Reportase Geneva Health Forum 2018

Geneva Health Forum (GHF) 2018 yang mulai dilaksanakan pada 2006 merupakan kegiatan rutin di Swiss yang membahasisu kesehatan global. Setiap dua tahun, GHF diikuti oleh baik pemangku kepentingan dari Swiss maupun dunia internasional dan menggabungkan peserta dari semua sektor (kesehatan, akademisi, politik, masyarakat sipil dan profesional sektor swasta). GHF pada 2018 dilaksanakan di Center Internasional de Conferences Geneve (10-12 April 2018). GHF menghadirkan 420 pembicara dengan 13 sesi sharing informasi. Tema yang diangkat dalam GHF 2018 adalah “Precision Global Health in The Digital Age” dengan mengangkat sub tema:

  1. Kesetaraan Akses Kesehatan (Health Equity)
  2. Jaminan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverages)
  3. Akses ke Pengobatan Esensial (Access to essential medicine)
  4. Sekuritas Masalah Kesehatan dan Pandemik (Future pandemics and Health 
Security)
  5. Penyakit Tropis (Neglected Tropical Disease)

GHF adalah forum praktik inovatif untuk mengatasi tantangan masalah kesehatan dunia. GHF diharapkan menjadi forum untuk mencari solusi bersama mengenai tantangan yang dihadapi, merumuskan pendekatan baru terhadap kesehatan global, dan menciptakan tools baru yang dapat diterapkan secara global, oleh beberapa unsur. GHF 2018 dihadiri oleh kurang lebih 1000 peserta yang berasal dari seluruh dunia. CHPM ikut serta mengambil peran dalam kegiatan ini.

Reportase Hari 1

ghf3

Plenary 1 bertema Quality of health system - The missing piece between better access and Improved Health”. Sesi ini disampaikan oleh Edward Kelley dan dipandu oleh Schule Alexander dari Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC), Direktur Department of Service Delivery WHO, Kruk Margaret dari Harvard T.H Chan School of Public Health, dan Yogan Pillay, Deputy Director General of the National Department of Health, South Africa. Pada sesi ini, ketiga narasumber memaparkan kualitas dari sistem kesehatan dari berbagai perspektif sebagai salah satu indikator Millennium Development Goals (MDGs).

MDGs telah menggerakkan sumber daya dalam skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masih terdapat tantangan besar yang mengarah pada penilaian ulang terhadap kerangka kerja MDGs. Salah satu kritiknya terletak pada fokus ke aspek penyakit yang terlalu besar, sehingga mengorbankan sistem kesehatan dan kualitas pelayanan. Oleh karena itu, kualitas pelayanan digambarkan sebagai faktor yang perlu mendapat perhatian untuk menerjemahkan cakupan intervensi dari sistem kesehatan. Narasumber menjelaskan beberapa tantangan utama serta temuan-temuan yang muncul kaitannya dengan pendekatan ukuran dan peningkatan kualitas serta pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan etika mengenai hak atas perawatan kesehatan yang berkualitas dan distribusi yang adil.

The Lancet Global Health telah menginisiasi terbentuknya Komisi terkait sistem kesehatan yang berkualitas. Komisi ini telah mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk mengukur dan meningkatkan kualitas dalam mengejar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Senada dengan hal tersebut, Kruk Margaret memaparkan bahwa The Lancet Global health telah menerbitkan laporan, naskah akademik, dan laporan komisi di berbagai negara terkait kualitas dari sistem kesehatan, usulan indikator kualitas, dan upaya baru terkait perubahan sistem. Kualitas kesehatan menurut Margaret tidak selalu berkaitan dengan cakupan (coverage) karena cakupan kesehatan yang tinggi belum tentu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Contoh konkretnya adalah cakupan kesehatan ibu dan anak yang tinggi di beberapa negara tidak diikuti dengan penurunan angka kematian ibu dan anak. Indonesia adalah salah satu negara dengan angka kematian ibu dan anak yang masih cukup tinggi. Salah satu isu yang diangkat mengenai kompetensi tenaga kesehatan. Berdasarkan data dari 18 negara, masyarakat hanya mendapatkan setengah dari jumlah pemeriksaan kesehatan yang seharusnya dalam kunjungan ke fasilitas kesehatan. Beberapa publikasi juga menunjukkan bahwa kompetensi tenaga kesehatan tidak dapat menyediakan pemeriksaan kesehatan yang baik dan seharusnya. Hal tersebut diharapkan akan diminimalkan seiring dengan perbaikan sistem kesehatan dari aspek kualitas.

Menurut Margaret dan Yogan, sebuah sistem kesehatan yang berkualitas harus mempertimbangkan 3 hal penting yakni konsisten dalam memberikan pelayanan, bernilai dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, serta respons terhadap perubahan yang terjadi. Fondasinya adalah masyarakat itu sendiri, pemerintah, platform, tenaga kesehatan, dan alat penunjang. Didukung oleh sebuah proses belajar dan perubahan maka diharapkan tercapai indikator kesehatan yang lebih baik, sistem yang terpercaya dan kontinuitas, serta keuntungan secara ekonomis. Berdasarkan data yang ada di beberapa negara Low Middle Income menunjukkan sebuah sistem kesehatan yang berkualitas akan menyelamatkan 7,8 juta kehidupan, dimana 3,2 juta berkaitan dengan perbaikan akses kesehatan dan 4,6 juta lainnya terkait dengan perbaikan kualitas pelayanan kesehatan.

Hal serupa diungkapkan oleh Edward Kelley, hanya 34% diagnosis akurat yang ditemukan di negara Low Middle Income (LMI). Kemudian yang menjadi perhatian berikutnya, ditemukan 40% dari fasilitas kesehatan memiliki akses air bersih yang rendah dan 20% memiliki sanitasi yang buruk. Diperburuk bahwa wanita di negara-negara tersebut menjadikan wanita sebagai korban, rendahnya respek terhadap pelayanan, dan ekslusi (pengecualian) dari pengambil keputusan pada pelayanan prenatal dan post natal. Jika dilihat dari ilustrasi Universal Health Coverage, maka dengan jelas terlihat bahwa indikator cakupan memegang peranan penting, akan tetapi timbul pertanyaan besar yakni apakah pemerintah dapat menggalakkan pelayanan gratis kepada ibu hamil hanya untuk meningkatkan cakupan ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan, sementara di lain sisi, pelayanan yang diberikan dapat tergolong berbahaya?.

Salah satu alternatif dalam mengatasi masalah tersebut adalah strategi kebijakan pemerintah yang juga dituntut berkualitas. Indikatornya adalah adanya prioritas masalah kesehatan, indikator kualitas yang bersifat nasional dan dapat diterapkan di daerah, kerja sama lintas sektor, analisis situasi, struktur pemerintahan yang jelas, perubahan dari segi metode dan intervensi, serta sistem informasi dan manajemen data yang terpadu. Hal terpenting adalah pelayanan kesehatan yang terintegrasi dan alur rujukan yang jelas. Perbaikan pelayanan kesehatan di Primary Health Care (PHC) juga sangat penting karena 80-90% dari kebutuhan kesehatan dapat dideteksi sejak awal di fasilitas kesehatan tersebut. Langkah WHO ke depan terkait isu ini yaitu melakukan pendekatan di level pollitik dengan menghasilkan dokumen peningkatan kualitas kesehatan sebagai indikator utama dalam mencapai UHC, di level strategis yakni memberikan dukungan teknis berupa pilihan kebijakan dan jenis intervensi yang sesuai, serta di level operasional dengan mengembangkan development plan yang disertai dengan monitoring dan evaluasi seperti pada program UHC 2030.

Reporter: Muhamad Asrullah, MPH (PKMK UGM)

Baca juga: Reportase Geneve health forum 2018 hari kedua

 

Reportase Diskusi Ilmu Lintas Fakultas “Analisis Kebijakan dan Aplikasinya”

disk fisipol

Diskusi lanjutan dari serangkaian blended learning pelatihan dasar Analis Kebijakan kali ini mengundang tim peneliti dan para pakar dari FISIPOL UGM. Pertemuan yang diselenggarakan di Kafe FISIPOL UGM ini dibuka oleh Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si selaku Dekan FISIPOL UGM. Bapak Erwan menjelaskan bahwa kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang mampu menyelesaikan permasalahan dan dapat memperbaiki kondisi seperti yang dikehendaki. Selaku moderator, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D turut menambahkan bahwa konsep dan tahapan analisis kebijakan publik ini juga dapat diterapkan dalam analisis kebijakan kesehatan.

Topik yang dibahas narasumber pada kegiatan tersebut terkait dengan konsepsi dan model analisis kebijakan (analysis of policy dan analysis for policy) serta prospek dan perkembangan jabatan fungsional analis kebijakan di pemerintah dan sektor swasta. Menurut Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP, para analis kebijakan harus mengawali segala sesuatu dengan identifikasi masalah untuk menemukan idealnya suatu kebijakan perlu menjadi seperti apa, aja saja alternatifnya, dan apa saja dampak yang akan ditimbulkan. Bapak Wahyudi juga menegaskan bahwa tugas analis kebijakan adalah melakukan kajian dan memastikan apakah suatu kebijakan sudah tepat atau belum karena masih banyak perumusan kebijakan yang disusun spontan tanpa melalui langkah sistematis dan data/ evindence yang memadai.

Sebagai salah satu narasumber, Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA menambahkan bahwa selain melakukan analisis, para analis kebijakan juga harus siap walau usulan kebijakan nantinya tidak selalu dapat diterima oleh policy maker, terlebih ada faktor teknokratis dan politis dari perumusan sampai penetapan kebijakan. Apabila ada pihak terkait yang tidak dilibatkan dalam proses kebijakan, menurut Bapak Agus akan ada resiko pihak-pihak tertentu justru menghambat/ menghadang agenda kebijakan tersebut untuk menjadi suatu regulasi. Menanggapi pertanyaan dari peserta, Bapak Wahyudi juga menambahkan bahwa fenomena janji politik yang turut serta dalam analysis for policy memang seringkali terjadi di masa demokratis saat ini, sehingga para analis kebijakan perlu memastikan sejauh mana agenda tersebut telah memihak rakyat/ publik dan seberapa rasional janji politik tersebut untuk dapat mengatasi permasalahan publik yang sedang terjadi.

Pada sesi berikutnya, Bapak Wahyudi menjelaskan bahwa tim sukses di daerah seringkali bukanlah analis kebijakan yang memilki kapasitas untuk analysis of policy dan analysis for policy. Oleh karena itu, peran dari analis kebijakan sangat dibutuhkan. Evidence based policy tidak sepenuhnya dapat diterapkan di daerah, namun lebih penting evidence influenced policy. Bapak Agus menambahkan bahwa para analis kebijakan tidak dapat bergerak sendiri tanpa adanya tim. Walaupun demikian, bukan berarti analis kebijakan yang independen tanpa terafiliasi dengan siapapun tidak memiliki kesempatan yang sama. Kedua narasumber menyampaikan bahwa saat ini telah ada Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (aaki.or.id) yang dapat dilibatkan bersama-sama, baik di tingkat pusat dan daerah. Di akhir sesi, Bapak Laksono juga menegaskan bahwa analis kebijakan tidaklah generalis sehingga ada spesifikasi tertentu yang salah satunya adalah analis kebijakan di bidang kesehatan.

rekaman webinar

Reporter : Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

Reportase Knowledge Management untuk Peningkatan Kualitas Kebijakan

27feb kki

Aula Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA – Lembaga Administrasi Negara
Jakarta 27 Februari 2018

Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI menyelenggarakan Knowledge Management Untuk Peningkatan Kualitas Kebijakan pada Selasa (27/2/2018). Agenda ini dihadiri oleh beberapa perwakilan pemerintah daerah, Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), Knowledge Sector Inisiative (KSI), Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) dan peneliti kebijakan. Pembicara yang hadir antara lain Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si (Dekan Fisipol UGM), Wandy Tuturoong (Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden), Basuki Purwadi, S.H., M.H. (Kementerian Keuangan) dan Robert Endi Jaweng (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)). Acara dibuka langsung oleh Dr. Adi Suryanto, M.Si selaku Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI.

Seminar ini diawali dengan pemaparan tentang urgensi dokumentasi hasil analisis kebijakan oleh Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM. Erwan menyampaikan saat ini profesi analis kebijakan sangat penting bagi pemerintah. Profesi analis kebijakan dituntut untuk menyediakan informasi yang akurat, menggunakan paradigma evidence based policy dan menjamin aspek kebijakan didasari oleh evidence yang relevan.

Namun, untuk menjawab tantangan di atas, aspek akurasi data, manajemen data dan pendokumentasian data merupakan salah satu tantangan faktual. Hal yang paling mendasar saat ini adalah era disrupsi informasi dan ledakan data. Oleh karena itu, analis kebijakan memiliki urgensi untuk hadir dalam menjawab analisis penggunaan big data, penggunaan data yang sesuai dan pemanfaatan platform data terkini dimana data tersebut multi-informatif, lintas sektoral, harus mudah digunakan dan menjadi dasar kebijakan berkualitas. Saat ini karakter dokumentasi hasil analisis harus sesuai dengan perkembangan era teknologi. Bentuk platform digital berbasis aplikasi merupakan pilihan efektif yang dapat dikembangkan bersama antar lembaga pemerintah yang melibatkan akademisi kredibel.

Pada topik kedua, seminar membahas tentang pengalaman dan tantangan knowledge management pada Kantor Staf Presiden RI oleh Wandy Tuturoong dan dilanjutkan oleh Basuki Purwadi SH MH tentang etika penyebarluasan informasi di sektor pemerintah. Wandy Tuturoong menggarisbawahi bahwa aspek Knowledge Management sangat penting diimplementasikan meninmbang saat ini Presiden menekankan bahwa pengambilan keputusan atau kebijakan harus berbasis data dan membawa kepada lesson learned positif. Di lain sisi, besarnya arus hoax information menjadi tantangan nyata dalam unsur kebijakan yang terkesan menjadi informasi berbasis bukti bagi pemangku kebijakan. Selanjutnya, Basuki Purwadi SH., MH. memaparkan bahwa di era keterbukaan informasi saat ini, etika penyebarluasan informasi kepada publik harus menjadi aspek kritis yang perlu dipertimbangkan. Berita bohong perspective based menjadi salah satu tantangan fundamental bagi bangsa saat ini. Sebagai badan publik, lembaga pemerintahan memiliki kewajiban dalam manajemen informasi untuk perkembangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat dan lintas badan publik. Untuk itu, analisis kebijakan merupakan kebutuhan yang memiliki urgensitas tinggi bagi tiap lembaga pemerintah.

Pembicara terakhir, yakni Robert Endy Jaweng sebagai Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) memaparkan tentang pentingnya data dalam analisis kebijakan. Peneliti kebijakan ini menjelaskan tentang pentingnya ahli analis kebijakan untuk dapat melaksanakan uji validitas pada tiap informasi dalam pembuatan kebijakan. Saat ini merupakan momentum penting dimana tiap kebijakan harus diawali dengan data empirik dan bersifat evidence based practice.

Selain itu, era masif informasi saat ini dan pola desentralisasi merupakan momen tepat dalam pembuatan kebijakan yang efisien, spesifik serta berbasis bukti relevan. Robert Endy Jaweng kembali menekankan bahwa kemampuan analis kebijakan dalam menempatkan data, memperoleh data, membaca kesempatan aspek politik merupakan peluang dan tantangan pada variabel kebijakan efektif di Indonesia.

Acara tersebut dilanjutkan dengan diskusi antara peserta dan narasumber. Diskusi yang menarik pada agenda ini adalah tentang platform data dalam aspek kebijakan dalam perspektif knowledge management. Topik diskusi ini didasari oleh ledakan data serta fragmentasi data pada lintas sektor pemerintahan sehingga aspek ini menjadi variabel kunci kualitas pada kebijakan. Para narasumber menggarisbawahi bahwa saat ini pemerintah mengupayakan platform dimana tiap elemen birokrasi memiliki sistem data yang terintegrasi. Selain itu, analisis Big Data dan pemilihan data relevan merupakan keahlian yang perlu dikembangkan oleh analis kebijakan. Di sisi lain, pemerintah mendorong para akademisi untuk berkolaborasi bersama dalam merealisasikan platform berbasis teknologi tentang aspek data yang terintegrasi hingga digunakan sebagai media pengkomunikasian analisis kebijakan.

Reporter: Nopryan Ekadinata (PKMK FKKMK UGM)

 

Reportase Outlook Sistem Kesehatan 2018

30 1

Seperti yang diketahui bersama bahwa JKN melalui UU SJSN (2004) dan UU BPJS (2011) telah mendorong peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan di tingkat pusat dan berpengaruh pada peningkatan alokasi dana di daerah. Prof Laksono memberikan pengantar yang menekankan bahwa saat ini daerah menerima dana dari banyak sumber dana yang masih dikelola secara terpisah dan menyebabkan fragmentasi sistem kesehatan di daerah. Pengelolaan data di daerah juga mengalami fragmentasi di tengah sistem BPJS yang sentralistik dan sistem Kemenkes yang desentralisasi. Menurut beliau, kondisi inilah yang menyebabkan perencanaan kesehatan di daerah tidak dapat sepenuhnya berbasis data yang mengakomodir kebutuhan program JKN dan program kesehatan lainnya. Bukan hanya hubungan Pemda dan kantor BPJSK setempat yang tidak jelas, namun Prof. Laksono juga menekankan bahwa peran Pemda/ Dinkes dalam layanan primer di era JKN juga masih tidak mempunyai pola. Adanya Inpres No. 8/ 2017 menjadi kesempatan untuk mengatasi fragmentasi ini, namun instruksi ini berlaku sampai dengan akhir Desember 2018. Menurut beliau, sejauh mana pelaksanaan Inpres No. 8/ 2017 ini juga patut untuk dimonitoring dan evaluasi.

30 2Salah satu instruksi dalam Inpres No. 8/ 2017 adalah BPJS Kesehatan menyediakan data JKN ke Menteri Kesehatan secara berkala. Namun data seperti apa dan sejauh mana kabupaten dapat mengakses kebutuhan data tersebut? bahkan saat ini belum dapat teranalisis sejauh mana dana JKN telah berkontribusi terhadap peningkatan derajat kesehatan di daerah. Hal inilah yang juga ditekankan kembali oleh ibu Murni (Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar, Dinkes Kulon Progo). Ibu Murni menyampaikan bahwa sulitnya data JKN diakses oleh daerah memang terjadi adanya, termasuk data kesepertaan dan data layanan yang diterima peserta JKN. Dengan kondisi seperti ini, apakah mungkin Pemda/ Dinkes dapat menggunakan data BPJS untuk perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program kesehatan?

Melalui webinar, Bapak Yulianto (Kepala Dinkes Provinsi Jawa Tengah) juga menegaskan terjadinya pemanfaatan anggaran kesehatan di daerah yang masih tumpang tindih. Tim perencanaaan di daerah masih tergantung dari data dari pemegang program kesehatan dan belum dapat mengakses data JKN dari BPJS Kesehatan. Sementara, menurut beliau bahwa data BPJS kesehatan juga sangat dibutuhkan untuk mengukur dampak JKN terhadap capaian indikator kesehatan dan SPM di daerah.

Menurut tim Dinkes Provinsi Jawa Tengah, adanya bridging sistem p-care dan SIMPUS sebenarnya dapat menjembatani kebutuhan data JKN untuk perencanaan program kesehatan di daerah. Walaupun demikian, sistem ini masih berlaku di FKTP milik Pemerintah dan belum merangkul fasilitas kesehatan swasta di daerah. Mewakili sektor swasta, salah satu peserta di Granadi juga menyampaikan bahwa regulasi saat ini belum menjelaskan kewenangan dan kewajiban faskes swasta dalam optimalisasi program JKN, termasuk dalam pengelolaan data JKN.

Prof. Laksono kembali mengingatkan bahwa pada tahun 2016, Bapak Presiden Jokowi pernah menyampaikan perlunya pembagian tugas yang jelas antara pusat, daerah, dan BPJS Kesehatan. Beberapa tindak lanjut pembagian tugas tersebut telah tertuang dalam Inpres No. 8/ 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN. Pertanyaan penting yang disampaikan oleh Prof Laksono adalah apakah Inpres ini dapat mempercepat/ membantu pencapaian delapan sasaran utama program JKN? Menurut beliau, salah satu kuncinya adalah data BPJS Kesehatan yang dapat diakses oleh daerah untuk dipergunakan sebagai pengembangan program kesehatan. Data tersebut sebenarnya juga dapat membantu menjadi pertimbangan dalam menyusun strategi menyeimbangkan ketersediaan sarana prasarana dan SDMK.

30 3Bapak Citra dari Kedeputian Bidang Riset dan Pengembangan, BPJS Kesehatan Pusat menjelaskan bahwa salah satu ukuran untuk beroperasinya BPJS Kesehatan dengan baik adalah hasil audit yang menyatakan predikat WTP. Terkait target kepesertaan, sampai saat ini memang masih menjadi PR besar bagi BPJS Kesehatan. Menanggapi isu pengelolaan data, beliau menyampaikan bahwa saat ini BPJS Kesehatan telah memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi yang dapat melayani pihak eksternal terkait kebutuhan data. Penyediaan data dashboard dari BPJS Kesehatan telah diberikan kepada P2JK dan akan menjadi masukan bagi BPJS Kesehatan untuk mengembangkan dashboard di level daerah yang dapat dipergunakan stakeholder di kab/ kota. Sebagai wakil dari tim PPJK Kemenkes Bidang Jaminan Kesehatan,

Bapak Doni berharap adanya Inpres No. 8/ 2017 dapat semakin mendorong semangat gotong royong untuk mengoptimalkan pelaksanaan program JKN. Kolaborasi antar pihak inilah yang dibutuhkan untuk mencapai kedelapan sasaran utama program JKN. Saat ini DJSN, TNP2K, P2JK, dan lintas kementerian sudah mulai mengolah data bersama-sama di ruang khusus yang telah disediakan oleh BPJS Kesehatan.

Diskusi terjadi sangat menarik saat membahas data mana saja yang dibutuhkan oleh daerah dan data mana saja yang mungkin dapat diperoleh atau bahkan tidak akan didapatkan dari BPJS Kesehatan. Inpres No. 8/ 2017 menginstruksikan Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mengambil keputusan dan melaksanaan program untuk mendukung pelaksanaan JKN. Bagaimana daerah dapat mendukung program JKN tanpa ada dukungan data yang dapat dianalisis oleh masing-masing Pemda?

 

Reportase Webinar Expert Meeting: “Strategi Penguatan Pelayanan Primer untuk Mendukung Sustainabilitas JKN"

indohcf27jan

Untuk mengawali expert meeting kali ini, materi pertama yang disampaikan oleh Prof. Ascobat Gani membahas tentang strategi komprehensif dalam penguatan pelayanan kesehatan primer untuk mendukung sustainabilitas JKN. Peningkatan defisit pembiayaan JKN setiap tahun dapat direduksi dengan intervensi UKM (promotif & preventif). Menurut Ascobat, tantangan pembiayaan kesehatan dan JKN yaitu cost inflation, aging populatin (peningkatan Penyakit degeneratif), perilaku provider dan peserta sehingga terjadi over utilization, dan faktor eksternal lainnya. Pengendalian biaya dapat dilakukan dengan memperkuat pelayanan kesehatan primer (puskesmas) terutama risk reduction dan FKTP (puskesmas & klinik non-spesialis) terutama dalam hal financial protection & health insurance. Namun, peran UKP pada puskesmas tidak boleh dihilangkan karena berlawanan dengan pasal 47 UU 36 Tahun 2009 maupun konsep akademik, serta dapat menghilangkan legitimasi BPJS untuk menerima dana PBI, disamping itu intervensi UKM & UKP harus komprehensif. Kebijakan afirmatif untuk puskesmas terpencil berupa “Nusantara Sehat” (SDM), pengiriman obat program dari pusat, penyaluran BOK langsung ke puskesmas harus lebih dapat dioptimalkan dengan mempertimbangkan sektor swasta; baik dalam menyusun tupoksi standar, kelembagaan, standarisasi pelayanan, akreditasi, dan lain-lain.

Prof. Laksono menegaskan bahwa kendala yang terjadi saat ini yaitu fragmentasi sistem yankes (makro), pengelolaan sistem insentif BPJS tidak jelas (meso), konflik dokter layanan primer (mikro). Fragmentasi dalam bentuk dua jalur sistem pendanaan yang tidak dikelola secara bersama yaitu sistem yankes/Kemenkes (UU kesehatan, UU RS, terdesentralisasi) dan sistem jamkes/BPJS (UU SJSN, UU BPJS), yang berakibat data BPJS dan dinkes tertama daerah tidak tersinkronisasi, strategic purchasing tidak bejalan baik, tidak adanya pemantaun gatekeeper, sistem tidak efektif, serta pemerataan yankes terabaikan. Sistem pembayaran individu di tingkat fasilitas belum berbasis pada kinerja, BPJS juga tidak memiliki pengaruh dalam menentukan besaran pendapatan nakes, sehingga terjadi ketimpangan pendapatan nakes dan double contract, serta ketidaksesuaian insentif dengan beban kerja. Konflik mengenai penyelenggaraan DLP terjadi di kalangan IDI, Kemenkes, Kemenristekdikri, dan berbagai pihak lain, akibatnya Indonesia kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan klinis dokter di layanan primer dalam era JKN. Menurut Laksono, solusi untuk mengoptimalkan peran pelayanan primer untuk sustainabilitas JKN adalah menghilangkan fragmentasi (jangka pendek: INPRES 8/2017, jangka panjang: revisi UU), menyesuaikan pendapatan dokter & nakes dengan kinerja FKTP (penyesuaian tarif kapitasi dengan adjuster, analisis isu double contract, kebijakan matching grand, BPJS mengetahui nominal pendapatan nakes yang berasal dari kapitasi), melaksanakan DLP & penelitian monitoring kerja.

Untuk menghadapi tantangan pelayanan kesehatan dalam era JKN, maka FKTP berperan penting dalam mewujudkan paradigma sehat melalui upaya promotif, preventif, dan screenning. Menurut Saraswati, FKTP sebagai gatekeeper (penapis rujukan) harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan dan tata laksana penyakit di FKTP serta berbasis pada kompetensi SDM (klinis dan manajerial). Penguatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia agar sesuai dengan kompetensi faskes dapat dicapai dengan program peningkatan akses (distribusi FKTP & peserta, ketersediaan obat, pemenuhan sarana-prasarana, regionalisasi sistem rujukan, dan pemenuhan SDM) dan mutu (akreditasi puskesmas & RS, pemanfaatan TI, kompetensi SDM) faskes melalui sistem informasi dan regulasi yang tepat. Pemanfaatan TI dapat berupa pelaksanaan SISRUTE, telemedicine, pendaftaran online, SIRANAP, RME, Flying Health Care.

Dari perspektif penatalaksanaan tenaga kesehatan, Usman Sumantri menyatakan bahwa puskesmas sebagai andalan utama FKTP yang menyebar di Indonesia memiliki standar sarana-prasarana yang berbeda-beda dikarenakan geografis yang luas, daerah pemekaran, dan keterbatasan kemampuan (anggaran dan komitmen) pemerintah pusat maupun daerah. Kendala dalam pemenuhan nakes: penyediaan nakes (jumlah, mutu, distribusi, infrastruktur), regulasi, kurangnya partisipasi Pemda, tingginya biaya operasional khususnya di daerah dengan geografis sulit. Pada daerah dengan peserta yang padat dan nakes memadai, FKTP hendaknya diarahkan pada klinik sedangkan puskesmas bertahap fokus ke UKM. Untuk persebaran nakes maka perlu dipetakan kebutuhan & formasi FKTP serta dokter per daerah dan redistribusi peserta, serta pendayagunaan nakes di DPTK.

Reporter: Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH