Evaluasi Kebijakan dan Equity

donaldSesi yang membahas Evaluasi Kebijakan dan dan Equity dipandu oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD menghadirkan Staf Ahli Bidang Pembiayaan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesi dr. Donald Pardede, MPPM yang menggantikan Menteri Kesehatan yang pada kesempatan ini berhalangan hadir karena ada kegiatan di Istana Mendeka.

Menteri Kesehatan melalui dr. Donald Pardede mengingatkan bahwa Jaminan Kesehatan Nasional sebagai salah satu vertical untuk mencapai Universal Health Coverage sebagai satu kesatuan pembangunan kesehatan secara utuh dan berkesinambungan mulai dari promosi, preventif, kuratif dan rehabilitatif sehingga bermanfaat secara merata dan berkualitas. Arah pembangunan kesehatan adalah paradigma sehat, penguatan pelayanan kesehatan dan mewujudkan Jaminan Kesehatan Nasional menuju Universal Health Coverage di tahun 2019. Mewujudkan Jaminan Kesehatan Nasional penting diperhatikan mengenai pemanfaatan JKN/KIS melalui akses terhadap pelayanan kesehatan, pembangunan sarana dan prasarana, suplai pelayanan kesehatan yang merata sehingga tidak ada gap antar daerah di Indonesia.

Secara nyata penerapan jaminan kesehatan nasional telah terjadi peningkatan aksesibilitas pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan pemerintah seperti Puskesmas dan Rumah Sakit tetapi sangat sedikit pada swasta. Lanjut menurut Donald, sekarang yang menjadi pekerjaan rumah sekaligus menjadi tantangan pelaksanaan jaminan kesehatan nasional adalah kesenjangan financial, kepersertaan, pembiayaan, sarana dan prasarana, sumber daya manusia, teknologi dan mutu pelayanan kesehatan. Bahwa suatu proses perbaikan dalam dinamika JKN akan berlangsung terus menerus maka harus melibatkan aspek-aspek baik mobilisasi sumber-sumbernya dan menasionalkan manfaatnya. Selain itu, perbaikan dalam status organisasi tata kelola dalam BPJS sebagai badan penyelenggara jaminan kesehatan nasional.

Laksono Trisnantoro membuka diskusi sesi akhir dengan mereview materi yang telah disampaikan dalam Forum Nasional VII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dan membahas mengenai beberapa isu JKN diantaranya perlukah perbaikan kebijakan di level Undang-undang ataupun di bawah Undang-undang; siapa yang melakukan evaluasi kebijakan dan peran perguruan tinggi dalam evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional.

25okt 6

Sebelumnya Prof. Laksono mengundang dr. Chairul Radjab Nasution, Sp. PD, KGEH, FINASIM, FACP, M.Kes (Ketua Dewan Pengawas-BPJS Kesehatan), Prof. dr. Ascobat Gani MPH Dr.PH (Guru Besar Universitas Indonesia) dan Trias wahyuni Putri Indra, M.Kes (Kepala Pusat Analisis Determinan) serta beberapa perwakilan dari Universitas melalui webinar untuk mendiskusikan isu-isu tersebut.

Isu mengenai perlukah adanya perbaikan kebijakan di level UU ataupun di bawah undang banyak yang berpendapat bahwa diperlukan perubahan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ascobat Gani menjelaskan Pasal 34 UUD 1945 negara mengembangkan sistem jaminan sosial namun dalam UU SJSN tidak menjelaskan mengenai kompensasi oleh negara sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Trias wahyuni Putri Indra setuju diperlukannya rivisi pada level UU SJSN karena permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah berbeda dan tidak bisa diseragamkan dan Prof Alimin dari Universitas Hasanuddin mengatakan setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda dan susah tercapai equity jika rivisi undang-undang tidak dilakukan.

Sebaliknya Chairul Radjab Nasution menyampaikan sekarang adalah bukan saat yang tepat untuk mengubah undang-undang. Terpenting bagaimana menyesuaikan peraturan pemerintah, peraturan presiden dan lainnya karena banyak peraturan yang tidak sikron antara satu dengan lainnya. Tujuan yang ingin dicapai sekarang hanya untuk mengejar kuantitas bukan kualitas. Ditambah fakta di lapangan ditemukan banyak terjadi permasalahan JKN terkait supply side dan kepesertaan.

Banyaknya permasalahan diperlukan kepedulian dan keterlibatan semua pihak dalam melakukan evaluasi perbaikan baik pemerintah maupun stakeholder-stakeholder terkait baik IDI, PERSI dan lainnya. Donald Pardede menyampaikan kebijakan publik akan ada dinamika publik. Sistem akan berjalan dengan baik jika semua stakeholder mencapai kesepakatan untuk memperkuat sistem jaminan kesehatan. Penting diingat evaluasi kebijakan dapat dikatakan berkualitas tergantung siapa yang melakukan evaluasi tersebut. Apakah yang akan melakukan evaluasi merupakan individu, lembaga peneliti atau perguruan tinggi yang sangat independen atau tidak independen. Ascobat Gani mengatakan jika berkaitan dengan penelitian, indepensi atau tidak indepensi tergantung integritas dari yang meneliti. Beda dengan policy research, sangat bergantung dengan policy maker, user dan penelitinya. Dalam Forum ini diharapkan Pemerintah, BPJS kesehatan, perguruan tinggi serta Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dapat bermitra dan bekerja sama dalam melakukan perbaikan dan penyempurnaan Jaminan Kesehatan Nasional.

Materi

Reporter : Muhamad Syarifuddin, SKM.,M.PH

Reportase Lainnya:

Supply side Readiness : Apakah sumber dari masalah ketidakadilan JKN?

25okt 5

Sesi kedua dalam Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia (KKI) ini dipandu oleh moderator Dr. dr. Andreasta meliala, DPH, M.Kes, MAS. Dalam sesi ini hadir pula di Yogyakarta Dr. Salma Burton (Perwakilan dari WHO di Indonesia), Dr. Tira Aswinta (perwakilan dari UNFPA di Indonesia), Dr. Kuntjoro A. Purjanto, M.Kes (Ketua PERSI) dan Dr. Bambang Wibowo, SpOG (K)., MARS (Dirjen Yankes Kementerian Kesehatan). Selain itu Ada pula pembahas yang mengikuti via webinar yaitu Dr. Rudy Pou., MARD (CCHPS, Universitas Trisakti) dan Dr. dr. Rahmat bakhtiar, MPPM (FK Universitas Mulawarman).

Materi

Tema yang diangkat dalam sesi ini adalah sumber masalah ketidakadilan dalam JKN?. Beberapa riset telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut, salah satunya yang dilakukan oleh PKMK FK UGM yang meneliti perkembangan jumlah rumah sakit di Indonesia. Kesenjangan jumlah rumah sakit sangat jelas pada Regional I (Wilayah Indonesia Bagian Barat) dengan Regional 5 (Wilayah Indonesia Bagian Timur). Melihat hal tersebut, Kementerian kesehatan membuat peraturan baru mengenai perbedaan tarif untuk rumah sakit di Regional 4 dan 5 dengan adjusment tingkat kemahalan disuatu wilayah karena akses yang sulit sehingga berpengaruh pada biaya produksi dan lainnya. Harapannya dengan perbedaan tarif di rumah sakit dapat meningkatkan minat para investor untuk membangun rumah sakit di regional tersebut serta menjadi motivasi untuk pemerataan tenaga kesehatan di daerah pinggiran dan terpencil.

Beberapa agensi luar negeri berperan dalam membangun kesehatan di Indonesia. Salah satunya adalah UNFPA yang bergerak dibidang kesehatan ibu dan anak. Di Indonesia wilayah kerja UNFPA berada pada remotte area. Jika dilihat dari faktor wilayah ketimpangan yang ada pada regional 1 sampai 5 terletak pada letak geografis yang menjadi penyebab utama ketidakadilan dalam JKN. Sebgai Contoh daerah Papua dengan jumlah penduduk yang sedikit akan menjadi pertimbangan tersendiri dalam pembangunan Faskes. Berbeda dengan di pulau Jawa, dalam pembangunan Faskes justru berkembang pesat. Keterlibatan UNFPA dalam membantu pemerintah untuk memajukan angka kesehatan adalah dengan berkontribusi dalam sharring data primer yang didapat dari lapangan, terutama data kesehatan ibu dan anak. Ketimpangan pun terjadi pada data yang dikumpulkan, sebagai contoh data pencatatan pelaporan kesehatan ibu dan anak yang dimiliki oleh BKKBN, kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan berbeda. Hal ini berdampak pada ketidak sinkronan pada data tersebut.

Program dokter interenship dan Nusantara Sehat diharapkan dapat membantu pemerataan layanan kesehatan dari daerah pinggiran. Peran pemerintah lainnya dalam mengatasi sumber masalah dalam era JKN adalah dengan mengembangkan Telemedicine untuk sinkronisasi data, terutama data rujukan pasien. Telemedicine ini sudah diuji coba dibebrapa wilayah. Diharapkan dengan Telemedicine sistem rujukan aka mengurangi ketimpangan yang ada.

Reporter : Elisa Sulistyaningrum, MPH

Reportase Lainnya:

Hasil Evaluasi : Apakah perlu Revisi Undang-Undang JKN dan BPJS?

25okt 4

Sejak implementasi program JKN di Indonesia, ditemukan masih banyak permasalahan seperti masalah revenue collection, pooling, kontrol mutu pelayanan kesehatan dan lain-lain. Dalam sesi plenary ini, narasumber mendiskusikan terjadinya tumpang tindih regulasi yaitu UU no.40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU no.24 tahun 2011 tentang BPJS yang multi interpretasi sehingga dianggap menjadi penyebab masalah-masalah tersebut. Apakah UU tersebut perlu direvisi?

dr. Asih Eka Putri, MPPM dari perwakilan DJSN memaparkan bahwa JKN terlahir dari jaminan sosial yang tujuannya adalah mendudukkan hubungan konstitusional antara negara dengan warganegara. Sampai saat ini, Perpres no.12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan sudah tiga kali direvisi dan hal ini menunjukkan adanya dinamika yang mengakomodir berbagai situasi yang ada. Perpres adalah hasil produk hukum dari stakeholders yang utamanya adalah publik. Kebutuhan untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS sangat besar terutama dalam peningkatan peran pemerintah dan publik dan hal ini akan diajukan pada saat Prolegnas 2019.

Dr. dr. H. Bayu Wahyudi, SPOG, MPHM, MHKes, MM(RS) selaku Direktur Kepatuhan Hukum dan HAL, BPJS Kesehatan mengungkapkan bahwa BPJS sebagai pelaksana UU SJSN telah menjalankan implementasi UU sesuai Pancasila sila kedua dan kelima. Pemanfaatan BPJS telah dirasakan oleh peserta yang membutuhkan dimana saat ini jumlah peserta ada183 juta orang. Saat ini yang diperlukan adalah adanya gerakan untuk memacu kepatuhan peserta agar BPJS tetap konsisten dan dapat mencapai target yaitu financial sustainability, customer satisfaction serta tercapainya Universal Health Coverage (UHC) pada 1 Januari 2019 (target peserta 267.500.000 penduduk). Perubahan UU dianggap perlu dan Bayu menyoroti pada pengoptimalan peran Pemda.

Berdasarkan hasil riset di lapangan, faktanya telah terjadi overlapping regulasi. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Rizanda M, M.Kes dari FK UNAND bahwa UU sudah sesuai tetapi pengaturan operasionalnya yang masih tumpang tindih seperti pada regulasi mengenai FKTP pemerintah (puskesmas) dan swasta. Rizanda menilai perlunya koordinasi untuk puskesmas dan FKTP swasta agar tidak dikotomi. Dr. drg. Yulita H, M.Kes dari KPMAK FK UGM juga menilai bahwa banyak inkonsistensi regulasi terutama dalam hal kewenangan dan adanya kekosongan hukum tentang konsep stakeholders. Siapakah yang berhak menegur BPJS dalam implementasi JKN? Belum ada regulasi yang jelas terkait ini.

Perlunya perubahan UU SJSN dan BPJS juga disepakati oleh Dr. dr. Deni Kuniadi, DESS dari FK UNPAD yang menganggap bahwa di dalam UU harus tegas mengenai penjelasan peran tiap stakeholders (misalnya, Kemenkes sebagai regulator). Di sisi lain, Sundoyo, SH, MKM, M.Hum (Biro Hukum Kemenkes) lebih menitik beratkan kepada penerjemahan regulasi menjadi sebuah implementasi yang baik.

Diskusi plenary ini menggaris bawahi pentingnya kejelasan peran dan wewenang dari stakeholders dalam program JKN dan konsistensi UU dan produk hukum turunannya. Kesimpulan dari sesi ini adalah adanya rekomendasi dari narasumber untuk revisi UU SJSN dan BPJS.

Reporter: dr. Novika Handayani

Reportase Lainnya:

 

 

Pengantar Pertemuan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Tahun 2017

Sesi pengantar pertemuan Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia Tahun 2017 menghadirkan dua orang pembicara, yaitu Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (guru besar Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UGM), dan Prof. Purwo Santoso, MA., Ph.D. (guru besar Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM). Moderator sesi ini, Christyana Sandra, S.KM.,M.Kes. (Universitas Jember) membuka sesi ini dengan menayangkan video pengantar dari Menteri Kesehatan RI; Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, SpM(K).

Menteri Kesehatan RI menyampaikan bahwa Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia merupakan forum yang strategis dalam mengawal monitoring dan evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menuju era Universal Health Coverage (UHC). Sebagaimana disampaikan, salah satu tantangan pencapaian UHC 2019 adalah besarnya populasi Indonesia yang disertai dengan tingkat pendapatan dan kebijakan layanan kesehatan yang beragam. Hingga 1 Oktober 2017, jumlah peserta JKN masih mencapai 70,83%. Artinya, terdapat sekitar 30% penduduk yang belum menjadi peserta JKN.

Mengelola populasi yang besar dalam satu skema adalah hal yang tidak mudah. Selain itu, pemilihan metode pembayaran yang tepat untuk menhindari risiko finansial juga masih menjadi tantangan penerapan JKN. Tugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTP) dalam mendorong akses layanan kesehatan dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) untuk melaksanakan panduan praktik klinis serta clinical pathway dalam rangka mendorong budaya anti-fraud harus dimonitor secara sungguh-sungguh. Menteri Kesehatan RI berharap, pembahasan tentang JKN dalam forum ini diharapkan mampu menciptakan sinergi untuk mendukung pelaksanaan JKN agar bermutu sesuai dengan amanat undang-undang.

Sesi 1

25okt 3

Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan isu perlunya kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk dievaluasi. Sebagaimana disampaikan, pengesahan UU SJSN dan UU BPJS dilaksanakan melalui proses yang tidak mudah. Secara alamiah, tidak ada satu pun kebijakan yang diterapkan merupakan produk yang sempurna, pasti ada kekurangan sehingga memerlukan evaluasi. Atas dasar inilah perlunya kebijakan JKN untuk dimonitor dan dievaluasi secara berkesinambungan.

Pada kesempatan ini, Prof. LaksonoTrisnantoro menyampaikan bahwa beberapa sasaran UHC akan sulit tercapai di tahun 2019. Satu dari delapan sasaran UHC yang mungkin dapat dicapai hanyalah aspek kepuasan peserta, sedangkan sasaran yang lain dikatakan cukup sulit untuk tercapai apabila kondisi implementasi JKN masih seperti saat ini. Isu pemerataan, yaitu sasaran ketiga (paket manfaat medis dan non medis (kelas perawatan) sudah sama, tidak ada perbedaan, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat) dan keempat (jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk tenaga dan alat-alat) sudah memadai untuk menjamin seluruh penduduk memenuhi kebutuhan medis mereka) masih menjadi rapor merah. Oleh sebab itu, evaluasi JKN dirasa perlu dilakukan sehingga menghasilkan beberapa rekomendasi seperti agenda persiapan menjelang 2019 dan perubahan kebijakan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

materi

Sesi 2

25okt 2

Prof. Purwo Santoso pada kesempatan yang sama menekankan perlunya menjadikan evaluasi sebagai kebutuhan. Sebagian besar praktisi kesehatan saat ini terjebak dalam suatu sistem yang ada karena terlalu fokus dalam tataran implementasi kebijakan. Pemahaman konteks kebijakan sering kali luput dan jarang sekali diperhatikan. Oleh sebab itu, evaluasi yang perlu dilakukan tidak terbatas pada aspek implementasi, melainkan juga pada aspek desain kebijakan yang meliputi infrastruktur dan instrument kebijakan. Aspek agenda setting dalam kebijakan JKN tidak terlepas dari kepentingan politis, sehingga perlu melibatkan multi sektor. Sementara itu, peran praktisi kesehatan yang diharapkan dalam kondisi ini adalah mendukung proses advokasi. Pentingnya evaluasi agenda setting kebijakan JKN merupakan hal yang sangat penting supaya pemerintah tidak terjebak pada kekeliruan yang dilakukan pada sistem yang telah dibuat, sehingga implementasi kebijakan JKN tidak menambah banyak “korban”. Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia ke-7 ini diharapkan mampu mendorong evaluasi kebijakan JKN dari sisi konteks kebijakan.

materi

 

Reportase oleh: Dedik Sulistiawan

Reportase Lainnya:

 

International Conference for Realist Research, Evaluation, and Synthesis 2017 “From Promise to Practice”

Apa itu Realist Evaluation?

Realist evaluation bukanlah metode baru, tapi suatu pendekatan berpikir dalam melakukan evaluasi program. Pendekatan ini dapat diaplikasikan dalam bentuk penelitian, evaluasi program hingga dasar pembuatan kebijakan. Link berikut ini memberikan paparan singkat tentang realist evaluation yang ditulis oleh Ray Pawson dan Nick Tilley, para sosiolog sering disebut sebagai Bapak Realist Evaluation.

Sejumlah topik presentasi yang akan dilaporkan dalam reportase hari pertama ini:

Silahkan klik link diatas untuk membaca lengkap reportase hari ke-2 dan ke-3 dari konferensi internasional ini! (Dhini Rahayu Ningrum & Tiara Marthias)

Reportase Diskusi Pokok - Pokok Pemikiran Mengenai IDI dan Kolegium Sebagai Organisasi Profesi yang Terpisah di Dunia Kedokteran Indonesia

dskidi

PKMK - Senin, 11 September 2017 telah dilaksanakan diskusi webinar dengan judul “Diskusi Pokok-Pokok Pemikiran Mengenai IDI dan Kolegium sebagai Organisasi Profesi yang Terpisah di Dunia Kedokteran Indonesia”. Kegiatan yang dilaksanakan selama 2 jam ini menghadirkan pemateri, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D, dan dua pembahas Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME, PKK, dan dr. Bambang Suryono, M.Kes, Sp.An., KIC, KAO.

Diskusi ini dibuka dengan pemaparan materi dari Prof. Laksono yang menjelaskan tentang sektor kesehatan dan mekanisme pasar dimana terjadi kemungkinan monopoli dalam dunia kedokteran Indonesia. Hal ini dapat dilihat melalui peran ganda Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di sektor pelayanan kesehatan dan pendidikan profesi. Peran ganda ini mengakibatkan hilangnya atau pembatasan hak kontitusi masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan kedokteran. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, diperlukan pemisahan Kolegium dari IDI dengan Kolegium berfokus pada pengembangan inovasi pada pendidikan kedokteran, sedangkan IDI fokus mengatur kesejahteraan dokter dalam praktek dan melayani masyarakat. Pemisahan ini dapat mendukung terjadinya mekanisme check and balance pada mutu pendidikan dan jumlah serta pemerataan dokter.

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan penjelasan materi oleh dr. Judilherry sebagai salah satu pemohon judicial review IDI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Judilherry mengutarakan teori dimana korupsi terjadi karena adanya monopoli, diskresi (kekuasaan), namun minim akuntabilitas. Saat ini, IDI memonopoli kewenangan tapi minim akuntabilitas karena belum memiliki badan pengawas sehingga IDI memiliki potensi terjadinya kesalahan penggunaan wewenang. dr. Judilherry menjelaskan pula tentang kronologis perubahan UU Praktik Kedokteran sejak 2004 hingga 2015 “Kalimat badan yang dibentuk oleh organisasi profesi ini diminta untuk dihapus untuk mencegah monopoli kekuasaan oleh IDI” Ujar beliau. Pemaparan materi kemudian ditutup dengan pepatah dari Edmun Burke, kejahatan akan menang jika orang baik tetap diam, dan kami tidak akan tinggal diam, tegas dr. Judilherry.

dskidi2dr. Bambang selaku mantan Ketua IDI wiliayah D.I. Yogyakarta lalu menyampaikan pihaknya terkejut bahwa terdapat perubahan besar di IDI. Menurutnya, selama ini anggota kolegium selalu independen terdiri dari orang-orang yang berdedikasi di dunia pendidikan kedokteran. Bahkan rela terus berjuang meski tanpa dukungan dari pemerintah karena sadar bahwa dokter harus terus berinovasi untuk mengejar kompetisi global. Bambang juga menekankan terkait hal ini, perlu diadakan forum bersama untuk berdialog membahas isu ini dengan kepala dingin dan hati yang lapang untuk mencari solusi bersama dari berbagai pihak yang bersangkutan.

Pasca pemaparan dari ketiga narasumber, diskusi pun dibuka. Sudjoko Kuswadji menanyakan mengapa bisa terjadi perubahan besar seperti ini di IDI? Apakah karena pengaruh internal atau eksternal? Misal businessman, karena dokter berada di lingkaran bisnis RS dan farmasi. Apakah mungkin mereka mempengaruhi IDI karena dokter mayoritas bukan businessman. Menanggapi pertanyaan ini, Prof. Laksono menjelaskan perlu diteliti lebih lanjut mengapa hal ini bisa terjadi.

dr. Bambang menyatakan sepertinya memang ada tangan-tangan dari luar yang ingin melemahkan organisasi profesi dokter, namun tidak bisa diidentifikasi siapa. Ada langkah-langkah yang sistematis ingin melemahkan IDI. Tuduhannya seperti gratifikasi dan lain-lain. Sehingga jika ada masalah, kita harus konsolidasi untuk menyelesaikannya.

Penanya kedua menanyakan apakah setuju jika UU di-review atau direvisi terkait monopoli IDI? Menurut dr. Bambang, tidak mengapa jika kolegium dikembalikan menjadi independen agar terdapat check and balance. Dr. Judilherry kemudian menuturkan bahwa dulu saat terpisah, kolegium berhak menetapkan bidang ilmu baru, namun sekarang hanya bisa menyarankan ke IDI dan menunggu persetujuan dari IDI terkait hal tersebut. Spesialis sebanyak kurang lebih 15 ribu, dibandingkan dengan dokter umum sebanyak 120 ribu mungkin tidak merasa diganggu, namun bagi dokter umum monopoli ini sangat berbahaya. Sebagai contoh, ketua kolegium dapat diambil dari Ilmu Kesehatan Masyarakat padahal notabene mungkin tidak paham tentang pendidikan kedokteran sehingga kolegium ini perlu dipisah agar dapat dibenahi.

Penanya ketiga, dr. Marulam sebagai Sp.PD dan kardiologi menyatakan bahwa pihaknya melihat ada oknum yang ingin mengobrak abrik IDI. “Mohon dimengerti bahwa kita ingin meletakkan kolegium sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran, dan IDI sesuai dengan UU Asosiasi Pelayanan Kesehatan dan mengembangkan kesejahteraan anggota. Faktanya seluruh pihak harus meyakini bahwa pengajuan judicial review bukan usaha untuk meruntuhkan IDI. dr. Bambang menyatakan masalahnya sudah sampai di UU, maka biarlah hukum yang memutuskan. “Kami yang di daerah kurang paham dengan pergolakan di Jakarta., harus disinkronkan. Produk-produk hukum di Senayan harus dikawal betul karena di titik-titik terakhir bisa saja ada perubahan. Mana yang dipandang lebih betul di pandangan hukum yang akan berhasil”.

Penanya terakhir, Prof. Ahmad bertanya tentang jika Kolegium dan IDI dipisah, bagaimana mensinkronkan antara pelayanan kesehatan dan pendidikan kedokteran?. Menanggapi pertanyaan tersebut, Prof. Laksono mengusulkan untuk diadakan muktamar yang terdiri dari berbagai elemen organisasi di dunia kedokteran seperti IDI, Kolegium, AIPKI, dan KKI. dr. Bambang turut mendukung usul tersebut. Muktamar ini mungkin dapat dianalogikan sebagai majelis musyawarah rakyat, dimana DPR dan MPR duduk bersama, sebut saja namanya, Majelis Permusyawaratan Dokter (MPD), dimana pemerintah juga turut ikut di dalamnya. Harus ada pengendalian dan pengawasan dan memberikan pertanggungjawaban ke MPD sehingga akuntabilitas tetap terjaga. Dr. Judilherry menjelaskan meski Kolegium dan IDI terpisah namun secara fungsional saling menguntungkan dan menghargai yuridiksi masing-masing.

Diskusi webinar diakhiri dengan pernyataan dari Prof. Laksono, “Diskusi ini akan terus dilanjutkan mengingat isu ini penting dalam menghadapi dunia yang semakin dinamis, serta penting bagi dunia pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan.”

Reporter: dr Noor Afi Mahmudah

Webinar & Live Streaming

Pokok - Pokok Pemikiran Mengenai IDI dan Kolegium Sebagai Organisasi Profesi yang Terpisah di Dunia Kedokteran Indonesia

Senin, 11 September 2017

  Pengantar

Dalam dunia kedokteran Indonesia, terdapat tiga komponen penting; (1) pemerintah; (2) masyarakat (termasuk organisasi profesi); dan (3) pelaku usaha. Hubungan perlu dikelola menjadi tata aturan yang baik dalam sistem pelayanan. Sejak UU Pendidikan Kedokteran ditetapkannya pada 2013, terdapat 2 sektor yang berbeda di dunia kedokteran Indonesia, yaitu: sektor pendidikan sebagai tempat lahirnya dokter; dan sektor pelayanan kesehatan. Sektor pendidikan kedokteran Indonesia menggunakan dasar terutama UU Pendidikan Kedokteran dan berbagai UU di sektor pendidikan pada umumnya. Sementara itu, sektor sistem Pelayanan Kedokteran menggunakan UU Praktek Kedokteran dan berbagai UU lainnya seperti UU Kesehatan, UU Rumah Sakit.

Dengan demikian dua sektor tersebut berbeda namun menjalin satu secara sinergis membentuk “Dunia Kedokteran Indonesia”.

  Tujuan Diskusi

Setelah disahkannya UU Praktek Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran, sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat mengenai dua sektor yang terpisah tapi berhubungan tersebut. Oleh karena itu, diselenggarakan diskusi makan siang ini dengan tujuan membahas:

  1. Apa yang terjadi di pelaksanaan 2 UU tersebut;
  2. Adanya peran ganda IDI di sektor pelayanan kesehatan dan pendidikan dokter;
  3. Hak konstitusi masyarakat yang dapat dilanggar akibat peran ganda di dua sektor;
  4. Perlunya pemisahan Kolegium dari IDI untuk kebaikan bangsa dan pengembangan perhimpunan profesi secara berkelanjutan.

Agenda

Narasumber

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

materi   video

Pembahas
  • Dr. dr. Judilherry Justan, MM, ME, PKK
  • dr. Bambang Suryono, M.kes, Span. KIC, KAO

materi   video   diskusi

Reportase

 

Waktu

Senin, 11 September 2017 
Tempat: Studio Kepemimpinan Gedung IKM Lantai III FK UGM