SEMINAR dan WEBINAR

Kajian Analisis Kebijakan Pembiayaan Program
Pengendalian TB dalam Konteks Jaminan Kesehatan Nasional Indonesia

 

PENGANTAR

Pembiayaan TB dari tahun ke tahun masih tetap tinggi, tetapi indikator TB tidak menunjukkan penurunan yang berarti. Berbagai cara telah dilakukan untuk melakukan perubahan yang signifikasi dalam rangka menurunkan angka penderita TB. Saat ini pembiayaan TB masih terfragmentasi menjadi beberapa sumber; pemerintah pusat (dengan dukungan donor seperti GlobalFund), pemerintah provinsi, dan pemerintah Kabupaten/kota. Dengan adanya JKN maka dana untuk program TB ada yang mengalir melalui BPJS Kesehatan. Berbagai aliran dana ini mempengaruhi efektifitas system pembiayaan kesehatan, tidak terkecuali pembiayaan progam TB. Pelaksanaan JKN selama 3 tahun ini diharapkan telah memberikan banyak informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan dan masyarakat penerima manfaat JKN, khususnya yang terkait dengan program TB. Informasi ini dapat dimanfaatkan apabila dilakukan analisis-analisis yang mendalam terkait indikator-indikator pelaksanaan program TB dalam konteks aliran pendanaan TB di era JKN.

TUJUAN

  1. Memahami perubahan kebijakan khususnya pendanaan program TB sebelum dan setelah adanya program JKN, dilihat dari peran masing masing pemangku kepentingan (Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten Kota dan pendanaan lainnya).
  2. Analisis monitoring dan evaluasi perubahan yang terjadi dalam model pendanaan TB, setelah adanya program JKN, dilihat dengan menggunakan analisis health financing system (Revenue Collection, Pooling dan Purchasing).
  3. Melihat ke depan: Apa yang perlu ditindaklanjuti untuk efisiensi dalam pendanaan program TB kedepan?

UNDANGAN

  1. Kementerian Kesehatan (Biro Perencanaan dan Penganggaran)
  2. Kementerian Kesehatan (Direktorat Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit)
  3. Kementerian Kesehatan (Direktorat P2P, Subdirektorat P2P TB)
  4. Kementerian Kesehatan (Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan)
  5. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
  6. Anggota Komis Ahli Kebijakan Program TB
  7. Anggota Community of Practice JKN dan Kesehatan
  8. Partners (WHO, KNCV, UNICEF, USAID, dll)
  9. Peneliti, praktisi (FKTP dan FKTL_, dan akademisi

AGENDA

Pertemuan ini akan diselenggarakan pada hari Senin, 11 Desember 2017 pukul 12.00-16.00 WIB; bertempat di Ruang Pertemuan MMR Jakarta, Gedung Granadi, lantai 10, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan dan Webinar langsung dari Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.

Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link registrasi berikut:

Link Webinar: https://attendee.gotowebinar.com/register/1907115400168227073 
Webinar ID: 853-455-387

Arsip diskusi bersama Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui website http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan website http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 

PEMATERI

  1. Deni Harbianto SE
  2. Kasubdit P2 TB, Kementerian Kesehatan RI

Fasilitator: Prof. Laksono Trisnantoro MSc PhD

PEMBAHAS

  1. Dr. Pandu Riono, (Komisi Ahli TB)
  2. BPJS Kesehatan RI

SUSUNAN ACARA

Waktu Materi Pemateri/Pembahas
12.00-13.00  Registrasi dan Makan Siang Panitia
13.00-13.15  Pembukaan dan Pengantar: Program TB dalam perspektif Monitoring dan evaluasi kebijakan JKN

Fasilitator:

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

 13.15-13.45

Sesi 1:

Kebijakan Program TB Nasional

Kasubdit P2 TB, Kementerian Kesehatan, RI
13.45-14.30 

Sesi 2:

Penyampaian Materi Hasil Kajian Analisis Kebijakan Pembiayaan Program TB dalam Konteks JKN

Pemateri

Deni Harbianto, SE

14.30-15.45  Pembahasan dan Diskusi

Pambahas:

  • Dr. Pandu Riono
  • BPJS Kesehatan
15.45-16.00  Penutup Fasilitator


INFORMASI & PENDAFTARAN

Yoga Prajanta
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting),

 

Akses Untuk Obat yang Berkualitas dan Terjangkau
dalam Implementasi JKN di Indonesia

“Ending the Vicious Cycle”

9 November 2017

Pada 9 November 2017, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bekerjasama dengan GP. Farmasi Indonesia dan International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) menyelenggarakan forum dialog Akses untuk Obat yang Berkualitas dan Terjangkau dalam Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia dengan tema “Ending the Vicious Cycle”. Acara ini diselenggarakan di Gedung Pakarti Centre, Jakarta Pusat.

Acara dibuka oleh Direktur Eksekutif CSIS, Philips J. Vermonte. Philips menyampakan bahwa isu kesehatan di Indonesia sudah menjadi salah satu isu yang sangat penting di CSIS. Forum ini dapat dijadikan sebagai wadah mengumpulkan para ahli, pembuat kebijakan, dan stakeholder sehingga dapat memulai melakukan riset dan mendiskusikan tentang isu kesehatan. Pihaknya juga menyampaikan bahwa isu kesehatan mengenai JKN sangat kompleks. Isu JKN bukan hanya terbatas pada kepesertaan saja, melainkan juga harus dikaitkan dengan koordinasi, kooperasi, investasi, dalam hal pengetahuan, waktu, instansi, dan lainnya.

9novv

Sesi 1

Sesi 1 : Perspektif Global dan Regional

suwwitSesi 1 menghadirkan tiga pembicara, yaitu Prof. Hans Hogerzeil dari University of Groningen, Netherlands dan Dr. Suwit Wibulpolprasert serta Ms. Woranan Witthayapipopsakul dari International Health Policy Program, Ministry of Health, Thailand. Moderator sesi ini adalah Prof. Dr. Tikki Pangestu dari Lee Kuan Yew School of Public Policy.

Prof. Hans Hogerzeil memaparkan perspektif global terhadap akses obat untuk JKN. Dalam paparannya, Hans menyampaikan bahwa suatu obat menjadi sangat esensial ketika obat tersebut sangat mahal tetapi banyak dibutuhkan. Konsep obat esensial adalah jangkauan terbatas pada obat-obatan esensial yang dipilih, yang mengarah pada layanan kesehatan yang lebih baik, manajemen obat yang lebih baik, dan biaya yang lebih murah. Definisi obat esensial yaitu obat yang memenuhi prioritas kebutuhan layanan kesehatan di masyarakat.

Dalam hal akses terhadap obat-obatan esensial yang ada, Hans menekankan bahwa pengobatan kronis seumur hidup dengan obat-obatan esensial murah untuk NCDs menyebabkan tingginya pengeluaran di bidang kesehatan, kebangkrutan, dan kematian. Hans juga menyampaikan bahwa kurangnya pemerataan obat-obatan esensial yang tersedia hanya bisa dikoreksi oleh pemerintah melalui asuransi kesehatan sosial dengan subsidi untuk masyarakat miskin. Perlu disadari pula bahwa pengaruh globalisasi dan kurangnya kontrol peraturan di negara berpenghasilan menengah ke bawah menyebabkan banyaknya obat yang tidak memenuhi standar di pasaran, sehingga perlu fokus pada penegakan hukum terhadap beberapa badan peraturan yang dipalsukan.

woranMateri selanjutnya dipaparkan oleh Dr. Suwit Wibulpolprasert dan Woranan Witthayapipopsakul mengenai pengalaman Thailand dalam memastikan akses terhadap obat-obatan yang terjangkau dan berkualitas untuk UHC/JKN.

Sistem JKN di Thailand mulai dibangun sejak 1975. Hingga sekarang, kebijakan obat nasional diperbarui setiap 5 tahun sekali. Setiap kebijakaan obat nasional yang dibuat akan ditranslasikan ke dalam daftar nasional obat-obatan esensial (National List of Essential Medicines – NLEM). NLEM adalah manfaat farmasi dasar yang menjadi hak warga Thailand untuk skema asuransi kesehatan utama JKN. Beberapa kriteria dalam seleksi NLEM antara lain kebutuhan kesehatan, efektivitas biaya, dampak anggaran, kelayakan pengiriman, dan pemerataan. Obat-obatan herbal dan obat-obatan dengan harga yang sangat mahal pun masuk ke dalam NLEM.

Thailand menggunakan harga standar sebagai harga referensi untuk pengadaan publik, mencakup obat-obatan modern, tradisional, maupun herbal. Penetapan harga standar bertujuan untuk memastikan harga yang wajar di bawah persaingan pasar.

Terkait dengan sistem pengadaan pemerintah, fasilitas umum harus mendapatkan obat-obatan penting yang diproduksi oleh organisasi farmasi pemerintah. Pengadaan dilakukan secara terpusat, melalui proses seleksi, spesifikasi, perkiraan permintaan, negosiasi harga, pengadaan dan distribusi.

Pelajaran yang bisa diambil dari sistem JKN yang diterapkan di Thailand adalah JKN meningkatkan daya negosiasi publik melalui harga referensi standar pembelian monopsonistik, pengendalian anggaran akhir yang efisien memotivasi rumah sakit untuk menggunakan obat generik yang dapat menghemat biaya dan manfaat industri local, sistem pengadaan dan tawar-menawar secara kolektif dapat menjamin akses yang terjangkau terhadap obat-obatan berkualitas, dan beberapa mekanisme ada untuk memperkuat industri lokal bersamaan dengan memastikan akses terhadap obat-obatan esensial.

{jcomments on}

The realist approach to policy implementation: How to capture the multilevel interactions that explain adoption, implementation and outcome?

Jean-Paul Dossou (Institute of Tropical Medicine, Belgium)
Brisbane, 24 Oktober 2017

Sesi ini memaparkan penelitian menggunakan pendekatan realisme untuk menilai atau mengevaluasi implementasi kebijakan di berbagai level. Menurut presenter sesi ini, dalam menilai implementasi kebijakan dengan pendekatan realist, dua hal harus dilakukan yaitu: (1) mendefinisikan secara jelas luaran atau outcome yang diinginkan serta; (2) konfigurasi C-M-O yang menjadi dasar pendekatan realist evaluation. Outcome kebijakan bisa berupa “penurunan angka mortalitas”, “tingkat akseptabilitas suatu program”, atau lainnya tetapi harus terdefinisi dengan jelas dan dapat diukur. Konfigurasi C-M-O juga harus jelas, misalnya mekanisme yang terjadi, konteks dimana suatu kebijakan diimplementasikan dalam hubungannya dengan outcome yang akan dilihat.

Sejumlah tantangan dalam mengevaluasi kebijakan dengan pendekatan realist evaluation yang dipaparkan dalam sesi ini berhubungan dengan:

  1. Outcome penelitian mungkin lebih sebatas evaluasi disain suatu kebijakan atau kelayakan kebijakan itu sendiri tetapi tidak secara langsung memberikan evaluasi hasil implementasi kebijakan itu sendiri. Hal ini dapat mengurangi nilai penelitian itu karena tidak mencapai tujuan evaluasi, yaitu apakah kebijakan ini berhasil/gagal di berbagai konteks yang berbeda saat diimplementasikan di subpopulasi yang berbeda pula.
  2. Posisi peneliti yang mungkin membatasi akses terhadap produk kebijakan ataupun data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Implementasi kebijakan juga ada di beberapa level, sehingga evaluasi kebijakan juga harus dapat menjelaskan berbagai konteks dimana suatu kebijakan mungkin berhasil atau justru gagal diimplementasikan serta untuk siapa saja kebijakan ini bermanfaat serta melalui mekanisme apa saja kebijakan ini berhasil. Realist evaluation ini berbeda dengan riset implementasi (atau implementation research) dimana ada beberapa tipe outcome, seperti (1) akseptabilitas, (2) fidelity atau seberapa implementasi kebijakan sesuai dengan disain awalnya, dan lainnya. Di dalam realist evaluation, outcome tidak hanya berhenti di akseptabilitas atau fidelity, misalnya, tetapi terus melihat outcome kebijakan itu sendiri di berbagai level dengan menggunakan sub-outcome (termasuk akseptabilitas, misalnya) sebagai bagian dari mekanisme kebijakan itu sendiri. Misalnya, outcome kebijakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan yang dilihat dari tingkat kompetensi penyedia layanan kesehatan mungkin cukup dapat diterima oleh pembuat kebijakan di level nasional dan provinsi (akseptabilitas) tetapi tidak untuk para petugas di lapangan ataupun masyarakat yang menerima layanan tersebut. Tingkat akseptabilitas yang berbeda ini kemudian dapat dijelaskan melalui berbagai mekanisme yang terjadi di level nasional, provinsi, serta di lapangan sendiri. Sehingga, outcome dari implementasi kebijakan sebaiknya dirumuskan dalam bentuk:

  • “apa dampak praktis (dari suatu kebijakan) yang ditimbulkan oleh mekanisme penyebab (proses implementasi) yang muncul di konteks tertentu?
  • Konstruksi yang merefleksikan langkah-langkah yang jelas dalam instalasi proses kebijakan
  • Merujuk pada kebijakan tertentu di level kebijakan tertentu pula
  • Hal-hal yang dapat memfasilitasi peningkatan pengetahuan

Dengan definisi di atas, tujuan evaluasi implementasi kebijakan dengan pendekatan realist evaluation adalah untuk “memberikan kerangka konsep implementasi kebijakan di berbagai level dan untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme serta berbagai konteks dimana kebijakan tersebut diimplementasikan”. Dalam evaluasi ini, juga digunakan istilah level makro, meso, dan mikro untuk tingkatan implementasi kebijakan.

Sebagai contoh kasus, sesi ini menggunakan kebijakan yang berfokus pada persalinan seksio caesarea di Belgia. Hasil dari evaluasinya dituangkan dalam tingkatan seperti gambar berikut ini (diambil dari Marchal et al., 2013, link:

http://www.abdn.ac.uk/femhealth/documents/Deliverables/FEMHealth_RE_metho_reflections_Final.pdf 

nov1

Hipotesis / skenario untuk temuan riset kebijakan:

  • Macro-level:
    • Tujuan utama kebijakan di level ini: proses administrasi draft kebijakan berjalan lancar dan ditranslasikan menjadi program kesehatan
      • Namun, kebijakan juga bisa jadi dihambat pada tingkat ini dengan beberapa skenario kemungkinan:
        • Draft kebijakan diperbaiki dan diteruskan (skenario terbaik)
        • Draft kebijakan tidak diteruskan (skenario terburuk)
        • Diteruskan sesuai rencana
        • Diteruskan dengan pengurangan desain dari draft kebijakan
  • Meso-level:
    • Tujuan utama kebijakan di level ini: Program diadopsi oleh manajer fasilitas
      • Skenario kemungkinan:
        • Adopsi dan adaptasi kebijakan dan juga konteks fasilitas tersebut, dimana kebijakan disesuaikan dengan konteks dan juga konteks fasilitas dibuat agar dapat menjadi tempat implementasi kebijakan itu sendiri (skenario terbaik)
        • Kebijakan diadopsi tetapi tidak disesuaikan
        • Konteks tidak disesuaikan dengan kebijakan
        • Tidak ada adopsi kebijakan (skenario terburuk)
  • Micro-level:
    • Di tingkat ini, implementasi kebijakan dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan, pengguna layanan (pasien), dan keluarga pasien
    • Skenario kemungkinan:
      • Praktik kesehatan yang responsif terhadap perubahan kebijakan/program baru, dimana pelaksana program menyesuaikan diri dengan program baru dan sebaliknya, program disesuaikan pula dengan konteks baru (skenario terbaik)
      • Tidak terjadi implementasi di level mikro (skenario terburuk)
      • Implementasi mikro sesuai yang direncanakan
      • Implementasi tetapi tidak sesuai dengan kebijakan dasar

Dengan memetakan apa yang terjadi di setiap level di atas, outcome kebijakan bisa berbeda-beda (misalnya, terjadi skenario terbaik di level macro, tetapi di level meso tidak terjadi adaptasi kebijakan atau konteks yang tetap tidak sesuai untuk implementasi program baru). Hal ini akan lebih dapat memberikan gambaran detil apa saja mekanisme yang terjadi/tidak terjadi di setiap level serta bagaimana konteks implementasi kebijakan mendukung/menghambat implementasi kebijakan itu sendiri. Akan menarik untuk menggabungkan riset implementasi dan pendekatan realist evaluation ini untuk mengevaluasi program atau kebijakan kesehatan di Indonesia.

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Tiara Marthias & Dhini Rahayu Ningrum

 {jcomments on}

Testing realist program theory – quantitative and qualitative impact evaluation

Andrew Hawkins, ARTD Consultants, Australia
Brisbane, 25 Oktober 2017

Prinsip dari pendekatan realist evaluation kembali ditekankan pada sesi ini dengan kaitannya pada kelebihan yang dapat ditawarkan sebagai solusi kepada pembuat kebijakan. Pertama, pendekatan ini mengidentifikasi untuk siapa dan pada situasi seperti apa mekanisme tertentu dapat mempegaruhi outcome. Pendekatan ini menghindari satu solusi untuk semua, tetapi mengidentifikasi konteks tertentu dimana beberapa mekanisme tertentu bekerja dan dapat berpengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap outcome yang diharapkan. Kedua, pendekatan ini dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang penting untuk implementasi intervensi di masa depan. Ketiga, pada kasus di mana intervensi dinilai gagal, pendekatan ini dapat membantu mengidentifikasi penyebab kegagalan intervensi tersebut. Keempat, memastikan adanya pendekatan ilmiah untuk kebijakan berbasis bukti. Pendekatan realist evaluation mengidentifikasi middle-range theories yang batasnya diartikan sebagai tidak sama spesifiknya dengan spesifik konteks dan tidak dapat tertransfer, tetapi tidak seabstrak sesuatu yang tidak informatif dan tidak dapat dites atau dibuktikan. Kelima, pendekatan ini dapat memberikan laporan tentang mekanisme intervensi yang menjadi penyebab perubahan terkait outcome dan bukan output. Sehingga fokus stakeholders dapat mengarah pada pencapaian outcome ini yang kemudian diaplikasikan ke dalam kegiatan perencanaan dan implementasi.

Dalam membandingkan impact evaluation dengan realist impact evaluation dapat diibaratkan bahwa realist impact evaluation adalah mikroskop sedangkan traditional impact evaluation itu teleskop. Hal ini menunjukkan realist impact evaluation menggambarkan situasi yang lebih detil dengan kemampuan menunjukkan setiap komponennya, proses kerjanya dan interaksi antar komponen. Lebih lanjut, realist evaluation dibandingkan dengan RCT, yang merupakan gold standard di metode penelitian, menunjukan betapa RCT lebih kuat dalam menunjukan dasar ilmiah namun kerap kehilangan makna ketika implementasi terutama dalam skala kebijakan yang berdampak luas. Hal ini disebabkan generalisasi dari hasil RCT dengan menciptakan situasi ideal demi melihat dampak intervensi terhadap outcome dinilai tidak cukup mampu mengidentifikasi konteks nyata di lapangan.

Pertanyaan besar kemudian muncul bagaimana membuat realist evaluation menjadi pendekatan ilmiah, dimana peran kreativitas dan kemampuan analisis evaluator memiliki peran besar dalam mengidentifikasi konteks, mekanisme dan outcome pada pendekatan ini. Beberapa langkah disebutkan oleh pembicara, sebagai berikut:

  1. Pengembangan teori-teori merupakan pokok dalam pelaksanaan realist evaluation.
  2. Interview dan temuan berupa perbedaan antar program memberikan stimulus untuk merumuskan teori.
  3. Perlu pemahaman untuk melakukan tes terhadap ide kita/evaluator. Terdapat tiga poin yang perlu diperhatikan yaitu, critical realism melalui debat, realist evaluation dengan melakukan tes Mechanisms, Contexts, and Outcomes (MCOs), dan berhati-hati untuk tidak overfitting data yang ada yang berdampak pada terlalu menyederhanakan kausal dari masalah apabila terlalu mengandalkan kreativitas pemikiran dan perbedaan antar program.

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Dhini Rahayu Ningrum & Tiara Marthias

 {jcomments on}

Supporting policy dialogue for health planning and financing: A realist intervention theory of the Universal Health Coverage Parthnership

Speaker: Emilie Robert dan Denis Porignon (WHO, Switzerland)
Brisbane, 25 Oktober 2017

Universal health coverage (UHC) atau jaminan kesehatan semesta dinilai sebagai blueprint untuk penguatan sistem kesehatan di negara berkembang. Penelitian yang dilakukan oleh speaker dan timnya masih berjalan pada saat presentasi ini disampaikan. Materi yang disampaikan pada presentasi ini adalah output pertama yang telah dicapai dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan realist intervention theory dengan melakukan studi kasus di beberapa negara (Togo, Liberia, Burkina Faso, Niger, DRC, Cape Verde). Sebagian besar metode yang digunakan adalah kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk membangun pemahaman yang lebih jelas mengenai bagaimana UHC-partnership dapat berkontribusi terhadap penguatan dialog kebijakan, bagaimana dan di konteks apa.

Pada output pertama yang ditemukan dari penelitian meliputi perspectif dari key stakeholders, yaitu: 1) Perspektif peneliti: terdapat tantangan untuk megenalkan intervention theory kepada stakeholders (reserachers: sociology dan anthropology) karena sebagian besar dari mereka masih awam dengan penggunaan intervention theory; 2) Perspektif pelaksana kegiatan (laporan/feedback dari lapangan): memperjelas situasi dalam proses implementasi program. Hal ini menjadi bermanfaat karena kerap kali para pelaksana kegiatan telah disibukan dengan kegiatan program hingga kehilangan kesempatan atau moment untuk menganalisis situasi maupun perkembangan selama ini; 3) Perspektif komisioner: para pembuat kebijkan kerap menekankan pada goal “berapa banyak (juta) nyawa diselamatkan” sebagai outcome akhir. Melalui intervensi ini, peneliti dapat mengkonfirmasi persepsi dari pembuat kebijakan dan mendemonstrasikan outcome sebenarnya dari intervensi yaitu pemahaman akan peran WHO sebagai sebuah institusi. Penelitian ini juga mampu menggambarkan proses yang sedang dan telah berjalan.

Sebagai penutup, speaker menyampaikan bahwa salah satu pencapaian sejauh ini yang cukup signifikan dari intervensi atau study ini adalah tingkat penggunaan hasil intervensi/utilization yang berhasil dicapai dengan melibatkan commissioner dan pelaksana program.

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Dhini Rahayu Ningrum & Tiara Marthias

 {jcomments on}

Pre-Kongres International Conference on Realist Evaluation and Review

Senin, 23 Oktober 2017

Pre-Kongres dari International Conference on Realist Resarch, Evaluation and Synthesis kali ini menghadirkan sejumlah pakar realist evaluation & synthesis. Dua topik utama yang dibawakan adalah mengenai Introduction to Realist Evaluation serta Introduction to Realist Synthesis. Kedua sesi ini sangat cocok untuk para peneliti dan evaluator yang akan memulai karir atau tertarik di bidang realism dan realist evaluation / synthesis.

Tentang Realist Evaluation

Tentang Realist Evaluation

Andrew Hawkins (Director, ARTD Consulting)

Istilah “realistic evaluation” pertama kali diperkenalkan oleh Ray Pawson dan Nick Tilley pada tahun 1997, melalui buku berjudul “Realistic Evaluation” sebagai jawaban terhadap keterbatasan pendekatan ilmiah yang bersifat eksperimental. Realistic evaluation adalah pendekatan berbasis teori dan menggunakan paham realisme dalam melihat keberhasilan atau kegagalan program.

Seperti yang kita ketahui, metodologi seperti randomized control trial (RCT) tetap dianggap sebagai gold standard penelitian yang dapat memberikan penilaian objektif terhadap efektivitas suatu intervensi, seperti obat baru atau vaksinasi serta lainnya. Namun, intervensi yang bersifat sosial atau program yang bertujuan untuk mengubah tingkat pengetahuan atau perilaku tidaklah dapat dievaluasi dengan pendekatan eksperimental seperti RCT karena tidak semua aspek di populasi yang dibandingkan dapat dikontrol, seperti halnya penelitian RCT. Intervensi kesehatan, misalnya seperti promosi kesehatan untuk meningkatkan utilisasi layanan kesehatan, justru bekerja dengan mekanisme-mekanisme tertentu dan mungkin hanya efektif di populasi dengan karakteristik tertentu serta dipengaruhi oleh berbagai konteks yang ada di populasi itu sendiri. Interaksi dari semua aspek ini justru yang akan mempengaruhi efektivitas program promosi kesehatan tersebut. Sehingga, tidaklah sesuai apabila evaluasi program sosial seperti ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan RCT.

Pawson dan Tilley (1997) mengenalkan konfigurasi C-M-O, yaitu context – mechanism – setting berdasarkan prinsip filosofis realisme yang menganggap bahwa realitas yang sebenarnya ada di luar apa yang bisa diobservasi oleh manusia dan ada beberapa pola kejadian yang berulang untuk konteks dan setting tertentu. Andre Hawkins juga menyebutkan bahwa konfigurasi ini bisa disusun sebagai M-C-O. Sama seperti pendekatan positivisme lainnya, realist evaluation ini memegang prinsip objektivitas tetapi dengan lebih mendalami mekanisme yang dihasilkan oleh suatu intervensi atau program dalam konteks tertentu. Hal ini tentunya berbeda dengan RCT, dimana seluruh karakteristik populasi dikontrol dan dikondisikan sama dengan memperlakukan konteks sebagai ‘confounder’ penelitian.

Konfigurasi C-M-O:

pre1nov

Langkah-langkah yang disarankan untuk melakukan realistic evaluation ini adalah:

  1. Mengidentifikasi program theory. Teori program menjelaskan bagaimana elemen-elemen suatu intervensi (baik itu dalam bentuk program, strategi ataupun kebijakan) akan berkontribusi dalam menghasilkan output yang diinginkan. Teori program biasanya dituliskan dalam bentuk input-process-output/outcome, seperti berikut ini:

pre1nov

  1. Data yang didapatkan dari kegiatan evaluasi harus disusun dan dikategorikan sesuai dengan program theory dan tetap memegang prinsip konfigurasi C-M-O di atas. Jadi data akan berhubungan dengan apa saja yang telah dilakukan melalui program yang sedang dievaluasi (aktivitas dari intervensi/program) dalam konteks apa, mekanisme yang dihasilkan (proses), luaran/outcome serta orang-orang yang terlibat. Data yang dibutuhkan berupa kualitatif dan kuantitatif. Data yang berkaitan dengan outcome dikelompokkan menjadi beberapa sub-kategori, sesuai dengan program theory yang sudah dijabarkan di awal.
  2. Evaluator kemudian mengidentifikasi pola outcome kemudian menganalisis apa saja mekanisme yang muncul sehingga outcome-oucome tersebut dapat dihasilkan oleh intervensi yang sedang dievaluasi. Evaluator juga perlu melihat lebih jauh, dalam konteks apa saja mekanisme ini muncul atau tidak muncul. Sehingga, dalam konteks yang berbeda, bisa saja intervensi/program ini tidak menghasilkan output yang diinginkan karena mekanismenya tidak muncul. Konteks disini dapat berhubungan dengan sub-grup populasi dimana intervensi diterapkan, atau pemegang kepentingan/stakeholder yang berbeda-beda, proses dari implementasi intervensi itu sendiri, faktor-faktor organisasi, sosioekonomi, budaya serta kondisi politik.
  3. Proses analisis dari realist evaluation ini kadang perlu dilakukan berulang kali dan bolak-balik, dan harus kembali ke konfigurasi C-M-O. Hasil analisis berupa pernyataan yang menjelaskan konteks-mekanisme-outcome, misalnya:
    “Dalam konteks ini, mekanisme X (sebutkan mekanisme-nya) muncul untuk populasi X (sebutkan sub-populasinya) sehingga menghasilkan luaran/outcome X”.
  4. Langkah terakhir dari analisis adalah menghasilkan konfigurasi C-M-O yang paling dapat menjelaskan pola-pola luaran/outcome program yang didapatkan dari hasil observasi. Lalu konfigurasi C-M-O ini dibandingkan dengan program theory awal, apakah konteks, mekanisme dan output yang diinginkan memang muncul di implementasi di dunia nyata? Atau apakah untuk konteks tertentu, program ini tidak berhasil memunculkan mekanisme yang dibutuhkan sehingga diperlu perubahan di input atau proses dari implementasi? Sehingga, hasil realist evaluation ini dapat digunakan untuk perbaikan program ke depannya.

Mekanisme yang disebut di atas perlu dituliskan dalam bentuk middle-range theories, yaitu teori yang sifatnya tidak terlalu spesifik (sehingga tidak hanya akan berlaku untuk mekanisme yang terlalu sempit) tapi tidak terlalu luas juga (sehingga tidak akan menjadikan program/mekanisme itu seperti kebijakan one-size-fits-all yang terlalu umum untuk diterapkan di konteks yang berbeda-beda.

Realist evaluation ini memiliki nilai tambah untuk:

  • Menguji coba teori perubahan (theory of change) atau dalam proses pengembangan suatu program (juga bisa dalam bentuk process evaluation)
  • Mengukur keberhasilan suatu program yang memiliki target spesifik (misal populasi tertentu) atau menilai komponen dari suatu program yang diperkirakan (atau menurut program theory) bisa berhasil untuk populasi tertentu
  • Untuk mengetahui bagaimana suatu program (atau pilot program) dapat direplikasikan ke tempat lain (dengan lebih memahami konteks dan mekanisme dari program itu sendiri).

Sebaliknya, realist evaluation tidak akan terlalu membantu apabila tujuan evaluasi untuk akuntabilitas program saja, misalnya untuk seberapa besar effect size dari sebuah intervensi atau berapa cost effectiveness dari program A? Pasalnya realist evaluation akan menjelaskan lebih jauh dari sekedar apakah program tersebut berhasil atau tidak dan memberikan bagaimana program itu bekerja, untuk siapa serta melalui mekanisme apa.

Contoh singkat bagaimana realist evaluation dapat digunakan untuk mengevaluasi program/kebijakan kesehatan di Indonesia:

  • Kebijakan JKN untuk masyarakat berpenghasilan rendah:
    • Input: memberikan subsidi premi
    • Proses: Proteksi finansial akan melapangkan akses ke layanan kesehatan yang dibutuhkan saat populasi target sakit
    • Output:
      • Peningkatan utilisasi layanan kesehatan
      • Peningkatan status kesehatan
      • Turunnya pengeluaran out-of-pocket/catastrophic health expenditure
    • Mekanisme yang berpotensi ada dalam kebijakan ini:
      1. Program JKN akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya layanan kesehatan
      2. Peningkatan akuntabilitas layanan kesehatan (penyedia layanan kesehatan dibayar melalui JKN dan bertanggung jawab terhadap para penerima benefit)
      3. Peningkatan kualitas layanan kesehatan dengan adanya sistem insentif JKN
      4. Berkurangnya pembayaran informal dan peresepan obat yang tidak rasional karena adanya sistem akuntabilitas dalam JKN
      5. Pemberi layanan kesehatan lebih aktif dalam men-skrining pasien dan menaati sistem rujukan berjenjang
    • Konteks:
      1. Latar belakang karakteristik dari penerima benefit
      2. Tingkat pengetahuan kesehatan
      3. Akses fisik ke layanan kesehatan (ketersediaan SDM atau fasilitas kesehatan, dan lain-lain)
      4. Sistem insentif yang diterapkan (kapitasi, pay for service, atau global budget, dan lain-lain)
Kemungkinan hasil analisis: sistem proteksi finansial untuk meningkatkan demand layanan kesehatan (atau yang sering disebut juga dengan demand-side-financing), dalam konteks di masyarakat berpenghasilan rendah di Jawa Timur (misalnya) berhasil memunculkan mekanisme peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya layanan kesehatan yang berkualitas dan menyadarkan akan hak terhadap akses kesehatan sehingga berhasil meningkatkan tingkat penggunaan layanan di masyarakat”.

Namun, analisis dari realist evaluation ini juga mungkin akan menunjukkan hasil seperti berikut:

Hasil analisis alternatif: sistem proteksi finansial untuk meningkatkan demand akan layanan kesehatan (atau yang sering disebut juga dengan demand-side-financing), dalam konteks di masyarakat berpenghasilan rendah di NTT (misalnya) tidak berhasil meningkatkan tingkat penggunaan layanan di masyarakat karena adanya keterbatasan akses geografis ke layanan kesehatan yang berkualitas dan juga tingkat kesadaran masyarakat tidak meningkat secara signifikan karena rendahnya tingkat literasi pada populasi target ini”.

Di akhir sesi ini, digarisbawahi pula bahwa pendekatan realist evaluation dapat membantu konsep berpikir saat melakukan suatu evaluasi, yaitu dengan lebih mendetilkan bagaimana suatu program berhasil mencapai tujuannya dengan mekanisme apa saja dan dalam konteks yang seperti apa. Diharapkan konsep ini dapat membantu para pembuat kebijakan dan pelaksana program dalam menyusun intervensi yang disesuaikan dengan konteks spesifik, untuk populasi tertentu (dengan mempertimbangkan semua konteks yang ada di populasi itu) serta melalui mekanisme seperti apa yang diharapkan muncul saat pelaksaan program tersebut.

Untuk membaca lebih lanjut tentang realist evaluation ini, silakan klik link berikut:

  1. Introduction to Realist Evaluation
  2. Realist Evaluation chapter, Ray Pawson dan Nick Tilley (2004)
  3. Protocol—the RAMESES II study: developing guidance and reporting standards for realist evaluation (Greenhalgh et al., 2015)
  4. RAMESES II reporting standards for realist evaluations (Wong et al., 2016)

Contoh jurnal terkait kesehatan dan JKN yang menggunakan realist approach:

  1. What makes health demand-side financing schemes work in low and middle-income countries? A realist review. (Gopalan et al., 2014)
  2. Human resource management interventions to improve health workers' performance in low and middle income countries: a realist review. (Dielemen et al., 2009)

Salah satu lembaga sosial yang bergerak di bidang program pembangunan di Indonesia (SOLIDARITAS) baru-baru ini menggunakan pendekatan realist evaluation untuk melihat keberhasilan program di bidang pendidikan. Salah satu peneliti SOLIDARITAS menuangkan pengalamannya di blog berikut ini.

 

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Tiara Marthias & Dhini Rahayu Ningrum 

 

 

Keynote speech

Keynote speech 1

Keynote speech:  Realistic evaluation: origins and destinations

Nick Tilley (University College London)
Brisbane, 24 Oktober 2017

Pada sesi ini, Nick Tilley yang juga menulis buku Realistic Evaluation bersama Ray Pawson (1997) memaparkan awal mula kedua penulis ini terjun ke dunia realisme dan merumuskan pendekatan yang sekarang dikenal dengan realist evaluation. Nick Tilley dan Ray Pawson adalah dua orang sosiolog yang merasa isu-isu sosial tidak tepat dievaluasi dengan pendekatan konvensional seperti randomized controlled trial (RCT). Namun, saat era 90-an sebelum realist evaluation dikenal luas, ada tendensi diantara peneliti untuk menempatkan RCT sebagai gold standard dalam mengevaluasi semua intervensi, termasuk intervensi sosial yang melibatkan aspek manusia yang begitu kompleks.

Ide awal realist evaluation dipublikasikan pertama kali dalam konferensi kriminologi di San Francisco pada 1991, kemudian diikuti dengan berbagai pubilkasi yang semakin mematangkan konsep realist evaluation ini. Ray Pawson lebih berkonsentrasi pada pengembangan metodologinya, sedangkan Nick Tilley dari sisi praktis dan kebijakan. Cukup menarik untuk melihat implementasi awal realist evaluation ini bermula dari topik kriminologi, dimana tingkat kriminalitas di seluruh dunia semakin turun akibat sejumlah intervensi yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan penegak hukum lainnya.

Salah satu ilustrasi yang dipaparkan adalah fungsi dari kamera pengawas (surveillance/CCTV camera) dalam menurunkan atau mencegah terjadinya pencurian. Pertanyaan evaluasinya adalah: apakah/mengapa dan bagaimana kamera pengawas efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan?. Dengan pendekatan realist evaluation, ada beberapa teori di balik efektivitasnya:

  1. Calon kriminal / kriminal langsung dapat ditangkap karena polisi/petugas keamanan langsung dapat melihat kejahatan yang sedang/akan terjadi
  2. Calon kriminal / kriminal urung melakukan tindak kejahatan karena merasa diawasi dengan adanya CCTV tersebut

Dari 2 teori di atas saja, tampak bahwa CCTV bekerja berdasarkan setidaknya 2 mekanisme: (1) deteksi dan (2) pencegahan. Kedua teori ini perlu diuji lagi untuk menentukan pada lokasi tertentu dan jenis kriminal yang ada di lingkungan tersebut (misal, residivis mungkin tidak terlalu peduli apabila ada risiko tertangkap, sebaliknya remaja yang belum pernah berurusan dengan pihak berwajib akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan vandalisme dan juga faktor lain yang ada di dalam konteks yang sedang dievaluasi. Setelah ditentukan teori mana yang digunakan, maka perbaikan intervensi bisa dilakukan. Misal, untuk pencegahan, lebih baik CCTV diletakkan di tempat yang lebih terlihat agar calon kriminal langsung menyadari adanya CCTV. Sebaliknya, untuk konteks dimana deteksi lebih berperan, mungkin CCTV perlu diletakkan lebih tersembunyi dan langsung dihubungkan dengan sistem alarm polisi, dan sebagainya.

Sesi ini juga menekankan penggunaan middle-range theory dalam realist evaluation, yaitu teori yang diposisikan antara kebijakan besar (atau ‘big policy ideas’) dan level implementasi di lapangan. Hal ini penting karena tujuan realist evaluation untuk menunjukkan bagaimana suatu kebijakan/program/intervensi bekerja secara efektif, dalam konteks apa dan untuk siapa saja.

Nick Tilley kemudian memaparkan bahwa pendekatan realist evaluation ini menjanjikan dalam membantu evaluasi kebijakan yang kompleks. Namun, pendekatan ini masih dalam tahap awal dan butuh pengembangan metodologi serta meningkatkan penggunaannya dalam mengembangkan atau memperbaiki kebijakan di bidang sosial. Tantangan lain yang disebutkan berhubungan dengan penilaian kualitas evaluasi yang berdasarkan realist evaluation serta bagaimana memastikan rumusan middle-range theory dapat membantu perbaikan kebijakan. Hal ini sangat berhubungan juga dengan transferabilitas hasil realist evaluation itu sendiri yang cenderung dapat diinterpretasikan untuk konteks yang terbatas dan populasi target yang terbatas pula.

Dari sesi keynote ini, realist evaluation tampak sangat menarik untuk digunakan lebih lanjut dalam mengevaluasi kebijakan, termasuk kebijakan kesehatan, yang memiliki kompleksitas tinggi karena pendekatan ini akan memberikan gambaran lebih detil dan kontekstual dalam menilai berhasil atau tidaknya suatu kebijakan serta memberikan masukan untuk perbaikan ke depan agar kebijakan tidak bersifat one-size fits all.

 

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Tiara Marthias & Dhini Rahayu Ningrum

 {jcomments on}

UNFPA Session

Pada hari kedua ini ada beberapa tema yang dibahas mengenai Keluarga Berencana dengan moderator dr. Likke Prawdya Putri, MPH. Tema pertama dengan pembicara dr. Annette Sachs Robertson (Representative UNFPA Indonesia) membahas mengenai

Universal Health Coverage : Sustainable Development Goals and Sexual and Reproductive Health and Rights

Disampaikan oleh Dr. Melania Hidayat (Nasional Program Officer, UNFPA Indonesia). UNFPA sampai saat ini telah bekerja sama dengan Indonesia selama 40 tahun. Terkait dengan SDGs bagaimana kebijakan pelaksanaan JKN khususnya kesehatan reproduksi. Di dalam tujuan SDGs terdapat 9 tujuan dimana Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) masuk ke dalam tujuan nomor 3 dan 5. Keluarga Berencana di Indonesia sudah mandiri dimana 70% program KB diberikan melalui sektor privat agar menuju arah kemandirian ber-KB, namun saat ini KB sudah diberikan oleh pemerintah melalui JKN.

materi

Family Planning Commodity in Universal Health Coverage

26okt 6oleh Dr. Melania Hidayat (Nasional Program Officer, UNFPA Indonesia). Indonesia termasuk negara dengan pencapaian KB yang cukup dramatis. Hanya dalam kurun waktu 25 tahun kita dapat menurunkan TFA lebih dari separuh, meningkatkan CPR 3 kali lipat, serta mengubah norma atau mindset “banyak anak banyak rejeki” saat ini menjadi “dua anak cukup”. Sejalan dengan perubahan politik dan sistem pemerintah, program KB ikut terdampak, termasuk struktur dan implementasi program. Desentralisasi KB terlihat terhambat, sehingga pada awal 2000 program KB di tingkat kabupaten tidak diperhatikan, hal ini ditinjau dari RPJMD segi kesehatan yang tidak mencantumkan program KB di dalamnya. Pendekatan KB saat ini harus diubah menjadi paradigma yang bahwa KB dilaksanakan untuk memenuhi hak warga negara. Jika dibandingkan ketika sebelum program JKN mulai diterapkan, sejak tahun 2000 semua indikator KB mengalami stagnasi bahkan menurun. Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya adalah desentralisasi, atau karena Indonesia mengalami S curve dimana pada titik tertentu banyak indikator mengalami penurunan. Sedangkan pada era setelah JKN tepatnya pada 2016-2017 demand satisfied meningkat. Isu stockout atau ketersediaan alat kontrasepsi pada 2015-2016, stockout-nya meningkat. Saat ini dengan penerapan JKN, beban pemerintah untuk menyiapkan alat kontrasepsi bagi warga berlipat hingga 3 kali.

materi

Government’s Commitment to Achieve Universal Heath Coverage Through Right-Based Family Planning and Costed Implementation Plan

26okt 5oleh Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST, MIDS (Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olah Raga – Kementrian PPN / Bappenas). Integrasi perencanaan KB (right-based family planning) dilatarbelakangi oleh melemahnya kinerja program KB maupun angka kematian ibu yang tinggi. Dasarnya adalah hak asasi manusia untuk mendapatkan pelayanan, keadilan dalam akses, KB terintegrasi dalam sistem kesehatan, berbasis bukti, maupun sensitif gender. Strategi yang perlu dilakukan untuk right-based family planning diantaranya meningkatkan kualitas pelayanan terutama dari sisi suplai, meningkatkan penggunaan metode KB berkesinambungan, meningkatkan tata kelola pelayanan KB, dan aplikasi serta inovasi terkait riset. Terkait hal ini rencana pembiayaan implementasi untuk 2017 – 2019 sebesar Rp. 8.923 milyar. Selain itu diperlukan tahapan kegiatan agar right-based family planning ini dapat terwujud, dimana dimulai pada 2016 – 2017 sebagai tahun persiapan, 2018 sebagai tahun implementasi, 2019 sebagai tahun monitoring dan evaluasi, 2019 sebagai dokumentasi best practice, dan 2020 merupakan exit strategy dengan adanya penetapan prioritas.

materi

Reporter: Sabran

Reportase Lainnya:

{jcomments on}

  • angka jitu
  • toto 4d
  • toto
  • toto macau
  • rtp live slot
  • bandar togel 4d
  • slot dana
  • toto sdy
  • toto slot
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • bandar togel
  • toto macau
  • bandar slot
  • toto togel
  • togel4d
  • togel online
  • togel 4d
  • rajabandot
  • toto macau
  • data toto macau
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • judi online
  • nexus slot
  • agen slot
  • toto 4d
  • slot777
  • slot777
  • slot thailand
  • slot88
  • slot777
  • scatter hitam
  • toto slot
  • slot demo
  • slot777
  • toto 4d
  • toto slot
  • agen slot
  • scatter hitam
  • slot 4d
  • bandar slot/
  • bandar slot/
  • toto slot
  • mahjong slot
  • slot jepang
  • slot777
  • slot dana
  • slot dana
  • toto slot
  • bandar slot
  • scatter hitam
  • toto slot
  • slot 2025
  • toto slot
  • bandar slot
  • agen slot
  • slot dana
  • slot777
  • bandar slot
  • slot thailand
  • toto slot
  • slot resmi
  • togel4d
  • slot resmi
  • KW
  • slot online
  • slot gacor
  • slot88
  • slot
  • situs slot
  • slot777
  • slot gacor
  • pgsoft
  • mahjong
  • slot demo
  • slot 4d
  • slot scater hitam
  • judi online
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • slot vip
  • demo slot
  • slot bet kecil
  • slot bet 400
  • slot gacor