Ini alasan wacana sertifikat vaksin sebagai syarat perjalanan belum bisa diberlakukan
Vaksinasi Covid-19 menyalakan kembali optimisme para pemangku kepentingan di sektor pariwisata di seluruh dunia. Maklumlah, berbagai lini bisnis yang berhubungan dengan pariwisata, mati suri selama pandemi. Ini dampak dari kebijakan yang melarang dan menghambat orang untuk melakukan perjalanan, yang berlaku di hampir semua negara di dunia.
Setelah jumlah orang yang divaksin meningkat, muncul wacana untuk melonggarkan larangan dan hambatan perjalanan itu. Dengan catatan, pengecualian itu hanya berlaku untuk mereka yang sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19. Jadi, wacana yang muncul saat ini adalah sertifikat vaksin dijadikan semacam paspor untuk mereka yang ingin bepergian.
Di dalam negeri, wacana semacam itu terungkap dalam rapat dengar pendapat bersama di antara Kementerian Kesehatan dan DPR, awal pekan lalu. Usulan yang muncul di pertemuan itu adalah mereka yang sudah mengantongi sertifikat vaksin, tidak perlu lagi melakukan rapid test antigen saat hendak melakukan perjalanan jarak jauh, seperti yang dipersyaratkan saat ini.
Usulan semacam ini juga bergaung keras di luar negeri. Mengutip JPtimes.com, beberapa negara, seperti Israel dan China, bahkan sudah menggunakan sertifikat vaksin sebagai syarat perjalanan. Memang, sertifikat yang diberlakukan kedua negara itu baru berlaku di kawasan mereka masing-masing.
Israel memperkenalkan green pass sebagai syarat perjalanan di negerinya. Ini semacam sertifikat digital yang bisa didapatkan oleh penduduknya yang sudah mendapatkan vaksin Covid-19, atau sudah terbukti memiliki kekebalan terhadap virus corona.
China juga sudah memperkenalkan sertifikat digital bagi penerima vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh institusi di negerinya. Dan mulai 8 Maret, China melonggarkan aturan perjalanan ke luar negeri bagi warganya yang sudah mengantongi sertifikat tersebut. China juga melonggarkan aturan masuk bagi wisatawan mancanegara yang sudah mengantongi sertifikat tersebut.
Negara-negara yang bergabung dalam Uni Eropa juga mempertimbangkan penggunaan sertifikat vaksin sebagai syarat perjalanan. Mengutip BBC, Kamis (18/3), Komisi Eropa mengusulkan Green Digital Certificate di seluruh kawasan negara anggotanya. Sebanyak 27 negara anggota Uni Eropa yang akan menentukan apakah proposal itu akan diberlakukan atau tidak.
Mirip dengan green pass milik Israel, sertifikat berbentuk digital itu akan diberikan ke seseorang yang telah mendapatkan vaksinasi Covid-19, telah pulih dari Covid-19, atau mendapatkan hasil negatif. Ketentuan yang diusulkan di proposal itu seperti vaksin yang diakui dibatasi pada vaksin yang disetujui European Medicine Agency. Lalu, syarat dan ketentuan yang berlaku di negara anggota haruslah sama.
Penggunaan sertifikat vaksin sebagai syarat perjalanan sejatinya bukan barang baru. Banyak negara di dunia yang pernah, atau bahkan sampai kini masih mensyaratkan wisatawan mancanegara untuk memiliki sertifikat vaksin terhadap berbagai penyakit, seperti cacar air, rubella, kolera, atau tifus.
Namun, penggunaan sertikat vaksin Covid 19 sebagai persyaratan perjalanan menuai pro dan kontra. Mereka yang mendukung beralasan penggunaan sertifikat vaksin sebagai persyaratan perjalanan akan mempercepat pemulihan ekonomi. Sektor-sektor yang nyaris mati selama pandemi, terutama sektor pariwisata bisa kembali hidup.
Jika sektor pariwisata bisa berjalan lagi, ekonomi masyarakat tentu akan terbantu. Mengingat sektor pariwisata bersinggungan dengan banyak lini bisnis, mulai dari yang bermodal besar, seperti hotel dan penerbangan, hingga usaha kecil berskala lokal, semacam pemilik warung makan, atau penyedia jasa pemandu.
Namun banyak juga yang bersuara kontra. Di Eropa, misalnya. Ada yang menilai penggunaan sertifikat vaksin sebagai syarat perjalanan sebagai kebijakan yang diskriminatif. Alasannya, program vaksinasi baru menyasar sebagian golongan masyarakat.
Alasan penolakan lain merujuk ke belum lengkapnya hasil penelitian tentang keampuhan vaksin. Memang, saat ini belum ada pengembang vaksin yang bisa menyimpulkan tentang keampuhan vaksin buatannya dalam mencegah seseorang terinfeksi virus corona. Kesimpulan yang sudah ada adalah vaksin Covid-19 ampuh mencegah seseorang yang terinfeksi, mengalami gejala yang berbahaya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) termasuk yang tidak mendukung penggunaan sertifikat vaksin Covid-19 sebagai syarat perjalanan. Sebelum Komisi Eropa mengajukan usulan green digital certificate, WHO tengah menyusun kerangka kerja yang bisa dipercaya dunia, untuk perjalanan yang aman. “Dan vaksinasi seharusnya tidak menjadi syarat,” demikian pernyataan WHO, seperti yang dikutip BBC.
Di dalam negeri, Satgas Penanganan Covid-19 menanggapi dengan hati-hati usulan penggunaan sertifikat vaksin sebagai syarat perjalanan. “Sampai dengan saat ini, hal tersebut merupakan wacana,” ujar Wiku Adisasmito, jurubicara Satgas, dalam keterangan pers, Kamis (18/3).
Dalam acara yang juga ditayangkan oleh akun Sekretariat Presiden di platform Youtube, Wiku memberi penjelasan lebih lanjut. Ia menuturkan, masih perlu studi lebih lanjut tentang efektivitas vaksin dalam menciptakan kekebalan pribadi kepada orang yang telah mendapatkan vaksin Covid-19. Dan jika tidak ada hasil studi yang valid, berarti tidak ada jaminan kekebalan individu terbentuk, imbuhnya.
“Apabila sertifikat tersebut dikeluarkan tanpa adanya studi yang membuktikan adanya kekebalan individu telah tercipta, maka pemegang sertifikat tersebut memiliki potensi tertular atau menularkan virus Covid-19 selama melakukan perjalanan,” ujar dia.