Reportase HSR 2018, Hari Pertama

Senin, 8 Oktober 2018

Sesi 1

Health financing Toward UHC: Practical lessons learned from priority setting and strategic purchasing in low and middle - income countries


  Pengantar

Problem di UHC tetap masih pada akses dan sumber dana. Out of pocket spending masih mendominasi di daerah - daerah miskin. Sementara itu penggunaan dalam bentuk Benefit Packages juga harus dikritisi. Apa yang harus diberikan dalam bentuk apa, dan untuk siapa pelayanan diberikan. Tantangan yang ada antara lain data tidak cukup untuk dapat dipakai dalam pengambilan keputusan. Kurang ada keterlibatan civil society. Tantangan berikutnya adalah situasi supply side, misalnya quality improvement, ketersediaan, problem bernegosiasi dengan pihak swasta merupakan contoh. Juga mengenai alokasi sumber dana: kegiatan apa yang harus dibayari dan untuk siapa.

hsr3 1Sesi ini diawali dengan paparan Professor Anthony Culyer dari University of York yang saat ini menjabat sebagai Ketua International Decision Support Initiative (IDSI). Pada intinya disebutkan bahwa dalam situasi saat ini untuk sektor kesehatan, Cost-Effectiveness Analysis (CEA) bukan satu - satunya solusi. Terdapat ideologi tentang kesehatan yang berguna bagi semua. Apa value  dan impact yang harus memiliki bukti. Hal ini bukan sebuah kegiatan politis namun teknis. Di Inggris dikembangkan oleh NICE dan didukung oleh pemerintah dan kelompok oposisi.

Apa yang bisa di - share dari pengalaman di Inggris? NICE dibentuk karena terdapat skandal - skandal medik. Dibutuhkan lebih banyak perencanaan yang bisa memilah - milah impact pelayanan kesehatan, mana yang logis dan mana yang tidak. Untuk itu capacity building mengenai isu ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi situasi terkait nilai dan dampak dari pelayanan kesehatan.

hsr3 2Prof Calypso dari Imperial College Inggris membahas lebih banyak mengenai rationing plan. Tergantung pada situasi di berbagai negara. Perlu independensi negara yang mengembangkan perencanaan pelayanan kesehatan yang masuk ke UHC atau yang tidak. Menentukan Benefit Package dan obat apa yang harus masuk. Untuk itu capacity development penting sekali dalam kegiatan ini. Namun konteks yang ada perlu diperhitungkan. Setiap negara mempunyai regulasi masing - masing. Terdapat perbedaan transparasi dan perbedaan perilaku politikus.

 

 

Bagi para pembaca yang ingin lebih mendalami mengenai diskusi ini lebih lanjut, silahkan membaca buku yang berjudul menarik ini.

BOOKS
What's In, What's Out: Designing Benefits for Universal Health Coverage

read more

 

 

 

 

  Refleksi untuk Indonesia

Dalam situasi defisit di BPJS, pertanyaan mengenai apa yang masuk dan apa yang harus keluar dari list pelayanan kesehatan dan serta obat – obatan yang dibutuhkan. Apakah BPJS perlu membayar untuk sebuah obat yang sangat mahal dengan manfaat yang sangat kecil? Apakah BPJS harus membayar teknologi yang tidak cocok lagi? Hal-hal ini menjadi kunci yang perlu dipelajari oleh kita para peneliti kebijakan kesehatan, termasuk para klinisi yang sehari hari berhadapan dengan pasien. Pertanyaan mengenai Apa yang akan didanai oleh BPJS dan untuk siapa, akan menjadi pertanyaan klasik sepanjang masa. Untuk itu perlu sekali membaca buku yang dapat di klik di atas.

Reporter : Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)

Link Terkait:

 {jcomments on}

Training Resources

backk Back

Pada hari pertama ini, terdapat workshop yang terkait dengan ketrampilan dalam penyebaran hasil penelitian. Judulnya adalah:
"Out of Library and into the World: Communication for research".

Sesi ini sangat penting untuk kita semua, peneliti dan juga para mahasiswa pascasarjana kebijakan dan manajemen kesehatan.

Tujuan sesi ini adalah untuk:

  1. Memahami untuk siapa, mengapa, bagaimana dan melalui format apa hasil riset akan disampaikan;
  2. Memahami berbagai macam platform yang tersedia untuk penyebaran hasi riset;
  3. Mampu menyusun isi dan membentuknya menjadi bahan yang dikirimkan.

Di dalam kegiatan ini, peserta workshop dilatih beberapa hal mengenai Presentasi dan menulis Blog. Untuk presentasi dilakukan kegiatan mempersiapkan penyajian mulai dari menulis opening, sampai ke penyusunan struktur presentasi. Untuk menulis blog ada berbagai hal yang perlu dilakukan secara detil agar blognya menarik.

Para pembaca laporan yang tertarik untuk mempelajari lebih lanjut silahkan klik di sini untuk mengikuti berbagai Video dan bahan training untuk berbagai cara penyebaran ilmu:

Designing Effective Research Posters

Learn how to design clear and engaging research posters that communicate effectively with your audience.

 

Writing and Promoting your Blog Post

Blogging is a way to get your research and ideas out to into the world. This guide goes through the key points in structuring and promoting your blog post.

Presentation Matters!

A short video on how to make the most of presenting



 

 

Policy Engagement

Understanding the tools, tactics and approaches to how you can successfully engage with policy audiences and achieve demonstrable research impact.

 

Communicating Through the Media

A guide for researchers on how to communicate through the media.

 

Why should researchers use social media?

These resources will show how researchers can use social media to benefit their work.

Pleno 1.2

Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kesehatan Masyarakat

pleno1-2

Sulistiono (Ketua MTKI), memaparkan bahwa Surat Tanda Registrasi (STR) yang merupakan bukti tertulis dan dikeluarkan oleh MTKI dapat berlaku secara nasional maupun internasional. Saat ini hampir 34 ribu tenaga kesehatan masyarakat yang telah memiliki STR, dan terbanyak berasal dari Provinsi Sulsel (6000-an orang). Sulistiono menambahkan bahwa tenaga dengan jabatan fungsional atau dengan pengalaman tertentu yang ditetapkan oleh organisasi profesi sendiri, bisa mendaptakan sertifikasi meskipun secara pendidikan tidak melewati jenjang tertentu.

materi

Usman (Kepala Badan PPSDM Kementeran Kesehatan) mengatakan bahwa seharusnya kompetensi puskesmas diperkuat untuk mencegah semakin meningkatnya PTM. Data menunjukkan bahwa penanganan penyakit jantung telah menghabiskan anggaran JKN sebesar Rp 3,5T padahal kasus ini ada di urutan keempat terbanyak. 80% dana JKN digunakan untuk kuratif. IDI telah mengusulkan agar komposisinya diubah menjadi 50 : 50, untuk memperbesar kapitasi. Penyebaran tenaga kesehatan menunjukkan kecenderungan dimana kebanyakan nakes mengisi daerah-daerah barat dan kota besar. Hanya tenaga sanitarian yang menunjukkan pola sebaliknya, yaitu makin ketimur dan perifer makin banyak. Saat ini ribuan puskesmas masih kekurangan tenaga kesehatan. Diproyeksikan kebutuhan tenaga kesehatan untuk mengisi puskesmas-puskesmas tersebut adalah sebanyak hampir 63 ribu tenaga. Tahun 2019 ada lebih dari 56 ribu tenaga kesehatan sudah akan ditngkatkan kompetensinya.

materi

Anung Sugihantono (Dirjen Kesehatan Masyarakat) menggelitik peserta dengan pertanyaan siapa yang bertanggungjawab terhadap pengeluaran rumahtangga yang komposisinya lebih banyak untuk belanja makanan instan (26%) dan rokok (hampir 13%). Menurutnya, dengan perubahan generasi X dan Y menjadi generasi Z saat ini, para ahli kesehatan masyarakat harus pandai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda, dan bukan hanya membicarakan mengenai trend kesakitan maupun prevalensi melainkan sampai keukuran-ukuran ekonomi, misalnya berapa kerugian dari banyaknya pasien dialysis perbulan yang menyerap APBN maupun APBD.

materi

IAKMI – sebagaimana dipaparkan oleh Dedi Supratman (Ketua UKSKMI) – telah melakukan berbagai upaya strategis untuk mewujudkan profesi kesehatan masyarakat yang mutunya diakui, misalnya dengan mengebangkan instrument untuk uji kompetensi dan menjalin MoU dengan berbagai instansi yang terkait. Sayangnya, hasil uji kompetensi yang dipaparkan oleh Agustin Kusumayanti menunjukkan bahwa kurang dari 40% peserta uji yang lulus. Artinya, mutu sarjana kesehatan masyarakat masih rendah dan sangat bervariasi antar - perguruan tinggi. 

silahkan klik materi dedi supratman dan agustin kusumayanti  materi 1   materi 2

Reporter: Putu Eka Andayani

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

 

Presentasi Oral Hari 3

Oral 1

Ekonomi Kesehatan

oral5Dwi Handono dari PKMK FK UGM memaparkan hasil penelitiannya mengenai kendala penyerapan Jampersal di salah satu kabupaten di Kalimantan Barat. Pembiayaan melalui program Jampersal di tahun 2016 ini dimanfaatkan untuk operasional rumah tunggu, operasional pelayanan kesehatan di rumah tunggu serta biaya transportasi rujukan persalinan. Daerah-daerah dengan karakteristik perdesaan ataupun terpencil membutuhkan rumah tunggu untuk mengantisipasi komplikasi maternal, namun demikian dana Jampersal tersebut belum terserap karena kurang terperinci-nya juklak/juknis, belum adanya Perda yang mengatur besaran biaya perjalanan untuk jarak tertentu, serta belum ada standar biaya dan fasilitas rumah tunggu yang akan disewa.

Peneliti lain dari PKMK FK UGM mengangkat topik kesetaraan alokasi pembiayaan program kesehatan antar wilayah perkotaan dan perdesaan di 3 kabupaten di Papua. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa belum ada pedoman dalam perencanaan dan penganggaran yang spesifik mengarahkan perlunya alokasi secara khusus untuk wilayah perdesaan atau terpencil, guna memastikan bahwa dana dimanfaatkan dan dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat dalam satu kabupaten.

Beralih ke isu di pelayanan kesehatan tingkat rujukan, Ryman Napirah dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulalako, Palu memaparkan hasil penelitannya mengenai costing Rumah Sakit melalui metode ABC, Activity Based Costing. Penelitian yang mengambil RS Anutapura sebagai lokasi penelitian menggunakan metode penghitungan costperawatan di Rumah Sakit berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh 3 kelompok pos pembelanjaan, yakni: 1) Unit level activity meliputi: telepon, listrik, air, makan-minum, perawat; 2) batch level activity: biaya kebersihan, bahan habis pakai, dan administrasi, serta; 3) Facility level activity: meliputi biaya laundry, gedung dan fasilitas. Dari analisis tersebut, Ryman menemukan bahwa perhitungan cost dengan metode ABC menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan penghitungan cost model tradisional. Ryman menutup sesinya dengan merekomendasikan penggunaan metode ini ke depannya untuk meningkatkan transparansi dan akurasi penghitungan unit cost di Rumah Sakit.

Nurfardiansyah Bur dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia, Makassar mengangkat isu hubungan antara bauran pemasaran Rumah Sakit Umum Daerah di Gowa dengan loyalitas pelanggan. Dalam dunia pemasaran, dikenal istilah 'bauran pemasaran' yang dapat diartikan sebagai alat perusahaan untuk memperoleh respon yang diinginkan dari pasar. Penelitian Nurfardiansyah mengambil sampel 114 pasien rawat dinap di RSUD Gowa dan melihat berbagai aspek pelayanan, antara lain: promosi, tenaga kesehatan penyedia pelayanan kesehatan, proses pelayanan, dan fasilitas fisik. Hal yang menarik adalah bahwa fasilitas fisik, promosi serta penyedia pelayanan kesehatan yang baik menjadi faktor-faktor yang berpengaruh pada loyalitas pasien, sedangkan proses pelayanan tidak berpengaruh pada loyalitas pasien. Tidak berhubungannya antara proses pelayanan dengan loyalitas dapat saja disebabkan oleh status pasien yang sebagian besar anggota BPJS Kesehatan dan status RS sebagau milik pemerintah, sehingga cenderung memiliki loyalitas tinggi.

Reporter: Likke Prawidya Putri, MPH

 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

Presentasi Oral Hari 2

Oral 1

Kemitraan dalam Pembangunan Berkelanjutan

oral1Pembangunan berkelanjutan tentunya membutuhkan kerjasama lintas sektor. Peningkatan derajat kesehatan untuk masyarakat hidup sehat dan bahagia dalam mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan yang merupakan tajuk dari Konas IAKMI XIII Makassar, menyiratkan pentingnya kemitraan untuk mencapai visi Indonesia Sehat. Sesi presentasi oral pada hari Jum'at (05/11/2016) menghadirkan pemateri-pemateri yang telah terlibat dalam upaya inisiasi maupun eksekusi kemitraan lintas sektor.

Dari sektor KIA, Ketut Surmayaksa, Tuti Sumartinah, dan Deni Harbianto mengangkat berbagai pendekatan kemitraan yang berbeda dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Ketut menyasar pendampingan pada ibu hamil sebagai bagian dari program pengabdian mahasiswa untuk memastikan kunjungan antenatal diketahui dan dijalankan oleh ibu hamil. Tuti menggali potensi kemitraan yang dapat dilakukan Dinas Kesehatan dengan indung beurang (dukun bayi). Potensi indung beurang ke depan diharapkan dapat menjadi agen pemeliharaan kesehatan keluarga berbasis budaya dan agama untuk melengkapi fungsi bidan sebagai tenaga profesional. Deni, peneliti dari PKMK FK UGM, menggandeng SKPD Kesehatan dan SKPD terkait lainnya untuk melakukan Perencanaan Penganggaran Berbasis Bukti (PPBB) untuk mendukung perencanaan KIA berbasis permasalahan lokal.

Isu-isu menarik lainnya datang dariRisnah yang mengambil pendekatan Participatory Action Research (PAR) di Jeneponto dengan terlibat langsung untuk memberdayakan aset masyarakat bersama-sama warga setempat. Dengan upaya ini, Risnahingin membangun inklusi sosial yang dapat meningkatkan kemandirian individu. Ni Made Dian Kurniasari melakukan survey untuk melihat potensi pemberian informasi kesehatan pada wisatawan melalui pramuwisata di Bali. Dian menemukan bahwa pramuwisata memiliki efikasi dan keinginan untuk menjadi aktor kesehatan di sektor pariwisata.

Dito Anurogo melirik kerjasama keilmuan di sektor kesehatan dan melihat adanya potensi malconduct dan ketidaketisan yang terjadi saat ini dan akan terjadi di masa yang akan datang, terutama pada studi mengenai otak dengan teknologi yang semakin canggih. Dito mengungkapkan bahwa neuroetik (etika mengenai sistem syaraf) harus diturunkan, bukan lagi sebagai wacana tapi sudah merambah isu publik. Oedojo Soedirham menyoroti perubahan persepktif kesehatan masyarakat yang bukan lagi menyangkut sanitary tapi ke arah health setting. Persepektif ini adalah perspektif holistik lintas-sektor di mana kesehatan tidak hanya dilihat dari penyediaan infrastruktur tetapi juga dengan memodifikasi lingkungan dan budaya. Oedojo mencoba menjelaskan perspektif ini untuk melihat kemungkinan diterapkannya health promoting university, di mana pengelola universitas secara aktif membangun healthy setting di kampus.

Singkatnya waktu dan banyaknya pembicara membuat sesi ini terkesan terburu-buru dan alokasi untuk waktu tanya jawab dihilangkan. Meski demikian, peserta dapat melihat potensi berbagai jenis kemitraan baik yang dilakukan oleh universitas, dinas kesehatan, bahkan dinas pariwisata.. Sesi ini memberikan gambaran yang menarik bagaimana memanfaatkan kemitraan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.

reporter : Insan Rekso Adiwibowo

 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

Reportase Pleno 2

Universal Health Coverage

pleno2

Sesi ini dibuka oleh Ketua Umum IAKMI terpilih, dr. Ridwan M. Thaha, MSc dan Direktur Utama BPJS, Prof. DR. dr. Fahmi Idris, MKes. Ridwan Thaha menyatakan bahwa masalah eskalasi biaya kesehatan merupakan masalah semua pihak. Fahmi Idris yang juga merupakan anggota IAKMI menyampaikan terima kasih atas MoU dan kesempatan dalam memaparkan berbagai hal yang terkait dengan BPJS Kesehatan.

Sesi plenary ini adalah sesi terakhir dari rangkaian Kongres Nasional IAKMI 2016. Sesi yang dimoderatori oleh Sumarjati Arjoso ini menghadirkan narasumber dari UNFA, Dirut BPJS, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Prof. Ascobat Ghani dan Kepala Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI, DR. Siswanto.

Fahmi Idris mengatakan bahwa progress yang tercapai saat ini on the right track. Mandat UU cukup berat, yaitu hanya sebagai pembeli pelayanan kesehatan. Namun karena kondisi sistem yang belum optimal (pelayanan kesehatan, kendali mutu, sistem pembayaran) sehingga mandat UU BPJS adalah mengembangkan ketiga hal tersebut. Data menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan lebih besar dari biaya yang diterima, karena tingginya kasus katastropik (menyerap 33% dari dana kesehatan). Satu-satunya jawaban untuk mengatasi ini adalah pencegahan. Jika struktur biaya iuran yang tidak sesuai dengan aktuaria tidak dibenahi akan menjadi masalah besar yang berkepanjangan.

materi

National Program Officer UNFPA, Melanie, berbicara tentang sexual and reproductive health and rights in the SDGs under UHC context. SDGs bersifat bottom up dan targetnya merata untuk seluruh negara anggota, ini merupakan pembeda utama dengan MGDs. Setelah indikator global dan nasional dipetakan, ada beberapa isu penting terkait target. Misalnya target terkait penurunan angka kematian ibu, definisi mengenai skill/competency of health personnel belum sama dengan yang di level global. Selain itu, indikator lain misalnya pemenuhan kebutuhan ber-KB, pengambilan keputusan oleh perempuan dan sebagainya. Paket KB (termasuk konseling), pemakaian alat kontrasepsi, pengelolaan side-effect adalah paket-paket pelayanan KB yang direkomendasikan oleh hasil studi yang memiliki efektivitas tinggi jika diintegrasikan ke program SDGs. Juga ada paket kesehatan ibu pencegahan malaria dan HIV pada ibu.

materi

Dra. Mirnawati, Apt, MKes (Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Dirjen Yankes Kementerian Kesehatan) mewakili Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan berbicara tentang upaya untuk memperkuat upaya promotif dan preventif oleh fasilitas kesehatan primer. Gerakan masyarakat sehat adalah gerakan yang dilakukan bersama-sama oleh semua kementerian: Perindustrian, PU, Badan POM dan Kesehatan, yang rencananya akan dicanangkan pada 12 Desember di 10 daerah. Isunya, akses pelayanan dasar dan rujukan yang berkualitas belum merata. Peningkatan akses dilakukan bersama dengan kementerian lain, peningkatan kuaitas dilakukan bersama dengan Pemda, yaitu untuk memenuhi standar sesai kelas pelayanan sebagaimana diatur pada Permenkes terkait. Kemenkes telah menyiapkan berbagai roadmap, antara lain puskesmas yang bekerjasama dengan dinkes dan RS, regionalisasi RS Rujukan. Perlu dukungan semua pihak termasuk IAKMI untuk mencapai seluruh tujuan pembangunan kesehatan tersebut.

materi

Prof. Ascobat Gani (Guru Besar FKM UI, Ketua Tim Kendali Mutu-Kendali Biaya BPJS) berbicara tentang Peran SKM di Era UU No. 23 dan SDGs memaparkan bahwa ada 9 tantangan bagi SKM yang saling terkait, antara lain disparitas, ketidakmerataan faskes, determinan penyakit, "hutang" MDGs, sistem kesehatan yang belum diperkuat, UU No. 23/1992 dan turunannya, JKN, yang harus dilihat secara menyeluruh. Peran SKM yaitu membina kesehatan wilayah secara komprehensif, menggerakkan mesin sosial dan mesin birokrasi, promosi kesehatan, pelayanan pencegahan, surveillance, menggerakkan sektor lain, serta memperkuat sistem kesehatan.

materi

Kepala Badan Litbang Kemenkes, DR. Siswanto, memaparkan bahwa peran Balitbangkes untuk mendukung pelaksanaan evidence based policy. Diperlukan inovasi program sebagai masukan bagi pembuat kebijakan. Untuk menguatkan sistem kesehatan, Balitbang melakukan banyak riset mulai dari aspek input, proses hingga output dan outcome. (pea)

materi

Reporter: Putu Eka Andayani

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

Presentasi Oral

Presentasi Oral :
Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan-1

Reporter :
Aulia Novelira, SKM.,M.Kes (Divisi Public Health, PKMK FK UGM)

Dalam sesi ini, dilaksanakan presentasi oral dari hasil studi peserta yang berkaitan dengan tema utama yaitu Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan. Judul penelitian yang dipresentasikan sangat menarik dan bervariasi. Sesi ini berlangsung selama kurang lebih 1 jam dengan presentasi dari 5 orang presenter. Presenter ada yang berasal dari universitas dan lembaga studi. Selain presentasi, terdapat diskusi bersama para partisipan yang hadir dalam sesi presentasi oral. Berikut akan diberikan gambaran terkait dengan fokus studi apa saja yang dipresentasikan.
Presentasi pertama disampaikan oleh Cindi Widia Lestari dari Universitas Diponegoro Jawa Tengah tentangAnalisis Pengambilan Keputusan Adopsi Stakeholder Dalam pembuatan Provincial Health Account (PHA) di Provinsi Jawa Tengah. Studi ini menunjukkan bahwa pembuatanPHA di Jawa Tengahmasih terkendala dengan belum adanya legitimasi kelembagaan pembuatan PHA.Koordinasi dengan stakeholder terkait diperlukan untuk mulai mengadopsi pembuatan PHA. Presentasi kedua disampaikan oleh Dedik Sulistiawan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Presentasi yang disampaikan mengenai Potensi Akseptabilitas Puskesmas Non BLUD terhadap Regulasi Penggunaan Dana Kapitasi JKN pada FKTP Milik Pemerintah Daerah. Studi yang dilakukan ini memotret kondisi di Kabupaten Sigi, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi. Fokus penelitian ini berkaitan dengan kecenderungan penerimaan dan adaptasi puskesmas dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016 yang mengatur terkait dengan pemanfaatan sisa lebih dana kapitasi.
Presentasi ketiga disampaikan oleh I Putu Dedy Kastama Hardy. Studi yang disampaikan terkait dengan Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Pelaksanaan Prgram GE.LA.TIK dalam Penanganan Sampah Plastik di Kabupaten Badung – Bali. Pendekatannya dengan menggunakan analisis SWOT.Pihak internal adalah penentu kebijakan dan pihak eksternal adalah pengguna kebiajakan yaitu sekolah. Salah satu kelemahan program ini adalah pelaksanaan sesuai dengan SOP belum berjalan optimal. Komitmen dan dukungan pemerintah sangat diperlukan. Ketersediaan SDM yang mau mengelola sampah juga masih minim. Presentasi keempat disampaikan oleh ArlindaSari Wahyuni dari Universitas Sumatera Utara Medan. Studi ini menekankan pada analisis konkordansi perilaku pengobatan pasien TB paru karena prevalensinya cukup tinggi di Kota Medan sedangkan angka kesembuhannya masih rendah. Konkordansi yang baik dapat meningkatkan komitmen pasien dan dokter dalam peningkatan kesembuhan TB. Presentasi kelima disampaikan oleh Mansur Sididi dari Universitas Muslim Indonesia Makassar tentang Kebijakan Kawasan Tanpa rokok di Terminal Regional Daya Kota Makassar. Informan yang diambil bervariasi mulai dari Direktur Utama Terminal hingga cleaning service officer dan supir di lingkungan terminal. Dari hasil studi hal utama yang diperlukan adalah adanya sosialisai Kawasan Tanpa Rokok secara menyeluruh pada masyarakat dan perlu adanya tim satuan khusus untuk yang dapat menjaga situasi dan kondisi implementasi kebijakan dengan ketegasan dari sisi pemberian sanksi kepada mereka yang merokok di Kawasan Tanpa Rokok Terminal Regional Daya Kota Makassar.
Dari hasil presentasi dan diskusi diketahui bahwa implementasi dan kebutuhan kebijakan tidak hanya menyasar kepada penentu kebijakan saja namun pengguna kebijakan atau mereka yang akan terdampak dengan kebijakan perlu diikutsertakan dalam analisis atau studi-studi yang terkait dengan permasalahan kebijakan dan ekonomi kesehatan.

Reportase Simposium 1

simposium 1

Kebijakan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi dalam Agenda Pembangunan Nasional

simp1Upaya inovatif dalam pengendalian penduduk dan kesehatan reproduksi merupakan salah satu isu utama dalam agenda pembangunan nasional. Ini disebabkan karena saat ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih tinggi, yaitu 1,49%. Tidak hanya itu, sebagaimana disampaikan Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN; Dr. Ir. Dwi Listyawardani, M.Sc., Dip.Com., total fertility rate Indonesia saat ini berada di angka 2,29. Hal ini berarti setiap wanita usia subur rata-rata memiliki 2-3 orang anak selama masa reproduksinya dan tergolong masih lebih tinggi dibandingkan dengan target 2019 sebesar 2,28. Disampaikan pula bahwa rendahnya pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang dan disparitas pencapaian program KB antar daerah juga merupakan salah satu isu strategis selain sorotan terhadap tingginya unmet need, drop out pemakaian kontrasepsi, meningkatnya jumlah kehamilan remaja, dan angka kematian ibu.

Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN juga menyampaikan bahwa pengarusutamaan KB dalam JKN juga merupakan isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian. Beberapa tantangan pelayanan KB dalam JKN antara lain pelayanan KB di RS yang belum terkelola dengan baik, belum adanya standarisasi indikasi medis untuk pelayanan IUD dan implan yang dapat dirujuk ke rumah sakit tipe C dan D, masih banyaknya praktek dokter dan klinik swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (melayani KB) yang belum terdaftar dalam registrasi BKKBN, serta retensi ketrampilan dokter dan bidan pasca pelatihan metode kontrasepsi. Beberapa strategi yang akan dilakukan BKKBN antara lain melakukan upaya integrasi sistem pencatatan dan pelaporan pelayanan KB atara BKKBN dan BPJS Kesehatan, pemetaan fasilitas pelayanan kesehatan yang melayani KB, pemenuhan sarana dan pelatihan pelayanan KB, penurunan unmet need dan drop out melalui penguatan pelayanan peserta KB baru dan penambahan peserta KB aktif, penyediaan alat, obat, dan sarana penunjang pelayanan KB melalui e-katalog, mendorong penyediaan pembiayaan KB MOW interval, dan sebagainya.

Pada kesempatan yang sama, dr. Ashon Sa'adi, SpOG(K); Konsultan Endokrinologi RSU Dr. Soetomo Surabaya menyampaikan salah satu bentuk inovasi dalam program KB yaitu penggunaan Pil KB kombinasi modern yang mampu meningkatan efektivitas penggunaan kontrasepsi dengan efek samping minimal. Pil KB kombinasi modern tersebut adalah pil KB yang mengandung Drospirenone yakni progestogen yang mirip farmakologinya dengan progesteron alami. Drospirenone bersifat anti-androgen sehingga selain fungsinya sebagai kontrasepsi, juga dapat mengurangi jerawat, mengurangi rambut halus di wajah, dan tidak akan menyebabkan kenaikan berat badan karena memiliki efek diuretik yang fungsinya membuang penumpukan cairan tubuh. Dengan demikian, adanya perbaikan komposisi progesteron pada pil KB modern ini akan meningkatkan kepatuhan dan kenyamanan penggunanya, sehingga mampu memperluas cakupan pelayanan kontrasepsi di masyarakat.

Berbeda dengan dr. Ashon Sa'adi yang memberikan inovasi pengendalian penduduk dan masalah kesehatan reproduksi dari disiplin ilmu kedokteran kandungan, dr. Christina Manurung yang merupakan Kasubdit Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja, Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI menyampaikan rekayasa pengendalian AKI dan AKB melalui pendekatan komunitas. Disampaikan bahwa Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) merupakan salah satu program yang diproyeksikan mampu mendorong percepatan penurunan AKI dan AKB. Tidak bisa dipungkiri bahwa usia perkawinan pertama penduduk Indonesia masih rendah. Selain disebabkan karena faktor sosial budaya, perilaku seksual pranikah merupakan faktor yang turut mempengaruhi rendahnya median usia perkawinan di Indonesia. Ironisnya, tingginya angka kematian ibu saat melahirkan dikontribusi oleh wanita usia di bawah 20 tahun. Ini artinya remaja merupakan populasi rentan yang harus mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, program percepatan penurunan AKI dan AKB diharapkan mulai menyasar kalangan remaja. Rasionalisasinya adalah karena sekitar 30% total penduduk Indonesia adalah usia remaja, dan sekitar 80% remaja adalah anak sekolah, sehingga apabila program diintervensikan di sekolah maka dampak yang diharapkan akan tercapai secara efektif dan efisien. Akhirnya, bonus demografi yang akan terjadi pada tahun 2020-2035 mampu dimanfaatkan sebagai jendela peluang karena berkualitasnya SDM yang telah disiapkan sejak dini.

Reporter : Dedik Sulistiawan

 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III