahaman (MoU) ini sesuai amanah Undang-Undang (UU) terkait pelaksanaan program jaminan kesehatan di Indonesia.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, adanya sinergi kedua belah pihak ini, PBNU diharapkan dapat mendukung BPJS Kesehatan mencapai universal health coverage pada 2019 mendatang. Apalagi PBNU merupakan salah satu organisasi terbesar dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemasyarakatan, dengan jaringan kepengurusan yang sangat luas di Indonesia.

"Dengan kondisi tersebut, diharapkan PBNU memiliki kekuatan yang besar dalam mengajak masyarakat untuk menjadi akselerator dalam mencapai tujuan pemerintah, baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan kesehatan," ujarnya di Jakarta, Rabu (15/6/2016).

Dia berharap, nota kesepahaman ini juga dapat menjadi awal kerjasama yang baik antara BPJS Kesehatan dengan PBNU se-Indonesia dalam rangka bersinergi meningkatkan derajat kesehatan para PBNU dan seluruh rakyat Indonesia melalui penyediaan jaminan kesehatan dalam program JKN-KIS.

Terdapat beberapa ruang lingkup cakupan nota kesepahaman tersebut di antaranya (1) Perluasan Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, (2) Optimalisasi pemanfaatan fasilitas kesehatan yang digunakan oleh peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional–Kartu Indonesia Sehat, (3) Sosialisasi Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (4) Kolekting Iuran Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional–Kartu Indonesia Sehat dan (5) Kerjasama lainnya yang disepakati para pihak.

Nota kesepahaman ini berlaku untuk jangka waktu dua tahun, terhitung sejak 8 April 2016 sampai dengan 8 April 2018.

http://economy.okezone.com/

 

FK Akreditasi A Boleh Buka Prodi Pendidikan Dokter Layanan Primer

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) akan membuka program studi (prodi) pendidikan dokter layanan primer setingkat spesialis. Prodi tersebut diprioritasnya untuk Fakultas Kedokteran dengan akreditasi A.

"Kepada 17 FK negeri dan swasta dengan akreditasi A, mulai September tahun ini kami tawarkan mereka untuk membuka prodi baru setara pendidikan spesialis untuk dokter layanan primer," kata Menristekdikti, Muhamad Nasir usai rapat koordinasi seputar pembukaan prodi baru tersebut dengan Menteri Kesehatan Nila FA Moeloek di Jakarta, Kamis (16/6).

Disebutkan, sudah ada 4 FK yang menyatakan siap membuka prodi pendidikan dokter layanan primer yaitu Universitas Pajadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia dan Universitas Airlangga. "FK lain akan menyusul. Mereka masih menghitung-hitung sumber daya manusia dan fasilitas pendidika lainnya," ucap mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang itu.

Nasir menjelaskan, prodi baru tersebut dibuka sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Prodi tersebut setara dengan spesialis, namun tanpa gelar dokter spesialis.

"Lama pendidikannya dua tahun. Mereka nantinya akan ditempatkan di pusat layanan primer guna menjaga agar masyarakat tak banyak berobat. Sehingga dana kesehatan bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran," ujarnya.

Nasir menjelaskan pendidikan dokter layanan primer tersebut diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang fakultas kedokterannya terakreditasi A.

Ditambahkan, pembukaan prodi baru tersebut merupakan permintaan dari Kementerian Kesehatan yang meminta pada Menristekdikti untuk menyelenggarakan pendidikan dokter layanan primer. Layanan kesehatan penting diterapkan di era program Jaminan Kesehatan Nasional.

Seperti dikemukakan Menkes Nila F Moeloek, prodi pendidikan dokter layanan primer merupakan kebutuhan guna memberi edukasi tentang kesehatan di masyarakat.

"Dokter tersebut nanti bertugas mengedukasi, mengadvokasi agar berkomunikasi dengan masyarakat tentang kesehatan. Ini yang kita galakkan adalah tindakannya preventifnya," kata Nila.

Selama ini, lanjut dia, tindakan yang dilakukan lebih banyak bersifat kuratif dan 80 persen berada di rumah sakit bukan pada layanan primer, seharusnya hal itu dibalik.

"Prodi ini merupakan perluasan kemampuan bagi dokter umum. Karena di era JKN, seorang pengelola layanan primer harus mampu menangani 155 jenis penyakit dasar yang ada di masyarakat," tutur Nila Moeloek.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, Dr Meilani Kumala, mengatakan pihaknya siap menyelenggarakan pendidikan dokter layanan primer. "Sekarang kami sedang mempersiapkan diri, untuk menyelenggarakan prodi itu," kata Meilani. (TW)

Rumah Sakit Didorong Transparan Soal Ketersediaan Kamar

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan mendorong rumah sakit untuk transparan soal ketersediaan kamar, lewat alat bernama Anjungan Daftar Mandiri (ADM). Teknologi tersebut memberi informasi seputar kamar untuk rawat inap secara real time.

"Melalui ADM, masyarakat bisa tahu ada berapa kamar yang kosong di rumah sakit. Lengkap dengan pembedaan kamar laki-laki, perempuan dan anak-anak," kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris saat melihat dari dekat penggunaan ADM di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Koja, Jakarta Utara, Kamis (16/6).

Menurut Fachmi, transparansi soal keberadaan kamar untuk rawat inap menjadi sangat penting. Karena akhir-akhir terjadi kesalahfahaman seputar ketersediaan kamar kosong, yang berdampak pada kecurigaan para pihak.

"Memang ada kamar kosong tetapi untuk pria, sedangkan pasiennya perempuan. Lalu keluarga marah-marah, karena ada kamar kosong tetapi menolak pasien. Hal-hal semacam itu diharapkan tak terjadi lagi di masa depan," ucap Fachmi yang pada kesempatan itu didampingi RSUD Koja, Theryoto.

Fachmi mengungkapkan, ADM sudah diterapkan di beberapa rumah sakit pemerintah, terutama di DKI Jakarta. Alat tersebut diharapkan bisa diterapkan secara nasional. Sehingga layanan terhadap pasien BPJS menjadi lebih optimal.

"Saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan RSUD Koja. Sehingga pasien yang tidak dapat kamar bisa segera dirujukan ke rumah sakit lain yang masih tersedia," tuturnya.

Melalui transparansi ini, diharapkan rumah sakit tidak memberi perlakuan diskriminatif saat melayani pasien. "Ini adalah komitmen bersama antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit untuk memberi layanan yang aman, bermutu, efektif, dan tak diskriminatif," ujarnya.

Fachmi menegaskan, saat ini BPJS kesehatan terus berupaya memastikan jaminan kesehatan kepada peserta JKN berkualitas, terpercaya dan berkeadilan melalui kemitraan yang strategis.

"Jumlah peserta JKN setiap tahun semakin banyak, guna meningkatkan pelayanan harus diimbangi dengan jumlah faskes yang cukup untuk melayani peserta," tuturnya.

Karena itu, lanjut Fachmi, layanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) perlu diperkuat agar mampu menangani diagnosa-diagnosa penyakit yang seharusnya bisa di tangani di layanan tingkat pertama atau FKTP ini. (TW)

Pendaftaran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan Kini Dibuat Satu Pintu

15junPendaftaran Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kini dibuat satu pintu. Upaya itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), baik di tingkat pusat maupun daerah.

"Lewat portal terintegrasi ini calon peserta bisa mendaftar keanggotaan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan jadi lebih mudah," kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris usai penandatanganan naskah kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, di Jakarta, Rabu (15/6).

Fachmi menjelaskan, pembuatan portal pendaftaran terpadu tersebut merupakan salah satu bentuk kerja sama BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk percepatan rekrutmen dan akuisisi peserta program jaminan sosial.

"Ini sekaligus tindak lanjut atas kebijakan Menteri Dalam Negeri terkait Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di seluruh Indonesia," kata Fachmi yang pada kesempatan itu didampingi Dirut BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto.

Dengan disediakannya portal pendaftaran satu pintu, diharapkan perusahaan-perusahaan yang belum mendaftarkan entitas dan pekerjanya ke dalam program jaminan sosial, dapat segera mendaftar.

Ditambahkan, ruang lingkup kerja sama juga meliputi edukasi dan sosialisasi program jaminan sosial, mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menerbitkan regulasi terkait percepatan rekrutmen atau akuisisi peserta program jaminan sosial, serta optimalisasi pemanfaatan forum komunikasi dan kerja sama operasional kedua badan tersebut.

"Kami akan lakukan sinkronisasi dan validasi data peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dan peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)," ujarnya.

Fachmi Idris menambahkan, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan juga akan bersinergi dalam melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan dan pemberi kerja untuk memenuhi kewajiban dalam program jaminan sosial.

Bentuk kerja sama tersebut antara lain mencakup pertukaran informasi, optimalisasi forum, dan sosialisasi bersama kepada stakeholders terkait pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja. (TW)

Jokowi: Indonesia Belum Ratifikasi FCTC karena Ada Kebijakan Kesehatan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) karena telah memiliki kebijakan yang mengatur tentang kesehatan.

"Saya tidak ingin kita sekadar ikut-ikutan atau mengikuti tren, karena sudah banyak negara yang sudah ikut (meratifikasi FCTC, Red), kemudian kita juga lantas ikut," kata Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas Kabinet Kerja di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/6).

Pemerintah, lanjutnya, tetap konsisten mempertimbangkan kepentingan nasional, khususnya terkait masyarakat dan anak-anak yang mengalami gangguan kesehatan yang disebabkan tembakau. Di sisi lain, lanjut Jokowi, pemerintah juga menjaga kelangsungan hidup petani tembakau dan buruh yang bekerja di sektor industri tembakau.

Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum meratfikasi FCTC. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), hingga akhir Desember 2015 sebanyak 180 negara telah meratifikasi dan mengaksesi FCTC. Jumlah itu mewakili sekitar 90 persen populasi dunia.

http://www.beritasatu.com/

 

DKT Indonesia: Hanya Dua dari Enam Target Kesehatan Reproduksi yang Tercapai

Dalam rangka menyukseskan program Keluarga Berencana (KB) jangka panjang, DKT Indonesia bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan RI menggelar sosialisasi penggunaan Post Partum Intra Uterine Divice (PP IUD) Metode Inserter bagi para provider terpilih di Hotel Santika Medan Jalan Kapten Maulana Lubis, Rabu (8/6/2016).

Sejumlah perwakilan dari provider terpilih, yakni POGI, IBI, JHUCCP, JHPIEGO dan PKBI hadir pada acara sosialisasi yang digelar mulai pukul 14.30 WIB hingga 17.50 WIB.

General Manager Reproductive Health Business Unit DKT Indonesia, Aditya Anugrah Putra, mengatakan bahwa saat ini pembangunan kesehatan reproduksi belum mencapai target keberhasilan sesuai dengan enam indikator yang ada.

Dari enam indikator tersebut, hanya dua indikator yang telah mencapai target, yakni persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dan cakupan pelayanan antenatal.

Sedangkan empat indikator lainnya, yakni angka kematian ibu, CPR, angka kelahiran dari pasangan remaja dan angka unmet need KB masih di bawah target yang ditetapkan.

"Angka kematian ibu masih tinggi, yaitu masih 359 kasus dari target 102, lalu CPR masih 57,9 persen dari target 65 persen, kemudian angka kelahiran dari pasangan remaja masih 48 dari target 30, lalu angka unmet need KB masih 8,5 persen dari target 5 persen," ujar Aditya.

Dalam penggunaan IUD sebagai Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) pascapersalinan, saat ini telah tersedia metode pemasangan dengan alat kelly forcaps yang merupakan perbaikan dari metode pemasangan dengan tangan.

"Melalui perkembangan teknologi yang ada, telah tersedia PP UID metode inserter di mana batang inserter tersebut menyatu dalam kemasan PP UID. Sehingga metode ini lebih praktis, lebih higienis, lebih sederhana dalam segi pemasangan dan lebih nyaman," ujar Aditya.

"Untuk itu, perlu sosialisasi pemasangan PP IUD dengan Metode Inserter kepada provider terpilih, di mana provider ini merupakan ujung tombak sekaligus upaya meningkatkan kompetensi provider," tandas Aditya.

http://medan.tribunnews.com

BPOM: Trend Takjil Berbahan Berbahaya Makin Berkurang

10junHasil pemantauan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) selama bulan Ramadhan tahun ini menunjukkan trend penjualan makanan pembuka puasa (takjil) mengandung bahan berbahaya semakin berkurang. Sebelumnya, takjil ditemukan bahan pengawet dan pewarna tekstil.

"Sejak 2 tahun terakhir ini, BPOM tak sendirian dalam pengawasan makanan. Kami kerja sama dengan dinas kesehatan kabupaten/kota untuk pengawasan bahan pangan di wilayahnya masing-masing," kata Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPOM, Tengku Bahdar Johan kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (9/6).

Dijelaskan, proses pengawasan dan pembinaan pengolahan pangan oleh usaha kecil sebenarnya telah dilakukan 2 minggu jelang bulan puasa Ramadhan. Hal itu dilakukan guna mencegah beredarnya makanan takjil yang dibuat dengan bahan berbahaya.

"Jadi ketika Ramadhan tiba, para usaha rumahan sudah memahami penggunaan bahan yang benar untuk pembuatan takjil," ucap Bahdar Johan menegaskan.

Ia menambahkan, pengawasan di DKI Jakarta dilakukan di antaranya di pasar yang kerap menjadi lokasi pusat jualan takjil seperti pasar Benhil, Jakarta Pusat, pasar Rawamangun, Jakarta Timur dan pasar Senen, Jakarta Pusat.

Bahdar mengungkapkan, sektor makanan memiliki nilai ekonomi yang lebih besar dibandingkan obat dan kosmetik. Maka BPOM juga mengharapkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pangan berbahaya.

Hal senada dikemukakan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, BPOM Suratmono menyebutkan,
pada 2013 tercatat ada 12 persen usaha yang menggunakan rhodamin, bahan pewarna berbahaya. Angka itu turun menjadi 10 persen pada 2014, kemudian pada 2015 menjadi 11 persen.

Sementara penggunaan bahan pengawet formalin pada pangan takjil pada 2013 tercatat 13 persen. Kemudian turun menjadi 12 persen pada 2014. Dan kembali turun di tahun 2015 menjadi 6 persen.

Suratmono mengemukakan, pengawasan makanan dilakukan di hampir semua provinsi. Pada pelaksanaannya, BPOM juga merangkul lembaga lain untuk pegawasan ini.

"Kami kerja sama dengan bea cukai untuk pengawasan bahan pangan. Sebelumnya, kerja sama kami lakukan dengan Badan Narkotika Nasional untuk pengawasan dan pemberantasan makanan mengandung narkotika," katanya.

Ditambahkan, target pengawasan lainnya yakni pangan tanpa izin edar, rusak, kadaluarsa, dan jajanan takjil. Dari sidak yang dilakukan mulai 23 Mei sampai 7 Juni 2016, nilai pangan tidak aman yang berhasil disita mencapai miliaran.

"Nilainya hampir Rp 2,5 miliar," kata Suratmono menegaskan. (TW)

 

IDI Nyatakan Tolak Jadi Eksekutor Penerapan Hukum Kebiri Kimia

9junPengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyatakan penolakannya sebagai eksekutor dalam penerapan hukum kebiri kimia, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2016. Mereka menilai tindakan "penyiksaan" semacam itu menyalahi sumpah dokter.

"Kami tidak menolak Perppu No 1 Tahun 2016. Tapi kami para dokter menolak untuk jadi eksekutor hukuman kebiri kimia," kata Ketua Umum IDI, Prof Ilham Oetama Marsis dalam keterangan pers, di Jakarta, Kamis (9/6).

Hadir dalam kesempatan itu, dr Danardi Sosrosumihardjo (Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa), dr Wimpie Pangkahila (Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia) dan dr Prijo Sidipratomo (Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI).

Prof Marsis menjelaskan, alasan penolakan itu antara lain efek samping atas penggunaan obat antitosteteron atau kebiri kimia pada seseorang dalam jangka waktu lama. Karena, penderita akan mengalami insomnia (kesulitan tidur), pengeroposan tulang (osteoporosis), gangguan kognitif hingga pelemahan otot.

"Kami para dokter tidak mau melakukan "penyiksaan" semacam itu. Jika harus dilaksanakan, silakan cari tenaga kesehatan lain sebagai eksekutornya," tutur Prof Marsis.

Kendati demikian, IDI bersedia membantu rehabilitasi korban dan pelaku. Rehabilitasi korban menjadi prioritas utama guna mencegah dampak buruk dari trauma fisik psikis yang dialaminya.

"Rehabilitasi pelaku juga perlu dilakukan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan, yang mengakibatkan bertambahnya korban. Kedua penanganan rehabilitasi itu membutuhkan penanganan komprehensif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu," kata Prof Marsis menegaskan.

Hal senada dikemukakan Prijo Sidipratomo. Upaya lain yang bisa dilakukan untuk membuat jera pelaku kekerasan seksual pada anak, seharusnya berupa hukuman penjara atau isolasi seberat-beratnya.

Karena IDI memandang kekerasan seksual pada anak merupakan kejahatan luar biasa yang harus mendapat perhatian khusus. "Hukuman yang ada sekarang masih belum optimal. Contohnya kasus kejahatan seksual pada anak di Kediri, hanya dihukum 9 tahun. Seharusnya diatas 20 tahun," ujar prijo yang juga mantan Ketua Umum IDI tersebut.

Pakar seks Wimpie Pangkahila menambahkan, bukti-bukti ilmiah pun menunjukkan kebiri kimia juga tidak menjamin hilang atau berkurangnya hasrat dan potensi perilaku kekerasan seksual pelaku. Karena itu, perlu dicari bentuk hukuman lain sebagai sanksi tambahan.

"Karena di Amerika atau di Korea Selatan, suntik kebiri kimia ini hanya bersifat pilihan dari banyak sanksi hukum lain. Saya belum pernah membaca pelaku kekerasan seksual pada anak di negara tersebut yang mendapat suntikan kebiri kimia," kata Wimpie menegaskan.

Ia mengakui, suntik antitosteron bersifat sementara. Begitu suntikan tersebut dihentikan, maka dorongan seksual pelaku akan kembali normal. Namun, hingga kini aturan suntik kebiri kimia belum jelas sampai berapa lama.

"Karena jika dilakukan dalam jangka waktu lama, hukuman itu bisa mengganggu organ tubuh lain. Memang libido menurun, tetapi kesehatan fisiknya melemah. Jadi, apakah tindakan semacam itu sudah tepat," ujar Wimpie menandakan. (TW)