logoKKI

jkki2kki2

  • Home
  • Tentang KKI
    • Visi & Misi
    • JKKI
    • Hubungi kami
  • publikasi
    • E-Book
    • Artikel
    • Hasil Penelitian
    • Pengukuhan
    • Arsip Pengantar
  • Policy Brief
  • Pelatihan
  • E-library
  • Search
  • Login
    • Forgot your password?
    • Forgot your username?
04 Feb2019

Reportase Diskusi Outlook 2019: Kebijakan Obat dan Teknologi Kedokteran

Posted in agenda

Senin, 4 Februari 2019

Diskusi Outlook ke - 7 membahas “Kebijakan Obat dan Teknologi Kedokteran”. Narasumber pertama adalah Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, PhD yang membahas manajemen obat. Aspek obat dalam JKN berhubungan dengan regulator (sering terlambat), provider (langkanya obat) dan industri (sering miss-match kapasitas dan kebutuhan). Obat yang dibutuhkan sering mengalami kendala tidak ada izin edar padahal dibutuhkan pasien. Butuh waktu, karena bahan-bahan dalam pembuatan obat merupakan produk impor.

Reformasi kesehatan terkait manajemen obat memang membutuhkan siklus baru. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) memang menjadi kendala utama dalam ketersediaan obat. Stok sering habis di rumah sakit dan apotek, akibatnya sering terjadi belanja obat di luar fornas. Pengaturan obat dalam JKN diatur dalam 6 instrumen, yaitu formularium nasional, obat di luar tarif INA-CBGs, obat program rujuk balik (PRB), obat yang belum diatur dan e - katalog.

Iwan dalam persentasinya memaparkan bahwa jumlah item dan sediaan obat fornas mengalami peningkatan setiap tahunnya, penggunaan obat generik, branded dan patent dalam fornas juga mengalami perkembangan. Obat dalam fornas tidak didominasi oleh generik saja. Namun, dalam pelaksanaannya selama 5 tahun fornas memiliki tantangan sebagai berikut usulan obat cenderung high cost atau tidak memenuhi kaidah cost -effectiveness; selalu terdapat gap antara daftar dalam fornas dengan e - katalog; industri multinasional cenderung menggunakan harga global di keterbatasan JKN; pengawalan mutu obat dan single winner.

Peran rumah sakit dalam mengusulkan/ merencanakan obat diketahui bahwa belum semua rumah sakit memasukan perencanaan kebutuhan obat, hal ini menyebabkan sulit dikelola dengan baik. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) di rumah sakit atau faskes lainnya mengalami dilema yaitu masalah akurasi, belum didasarkan pada data riil, kesiapan industri, ketersediaan obat di beberapa kabupaten/ kota dan rumah sakit swasta yang belum dapat melakukan e -purchasing.

Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV (K) (Direktur Utama RS Pelni) selaku pembahas turut menyampaikan bahwa perlu siklus baru dalam reformasi kesehatan sektor manajemen obat yang telah melibatkan rumah sakit dalam volume yang lebih besar. Memasuki UHC ada suatu hal menarik bahwa rumah sakit mengalami kesulitan mendapat obat. Rumah sakit mengeluarkan cost lebih besar karena membeli di luar rencana. Ketika harga obat sudah ramah di katalog, tetapi masih belum bisa dinikmati rumah sakit. Reformasi kebijakan kesehatan bidan manajemen obat memiliki tantangan pada 2019 bahwa tidak hanya volume, tetapi value layanan pasien, program rujuk balik dan ketersediaan obat di faskes 1 harus menjadi perhatian bersama. Reformasi kebijakan manajemen obat membutuhkan 3 unsur yaitu rumah sakit, farmasi, asuransi volume to value health care based.

Nara sumber kedua adalah Dra. Erna Kristin, M.Si., Apt yang mengulas Health Technology Assessment (HTA) bahwa kita harus membuat prioritas terhadap dampak teknologi kesehatan yang masuk ke Indonesia. HTA tidak mudah dilakukan, karena adanya kesulitan dalam melakukan pemetaan siapa melakukan apa, tentunya dalam hal ini juga membutuhkan sumbangsih disiplin ilmu lainnya. Erna Kristin menyampaikan ada 10 langkah dalam melakukan HTA. HTA membawa keuntungan pada klinik, keamanan dan cost effectiveness, namun kita memiliki tugas besar yaitu membuat sistem data kesehatan berbasis teknologi yang terintegrasi dan terpadu, regulasi yang mendelegasikan kewenangan oleh insitusi terkait tugas dan tanggung jawabnya dengan jelas dan independesi assessment yang bekerja sama dengan perguruan tinggi masing - masing wilayah.

Pembahasan manajemen obat dan HTA dimungkinkan akan terus berlangsung melihat antusias penanya dan usulan yang masuk dalam sesi outlook pagi ini. Untuk yang memiliki perhatian terhadap topik tersebut dapat terus mengakses website kebijakankesehatanindonesia.net untuk informasi selanjutnya.

Reporter: Tri Aktariyani (PKMK UGM)

{jcomments on}

Twitter
Twitter
Facebook
Whatsapp
share with Whatsapp
Telegram
share with Telegram
Email
Send by email
powered by social2s
01 Feb2019

Reportase Sesi 4. Mengurangi Fragmentasi Sistem Kesehatan untuk meningkatkan Kualitas dan Kesinambungan Program JKN

Posted in agenda

Jakarta, 31 Januari 2019

31jan 4

PKMK – Jakarta. Indonesia adalah negara dengan sistem desentralisasi yang terdiri dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/ kota, dimana daerah - daerah tersebut memiliki kapasitas sistem kesehatan dan kualitas tata kelola pemerintahan yang bervariasi. Diseminasi yang berlangsung telah memaparkan hasil analisis evaluasi JKN di 7 provinsi yang mana hampir 8 sasaran peta jalan JKN yang ditetapkan DJSN belum mampu tercapai.

Dialog ini menjadi penutup agenda diseminasi, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. menyimpulkan bahwa kebijakan JKN telah berhasil melindungi sebagian masyarakat dari masalah ekonomi akibat sakit. Namun, sasaran JKN yang tertera di peta jalan belum tercapai. Setelah lima tahun program JKN, masalah pemerataan dan penjaminan mutu di tujuh provinsi masih terjadi. Kebijakan JKN gagal menyeimbangkan fasilitas pelayanan kesehatan antar daerah. Terjadi fragmentasi sistem kesehatan akibat adanya BPJS yang sentralistik dengan sistem kesehatan yang desentralistik. Sistem mutu belum terbangun dengan baik. Ada perbedaan yang sangat tajam antara provinsi yang maju dengan yang kurang maju dalam hal penjaminan mutu. Berbagai prinsip dalam JKN seperti kegotongroyongan, keterbukaan dan akuntabilitas belum dilaksanakan secara maksimal, akibatnya masalah pengambilan keputusan terjadi di semua tingkatan pemerintah terkait urusan kesehatan.

Pada sesi ini, perwakilan dari Bappenas menyampaikan bahwa adanya kebijakan JKN menjadikan status kesehatan menjadi baik. Defisit tidak dijadikan isu utama karena kondisi tersebut sudah menjadi risiko pemerintah yang menerapkan asuransi sosial. Fragmentasi pelayanan kesehatan yang mengakibatkan kesenjangan pemerataan pelayanan kesehatan karena supply side yang timpang. Saat ini Bappenas sedang menyusun RPJMN teknokratis dan kebijakan baru yang afirmatif dengan paket pelayanan khusus daerah DTPK. Akses data di BPJS Kesehatan dirasakan Bappenas sulit akses. Ada indikasi kekhawatiran pada lembaga atas data mikro. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan integrasi sistem data JKN dengan data kebijakan kesehatan. Selain itu, aktor kelembagaan atau pengawas pelaksanaan JKN (BPJS Kesehatan) yang patut didorong independensinya yaitu DJSN.

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, menanggapi bahwa usulan supply side membutuhkan waktu lama sekitar 3 - 5 tahun. Saat ini, premi PBI surplus. Lalu data penelitian menunjukkan adanya gotong royong terbalik. Undang - undang jelas menyatakan bahwa wajib membantu orang miskin dan tidak mampu, terkait hal ini sejak UU SJSN terbentuk sudah terdapat kebijakan kompensasi yang diperuntukan bagi daerah yang terbatas. Namun, hal itu belum dapat dilaksanakan karena tidak ada dananya. Kompartemen pada kantung kas JKN perlu dikaji lebih mendalam. Peserta PBI sakit namun sulit aksesnya. Kompartemen perlu ditelaah untuk menjamin hak pelayanan kesehatan yang mewujudkan keadilan sosial. Asuransi sosial memiliki mekanisme yang sama, yaitu selalu menguntungkan orang kaya atau mampu. Hal tersebut sedini mungkin harus diidentifikasi.

Terakhir, perwakilan DJSN menyampaikan bahwa memang perlu solusi untuk kepesertaan PBPU yang bermasalah atau mengalami kebocoran hingga500%. Perlu penghitungan cost INA-CBGs. Keterbukaan data di BPJS Kesehatan akan menyulitkan lembaga itu sendiri. Faktanya. negara demokrasi menutut besar partisipasi publik, hal ini semata - mata agar kebijakan yang dibentuk telah menggunakan data yang komprehensif dan akurat.

Pembahas menyampaikan terima kasih atas diselenggarakannya diseminasi hasil penelitian evaluasi 8 sasaran peta jalan JKN oleh PKMK FK - KMK UGM. Penelitian evaluasi JKN ini menjadi menarik dan penting pada momen yang tepat seperti ini. Selanjutnya, akan dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai hasil penelitian tersebut yang akan dituangkan dalam dimensi analysis of policy dan analysis for policy serta policy brief pada Februari .

Reportase : Tri Aktariyani (PKMK)

{jcomments on}

Twitter
Twitter
Facebook
Whatsapp
share with Whatsapp
Telegram
share with Telegram
Email
Send by email
powered by social2s
01 Feb2019

Reportase Diseminasi Evaluasi Peta Jalan JKN 2014 – 2018 dengan Pendekatan Realist Evaluation Sesi Tata Kelola

Posted in agenda

Jakarta, 31 Januari 2019

31jan 2 

PKMK – Jakarta. M. Faozi Kurniawan selaku peneliti dalam monev JKN berbasis realist evaluation menyatakan tata kelola menjadi bagian penting dalam upaya terciptanya pengelolaan organisasi termasuk pengelolaan JKN oleh BPJS Kesehatan. Peneliti PKMK FK - KMK UGM mengemukakan bahwa pada topik tata kelola, evaluasi JKN difokuskan pada sasaran 1, 5 dan 8. Pada sasaran 1 terdapat gotong royong terbalik dimana PBI mendanai kelompok PBPU yang dikarenakan kelompok PBI lebih banyak tidak menggunakan akses pelayanan kesehatan karena terbatasnya akses.

PBPU mengalami defisit yang lebih banyak karena terjadi tunggakan iuran dan keaktifan kepesertaan. Pada sasaran 5, koordinasi dan harmonisasi regulasi yang kurang selaras antara BPJS Kesehatan dan kementerian / lembaga. Regulasi yang berganti sangat cepat mengurangi posisi tawar provider untuk memperbaiki pelayanan. Pada sasaran 8, akses data yang sanagt terbatas dari BPJS Kesehatan, dimana data yang diperoleh hanya berupa presentasi buka data yang dapat digunakan untuk berbagai penentuan kebijakan. Keterbatasan akses data menyebabkan Pemda belum bisa ikut berperan dalam pelaksanaan kebijakan JKN termasuk membantu mengatasi defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Sifat sentralistik BPJS Kesehatan tidak memberikan kewenangan BPJS Kesehatan cabang untuk berbagi data dengan pemerintah daerah.

Suminto, S.Sos., M.Sc., PhD sebagai Staf Ahli Kementerian Keuangan mengemukakan bahwa isu ini sangat provokatif. Data terkait segmentasi pernah juga dibahas dalam beberapa pertemuan yang menunjukkan bahwa defisit terbesar pada peserta PBPU dan segmen bukan pekerja. Kemudian dari sisi regional bahwa terjadi ketidakadilan antara daerah satu dengan yang lainnya serta tidak seimbangnya benefit antar wilayah. Pemerintah telah melakukan intervensi dalam pelaksanaan JKN yaitu:

  1. Membayar 3% atas iuran PPU untuk PNS, ABRI/ POLRI
  2. Membayar 5% dari pension sebesar 5 T
  3. Membayar PBI 92,4 juta jiwa sebesar 25,5 T
  4. Menutup defisit melalui bantuan APBN sebesar 10,5 T

Dr. Widyastuti, MKM sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Sebelum JKN diberlakukan, 44 puskesmas di DKI Jakarta sudah BLUD, sehingga pengelolaan keuangan lebih baik dan sudah lebih mandiri. Dengan adanya kebijakan Gubernur, semua penduduk KTP DKI yang akan dirawat di kelas 3 dibiayai oleh Pemda. Pemprov DKI bersama Dukcapil melakukan harmonisasi terkait data tersebut. Cakupan kepesertaan jaminan kesehatan sudah hampir 99 %. Sumber dana setiap tahun 1,5 T untuk yang ber - KTP DKI dan kelas 3.

Pemda membayar untuk PBI sebesar 1,5T dari APBD provinsi ke BPJS Kesehatan, sekitar 3 T perkiraan dana non PBI ke BPJS Kesehatan, sehingga totalnya 4,5 T ke BPJS Kesehatan. Sedangkan dana yang kita terima dari BPJS Kesehatan yaitu dana kapitasi puskesmas 470 M, klaim CBGs 5,5 T, sehingga total 6,5 T. jadi selisih lebih juga dialami DKI Jakarta seperti D. I Yogyakarta. Namun perlu dilihat kembali terkait portabilitas, fasilitas kesehatan di DKI merupakan faskes rujukan nasional.

dr. Stefanus Bria Seran, MPH sebagai Bupati Kabupaten Malaka.
Kebijakan pemerintah pusat maupun kementerian/ lembaga di tingkat pusat akan dilakukan di tingkat daerah, sehingga perlu dilihat kembali bagaimana pelaksanaan kebijakan tersebut di daerah. Adanya acuan kebijakan atau perundangan yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan JKN di daerah. Pada UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 12 menyatakan bahwa kesehatan menjadi urusan wajib, sehingga pemerintah daerah harus memberikan prioritas pada kesehatan. Lalu mengapa pemerintah daerah perlu dilibatkan, berikut beberapa alasannya:

  1. Pemda mempunyai peserta atau rakyat
  2. Pemda mempunyai faskes FKTP dan FKTL
  3. Pemda mempunyai APBD
  4. Pemda mempunyai OPD/ Dinas-dinas
  5. Pemda mempunyai kewenangan untuk menetapkan Perda, Perbup dan Perwal

Dari perhitungan Kabupaten Malaka dana PBI APBN dan PBI APBD serta beban yang dikeluarkan untuk Kabupaten Malaka seperti kapitasi dan klaim INA CBGs menunjukkan lebih dari 50 milyar terjadi selisih dan itu tidak dikembalikan ke daerah. Apabila dikaitkan dengan pengelolaan dana jaminan kesehatan secara mandiri yaitu layanan kesehatan dari jumlah e-KTP yang dibiayai APBD Kabupaten Malaka yaitu 68.410 x 23.000 x 12 = 18 Milyar dengan metode fee for service. Beban 2016 ialah 700 juta, pada 2017 sebesar 5,8 M, dan 2018 totalnya 9,7 M. Selisih pembiayaan anatara pengelolaan dengan BPJS Kesehatan dengan mengelola sendiri yaitu 40 M selama 3 tahun. Dana ini dapat dikembalikan ke daerah untuk pembangunan di daerah.

Beberapa rekomendasi yang diusulkan oleh Bupati Malaka antara lain:

  1. Pemda memberikan pelayanan di faskes FKTP dan FKTL (RSUD kelas B, C, dan D)
  2. BPJS Kesehatan 
    1. BPJS Kesehatan mengelola rujukan Tk 2 dan Tk 3 
    2. BPJS Kesehatan mengelola lintas wilayah 
    3. BPJS Kesehatan mengelola peserta pilihan. Tarif harusnya ditentukan oleh Pemda. Sementara Kemenkes menentukan kualitas layanan
  3. Kemenkes mengurus: 
    1. Pengembangan Faskes
    2. Kendali mutu Yankes
    3. Regulasi Yankes
  4. Kemenkeu
    1. Budget 

Sesi Diskusi

Peserta pertemuan menanyakan terkait penggunaan dana BPJS Kesehatan untuk biaya non pelayanan seperti transportasi sumber dananya darimana? Pembahas mengemukakan bahwa biaya tersebut dapat diambil dari BPJS Kesehatan yang dapat diklaimkan. Untuk dana transportasi yang lain bisa diklaimkan ke pemerintah daerah. Peserta lain juga menekankan perlunya me - review kembali data – data terkait dengan pengumpulan iuran dan beban yang dikeluarkan oleh suatu daerah. Misal di Kabupaten Malaka, beban yang dikeluarkan oleh rumah sakit sekitar 11 M selama 3 tahun.

Bagi Kementerian Keuangan perlu dilihat kembali mengapa iuran tidak dinaikkan, apakah karena terkait politik. Iuran tidak dapat dinaikkan tanpa melihat tingkat daya beli masyarakat, apakah memberatkan masyarakat atau tidak. Untuk menutup deficit, langkah yang harusnya dilakukan adalah upaya BPJS Kesehatan mengejar kepesertaan PBPU dan mengejar ketidakaktifan peserta. Bagi DKI Jakarta perhitungan iuran dan beban menjadi bahan diskusi dengan BPJS Kesehatan untuk akses data yang lebih detail. Evaluasi menyeluruh penyelnggaraan JKN di DKI Jakarta menjadi langkah selanjutnya untuk melihat pelaksanaan JKN di DKI Jakarta. Seperti,

  1. Segmen PBPU defisit – diceklagi atau di cek PBI untuk daftar nama peserta yang sehat dan PBPU yang sakit. Atau mencakup seluruh warga negara Indonesia.
  2. Mengapa uran tidak dinaikkan apakah ada unsur politik.
  3. Selisih pendapatan dan beban – perlu dick

Stefanus menyatakan bahwa transportasi ditanggung BPJS Kesehatan, untuk trnsportasi antar RS Pemda yang menanggung. Data di RSUD yaitu 11 M selama 3 tahun terkait dana ini.

Kemenkeu menegaskan penyebab defisit yaitu PBPU, pensiun dan PBI daerah. PBPU yang aktif hanya 54 % dan 46% tidak aktif membayar. PBPU sifatnya mandiri maka terjadi fenomena adverse selection, orang yang membutuhkan layanan mendaftar, setelah mendapat pelayanan dia akan berhenti membayar iur. Sehingga tugas BPJS Kesehatan mengejar peserta JKN. Lalu prtanyaan lain ialah mengapa sulit menaikkan iuran, Kemenkeu mempertimbangkan banyak hal seperti daya beli masyarakat, akan memberatkan masyarakat atau tidak dan seterusnya.

Perwakilan dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyatakan memang perlu dicekkembali terkait perhitungan pendapatan dan beban JKN. Perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terkait JKN, dan DKI Jakarta menegaskan siap kolaborasi terkait JKN di DKI. Peneliti menutup sesi dengan menyatakan akan melakukan perbaikan pada penelitiannya.

Reporter M Faozi Kurniawan

{jcomments on}

 

Twitter
Twitter
Facebook
Whatsapp
share with Whatsapp
Telegram
share with Telegram
Email
Send by email
powered by social2s
31 Jan2019

Reportase Sesi Mutu Layanan: Akankah Mutu Layanan Kesehatan Tercapai dalam Program JKN?

Posted in agenda

Jakarta, 31 Januari 2019

31jan 3

Puti Aulia Rahma sebagai peneliti monev JKN berbasis realist evaluation sekaligus pembicara pada sesi ini menyatakan dalam JKN, peningkatan mutu belum terasa adanya kepuasan pasien dan provider. Instrumen kepuasan perlu didetailkan dan definisi operasionalnya perlu dikonkretkan. Mutu layanan mengevaluasi pencapaian kualitas pelayanan kesehatan pada penelitian ini menggunakan 3 kebijakan, yaitu Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan (KBKP) di level FKTP, Kendali Mutu dan Kendali Biaya dan penceghan fraud.

Sesi ini dibahas langsung oleh peneliti dari PKMK FKKMK UGM, IDI, PERSI Kementerian Kesehatan, dan Kementeraian Dalam Negeri. Peneliti menyampaikan bahwa ketiga kebijakan yang dianalisisnya bahwa Sistem mutu belum terbangun dengan baik di level nasional dan di tujuh provinsi. Dampaknya, kepuasan pelanggan (pasien & provider) akan sulit tercapai dalam program JKN karena implementasi kebijakan terkait mutu layanan kesehatan masih minim.

Dalam kebijakan pelayanan kesehatan yang menjadi permasalahan adalah asimetris informasi dan ketidakpastian pada sektor kesehatan. Model pelaksanaan mutu layanan kesehatan yang dilakukan di Indonesia bukan berasal dari negosiasi, tetapi berdasarkan dana yang ada di JKN. Hal ini berbeda dengan Inggris yang melakukan negosiasi sebelum bentuk kebijakan. Memang kondisi Indonesia sebagai negara berkembang mengalami banyak tantangan. Salah satunya, fasilitas kesehatan harus dipersiapkan.
Kementerian Kesehatan dalam hal ini menyatakan bahwa semenjak pembentukan Perpres 82/ 2018, pemerintah telah merencanakan sinkronisasi dan harmonisasi terhadap 13 Permenkes, 11 Peraturan BPJS Kesehatan, 3 Permendagri, dan 3 Permenkeu. Peran berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk menjaga kualitas layanan kesehatan dalam era JKN. Pembentukan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menjadi fokus bersama karena banyak hal yang belum dinyatakan dengan jelas dalam peraturan tersebut. Terkait mutu layanan kesehatan ada yang dapat diupayakan salah satunya mengenai koordinasi manfaat asuransi kesehatan, karena hal itu telah diatur melalui Permenkeu 141/2018.

Suksesnya kualitas pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab kita bersama. Maka dialog hari ini menjadi titik awal partisipasi publik untuk merumuskan kebijakan yang berdaya guna. Di akhir sesi, pembahas menyadari bahwa masih dibutuhkan koordinasi dan sinergi bersama. Kemendagri yang hadir akan melakuan kajian mendalam terkait kualitas pelayanan kesehatan dan bila diperlukan akan membentuk peraturan untuk mengoptimalkan peran pemerintah daerah.

Reportase : Tri Aktariyani (PKMK)

{jcomments on}

Twitter
Twitter
Facebook
Whatsapp
share with Whatsapp
Telegram
share with Telegram
Email
Send by email
powered by social2s
31 Jan2019

Reportase Sesi Equity: Apakah Manfaat JKN Sudah Merata?

Posted in agenda

Jakarta, 31 Januari 2019

31jan 1

PKMK – Jakarta. Equity merupakan salah satu topik yang diangkat dalam Evaluasi 8 Sasaran Peta Jalan JKN 2014 – 2018. Pada topik ini, sasaran JKN yang diamati adalah sasaran 2 tentang seluruh penduduk Indonesia mandapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan; sasaran 3 tentang paket manfaat medis dan non medis (kelas perawatan) sudah sama, tidak ada perbedaan, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat; dan sasaran 4 tentang jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk tenaga dan alat - alat) sudah memadai untuk menjamin seluruh penduduk/ dalam memenuhi kebutuhan medis mereka.

Kesimpulan penelitian pada topik ini adalah sasaran terkait equity masih belum tercapai. Salah satu penyebabnya adalah pendanaan program JKN yang masih belum baik. Saat ini, Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang bersumber dari dana APBN masih merupakan komposisi terbesar. Namun, pertumbuhan kepesertaan didominasi oleh peningkatan Pekerja Penerima Upah (PPU) dan sebagian oleh Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Masalah muncul ketika kelompok ini tidak membayar iuran secara tertib sehingga menghambat penerimaan dana JKN. Berbagai upaya sudah coba dilkukan untuk meningkatkan ketertiban pembayaran iuran ini salah satunya sanksi. Namun ternyata, “sanksi juga tidak membuat mereka (PBPU yang tidak membayar iuran, red.) sadar untuk taat membayar iuran,” tutur Andi Afdal Abdullah, Deputi Direksi Bidang Riset dan Pengembangan BPJS Kesehatan.

Pembayaran iuran ini juga terkait dengan data kepesertaan yang diolah dari data kependudukan yang dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Data kepesertaan saat ini masih bermasalah. Masih banyak penduduk yang memiliki identitas ganda. Dampaknya data kepesertaan yang dikelola BPJS Kesehatan tidak valid. Untuk mengatasi hal ini, Asep Sasa Purnama, perwakilan Kemensos, menyarankan ada harmonisasi regulasi dan kebijakan terkait pendataan penduduk.

Pelayanan kesehatan yang merata juga dipengaruhi kemudahan akses pelayanan kesehatan. Dalam hal ini yang menjadi ujung tombak adalah pelayanan primer. Bila layanan primer memadai dan mudah diakses, maka jaminan kesehatan nasional akan dirasakan merata oleh penerima manfaat. Terkait ini, H. M. Subuh, Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan – Kementerian Kesehatan menegaskan untuk konteks Indonesia “Universal Health Coverage (UHC) tidak akan tercapai bila tidak ada puskesmas.”

Reporter: Puti Aulia Rahma

 

Twitter
Twitter
Facebook
Whatsapp
share with Whatsapp
Telegram
share with Telegram
Email
Send by email
powered by social2s
29 Jan2019

Posted in agenda

Sejak 2014, Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bersama Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) telah melakukan monitoring program dan kebijakan JKN di beberapa provinsi. Hasil kajian akademis tersebut terbuka untuk diakses dan didiskusikan di sini.

  Hasil Monitoring JKN

  Penelitian Kebijakan

  Dokumen Analisis Kebijakan

  Policy Brief

PKMK FK-KMK UGM mengajak para peneliti/mahasiswa fakultas kedokteran/kesehatan masyarakat, ekonomi, hukum, politik, STIKES, dan lembaga penelitian untuk bergabung bersama melakukan penelitian monitoring evaluasi JKN di provinsi-provinsi yang belum dilakukan.
Silahkan klik link berikut untuk menyatakan keinginan melakukan penelitian bersama

  

  Pendaftaran Evaluasi JKN 2019

Proposal Penelitian dapat di akses pada link berikut klik disini

 

  Kontak Person:

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM
Tri Aktariyani
email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
No. HP 0897.6060.427

 

 

Twitter
Twitter
Facebook
Whatsapp
share with Whatsapp
Telegram
share with Telegram
Email
Send by email
powered by social2s
25 Jan2019

Reportase Outlook 2019, Kebijakan Mutu Pelayanan Kesehatan

Posted in agenda

23janmutu

PKMK – Yogyakarta. PKMK menyelenggarakan outlook ketujuh mengenai Kebijakan Mutu Pelayanan Kesehatan pada 23 Januari 2019. Outlook kali ini dimoderatori oleh Nusky Syaukani, MPH. Sebagai pembicara dalam diskusi outlook yakni Prof. dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD, dr. Hanevi Djasri, MARS FISQua dan drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE.

Pemaparan pertama disampaikan oleh Prof. dr. Adi Utarini, MSc dengan memicu adrenalin peserta dengan pertanyaan, apakah peran regulasi mutu akan menguat? Apakah akreditasi tetap menjadi strategi utama dalam peningkatan mutu, apakah ke depannya akan tetap seperti itu, ataukah perlu mengembangkan strategi lainnya? Serta apakah Kebijakan dan Strategi Nasional Mutu Pelayanan Kesehatan dapat berjalan? Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini kita masuk pada era, dimana jika regulasi tidak dipenuhi maka sanksinya dapat secara nyata dirasakan, hal ini bukan merupakan sesuatu yang dulunya dirasakan dan bahkan tidak ada ceritanya. Saat ini, sanksinya nyata bahkan hingga pemutusan kontrak kerjasama oleh lembaga pembiayaan.

Harusnya saat ini peran regulasi pemerintah semakin menguat, karena akan membuat misalnya, dinas kesehatan akan menjaga bahwa semua puskesmas tetap terakreditasi dan rumah sakit juga akan menjaga agar tetap terakreditasi untuk meningkatkan mutu. Disampaikan juga oleh Prof Adi Utarini mengenai hasil studi menarik, bahwa banyak studi yang dilakukan tentang apa manfaat dari akreditasi dan hasilnya mixed (outcome klinis membaik dan adapula yang mengatakan tidak, begitupula sebaliknya studi pada 2018 oleh tim Harvard), kalau dlihat pada prosesnya manfaatnya sangat jelas bahwa dengan akreditasi terjadi keteraturan prosedur namun berharap selanjutnya dengan akreditasi dapat berdampak pada perbaikan mutu yang dirasakan oleh pasien. Jikaakreditasi dampaknya belum dapat meningkatkan outcome namun menjadi tantangan semua lembaga yang mengunakan akreditasi untuk dapat dirasakan oleh pasien.

Selanjutnya, ditekankan pula bahwa akreditasi bukan satu - satunya cara untuk meningkatkan mutu, bahkan perizinan merupakan pondasi awal untuk melihat mutu itu sendiri (harusnya perizinan dapat 100%). Hal yang menarik adalah bagaimana mendefinisikan mutu itu sendiri karena mutu didefinisikan secara berbeda dalam berbagai peraturan pelayanan kesehatan dan belum disepakatinyadefinisiyang komprehensif tentang mutu. Tentang indikator mutu, jika membandingkan beberapa peraturan harusnya ada dalam 1 dokumen, karena banyak regulasi yang mengandung kata mutu namun belum ada yang spesifik membahas mutu secara komprehensif sehingga dari beberapa diskusi disimpulkan bahwa perlu mengembangkan strategi nasional mutu pelayanan kesehatan yakni melalui strategi umum dan fungsional. Dimana strategi umum dapat berjalan apabila strategi fungsional telah berproses dengan baik.

Pemaparan kedua, disampaikan oleh dr Hanevi Djasri bahwa saat ini pengukuran tentang mutu baru sebatas penelitian tentang cakupan mutu saja dan belum sampai pada cakupan efektif. Seharusnya tidak hanya mengukur cakupan kepesertaan, misalnya tentang berapa banyak penduduk yang memiliki JKN? Kemudian melihat cakupan pelayanan dengan melihat berapa banyak penduduk yang memiliki JKN mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan? Hal yang lebih penting harus dapat mengukur cakupan efektif tentang berapa banyak penduduk yang memiliki JKN serta mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dengan mutu yang baik? Nah, hal inilah yang seharusnya diukur untuk dapat melihat mutu yang dirasakan oleh pasien.

dr Hanevi juga menjelaskan bahwa untuk menentukan cakupan efektif sebaiknya dipilih terlebih dahulu dengan langkah - langkah sebagai berikut:

  1. Penetapan penyakit prioritas
  2. Penyusunan indikator mutu pelayanan klinis (clinical outcome) penyakit prioritas
  3. Penetapan sumber data: rekam medis, data klaim INA CBG, P-Care
  4. Bridging data antara data kepesertaan, data pelayanan dan data mutu
  5. Pengukuran, analisa dan tindak lanjut pencapaian mutu pelayanan kesehatan

Pemaparan terakhir disampaikan oleh drg Puti Aulia Rahma dengan menjelaskan gambaran sistem kecurangan (fraud) JKN Saat Ini, Kemungkinan Kejadian Fraud JKN di masa mendatang serta harapan & rekomendasi. Disampaikan bahwa belum terdapat sistem pengendalian kecurangan JKN yang sistematis, terstruktur, dan komprehensif yang melibatkan semua pihak. Hal ini diperkuat dalam sebuah penelitian yang pernah dilakukan melalui pendekatan realist evaluation bahwa minim keterlibatan pihak terkait, pembangunan kesadaran masih sebatas sosialiasi PMK No. 36/ 2015 dan pendampingan terbatas di wilayah tertentu, tidak ada sarana pengaduan kecurangan JKN terpadu, tidak ada upaya & sistem deteksi terpadu (hanya dilakukan oleh BPJS Kesehatan), tidak ada investigasi, tidak ada penindakan secara pidana (baru bersifat administratif ).

Menurut drg Puti ke depan, harapannya pencegahan fraud dlakukan dengan membuat atmosfer kerja yang penuh etika & berintegritas (diciptakan oleh pimpinan puncak), mulai dibangun kerangka pengendalian kecurangan JKN (Fraud Risk Management), agar upaya pencegahan kecurangan JKN mulai berjalan dalam siklus. Disampaikan oleh Drg. Farichah Hanum, M.Kes dari Kemkes selaku pembahas bahwa upaya untuk meningkatkan mutu melalui akreditasi masih belum menggembirakan semua pihak dan baru ketika ada sanksi bahwa ketika tidak terakreditasi maka tidak bisa melanjutkan kerjasama dengan penjamin. Serta diharapkan ke depan tingkat kelulusan akreditasi dapat dijadikan perhitungan dalam penetuan kapitasi dan KBK.

Kemudian harus disadari bahwa sekarang yang menjadi kendaraan utama dalam peningkatan mutu adalah akreditasi, hal ini senada dengan yang disampaikan oleh DR Dr Darwito SH SpB(K) Onk maupun dr Gregorius Anung Trihadi, MPH. Disampaikan juga oleh DRDarwito bahwa jika akreditasi belum sampai ke level pelaksana maka sulit dijalankan, mengenai fraud diharapkan dengan adanya sosialisasi semakin membaik pemahamannya. Fraud merupakan pembentukan karakter, bukan karena uangnya namun fraud dapat merusak karakter di semua lini. Diinformasikan pula oleh dr Anung bahwa sejak 3 Januari 2019 ada bagian khusus di Dinkes DIY yang menangani tentang mutu yakni seksi mutu pelayanan kesehatan.

Reporter:
Andriani Yulianti MPH

 

Twitter
Twitter
Facebook
Whatsapp
share with Whatsapp
Telegram
share with Telegram
Email
Send by email
powered by social2s
21 Jan2019

Reportase Outlook 2019: Kebijakan IT di Sektor Kesehatan IT untuk Mendukung Telemedicine dan Sistem Rujukan Terpadu

Posted in agenda

PKMK – Yogyakarta. Pada Jum’at 18 Januari 2019, PKMK menyelenggarakan outlook keempat mengenai kebijakan IT di sektor kesehatan IT untuk mendukung telemedicine dan sistem rujukan terpadu. Outlook kali ini dimoderatori oleh Lutfan Lazuardi. Sebagai pembicara pertama Dody Naftali menyampaikan bahwa Sistem Resume Medis Integrasi merupakan bagian dari rekam medik elektronik, sistem tersebut di RSUP Sardjito terintegrasi dengan SIMRS dan SISRUTE. Setiap faskes dapat mencari/melihat data resume medis yang sudah tersimpan dengan mengakses menu Resume Medis di aplikasi SISRUTE. Tantangan yang terjadi dalam menggunakan Sistem Resume Medis Terintegrasi adalah:

  1. Ketersediaan SIMRS dengan fasilitas Resume Medis
  2. Penerapan SISRUTE sebagai alat melakukan rujukan
  3. Kebijakan pemanfaatan resume medis integrasi sebagai bagian rujukan antar faskes di tingkat daerah
  4. Ketersediaan tenaga teknis (IT) dalam pengembangan sistem

Berikut contoh-contoh pemanfaatan data Resume Medis Terintegrasi:

  1. Analisa dan riset
  2. Sumber data rujukan Nasional
  3. Akses data resume medis pribadi bagi pasien menggunakan aplikasi khusus (web, android, iPhone, dll)

Yout Savithri sebagai pembahas sepakat dengan kendala yang disampaikan oleh Dody Naftali. Selain itu juga disampaikan kendala pemanfaatan SISRUTE dalam hal kondisi geografis di Indonesia telah diatasi oleh pemerintah dengan menggunakan SISRUTE berbasis kompetensi yang baru. Hal itu untuk meningkatkan pelayanan kesehatan berkaitan dengan mutu pelayanan.

Anis Fuad menyampaikan bahwa untuk perkembangan e-kesehatan di Indonesia masih terdapat beberapa kendala serta perlu menjadi catatan penting untuk memperbaikinya. Kendala tersebut seperti leadership yang masih kurang kuat serta regulasi yang dimiliki pun masih kurang kuat untuk mendukung perkembangan e-kesehatan.

Andi Saputro menyampaikan bahwa layanan telemedicine di daerah Papua masih terkendala oleh layanan internet yang kurang memadai. Namun Kominfo saat ini telah meningkakan jaringan internet yang ada di Papua, dan hal itu juga sudah dapat dilihat. Kedepannya Kominfo tidak hanya meningkatkan jaringan internet di pesisir Papua saja, namun juga akan masuk ke dataran tinggi yang ada di Papua serta di sekitar Papua. Sehingga dengan meningkatkan jaringan internet di daerah Papua, akan lebih memudahkan untuk mengakses layanan telemedicine.

Ringkasan outlook 2019 tentang kebijakan IT di sektor kesehatan IT untuk mendukung telemedicine dan sistem rujukan terpadu:

  1. Jaringan internet yang memadai diperlukan untuk mengakses layanan telemedicine dan juga sistem rujukan terpadu.
  2. Masih terdapat kendala dalam leadership dalam menerapkan telemedicine dan sistem rujukan terpadu.
  3. Perkembangan teknologi yang sangat pesat memerlukan regulasi yang kuat untuk mendukung pemanfaatan teknologi.

Reportase: Miftakhul Fauzi

Agenda outlook kesehatan 2019 lainnya dapat di akses di sini

{jcomments on}

Twitter
Twitter
Facebook
Whatsapp
share with Whatsapp
Telegram
share with Telegram
Email
Send by email
powered by social2s

More Articles ...

  • Reportase Diskusi Outlook 2019: Sumber Daya Manusia Kesehatan (Khusus Dokter)
  • Reportase Outlook 2019: Kebijakan Governance Sistem Kesehatan
  • 20
  • 21
  • 22
  • 23
  • 24
  • 25
  • 26

jadwalbbc

oblbn

banner dask

review publikasi

maspkt


reg alert

Memahami tentang

  • Sistem Kesehatan
  • Kebijakan Keluarga Berencana
  • Health Policy Tool
  • Health System in Transition Report

Arsip Agenda

2022  2023  2024

2019  2020  2021

2018  2017  2016

2015  2014  2013

2012  

Facebook Page

Copyright © 2019 | Kebijakan Kesehatan Indonesia

  • Home
  • Tentang KKI
    • Visi & Misi
    • JKKI
    • Hubungi kami
  • publikasi
    • E-Book
    • Artikel
    • Hasil Penelitian
    • Pengukuhan
    • Arsip Pengantar
  • Policy Brief
  • Pelatihan
  • E-library