Testing realist program theory – quantitative and qualitative impact evaluation

Andrew Hawkins, ARTD Consultants, Australia
Brisbane, 25 Oktober 2017

Prinsip dari pendekatan realist evaluation kembali ditekankan pada sesi ini dengan kaitannya pada kelebihan yang dapat ditawarkan sebagai solusi kepada pembuat kebijakan. Pertama, pendekatan ini mengidentifikasi untuk siapa dan pada situasi seperti apa mekanisme tertentu dapat mempegaruhi outcome. Pendekatan ini menghindari satu solusi untuk semua, tetapi mengidentifikasi konteks tertentu dimana beberapa mekanisme tertentu bekerja dan dapat berpengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap outcome yang diharapkan. Kedua, pendekatan ini dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang penting untuk implementasi intervensi di masa depan. Ketiga, pada kasus di mana intervensi dinilai gagal, pendekatan ini dapat membantu mengidentifikasi penyebab kegagalan intervensi tersebut. Keempat, memastikan adanya pendekatan ilmiah untuk kebijakan berbasis bukti. Pendekatan realist evaluation mengidentifikasi middle-range theories yang batasnya diartikan sebagai tidak sama spesifiknya dengan spesifik konteks dan tidak dapat tertransfer, tetapi tidak seabstrak sesuatu yang tidak informatif dan tidak dapat dites atau dibuktikan. Kelima, pendekatan ini dapat memberikan laporan tentang mekanisme intervensi yang menjadi penyebab perubahan terkait outcome dan bukan output. Sehingga fokus stakeholders dapat mengarah pada pencapaian outcome ini yang kemudian diaplikasikan ke dalam kegiatan perencanaan dan implementasi.

Dalam membandingkan impact evaluation dengan realist impact evaluation dapat diibaratkan bahwa realist impact evaluation adalah mikroskop sedangkan traditional impact evaluation itu teleskop. Hal ini menunjukkan realist impact evaluation menggambarkan situasi yang lebih detil dengan kemampuan menunjukkan setiap komponennya, proses kerjanya dan interaksi antar komponen. Lebih lanjut, realist evaluation dibandingkan dengan RCT, yang merupakan gold standard di metode penelitian, menunjukan betapa RCT lebih kuat dalam menunjukan dasar ilmiah namun kerap kehilangan makna ketika implementasi terutama dalam skala kebijakan yang berdampak luas. Hal ini disebabkan generalisasi dari hasil RCT dengan menciptakan situasi ideal demi melihat dampak intervensi terhadap outcome dinilai tidak cukup mampu mengidentifikasi konteks nyata di lapangan.

Pertanyaan besar kemudian muncul bagaimana membuat realist evaluation menjadi pendekatan ilmiah, dimana peran kreativitas dan kemampuan analisis evaluator memiliki peran besar dalam mengidentifikasi konteks, mekanisme dan outcome pada pendekatan ini. Beberapa langkah disebutkan oleh pembicara, sebagai berikut:

  1. Pengembangan teori-teori merupakan pokok dalam pelaksanaan realist evaluation.
  2. Interview dan temuan berupa perbedaan antar program memberikan stimulus untuk merumuskan teori.
  3. Perlu pemahaman untuk melakukan tes terhadap ide kita/evaluator. Terdapat tiga poin yang perlu diperhatikan yaitu, critical realism melalui debat, realist evaluation dengan melakukan tes Mechanisms, Contexts, and Outcomes (MCOs), dan berhati-hati untuk tidak overfitting data yang ada yang berdampak pada terlalu menyederhanakan kausal dari masalah apabila terlalu mengandalkan kreativitas pemikiran dan perbedaan antar program.

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Dhini Rahayu Ningrum & Tiara Marthias

 

Supporting policy dialogue for health planning and financing: A realist intervention theory of the Universal Health Coverage Parthnership

Speaker: Emilie Robert dan Denis Porignon (WHO, Switzerland)
Brisbane, 25 Oktober 2017

Universal health coverage (UHC) atau jaminan kesehatan semesta dinilai sebagai blueprint untuk penguatan sistem kesehatan di negara berkembang. Penelitian yang dilakukan oleh speaker dan timnya masih berjalan pada saat presentasi ini disampaikan. Materi yang disampaikan pada presentasi ini adalah output pertama yang telah dicapai dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan realist intervention theory dengan melakukan studi kasus di beberapa negara (Togo, Liberia, Burkina Faso, Niger, DRC, Cape Verde). Sebagian besar metode yang digunakan adalah kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk membangun pemahaman yang lebih jelas mengenai bagaimana UHC-partnership dapat berkontribusi terhadap penguatan dialog kebijakan, bagaimana dan di konteks apa.

Pada output pertama yang ditemukan dari penelitian meliputi perspectif dari key stakeholders, yaitu: 1) Perspektif peneliti: terdapat tantangan untuk megenalkan intervention theory kepada stakeholders (reserachers: sociology dan anthropology) karena sebagian besar dari mereka masih awam dengan penggunaan intervention theory; 2) Perspektif pelaksana kegiatan (laporan/feedback dari lapangan): memperjelas situasi dalam proses implementasi program. Hal ini menjadi bermanfaat karena kerap kali para pelaksana kegiatan telah disibukan dengan kegiatan program hingga kehilangan kesempatan atau moment untuk menganalisis situasi maupun perkembangan selama ini; 3) Perspektif komisioner: para pembuat kebijkan kerap menekankan pada goal “berapa banyak (juta) nyawa diselamatkan” sebagai outcome akhir. Melalui intervensi ini, peneliti dapat mengkonfirmasi persepsi dari pembuat kebijakan dan mendemonstrasikan outcome sebenarnya dari intervensi yaitu pemahaman akan peran WHO sebagai sebuah institusi. Penelitian ini juga mampu menggambarkan proses yang sedang dan telah berjalan.

Sebagai penutup, speaker menyampaikan bahwa salah satu pencapaian sejauh ini yang cukup signifikan dari intervensi atau study ini adalah tingkat penggunaan hasil intervensi/utilization yang berhasil dicapai dengan melibatkan commissioner dan pelaksana program.

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Dhini Rahayu Ningrum & Tiara Marthias

 

Pre-Kongres International Conference on Realist Evaluation and Review

Senin, 23 Oktober 2017

Pre-Kongres dari International Conference on Realist Resarch, Evaluation and Synthesis kali ini menghadirkan sejumlah pakar realist evaluation & synthesis. Dua topik utama yang dibawakan adalah mengenai Introduction to Realist Evaluation serta Introduction to Realist Synthesis. Kedua sesi ini sangat cocok untuk para peneliti dan evaluator yang akan memulai karir atau tertarik di bidang realism dan realist evaluation / synthesis.

Tentang Realist Evaluation

Tentang Realist Evaluation

Andrew Hawkins (Director, ARTD Consulting)

Istilah “realistic evaluation” pertama kali diperkenalkan oleh Ray Pawson dan Nick Tilley pada tahun 1997, melalui buku berjudul “Realistic Evaluation” sebagai jawaban terhadap keterbatasan pendekatan ilmiah yang bersifat eksperimental. Realistic evaluation adalah pendekatan berbasis teori dan menggunakan paham realisme dalam melihat keberhasilan atau kegagalan program.

Seperti yang kita ketahui, metodologi seperti randomized control trial (RCT) tetap dianggap sebagai gold standard penelitian yang dapat memberikan penilaian objektif terhadap efektivitas suatu intervensi, seperti obat baru atau vaksinasi serta lainnya. Namun, intervensi yang bersifat sosial atau program yang bertujuan untuk mengubah tingkat pengetahuan atau perilaku tidaklah dapat dievaluasi dengan pendekatan eksperimental seperti RCT karena tidak semua aspek di populasi yang dibandingkan dapat dikontrol, seperti halnya penelitian RCT. Intervensi kesehatan, misalnya seperti promosi kesehatan untuk meningkatkan utilisasi layanan kesehatan, justru bekerja dengan mekanisme-mekanisme tertentu dan mungkin hanya efektif di populasi dengan karakteristik tertentu serta dipengaruhi oleh berbagai konteks yang ada di populasi itu sendiri. Interaksi dari semua aspek ini justru yang akan mempengaruhi efektivitas program promosi kesehatan tersebut. Sehingga, tidaklah sesuai apabila evaluasi program sosial seperti ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan RCT.

Pawson dan Tilley (1997) mengenalkan konfigurasi C-M-O, yaitu context – mechanism – setting berdasarkan prinsip filosofis realisme yang menganggap bahwa realitas yang sebenarnya ada di luar apa yang bisa diobservasi oleh manusia dan ada beberapa pola kejadian yang berulang untuk konteks dan setting tertentu. Andre Hawkins juga menyebutkan bahwa konfigurasi ini bisa disusun sebagai M-C-O. Sama seperti pendekatan positivisme lainnya, realist evaluation ini memegang prinsip objektivitas tetapi dengan lebih mendalami mekanisme yang dihasilkan oleh suatu intervensi atau program dalam konteks tertentu. Hal ini tentunya berbeda dengan RCT, dimana seluruh karakteristik populasi dikontrol dan dikondisikan sama dengan memperlakukan konteks sebagai ‘confounder’ penelitian.

Konfigurasi C-M-O:

pre1nov

Langkah-langkah yang disarankan untuk melakukan realistic evaluation ini adalah:

  1. Mengidentifikasi program theory. Teori program menjelaskan bagaimana elemen-elemen suatu intervensi (baik itu dalam bentuk program, strategi ataupun kebijakan) akan berkontribusi dalam menghasilkan output yang diinginkan. Teori program biasanya dituliskan dalam bentuk input-process-output/outcome, seperti berikut ini:

pre1nov

  1. Data yang didapatkan dari kegiatan evaluasi harus disusun dan dikategorikan sesuai dengan program theory dan tetap memegang prinsip konfigurasi C-M-O di atas. Jadi data akan berhubungan dengan apa saja yang telah dilakukan melalui program yang sedang dievaluasi (aktivitas dari intervensi/program) dalam konteks apa, mekanisme yang dihasilkan (proses), luaran/outcome serta orang-orang yang terlibat. Data yang dibutuhkan berupa kualitatif dan kuantitatif. Data yang berkaitan dengan outcome dikelompokkan menjadi beberapa sub-kategori, sesuai dengan program theory yang sudah dijabarkan di awal.
  2. Evaluator kemudian mengidentifikasi pola outcome kemudian menganalisis apa saja mekanisme yang muncul sehingga outcome-oucome tersebut dapat dihasilkan oleh intervensi yang sedang dievaluasi. Evaluator juga perlu melihat lebih jauh, dalam konteks apa saja mekanisme ini muncul atau tidak muncul. Sehingga, dalam konteks yang berbeda, bisa saja intervensi/program ini tidak menghasilkan output yang diinginkan karena mekanismenya tidak muncul. Konteks disini dapat berhubungan dengan sub-grup populasi dimana intervensi diterapkan, atau pemegang kepentingan/stakeholder yang berbeda-beda, proses dari implementasi intervensi itu sendiri, faktor-faktor organisasi, sosioekonomi, budaya serta kondisi politik.
  3. Proses analisis dari realist evaluation ini kadang perlu dilakukan berulang kali dan bolak-balik, dan harus kembali ke konfigurasi C-M-O. Hasil analisis berupa pernyataan yang menjelaskan konteks-mekanisme-outcome, misalnya:
    “Dalam konteks ini, mekanisme X (sebutkan mekanisme-nya) muncul untuk populasi X (sebutkan sub-populasinya) sehingga menghasilkan luaran/outcome X”.
  4. Langkah terakhir dari analisis adalah menghasilkan konfigurasi C-M-O yang paling dapat menjelaskan pola-pola luaran/outcome program yang didapatkan dari hasil observasi. Lalu konfigurasi C-M-O ini dibandingkan dengan program theory awal, apakah konteks, mekanisme dan output yang diinginkan memang muncul di implementasi di dunia nyata? Atau apakah untuk konteks tertentu, program ini tidak berhasil memunculkan mekanisme yang dibutuhkan sehingga diperlu perubahan di input atau proses dari implementasi? Sehingga, hasil realist evaluation ini dapat digunakan untuk perbaikan program ke depannya.

Mekanisme yang disebut di atas perlu dituliskan dalam bentuk middle-range theories, yaitu teori yang sifatnya tidak terlalu spesifik (sehingga tidak hanya akan berlaku untuk mekanisme yang terlalu sempit) tapi tidak terlalu luas juga (sehingga tidak akan menjadikan program/mekanisme itu seperti kebijakan one-size-fits-all yang terlalu umum untuk diterapkan di konteks yang berbeda-beda.

Realist evaluation ini memiliki nilai tambah untuk:

  • Menguji coba teori perubahan (theory of change) atau dalam proses pengembangan suatu program (juga bisa dalam bentuk process evaluation)
  • Mengukur keberhasilan suatu program yang memiliki target spesifik (misal populasi tertentu) atau menilai komponen dari suatu program yang diperkirakan (atau menurut program theory) bisa berhasil untuk populasi tertentu
  • Untuk mengetahui bagaimana suatu program (atau pilot program) dapat direplikasikan ke tempat lain (dengan lebih memahami konteks dan mekanisme dari program itu sendiri).

Sebaliknya, realist evaluation tidak akan terlalu membantu apabila tujuan evaluasi untuk akuntabilitas program saja, misalnya untuk seberapa besar effect size dari sebuah intervensi atau berapa cost effectiveness dari program A? Pasalnya realist evaluation akan menjelaskan lebih jauh dari sekedar apakah program tersebut berhasil atau tidak dan memberikan bagaimana program itu bekerja, untuk siapa serta melalui mekanisme apa.

Contoh singkat bagaimana realist evaluation dapat digunakan untuk mengevaluasi program/kebijakan kesehatan di Indonesia:

  • Kebijakan JKN untuk masyarakat berpenghasilan rendah:
    • Input: memberikan subsidi premi
    • Proses: Proteksi finansial akan melapangkan akses ke layanan kesehatan yang dibutuhkan saat populasi target sakit
    • Output:
      • Peningkatan utilisasi layanan kesehatan
      • Peningkatan status kesehatan
      • Turunnya pengeluaran out-of-pocket/catastrophic health expenditure
    • Mekanisme yang berpotensi ada dalam kebijakan ini:
      1. Program JKN akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya layanan kesehatan
      2. Peningkatan akuntabilitas layanan kesehatan (penyedia layanan kesehatan dibayar melalui JKN dan bertanggung jawab terhadap para penerima benefit)
      3. Peningkatan kualitas layanan kesehatan dengan adanya sistem insentif JKN
      4. Berkurangnya pembayaran informal dan peresepan obat yang tidak rasional karena adanya sistem akuntabilitas dalam JKN
      5. Pemberi layanan kesehatan lebih aktif dalam men-skrining pasien dan menaati sistem rujukan berjenjang
    • Konteks:
      1. Latar belakang karakteristik dari penerima benefit
      2. Tingkat pengetahuan kesehatan
      3. Akses fisik ke layanan kesehatan (ketersediaan SDM atau fasilitas kesehatan, dan lain-lain)
      4. Sistem insentif yang diterapkan (kapitasi, pay for service, atau global budget, dan lain-lain)
Kemungkinan hasil analisis: sistem proteksi finansial untuk meningkatkan demand layanan kesehatan (atau yang sering disebut juga dengan demand-side-financing), dalam konteks di masyarakat berpenghasilan rendah di Jawa Timur (misalnya) berhasil memunculkan mekanisme peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya layanan kesehatan yang berkualitas dan menyadarkan akan hak terhadap akses kesehatan sehingga berhasil meningkatkan tingkat penggunaan layanan di masyarakat”.

Namun, analisis dari realist evaluation ini juga mungkin akan menunjukkan hasil seperti berikut:

Hasil analisis alternatif: sistem proteksi finansial untuk meningkatkan demand akan layanan kesehatan (atau yang sering disebut juga dengan demand-side-financing), dalam konteks di masyarakat berpenghasilan rendah di NTT (misalnya) tidak berhasil meningkatkan tingkat penggunaan layanan di masyarakat karena adanya keterbatasan akses geografis ke layanan kesehatan yang berkualitas dan juga tingkat kesadaran masyarakat tidak meningkat secara signifikan karena rendahnya tingkat literasi pada populasi target ini”.

Di akhir sesi ini, digarisbawahi pula bahwa pendekatan realist evaluation dapat membantu konsep berpikir saat melakukan suatu evaluasi, yaitu dengan lebih mendetilkan bagaimana suatu program berhasil mencapai tujuannya dengan mekanisme apa saja dan dalam konteks yang seperti apa. Diharapkan konsep ini dapat membantu para pembuat kebijakan dan pelaksana program dalam menyusun intervensi yang disesuaikan dengan konteks spesifik, untuk populasi tertentu (dengan mempertimbangkan semua konteks yang ada di populasi itu) serta melalui mekanisme seperti apa yang diharapkan muncul saat pelaksaan program tersebut.

Untuk membaca lebih lanjut tentang realist evaluation ini, silakan klik link berikut:

  1. Introduction to Realist Evaluation
  2. Realist Evaluation chapter, Ray Pawson dan Nick Tilley (2004)
  3. Protocol—the RAMESES II study: developing guidance and reporting standards for realist evaluation (Greenhalgh et al., 2015)
  4. RAMESES II reporting standards for realist evaluations (Wong et al., 2016)

Contoh jurnal terkait kesehatan dan JKN yang menggunakan realist approach:

  1. What makes health demand-side financing schemes work in low and middle-income countries? A realist review. (Gopalan et al., 2014)
  2. Human resource management interventions to improve health workers' performance in low and middle income countries: a realist review. (Dielemen et al., 2009)

Salah satu lembaga sosial yang bergerak di bidang program pembangunan di Indonesia (SOLIDARITAS) baru-baru ini menggunakan pendekatan realist evaluation untuk melihat keberhasilan program di bidang pendidikan. Salah satu peneliti SOLIDARITAS menuangkan pengalamannya di blog berikut ini.

 

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Tiara Marthias & Dhini Rahayu Ningrum 

 

 

Keynote speech

Keynote speech 1

Keynote speech:  Realistic evaluation: origins and destinations

Nick Tilley (University College London)
Brisbane, 24 Oktober 2017

Pada sesi ini, Nick Tilley yang juga menulis buku Realistic Evaluation bersama Ray Pawson (1997) memaparkan awal mula kedua penulis ini terjun ke dunia realisme dan merumuskan pendekatan yang sekarang dikenal dengan realist evaluation. Nick Tilley dan Ray Pawson adalah dua orang sosiolog yang merasa isu-isu sosial tidak tepat dievaluasi dengan pendekatan konvensional seperti randomized controlled trial (RCT). Namun, saat era 90-an sebelum realist evaluation dikenal luas, ada tendensi diantara peneliti untuk menempatkan RCT sebagai gold standard dalam mengevaluasi semua intervensi, termasuk intervensi sosial yang melibatkan aspek manusia yang begitu kompleks.

Ide awal realist evaluation dipublikasikan pertama kali dalam konferensi kriminologi di San Francisco pada 1991, kemudian diikuti dengan berbagai pubilkasi yang semakin mematangkan konsep realist evaluation ini. Ray Pawson lebih berkonsentrasi pada pengembangan metodologinya, sedangkan Nick Tilley dari sisi praktis dan kebijakan. Cukup menarik untuk melihat implementasi awal realist evaluation ini bermula dari topik kriminologi, dimana tingkat kriminalitas di seluruh dunia semakin turun akibat sejumlah intervensi yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan penegak hukum lainnya.

Salah satu ilustrasi yang dipaparkan adalah fungsi dari kamera pengawas (surveillance/CCTV camera) dalam menurunkan atau mencegah terjadinya pencurian. Pertanyaan evaluasinya adalah: apakah/mengapa dan bagaimana kamera pengawas efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan?. Dengan pendekatan realist evaluation, ada beberapa teori di balik efektivitasnya:

  1. Calon kriminal / kriminal langsung dapat ditangkap karena polisi/petugas keamanan langsung dapat melihat kejahatan yang sedang/akan terjadi
  2. Calon kriminal / kriminal urung melakukan tindak kejahatan karena merasa diawasi dengan adanya CCTV tersebut

Dari 2 teori di atas saja, tampak bahwa CCTV bekerja berdasarkan setidaknya 2 mekanisme: (1) deteksi dan (2) pencegahan. Kedua teori ini perlu diuji lagi untuk menentukan pada lokasi tertentu dan jenis kriminal yang ada di lingkungan tersebut (misal, residivis mungkin tidak terlalu peduli apabila ada risiko tertangkap, sebaliknya remaja yang belum pernah berurusan dengan pihak berwajib akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan vandalisme dan juga faktor lain yang ada di dalam konteks yang sedang dievaluasi. Setelah ditentukan teori mana yang digunakan, maka perbaikan intervensi bisa dilakukan. Misal, untuk pencegahan, lebih baik CCTV diletakkan di tempat yang lebih terlihat agar calon kriminal langsung menyadari adanya CCTV. Sebaliknya, untuk konteks dimana deteksi lebih berperan, mungkin CCTV perlu diletakkan lebih tersembunyi dan langsung dihubungkan dengan sistem alarm polisi, dan sebagainya.

Sesi ini juga menekankan penggunaan middle-range theory dalam realist evaluation, yaitu teori yang diposisikan antara kebijakan besar (atau ‘big policy ideas’) dan level implementasi di lapangan. Hal ini penting karena tujuan realist evaluation untuk menunjukkan bagaimana suatu kebijakan/program/intervensi bekerja secara efektif, dalam konteks apa dan untuk siapa saja.

Nick Tilley kemudian memaparkan bahwa pendekatan realist evaluation ini menjanjikan dalam membantu evaluasi kebijakan yang kompleks. Namun, pendekatan ini masih dalam tahap awal dan butuh pengembangan metodologi serta meningkatkan penggunaannya dalam mengembangkan atau memperbaiki kebijakan di bidang sosial. Tantangan lain yang disebutkan berhubungan dengan penilaian kualitas evaluasi yang berdasarkan realist evaluation serta bagaimana memastikan rumusan middle-range theory dapat membantu perbaikan kebijakan. Hal ini sangat berhubungan juga dengan transferabilitas hasil realist evaluation itu sendiri yang cenderung dapat diinterpretasikan untuk konteks yang terbatas dan populasi target yang terbatas pula.

Dari sesi keynote ini, realist evaluation tampak sangat menarik untuk digunakan lebih lanjut dalam mengevaluasi kebijakan, termasuk kebijakan kesehatan, yang memiliki kompleksitas tinggi karena pendekatan ini akan memberikan gambaran lebih detil dan kontekstual dalam menilai berhasil atau tidaknya suatu kebijakan serta memberikan masukan untuk perbaikan ke depan agar kebijakan tidak bersifat one-size fits all.

 

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Tiara Marthias & Dhini Rahayu Ningrum

 

UNFPA Session

Pada hari kedua ini ada beberapa tema yang dibahas mengenai Keluarga Berencana dengan moderator dr. Likke Prawdya Putri, MPH. Tema pertama dengan pembicara dr. Annette Sachs Robertson (Representative UNFPA Indonesia) membahas mengenai

Universal Health Coverage : Sustainable Development Goals and Sexual and Reproductive Health and Rights

Disampaikan oleh Dr. Melania Hidayat (Nasional Program Officer, UNFPA Indonesia). UNFPA sampai saat ini telah bekerja sama dengan Indonesia selama 40 tahun. Terkait dengan SDGs bagaimana kebijakan pelaksanaan JKN khususnya kesehatan reproduksi. Di dalam tujuan SDGs terdapat 9 tujuan dimana Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) masuk ke dalam tujuan nomor 3 dan 5. Keluarga Berencana di Indonesia sudah mandiri dimana 70% program KB diberikan melalui sektor privat agar menuju arah kemandirian ber-KB, namun saat ini KB sudah diberikan oleh pemerintah melalui JKN.

materi

Family Planning Commodity in Universal Health Coverage

26okt 6oleh Dr. Melania Hidayat (Nasional Program Officer, UNFPA Indonesia). Indonesia termasuk negara dengan pencapaian KB yang cukup dramatis. Hanya dalam kurun waktu 25 tahun kita dapat menurunkan TFA lebih dari separuh, meningkatkan CPR 3 kali lipat, serta mengubah norma atau mindset “banyak anak banyak rejeki” saat ini menjadi “dua anak cukup”. Sejalan dengan perubahan politik dan sistem pemerintah, program KB ikut terdampak, termasuk struktur dan implementasi program. Desentralisasi KB terlihat terhambat, sehingga pada awal 2000 program KB di tingkat kabupaten tidak diperhatikan, hal ini ditinjau dari RPJMD segi kesehatan yang tidak mencantumkan program KB di dalamnya. Pendekatan KB saat ini harus diubah menjadi paradigma yang bahwa KB dilaksanakan untuk memenuhi hak warga negara. Jika dibandingkan ketika sebelum program JKN mulai diterapkan, sejak tahun 2000 semua indikator KB mengalami stagnasi bahkan menurun. Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya adalah desentralisasi, atau karena Indonesia mengalami S curve dimana pada titik tertentu banyak indikator mengalami penurunan. Sedangkan pada era setelah JKN tepatnya pada 2016-2017 demand satisfied meningkat. Isu stockout atau ketersediaan alat kontrasepsi pada 2015-2016, stockout-nya meningkat. Saat ini dengan penerapan JKN, beban pemerintah untuk menyiapkan alat kontrasepsi bagi warga berlipat hingga 3 kali.

materi

Government’s Commitment to Achieve Universal Heath Coverage Through Right-Based Family Planning and Costed Implementation Plan

26okt 5oleh Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST, MIDS (Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olah Raga – Kementrian PPN / Bappenas). Integrasi perencanaan KB (right-based family planning) dilatarbelakangi oleh melemahnya kinerja program KB maupun angka kematian ibu yang tinggi. Dasarnya adalah hak asasi manusia untuk mendapatkan pelayanan, keadilan dalam akses, KB terintegrasi dalam sistem kesehatan, berbasis bukti, maupun sensitif gender. Strategi yang perlu dilakukan untuk right-based family planning diantaranya meningkatkan kualitas pelayanan terutama dari sisi suplai, meningkatkan penggunaan metode KB berkesinambungan, meningkatkan tata kelola pelayanan KB, dan aplikasi serta inovasi terkait riset. Terkait hal ini rencana pembiayaan implementasi untuk 2017 – 2019 sebesar Rp. 8.923 milyar. Selain itu diperlukan tahapan kegiatan agar right-based family planning ini dapat terwujud, dimana dimulai pada 2016 – 2017 sebagai tahun persiapan, 2018 sebagai tahun implementasi, 2019 sebagai tahun monitoring dan evaluasi, 2019 sebagai dokumentasi best practice, dan 2020 merupakan exit strategy dengan adanya penetapan prioritas.

materi

Reporter: Sabran

Reportase Lainnya:

Session Oral 2

26okt 4

Akses dan utilisasi pelayanan kesehatan sangat menarik dan penting untuk didiskusikan, sesi oral presentasi yang kedua dipandu oleh dr. Bella Donna, M.Kes selaku Kepala Divisi bagian Bencana Kesehatan, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM ini terdapat empat presentan yang memaparkan hasil penelitian terkait akses dan utilisasi pelayanan kesehatan yang dilakukan dengan berbagai pendekatan.

Perbandingan Biaya Kesehatan Katastrofik pada Rumah Tangga di Indonesia Tahun 2008 dan 2011

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Vini Aristianti, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung perbedaan kemampuan membayar Ability to Pay, menghitung perbedaan proporsi Catastrophic Health Expenditures, dan mengidentifikasi faktor-faktor Catastrophic Health Expenditure. Menurutnya, jika seseorang membayar biaya untuk pelayanan kesehatan, yang jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga, maka rumah tangga tersebut akan terjadi “bencana keuangan” sehingga akan memotong biaya untuk kebutuhan sehari-hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengeluaran kesehatan katastrofik dari 2008 hingga 2011 yaitu sebanyak 0.29% di Indonesia, terdapat perbedaan kemampuan membayar pada rumah tangga untuk biaya pelayanan kesehatan, dimana faktor yang mempengaruhi pengeluaran kesehatan katastrofik diantaranya seperti : pendidikan kepala rumah tangga, jenis kelamin, rasio beban tanggungan, keberadaan lansia dalam rumah tangga, keberadaan balita dalam rumah tangga, status ekonomi, kepemilikan JKN dan lokasi tempat tinggal.

Peranan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Program Penanggulangan HIV dan AIDS Khususnya Pencegahan HIV melalui Transmisi Seks (PMTS) di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua

Hasil penelitian ini disampaikan olehHesty Tumangke, di awal presentasi Melkior menggambarkan tingginya kasus AIDS di Kabupaten Merauke dengan 85% dari 795 kasus termasuk HIV positif pada pekerja seks. Biaya kesehatan penderita HIV/AIDS memang sudah ditanggung penuh oleh pihak BPJS dan sudah ada sinkronisasi antara pihak daerah dengan BPJS, yang menjadi permasalahan dari penelitian ini adalah kurangnya kepemilikan kartu BPJS pada pekerja seks karena adanya kesenjangan latar belakang pendidikan pemilik lokalisasi, para pekerja seks tidak mempunyai dokumen seperti KTP, KK dan adanya ketakutan saat mengurus berkas tersebut karena tidak mampu menjawab dimana mereka bertempat tinggal. Sehingga, perlu dilakukan edukasi pada pemilik lokalisasi terkait kepemilikkan kartu BPJS pada pekerja seks dan mengingat pengobatan penyakit penyerta infeksi oportunistik bagi ODHA cenderung lama perlu adanya kerjasama dari pihak BPJS dan dana KPS untuk RSUD.

Does JKN Incentivize Public-Private Mix in Tuberculosis Care?

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Edhie Santosa Rahmat, MD, MSc perwakilan dari USAID Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa saat ini penderita TB khususnya di daerah penelitian ini yaitu Jakarta, Jember dan Medan lebih memilih private sector untuk akses pelayanan kesehatan padahal private sector saat ini cenderung tidak melaporkan data penderita TB ke pemerintah, kemudian diagnosis TB cenderung kurang tepat karena tidak adanya pemeriksaan laboratorium dan pengobatan yang diberikan cenderung berbeda dengan program pemerintah. Oleh karena itu, perlu adanya strategi, koordinasi antara private sector dan pemerintah, agar private sector dapat berkontribusi terhadap kualitas diagnosis sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat untuk penderita TB sesuai dengan program pemerintah pada era JKN ini.

Analisis Unit Klaim dalam Sistem Tagihan Peserta JKN di RSUD Kota Padang Panjang Tahun 2017

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Maihendra, SKM. AAK, M.Kes, bahwa perubahan sistem pembiayaan dari fee for service ke pola tarif INA-CBG’s menimbulkan berbagai permasalahan dalam implementasi INA-CBG’s sehingga Direktur membuat kebijakan membentuk unit klaim untuk mengatasi sistem tagihan peserta JKN. Hasilnya unit klaim yang mencakup kebijakan, tenaga dan sarana belum terlaksana secara maksimal dikarenakan belum adanya SOP pada kebijakan yang dibuat, kemudian pada unit klaim sarana karena belum adanya bridging system sehingga belum efektif dan efisien dalam memasukkan data ke aplikasi INA-CBG’s. Namun, dengan adanya kebijakan ini dinilai baik karena ada unit yang fokus serta terintegrasi dengan unit lain dalam penyelesaian klaim peserta JKN.

Di akhir sesi oral presentasi yang kedua ini banyak peserta yang antusias bertanya serta bertukar pikiran terkait akses dan utilisasi pelayanan kesehatan di Indonesia dan harapannya semua penelitian yang terlaksana dapat membantu menyelesaikan permasalahan kesehatan di Indonesia untuk mencapai Universal Health Coverage 2019.

Reporter : Nilasari

Reportase Lainnya:

Reportase Sesi Paralel 3 dan 4

Parallel 3

Konsep Pemberian Kompensasi Pada Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat

26okt 3

Sesi Paralel 4 menghadirkan 3 pembahas yaitu dr. Ismiwanto Cahyono, MARS selaku dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes Ri. Kedua adalah dr. Dwi Martiningsih, M.Kes, AAK selaku Deputi Direksi Riset dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat. Ketiga dr. Fachrurrazi, MM, AAK selaku Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Primer BPJS Kesehatan Pusat.

Materi

Di awal pembahasan, dr. Ismiwanto Cahyono, MARS menekankan menindaklanjuti UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dimana dijelaskan mengenai daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan dan belum memenuhi syarat, dalam kalimat tersebut terdapat kata-kata “memenuhi syarat” setelah melakukan penelusuran lebih jauh lagi hingga sampai saat ini, dimana belum ada yang menguraikan atau menjelaskan mengenai apa yang dimaksud “fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat” atau dengan kata lain belum mempunyai definisi operasional yang jelas.

Selanjutnya dr. Dwi Martiningsih, M.Kes, AAK menjelaskan bahwa dalam hal puskesmas yang tidak memungkinkan untuk dibayarkan menggunakan kapitasi maka dapat dibayarkan dengan mekanisme lain yang lebih berdaya guna, proses ini masih dalam proses penghitungan kembali apakah daerah tersebut masih memungkinkan untuk dibayarkan kapitasi atau tidak, namun apabila puskesmas tersebut tetap tidak memungkinkan maka dibuat mekanisme yang lain, sehingga daerah yang tidak terjangkau dapat terlayani dengan mekanisme atau metode yang lain. Saat ini sedang dilakukan 3 kajian terkait metode pembayaran kapitasi untuk daerah yang tidak memungkinkan untuk diberikan kapitasi, kajian pertama adalah dengan melihat 130 PKM dengan Unit Cose tertinggi, Kedua real cost biaya di FKTP untuk melihat kapitasi yag dibayarkan apakah kelebihan atau kekurangan, Ketiga efektifitas pelayanan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK), dari hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan suatu solusi mekanisme pembayaran di FKTP yang lebih efektif dan efisien termasuk mengatasi permasalahan di daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat.

Saran yang diberikan oleh dr. Fachrurrazi, MM, AAK terkait definisi untuk daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat adalah dengan membuat definisi operasional terlebih dahulu sehingga diharapkan nantinya tidak adanya tumpang tindih antara regulasi yang ada, apabila regulasi tersebut berseberangan atau dengan kata lain tidak saling mendukung akan berdampak pada terjadinya kebingungan bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan.

26okt 2

 

Reportase Lainnya:

Reportase Keynote 1 - 3

26okt 1

Pengantar terkait implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disampaikan oleh Shita Listya Dewi, Ph.D selaku moderator pada Keynote II dan III, yang dilaksanakan pada hari kedua pelaksanaan Forum Nasional Kebijakan Kesehatan ke - VII di Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta. Sesi ini mendiskusikan mengenai pengalaman dan tantangan dalam mewujudkan cakupan kesehatan semesta di Thailand dan pemaparan hasil studi terkait implementasi kebijakan JKN di Indonesia.

Nopphol Witvorapong, PhD dari Center for Health Economics, Universitas Chulalongkorn Thailand menjadi pembicara pertama dalam sesi ini. Nopphol menjelaskan mengenai pengalaman pemerintah Thailand dalam hal pengaturan kelembagaan dan perubahan kebijakan untuk mewujudkan cakupan kesehatan semesta. Thailand adalah salah satu negara dengan penghasilan rendah yang mencapai cakupan kesehatan semesta dengan terlebih dahulu melalui proses yang panjang. Sejarah Thailand terkait upaya tersebut dimulai pada 1975 dengan menciptakan skema Kartu Kesejahteraan Medis untuk kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Upaya tersebut mengalami banyak perubahan hingga pada 2001, pemerintah Thailand menerapkan “Kebijakan 30-Bath”, dimana seluruh masyarakat yang ingin mendaftarkan diri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di setiap fasilitas kesehatan diwajibkan membayar 30 Baht. Pada 2002, kebijakan tersebut dihapuskan dengan disahkannya undang-undang Jaminan Kesehatan Nasional dan berganti nama menjadi cakupan kesehatan semesta.

Materi

Sebelum diterapkannya cakupan kesehatan semesta pada 2002, sekitar 18 juta penduduk Thailand tidak memiliki asuransi kesehatan. Di lain sisi, terdapat kesenjangan fasilitas baik fasilitas kesehatan dan fasilitas publik di perkotaan dan pedesaan, dan rendahnya pemanfaatan pelayanan rumah sakit. Cakupan kesehatan semesta yang dapat diraih oleh pemerintah Thailand diawali dengan proses persiapan, penyediaan, dan penataan sumber daya kesehatan secara bertahap dan melibatkan sektor swasta dan universitas. Upaya juga meliputi perbaikan sektor farmasi untuk memproduksi obat murah guna menciptakan kemandirian obat dalam negeri, memperkuat peran fasilitas kesehatan di masyarakat, pendekatan politik oleh organisasi profesi kesehatan dalam upaya mengarahkan investasi terkait kesehatan masyarakat, dan regulasi terkait insentif dan kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan pelayanan publik di daerah pedesaan.

Hal serupa juga disampaikan oleh Cheryl Chasin, dari lembaga “Result for Development” yang membahas implementasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia dari sudut pandang keadilan. Cheryl Chasin menjelaskan bahwa implementasi JKN yang berlangsung sejak 2014 membawa dampak positif dan negatif terhadap sistem kesehatan di Indonesia. Aspek positif dari implementasi JKN berupa peningkatan yang berarti terhadap kepesertaan JKN. Selain itu, terdapat bukti nyata yang menunjukkan bahwa akses dan penggunaan JKN di Indonesia telah memihak kepada rakyat miskin dengan kualitas pelayanan yang sama tanpa memihak strata sosial. Jumlah pengeluaran negara terkait kesehatan yang meningkat dari tahun ke tahun juga merupakan salah satu dampak positif dari implementasi JKN. Meningkatnya pengeluaran negara tersebut disertai dengan rendahnya biaya yang dikeluarkan individu untuk mengakses layanan kesehatan. Namun di sisi lain, hal yang dianggap perlu proses perbaikan adalah aspek sumber daya yang bervariasi di masing-masing daerah, sehingga dapat dicapai pemerataan tidak hanya pada aspek kuantitas tetapi juga pada kualitas layanan kesehatan yang diberikan sebagai bagian dari aspek keadilan.

Hal yang dianggap perlu dilakukan terkait menjamin keadilan pelayanan kesehatan adalah memperjelas fungsi pengawasan secara berkala, keterbukaan akses informasi BPJS Kesehatan, dan koordinasi antara pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah dalam hal penerapan JKN di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, Indonesia diharapkan dapat belajar dari pengalaman sebelumnya untuk mencapai cakupan kesehatan semesta.

Kesimpulan dari sesi ini adalah pentingnya peran aktif yang menyeluruh dari berbagi pihak terkait penerapan JKN guna mempersiapkan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai cakupan kesehatan semesta. Indonesia dapat menjadikan pengalaman Thailand dengan melihat bahwa seluruh upaya yang dilakukan membutuhkan waktu dan proses yang besar, serta dilakukan secara menyeluruh dari berbagai aspek dengan melibatkan seluruh elemen pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Reportase: Muhammad Asrullah

Reportase Lainnya: