Keynote speech

Keynote speech 1

Keynote speech:  Realistic evaluation: origins and destinations

Nick Tilley (University College London)
Brisbane, 24 Oktober 2017

Pada sesi ini, Nick Tilley yang juga menulis buku Realistic Evaluation bersama Ray Pawson (1997) memaparkan awal mula kedua penulis ini terjun ke dunia realisme dan merumuskan pendekatan yang sekarang dikenal dengan realist evaluation. Nick Tilley dan Ray Pawson adalah dua orang sosiolog yang merasa isu-isu sosial tidak tepat dievaluasi dengan pendekatan konvensional seperti randomized controlled trial (RCT). Namun, saat era 90-an sebelum realist evaluation dikenal luas, ada tendensi diantara peneliti untuk menempatkan RCT sebagai gold standard dalam mengevaluasi semua intervensi, termasuk intervensi sosial yang melibatkan aspek manusia yang begitu kompleks.

Ide awal realist evaluation dipublikasikan pertama kali dalam konferensi kriminologi di San Francisco pada 1991, kemudian diikuti dengan berbagai pubilkasi yang semakin mematangkan konsep realist evaluation ini. Ray Pawson lebih berkonsentrasi pada pengembangan metodologinya, sedangkan Nick Tilley dari sisi praktis dan kebijakan. Cukup menarik untuk melihat implementasi awal realist evaluation ini bermula dari topik kriminologi, dimana tingkat kriminalitas di seluruh dunia semakin turun akibat sejumlah intervensi yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan penegak hukum lainnya.

Salah satu ilustrasi yang dipaparkan adalah fungsi dari kamera pengawas (surveillance/CCTV camera) dalam menurunkan atau mencegah terjadinya pencurian. Pertanyaan evaluasinya adalah: apakah/mengapa dan bagaimana kamera pengawas efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan?. Dengan pendekatan realist evaluation, ada beberapa teori di balik efektivitasnya:

  1. Calon kriminal / kriminal langsung dapat ditangkap karena polisi/petugas keamanan langsung dapat melihat kejahatan yang sedang/akan terjadi
  2. Calon kriminal / kriminal urung melakukan tindak kejahatan karena merasa diawasi dengan adanya CCTV tersebut

Dari 2 teori di atas saja, tampak bahwa CCTV bekerja berdasarkan setidaknya 2 mekanisme: (1) deteksi dan (2) pencegahan. Kedua teori ini perlu diuji lagi untuk menentukan pada lokasi tertentu dan jenis kriminal yang ada di lingkungan tersebut (misal, residivis mungkin tidak terlalu peduli apabila ada risiko tertangkap, sebaliknya remaja yang belum pernah berurusan dengan pihak berwajib akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan vandalisme dan juga faktor lain yang ada di dalam konteks yang sedang dievaluasi. Setelah ditentukan teori mana yang digunakan, maka perbaikan intervensi bisa dilakukan. Misal, untuk pencegahan, lebih baik CCTV diletakkan di tempat yang lebih terlihat agar calon kriminal langsung menyadari adanya CCTV. Sebaliknya, untuk konteks dimana deteksi lebih berperan, mungkin CCTV perlu diletakkan lebih tersembunyi dan langsung dihubungkan dengan sistem alarm polisi, dan sebagainya.

Sesi ini juga menekankan penggunaan middle-range theory dalam realist evaluation, yaitu teori yang diposisikan antara kebijakan besar (atau ‘big policy ideas’) dan level implementasi di lapangan. Hal ini penting karena tujuan realist evaluation untuk menunjukkan bagaimana suatu kebijakan/program/intervensi bekerja secara efektif, dalam konteks apa dan untuk siapa saja.

Nick Tilley kemudian memaparkan bahwa pendekatan realist evaluation ini menjanjikan dalam membantu evaluasi kebijakan yang kompleks. Namun, pendekatan ini masih dalam tahap awal dan butuh pengembangan metodologi serta meningkatkan penggunaannya dalam mengembangkan atau memperbaiki kebijakan di bidang sosial. Tantangan lain yang disebutkan berhubungan dengan penilaian kualitas evaluasi yang berdasarkan realist evaluation serta bagaimana memastikan rumusan middle-range theory dapat membantu perbaikan kebijakan. Hal ini sangat berhubungan juga dengan transferabilitas hasil realist evaluation itu sendiri yang cenderung dapat diinterpretasikan untuk konteks yang terbatas dan populasi target yang terbatas pula.

Dari sesi keynote ini, realist evaluation tampak sangat menarik untuk digunakan lebih lanjut dalam mengevaluasi kebijakan, termasuk kebijakan kesehatan, yang memiliki kompleksitas tinggi karena pendekatan ini akan memberikan gambaran lebih detil dan kontekstual dalam menilai berhasil atau tidaknya suatu kebijakan serta memberikan masukan untuk perbaikan ke depan agar kebijakan tidak bersifat one-size fits all.

 

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Tiara Marthias & Dhini Rahayu Ningrum

 {jcomments on}

UNFPA Session

Pada hari kedua ini ada beberapa tema yang dibahas mengenai Keluarga Berencana dengan moderator dr. Likke Prawdya Putri, MPH. Tema pertama dengan pembicara dr. Annette Sachs Robertson (Representative UNFPA Indonesia) membahas mengenai

Universal Health Coverage : Sustainable Development Goals and Sexual and Reproductive Health and Rights

Disampaikan oleh Dr. Melania Hidayat (Nasional Program Officer, UNFPA Indonesia). UNFPA sampai saat ini telah bekerja sama dengan Indonesia selama 40 tahun. Terkait dengan SDGs bagaimana kebijakan pelaksanaan JKN khususnya kesehatan reproduksi. Di dalam tujuan SDGs terdapat 9 tujuan dimana Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) masuk ke dalam tujuan nomor 3 dan 5. Keluarga Berencana di Indonesia sudah mandiri dimana 70% program KB diberikan melalui sektor privat agar menuju arah kemandirian ber-KB, namun saat ini KB sudah diberikan oleh pemerintah melalui JKN.

materi

Family Planning Commodity in Universal Health Coverage

26okt 6oleh Dr. Melania Hidayat (Nasional Program Officer, UNFPA Indonesia). Indonesia termasuk negara dengan pencapaian KB yang cukup dramatis. Hanya dalam kurun waktu 25 tahun kita dapat menurunkan TFA lebih dari separuh, meningkatkan CPR 3 kali lipat, serta mengubah norma atau mindset “banyak anak banyak rejeki” saat ini menjadi “dua anak cukup”. Sejalan dengan perubahan politik dan sistem pemerintah, program KB ikut terdampak, termasuk struktur dan implementasi program. Desentralisasi KB terlihat terhambat, sehingga pada awal 2000 program KB di tingkat kabupaten tidak diperhatikan, hal ini ditinjau dari RPJMD segi kesehatan yang tidak mencantumkan program KB di dalamnya. Pendekatan KB saat ini harus diubah menjadi paradigma yang bahwa KB dilaksanakan untuk memenuhi hak warga negara. Jika dibandingkan ketika sebelum program JKN mulai diterapkan, sejak tahun 2000 semua indikator KB mengalami stagnasi bahkan menurun. Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya adalah desentralisasi, atau karena Indonesia mengalami S curve dimana pada titik tertentu banyak indikator mengalami penurunan. Sedangkan pada era setelah JKN tepatnya pada 2016-2017 demand satisfied meningkat. Isu stockout atau ketersediaan alat kontrasepsi pada 2015-2016, stockout-nya meningkat. Saat ini dengan penerapan JKN, beban pemerintah untuk menyiapkan alat kontrasepsi bagi warga berlipat hingga 3 kali.

materi

Government’s Commitment to Achieve Universal Heath Coverage Through Right-Based Family Planning and Costed Implementation Plan

26okt 5oleh Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST, MIDS (Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olah Raga – Kementrian PPN / Bappenas). Integrasi perencanaan KB (right-based family planning) dilatarbelakangi oleh melemahnya kinerja program KB maupun angka kematian ibu yang tinggi. Dasarnya adalah hak asasi manusia untuk mendapatkan pelayanan, keadilan dalam akses, KB terintegrasi dalam sistem kesehatan, berbasis bukti, maupun sensitif gender. Strategi yang perlu dilakukan untuk right-based family planning diantaranya meningkatkan kualitas pelayanan terutama dari sisi suplai, meningkatkan penggunaan metode KB berkesinambungan, meningkatkan tata kelola pelayanan KB, dan aplikasi serta inovasi terkait riset. Terkait hal ini rencana pembiayaan implementasi untuk 2017 – 2019 sebesar Rp. 8.923 milyar. Selain itu diperlukan tahapan kegiatan agar right-based family planning ini dapat terwujud, dimana dimulai pada 2016 – 2017 sebagai tahun persiapan, 2018 sebagai tahun implementasi, 2019 sebagai tahun monitoring dan evaluasi, 2019 sebagai dokumentasi best practice, dan 2020 merupakan exit strategy dengan adanya penetapan prioritas.

materi

Reporter: Sabran

Reportase Lainnya:

{jcomments on}

Session Oral 2

26okt 4

Akses dan utilisasi pelayanan kesehatan sangat menarik dan penting untuk didiskusikan, sesi oral presentasi yang kedua dipandu oleh dr. Bella Donna, M.Kes selaku Kepala Divisi bagian Bencana Kesehatan, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM ini terdapat empat presentan yang memaparkan hasil penelitian terkait akses dan utilisasi pelayanan kesehatan yang dilakukan dengan berbagai pendekatan.

Perbandingan Biaya Kesehatan Katastrofik pada Rumah Tangga di Indonesia Tahun 2008 dan 2011

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Vini Aristianti, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung perbedaan kemampuan membayar Ability to Pay, menghitung perbedaan proporsi Catastrophic Health Expenditures, dan mengidentifikasi faktor-faktor Catastrophic Health Expenditure. Menurutnya, jika seseorang membayar biaya untuk pelayanan kesehatan, yang jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga, maka rumah tangga tersebut akan terjadi “bencana keuangan” sehingga akan memotong biaya untuk kebutuhan sehari-hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengeluaran kesehatan katastrofik dari 2008 hingga 2011 yaitu sebanyak 0.29% di Indonesia, terdapat perbedaan kemampuan membayar pada rumah tangga untuk biaya pelayanan kesehatan, dimana faktor yang mempengaruhi pengeluaran kesehatan katastrofik diantaranya seperti : pendidikan kepala rumah tangga, jenis kelamin, rasio beban tanggungan, keberadaan lansia dalam rumah tangga, keberadaan balita dalam rumah tangga, status ekonomi, kepemilikan JKN dan lokasi tempat tinggal.

Peranan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Program Penanggulangan HIV dan AIDS Khususnya Pencegahan HIV melalui Transmisi Seks (PMTS) di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua

Hasil penelitian ini disampaikan olehHesty Tumangke, di awal presentasi Melkior menggambarkan tingginya kasus AIDS di Kabupaten Merauke dengan 85% dari 795 kasus termasuk HIV positif pada pekerja seks. Biaya kesehatan penderita HIV/AIDS memang sudah ditanggung penuh oleh pihak BPJS dan sudah ada sinkronisasi antara pihak daerah dengan BPJS, yang menjadi permasalahan dari penelitian ini adalah kurangnya kepemilikan kartu BPJS pada pekerja seks karena adanya kesenjangan latar belakang pendidikan pemilik lokalisasi, para pekerja seks tidak mempunyai dokumen seperti KTP, KK dan adanya ketakutan saat mengurus berkas tersebut karena tidak mampu menjawab dimana mereka bertempat tinggal. Sehingga, perlu dilakukan edukasi pada pemilik lokalisasi terkait kepemilikkan kartu BPJS pada pekerja seks dan mengingat pengobatan penyakit penyerta infeksi oportunistik bagi ODHA cenderung lama perlu adanya kerjasama dari pihak BPJS dan dana KPS untuk RSUD.

Does JKN Incentivize Public-Private Mix in Tuberculosis Care?

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Edhie Santosa Rahmat, MD, MSc perwakilan dari USAID Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa saat ini penderita TB khususnya di daerah penelitian ini yaitu Jakarta, Jember dan Medan lebih memilih private sector untuk akses pelayanan kesehatan padahal private sector saat ini cenderung tidak melaporkan data penderita TB ke pemerintah, kemudian diagnosis TB cenderung kurang tepat karena tidak adanya pemeriksaan laboratorium dan pengobatan yang diberikan cenderung berbeda dengan program pemerintah. Oleh karena itu, perlu adanya strategi, koordinasi antara private sector dan pemerintah, agar private sector dapat berkontribusi terhadap kualitas diagnosis sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat untuk penderita TB sesuai dengan program pemerintah pada era JKN ini.

Analisis Unit Klaim dalam Sistem Tagihan Peserta JKN di RSUD Kota Padang Panjang Tahun 2017

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Maihendra, SKM. AAK, M.Kes, bahwa perubahan sistem pembiayaan dari fee for service ke pola tarif INA-CBG’s menimbulkan berbagai permasalahan dalam implementasi INA-CBG’s sehingga Direktur membuat kebijakan membentuk unit klaim untuk mengatasi sistem tagihan peserta JKN. Hasilnya unit klaim yang mencakup kebijakan, tenaga dan sarana belum terlaksana secara maksimal dikarenakan belum adanya SOP pada kebijakan yang dibuat, kemudian pada unit klaim sarana karena belum adanya bridging system sehingga belum efektif dan efisien dalam memasukkan data ke aplikasi INA-CBG’s. Namun, dengan adanya kebijakan ini dinilai baik karena ada unit yang fokus serta terintegrasi dengan unit lain dalam penyelesaian klaim peserta JKN.

Di akhir sesi oral presentasi yang kedua ini banyak peserta yang antusias bertanya serta bertukar pikiran terkait akses dan utilisasi pelayanan kesehatan di Indonesia dan harapannya semua penelitian yang terlaksana dapat membantu menyelesaikan permasalahan kesehatan di Indonesia untuk mencapai Universal Health Coverage 2019.

Reporter : Nilasari

Reportase Lainnya:

{jcomments on}

Reportase Sesi Paralel 3 dan 4

Parallel 3

Konsep Pemberian Kompensasi Pada Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat

26okt 3

Sesi Paralel 4 menghadirkan 3 pembahas yaitu dr. Ismiwanto Cahyono, MARS selaku dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes Ri. Kedua adalah dr. Dwi Martiningsih, M.Kes, AAK selaku Deputi Direksi Riset dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat. Ketiga dr. Fachrurrazi, MM, AAK selaku Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Primer BPJS Kesehatan Pusat.

Materi

Di awal pembahasan, dr. Ismiwanto Cahyono, MARS menekankan menindaklanjuti UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dimana dijelaskan mengenai daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan dan belum memenuhi syarat, dalam kalimat tersebut terdapat kata-kata “memenuhi syarat” setelah melakukan penelusuran lebih jauh lagi hingga sampai saat ini, dimana belum ada yang menguraikan atau menjelaskan mengenai apa yang dimaksud “fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat” atau dengan kata lain belum mempunyai definisi operasional yang jelas.

Selanjutnya dr. Dwi Martiningsih, M.Kes, AAK menjelaskan bahwa dalam hal puskesmas yang tidak memungkinkan untuk dibayarkan menggunakan kapitasi maka dapat dibayarkan dengan mekanisme lain yang lebih berdaya guna, proses ini masih dalam proses penghitungan kembali apakah daerah tersebut masih memungkinkan untuk dibayarkan kapitasi atau tidak, namun apabila puskesmas tersebut tetap tidak memungkinkan maka dibuat mekanisme yang lain, sehingga daerah yang tidak terjangkau dapat terlayani dengan mekanisme atau metode yang lain. Saat ini sedang dilakukan 3 kajian terkait metode pembayaran kapitasi untuk daerah yang tidak memungkinkan untuk diberikan kapitasi, kajian pertama adalah dengan melihat 130 PKM dengan Unit Cose tertinggi, Kedua real cost biaya di FKTP untuk melihat kapitasi yag dibayarkan apakah kelebihan atau kekurangan, Ketiga efektifitas pelayanan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK), dari hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan suatu solusi mekanisme pembayaran di FKTP yang lebih efektif dan efisien termasuk mengatasi permasalahan di daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat.

Saran yang diberikan oleh dr. Fachrurrazi, MM, AAK terkait definisi untuk daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat adalah dengan membuat definisi operasional terlebih dahulu sehingga diharapkan nantinya tidak adanya tumpang tindih antara regulasi yang ada, apabila regulasi tersebut berseberangan atau dengan kata lain tidak saling mendukung akan berdampak pada terjadinya kebingungan bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan.

26okt 2

 

Reportase Lainnya:

{jcomments on}

Reportase Keynote 1 - 3

26okt 1

Pengantar terkait implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disampaikan oleh Shita Listya Dewi, Ph.D selaku moderator pada Keynote II dan III, yang dilaksanakan pada hari kedua pelaksanaan Forum Nasional Kebijakan Kesehatan ke - VII di Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta. Sesi ini mendiskusikan mengenai pengalaman dan tantangan dalam mewujudkan cakupan kesehatan semesta di Thailand dan pemaparan hasil studi terkait implementasi kebijakan JKN di Indonesia.

Nopphol Witvorapong, PhD dari Center for Health Economics, Universitas Chulalongkorn Thailand menjadi pembicara pertama dalam sesi ini. Nopphol menjelaskan mengenai pengalaman pemerintah Thailand dalam hal pengaturan kelembagaan dan perubahan kebijakan untuk mewujudkan cakupan kesehatan semesta. Thailand adalah salah satu negara dengan penghasilan rendah yang mencapai cakupan kesehatan semesta dengan terlebih dahulu melalui proses yang panjang. Sejarah Thailand terkait upaya tersebut dimulai pada 1975 dengan menciptakan skema Kartu Kesejahteraan Medis untuk kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Upaya tersebut mengalami banyak perubahan hingga pada 2001, pemerintah Thailand menerapkan “Kebijakan 30-Bath”, dimana seluruh masyarakat yang ingin mendaftarkan diri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di setiap fasilitas kesehatan diwajibkan membayar 30 Baht. Pada 2002, kebijakan tersebut dihapuskan dengan disahkannya undang-undang Jaminan Kesehatan Nasional dan berganti nama menjadi cakupan kesehatan semesta.

Materi

Sebelum diterapkannya cakupan kesehatan semesta pada 2002, sekitar 18 juta penduduk Thailand tidak memiliki asuransi kesehatan. Di lain sisi, terdapat kesenjangan fasilitas baik fasilitas kesehatan dan fasilitas publik di perkotaan dan pedesaan, dan rendahnya pemanfaatan pelayanan rumah sakit. Cakupan kesehatan semesta yang dapat diraih oleh pemerintah Thailand diawali dengan proses persiapan, penyediaan, dan penataan sumber daya kesehatan secara bertahap dan melibatkan sektor swasta dan universitas. Upaya juga meliputi perbaikan sektor farmasi untuk memproduksi obat murah guna menciptakan kemandirian obat dalam negeri, memperkuat peran fasilitas kesehatan di masyarakat, pendekatan politik oleh organisasi profesi kesehatan dalam upaya mengarahkan investasi terkait kesehatan masyarakat, dan regulasi terkait insentif dan kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan pelayanan publik di daerah pedesaan.

Hal serupa juga disampaikan oleh Cheryl Chasin, dari lembaga “Result for Development” yang membahas implementasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia dari sudut pandang keadilan. Cheryl Chasin menjelaskan bahwa implementasi JKN yang berlangsung sejak 2014 membawa dampak positif dan negatif terhadap sistem kesehatan di Indonesia. Aspek positif dari implementasi JKN berupa peningkatan yang berarti terhadap kepesertaan JKN. Selain itu, terdapat bukti nyata yang menunjukkan bahwa akses dan penggunaan JKN di Indonesia telah memihak kepada rakyat miskin dengan kualitas pelayanan yang sama tanpa memihak strata sosial. Jumlah pengeluaran negara terkait kesehatan yang meningkat dari tahun ke tahun juga merupakan salah satu dampak positif dari implementasi JKN. Meningkatnya pengeluaran negara tersebut disertai dengan rendahnya biaya yang dikeluarkan individu untuk mengakses layanan kesehatan. Namun di sisi lain, hal yang dianggap perlu proses perbaikan adalah aspek sumber daya yang bervariasi di masing-masing daerah, sehingga dapat dicapai pemerataan tidak hanya pada aspek kuantitas tetapi juga pada kualitas layanan kesehatan yang diberikan sebagai bagian dari aspek keadilan.

Hal yang dianggap perlu dilakukan terkait menjamin keadilan pelayanan kesehatan adalah memperjelas fungsi pengawasan secara berkala, keterbukaan akses informasi BPJS Kesehatan, dan koordinasi antara pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah dalam hal penerapan JKN di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, Indonesia diharapkan dapat belajar dari pengalaman sebelumnya untuk mencapai cakupan kesehatan semesta.

Kesimpulan dari sesi ini adalah pentingnya peran aktif yang menyeluruh dari berbagi pihak terkait penerapan JKN guna mempersiapkan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai cakupan kesehatan semesta. Indonesia dapat menjadikan pengalaman Thailand dengan melihat bahwa seluruh upaya yang dilakukan membutuhkan waktu dan proses yang besar, serta dilakukan secara menyeluruh dari berbagai aspek dengan melibatkan seluruh elemen pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Reportase: Muhammad Asrullah

Reportase Lainnya:

{jcomments on}

Peran Pemerintah Daerah dalam Mengatasi Overshoot Pendanaan JKN

25okt 10

FKKI-Yogyakarta. Dalam diskusi paralel yang dibawakan oleh Deni Harbianto, SE, M.Ec selaku Moderator dan dihadiri para Pembahas baik secara langsung maupun via webinar, beberapa hal yang disampaikan adalah tiga tahun perjalanan implementasi JKN, masih menyisakan satu pekerjaan rumah yang sangat penting yaitu masalah keberlangsungan dan keberlanjutan. Sustainabilitas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi isu strategis yang memerlukan perhatian khusus. Apabila dibiarkan, kondisi miss-match akan mengganggu keberlangsungan program JKN.

Jika melihat hasil temuan dengan data di lapangan sejak 2014 hingga 2016 menunjukkan bahwa kerugian di tingkat daerah, provinsi, kabupaten/kota disebabkan karena sebagian besar peserta mandiri baru mendaftar ketika sakit, moral hazard, bahkan banyak yang menunggak dalam membayar iuran. Salah satu contoh pada pemerintah DKI Jakarta dalam menghitung biaya untuk pelayanan JKN menggunakan angka jumlah penduduk di DKI Jakarta sekitar 10 juta 200 ribu penduduk. Pemerintah DKI Jakarta sendiri, tidak mengalami kerugian melainkan penerimaan biaya dari JKN menjadi meningkat terhadap biaya yang dikeluarkan. Hal berbeda terjadi pada pemerintah lainnya, salah satunya Kabupaten Jember, mengalami kerugian sekitar 166 milliar berdasarkan datayang didapatkan dari Kantor BPJS setempat pada iuran dari APBD ((Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan peserta lainnya)) sekitar 12 milliar dan APBN sendiri sekitar 154 milliar.

Pimpinan daerah selaku pemangku kebijakan perlu melihat nilai-nilai dari program JKN khususnya pada pembiayaan JKN itu sendiri dan sumber daya kemudian dilanjutkan dengan praktek. DKI Jakarta sebagai sebuah kota metropolitan yang mampu menyediakan sumber daya begitu besar dengan meningkatkan setiap layanan baik di puskesmas maupun rumah sakit atas kebutuhan masyarakatnya sehingga pemerintah DKI Jakarta dapat membayarkan pembiayaan JKN yang berasal dari APBD sedangkan daerah lainnya masih kompetitif akan pembiayaan kesehatan. Hal lain yang mempengaruhi pembiayaan JKN yakni pada peserta mandiri, perilaku peserta mandiri terkadang akan berobat ketika mengalami sakit dan saat sehat tidak melakukan pembayaran.

Pada perjalanan JKN ini, jika pemerintah daerah tidak mampu menjalankan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dengan baik maka akan beresiko pada Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) yang meningkat, sehingga kerugian dapat terjadi karena pembiayaan kesehatan yang meningkat. Dalam sesi paralel terdapat pertanyaan dari peserta yaitu jika terdapat daerah yang mengalami kerugian, apakah bisa dilakukan penalti?, pertanyaan ini langsung dijawab oleh Dr. Ede Surya Darmwan, SKM., MDM bahwa daerah bisa dilakukan penalti dengan mekanisme meminta bantuan Kemenkeu untuk PAU-nya dikurangi karena Kemenkeu memiliki mekanisme memberikan pinjaman ke pemerintah daerah. Salah satunya dengan melihat kapasitas fiskal untuk pembangunan infrastruktur dan kemudian dilakukan pemotongan keuangannya. Adapun upaya yang dapat dilakukan pimpinan daerah yakni perlu melakukan peningkatan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL), serta pemerataan UKM jika berfokus dalam membangun manusia agar masyarakatnya sehat, terdidik dan produktif.

Materi

Reporter : Agus Salim, SKM., MPH

Reportase Lainnya:

{jcomments on}

Reportase Sesi Paralel 1 dan 2

Parallel 1

Bagaimana mengatasi Defisit BPJS: Jangka pendek dan Jangka Panjang

25okt 9

Sesi diskusi paralel pertama membahas tentang bagaimana isu dan cara mengatasi defisit BPJS pada periode jangka pendek dan jangka panjang. Sesi ini merupakan agenda forum nasional ketujuh kebijakan kesehatan Indonesia yang diadakan di Universitas Gadjah Mada. Agenda hari pertama fornas ini menghadirkan pembicara pakar yang berhubungan dengan aspek kompleksitas JKN dari kacamata permasalahan defisit pada BPJS. Pembahas sesi ini terdiri dari dr. Kalsum Komaryani, MPPM (Kepala Pusat Pebiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kemenkes RI), Dr. Taufik Hidayat, MM, AKK (Ketua Umum Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia), Andayani Budii Lestari, SE. MM, AKK (Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan) dan Dr. DRs, Zulendri, M.Kes (FKM USU). Acara ini dimoderasi oleh Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH yang merupakan peneliti dan konsultan tentang pembiayaan kesehatan dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Selain itu, acara tahunan ini dihadiri oleh praktisi kebijakan kesehatan, dosen, BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan Indonesia dan mahasiswa.

Keseimbangan antara revenue collection dan expenditure merupakan variabel utama dalam kesinambungan pembiayaan JKN untuk menghindari mismatch. Hingga saat ini, cakupan kepesertaan JKN pada tahun keempat berjalannya sistem JKN oleh BPJS yakni 70%. Namun, apakah ini merupakan aspek positif dalam menurunkan efek negatif dari defisit atau mismatch ? Di sisi lain, beberapa data dan riset menyebutkan bahwa terdapat peningkatan utilitas penggunaan fasilitas kesehatan mulai dari jenjang FKTP hingga FKTL. Di aspek pemanfaatan layanan, penyakit-penyakit katastropik yang bersifat jangka panjang merupakan permasalahan yang tentunya akan mengakibatkan defisit sistem JKN pada BPJS. Dari sisi kepesertaan, proporsi PBI memiliki kuantitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan non PBI. Namun, dalam pemanfaatan layanan, non PBI memiliki proporsi yang lebih tinggi dibandingkan pada anggota PBI sehingga ini akan mengakibatkan inequality pada penerima layanan khususnya pada kelompok PBI.

Berdasarkan pemaparan dr. Kalsum Komaryani, MPPM, isu defisit pada BPJS merupakan topik yang paling esensial saat ini. Pada utamanya, kondisi dana jaminan sosial berada pada neraca yang tidak sehat. Hal ini ditandai dengan adanya defisit pada BPJS dan penyertaan modal negara pada BPJS hingga diproyeksikan sebesar Rp. 12, 7 T pada 2019. Selain itu, telah dilakukan telaah dalam analisis defisit yang terjadi pada BPJS. Berdasarkan hal tersebut, revisi regulasi mulai dari Peraturan Presiden merupakan langkah yang sedang didalami. Kondisi defisit atau mismatch pada BPJS pada umumnya disebabkan oleh tidak efektifnya paket untuk PBI dan non PBI, ledakan utilisasi kasus katastropik dalam layanan JKN oleh non PBI khususnya PBPU. Patut disadari bahwa premi JKN saat ini masih under price. Mismatch akan tetap terjadi apabila pembayaran premi dibayarkan 100% oleh masyarakat Indonesia. Untuk itu, unifikasi dan regulasi berbagai regulasi sangat perlu direalasasikan dalam perbaikan neraca keuangan BPJS. Menurut Dr. Drs. Zulfendri, M. Kes, topik defisit pada BPJS merupakan isu yang harus segera diselesaikan dalam waktu dekat untuk optimalitas layanan keberlanjutan yang berkualitas pada program BPJS. Edukasi dan peningkatan kesadaran pada pengguna layanan JKN adalah salah satu aspek utama untuk efektifitas perbaikan neraca anggaran BPJS.

Perlu ada regulasi dan tindakan spesifik dalam menangani permasalahan mismatch di BPJS. Menurut Andayani Budi Lestari, SE, MM, AAK., tren peningkatan utilisasi pada era BPJS memiliki efek negatif dalam peningkatan beban pembiayaan pada BPJS Kesehatan. Pada dasarnya, UHC dan peningkatan kepatuhan peserta dalam keberlanjutan pembayaran premi merupakan pilihan dalam mengurangi aspek mismatch pada pembiayaan di BPJS Kesehatan. Selain itu, dr. Taufik Hidayat, MM, AAK. menyatakan bahwa prinsip sosial dan gotong royong harus selalu digaungkan pada era JKN saat ini. Perlu disosialisasikan ke pengguna layanan bahwa premi yang dibayarkan akan membantu masyarakat dalam menjaga kualitas kesehatan masyarakat lainnya.

Diskusi panel ini menekankan bahwa saat ini keadaan mismatch atau keadaan defisit pada BPJS merupakan alarm pada sistem jaminan kesehatan nasional di Indonesia. Untuk itu, perlu ada langkah yang jelas dan spesifik terhadap permasalahan mismatch atau defisit yang tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi terhadap mutu dan layanan pada sistem JKN. Selain itu, regulasi yang jelas tentang pelayanan, unifikasi pembiayaan pada fasilitas kesehatan, peningkatan kepesertaan yang bersifat adil dan edukasi untuk meningkatkan resistensi peserta dalam pembayaran premi merupakan beberapa aspek krusial yang diharapkan dapat menjadi pilihan jawaban dalam kondisi neraca pembiayaan defisit pada BPJS Kesehatan.

Reporter: Nopryan Ekadinata

 

Reportase Lainnya:

{jcomments on}

Evaluasi Kebijakan dan Equity

donaldSesi yang membahas Evaluasi Kebijakan dan dan Equity dipandu oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD menghadirkan Staf Ahli Bidang Pembiayaan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesi dr. Donald Pardede, MPPM yang menggantikan Menteri Kesehatan yang pada kesempatan ini berhalangan hadir karena ada kegiatan di Istana Mendeka.

Menteri Kesehatan melalui dr. Donald Pardede mengingatkan bahwa Jaminan Kesehatan Nasional sebagai salah satu vertical untuk mencapai Universal Health Coverage sebagai satu kesatuan pembangunan kesehatan secara utuh dan berkesinambungan mulai dari promosi, preventif, kuratif dan rehabilitatif sehingga bermanfaat secara merata dan berkualitas. Arah pembangunan kesehatan adalah paradigma sehat, penguatan pelayanan kesehatan dan mewujudkan Jaminan Kesehatan Nasional menuju Universal Health Coverage di tahun 2019. Mewujudkan Jaminan Kesehatan Nasional penting diperhatikan mengenai pemanfaatan JKN/KIS melalui akses terhadap pelayanan kesehatan, pembangunan sarana dan prasarana, suplai pelayanan kesehatan yang merata sehingga tidak ada gap antar daerah di Indonesia.

Secara nyata penerapan jaminan kesehatan nasional telah terjadi peningkatan aksesibilitas pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan pemerintah seperti Puskesmas dan Rumah Sakit tetapi sangat sedikit pada swasta. Lanjut menurut Donald, sekarang yang menjadi pekerjaan rumah sekaligus menjadi tantangan pelaksanaan jaminan kesehatan nasional adalah kesenjangan financial, kepersertaan, pembiayaan, sarana dan prasarana, sumber daya manusia, teknologi dan mutu pelayanan kesehatan. Bahwa suatu proses perbaikan dalam dinamika JKN akan berlangsung terus menerus maka harus melibatkan aspek-aspek baik mobilisasi sumber-sumbernya dan menasionalkan manfaatnya. Selain itu, perbaikan dalam status organisasi tata kelola dalam BPJS sebagai badan penyelenggara jaminan kesehatan nasional.

Laksono Trisnantoro membuka diskusi sesi akhir dengan mereview materi yang telah disampaikan dalam Forum Nasional VII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dan membahas mengenai beberapa isu JKN diantaranya perlukah perbaikan kebijakan di level Undang-undang ataupun di bawah Undang-undang; siapa yang melakukan evaluasi kebijakan dan peran perguruan tinggi dalam evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional.

25okt 6

Sebelumnya Prof. Laksono mengundang dr. Chairul Radjab Nasution, Sp. PD, KGEH, FINASIM, FACP, M.Kes (Ketua Dewan Pengawas-BPJS Kesehatan), Prof. dr. Ascobat Gani MPH Dr.PH (Guru Besar Universitas Indonesia) dan Trias wahyuni Putri Indra, M.Kes (Kepala Pusat Analisis Determinan) serta beberapa perwakilan dari Universitas melalui webinar untuk mendiskusikan isu-isu tersebut.

Isu mengenai perlukah adanya perbaikan kebijakan di level UU ataupun di bawah undang banyak yang berpendapat bahwa diperlukan perubahan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ascobat Gani menjelaskan Pasal 34 UUD 1945 negara mengembangkan sistem jaminan sosial namun dalam UU SJSN tidak menjelaskan mengenai kompensasi oleh negara sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Trias wahyuni Putri Indra setuju diperlukannya rivisi pada level UU SJSN karena permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah berbeda dan tidak bisa diseragamkan dan Prof Alimin dari Universitas Hasanuddin mengatakan setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda dan susah tercapai equity jika rivisi undang-undang tidak dilakukan.

Sebaliknya Chairul Radjab Nasution menyampaikan sekarang adalah bukan saat yang tepat untuk mengubah undang-undang. Terpenting bagaimana menyesuaikan peraturan pemerintah, peraturan presiden dan lainnya karena banyak peraturan yang tidak sikron antara satu dengan lainnya. Tujuan yang ingin dicapai sekarang hanya untuk mengejar kuantitas bukan kualitas. Ditambah fakta di lapangan ditemukan banyak terjadi permasalahan JKN terkait supply side dan kepesertaan.

Banyaknya permasalahan diperlukan kepedulian dan keterlibatan semua pihak dalam melakukan evaluasi perbaikan baik pemerintah maupun stakeholder-stakeholder terkait baik IDI, PERSI dan lainnya. Donald Pardede menyampaikan kebijakan publik akan ada dinamika publik. Sistem akan berjalan dengan baik jika semua stakeholder mencapai kesepakatan untuk memperkuat sistem jaminan kesehatan. Penting diingat evaluasi kebijakan dapat dikatakan berkualitas tergantung siapa yang melakukan evaluasi tersebut. Apakah yang akan melakukan evaluasi merupakan individu, lembaga peneliti atau perguruan tinggi yang sangat independen atau tidak independen. Ascobat Gani mengatakan jika berkaitan dengan penelitian, indepensi atau tidak indepensi tergantung integritas dari yang meneliti. Beda dengan policy research, sangat bergantung dengan policy maker, user dan penelitinya. Dalam Forum ini diharapkan Pemerintah, BPJS kesehatan, perguruan tinggi serta Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dapat bermitra dan bekerja sama dalam melakukan perbaikan dan penyempurnaan Jaminan Kesehatan Nasional.

Materi

Reporter : Muhamad Syarifuddin, SKM.,M.PH

Reportase Lainnya:

{jcomments on}