A. Pelatihan

Blended Learning Mengenai Penulisan Policy Brief.
(11 – 25 November 2016). Biaya: Rp 500.000,- per 3 orang.

selengkapnya


Pelatihan Pengembangan Sistem Telekonferensi. (Juli - september 2017) Biaya: Rp.600.000 per orang. 

selengkapnya

 

B. Seminar Nasional: (Dapat diikuti melalui system Relay).

Monitoring Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Apakah sudah dapat memberikan prediksi untuk pencapaian UHC di tahun 2019? (Yogyakarta, Oktober 2017)

selengkapnya

Seminar Nasional bersama IAKMI mengenai Implementation Research.
2 November 2016 di Makassar.

selengkapnya

 

C. Workshop Internasional

Partnership for Universal Health Coverage : Hong Kong, November 2017 (tentative). Bekerjasamadengan Asian Network in Health System Strengthening.

 

D. Peningkatan kemampuan Penelitian dan Konsultasi:

Pelatihan calon fasilitator pendamping penyusunan sinkronisasi RPJMN-RPJMD Sub bidang kesehatan
dan gizi masyarakat

klik disini

Community of Practice Riset Implementasi JKN

klik disini

Penelitian Implementation Research tentang Kebijakan Jaminan Kesehatan di FKTP
Januari – Juni 2017

 

E. Diskusi-diskusi dan Kuliah Tamu melalui Web

Dilakukan secara rutin dengan berbagai topik.

  • Membahas Artikel Kebijakan terbaru di Jurnal
  • Bedah Buku
  • Topik hangat dalam Kebijakan Kesehatan.
  • Dan berbagai hal lainnya.

Catatan 1:

Para anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dapat merencanakan kegiatan lainnya. Kegiatan yang dikerjakan akan dipublikasikan di www.kebijakankesehatanindonesia.net  Kegiatan dapat bersifat tatap muka ataupun jarak-jauh. Publikasi yang akan dibantu oleh Jaringan Kebijakan Kesehatan adalah:

  1. Memasang pada banner di web mengenai kegiatan yang akan datang.
  2. Memberikan alert untuk sekitar 5000 pembaca berbagai web kebijakan.
  3. Menampilkan hasil kegiatan di web.


  Informasi lebih lanjut:

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2
Jl. Farmako, Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax.(0274) 549425 (hunting)
E-mail: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

 



 

 

TOR Kegiatan

Kerangka Acuan
Seminar Sinkronisasi RPJMD-RPJMN
Sub-Bidang Kesehatan

Yogyakarta, Jumat 17 Juni 2016

  LATAR BELAKANG

Setelah pemilukada serentak 9 Desember 2015 di 264 daerah, kepala daerah terpilih dilantik pada 17 Februari 2016. Menurut Permendagri No. 54 Tahun 2010 Pasal 75 ayat (1), Bupati/Walikota harus menyampaikan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD kabupaten/kota paling lama 5 (bulan) setelah dilantik. Dengan kata lain, rancangan Perda tersebut harus sudah disampaikan paling lambat tanggal 17 Juli 2016. Rancangan Perda tersebut, menurut Pasal 76 Permendagri No. 54 Tahun 2010, harus sudah ditetapkan paling lambat 6 bulan setelah Bupati/Walikota dilantik atau tanggal 17 Agustus 2016.

Paralel dengan itu, semua SKPD harus menyusun Rencana Strategis (Renstra). Menurut Pasal 97 ayat (7) Permendagri No. 54 Tahun 2010, rancangan akhir SKPD harus sudah disahkan dengan keputusan kepala daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah Perda tentang RPJMD ditetapkan (atau tanggal 17 September 2016). Selanjutnya menurut Permendagri No. 54 Tahun 2010 Pasal 97 ayat (8), penetapan Renstra SKPD oleh kepala SKPD paling lama 7 (tujuh) hari setelah Renstra SKPD disahkan oleh kepala daerah (atau tanggal 24 September 2016).

Berbeda dengan sebelumnya, dalam penyusunan RPJMD dan Renstra SKPD kali ini sangat ditekankan keselarasan dan sinkronisasi yaitu antara RPJMD dengan RPJMN (dalam hal ini RPJMN Sub Bidang Kesehatan), dan antara Renstra SKPD dengan RPJMD Bidang Kesehatan. Keselarasan dan sinkronisasi ini penting untuk menjaga semangat NKRI dan menjamin keselarasan dan sinkronisasi rencana pembangunan dari pusat hingga ke daerah.

Dalam konteks demikian, Bappenas yang didukung oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM dan AIPHSS, telah menyusun Modul Sinkronisasi RPJMD – RPJMN Sub Bidang Kesehatan. Modul ini dikembangkan dalam format hardcopy dan versi online, yang dilengkapi dengan Modul Pembelajaran dan Buku Kerja untuk memudahkan upaya sinkronisasi yang diharapkan. Dengan kebijakan "money follow programs" yang ditekankan Presiden Joko Widodo, sinkronisasi tersebut akan menjadi "jembatan" untuk memastikan disalurkannya dana APBN ke daerah dan sinergisnya program yang akan dilakukan.

Berdasarkan latar belakang demikian, upaya sosialisasi Modul Sinkronisasi ini dianggap penting karena bisa membantu tugas kepala daerah yang baru saja dilantik. Untuk itu, PKMK FK UGM bermaksud menyelenggarakan Seminar dan Workshop Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan.

  TUJUAN

  1. Memahami RPJMN 2015-2019 dan kaitannya dengan kebijakan sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan
  2. Memahami konsep dan tahap-tahap sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan
  3. Memahami metode pembelajaran Modul Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan
  4. Mengetahui pendekatan sinkronisasi Renstra SKPD-RPJMD.
  5. Menyepakati tindak lanjut hasil Seminar.

  NARASUMBER

  • Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D (Kasbdit Kesehatan Masyarakat)- Bappenas
  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
  • DR. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes
  • Moh. Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH

  PESERTA

  • Bappeda Provinsi, Kabupaten/Kota dari daerah yang mengikuti pemilukada 9 Desember 2015
  • Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dari daerah yang mengikuti pemilukada 9 Desember 2015
  • Dosen
  • Konsultan
  • Mahasiswa S2/S3

  WAKTU DAN TEMPAT

  • Waktu: Tanggal 17 Juni 2016, jam 08.30 – 11.30 WIB
  • Tempat: Ruang Theater , Gedung Perpustakaan lantai 2, Fakultas Kedokteran UGM

  AGENDA

Jam

Materi

Nara Sumber

Moderator

Metode

08.00 – 08.30

Registrasi Peserta

Panitia

   

08.30 – 09.00

Pembukaan dan Pengantar Seminar/Workshop

video

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

MC

 

09.00 – 09.45

RPJMN dan Kebijakan Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan

video

Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D (Kasubdit Kesehatan Masyarakat-Bappenas RI

materi

Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

Ceramah Tanya Jawab

09.45 – 11.15

Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan; dan Sinkronisasi Renstra SKPD dengan RPJMD

video

DR. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes

materi

Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

Seminar

Metode Pembelajaran Modul Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan, dan Contoh Aplikasinya

diskusi

Moh. Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH

11.15 – 11.30

Rencana Tindak Lanjut dan Penutup

video

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

   


PEMBIAYAAN

Seminar ini tidak dipungut biaya.

PENUTUP

Demikian Kerangka Acuan ini disusun sebagai dasar pelaksanaan kegiatan. Dalam implementasinya, sangat terbuka untuk dilakukan penyesuaian sesuai perkembangan dan kebutuhan.

 

 

 

Reportase Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era MEA

Yogyakarta - PKMK FK UGM menyelenggarakan pertemuan diskusi kedua dari Seri Seminar Perhimpunan Profesi pada Sabtu, 20 Februari 2016. Diskusi ini mengangkat tema Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Para pembicara dan pembahas dari bagian PPSDM Kementerian Kesehatan, PKMK, POGI, KKI, IDI, dan PAPDI hadirdalam seminar ini.

Dalam konteks MEA ini ada potensi konflik antara Ikatan Profesi dengan keinginan masyarakat. Masyarakat ingin lebih banyak dokter agar akses lebih baik. Sementara itu ada kemungkinan Ikatan Profesi berusaha menahan masuknya dokter asing. Bermula dari kekhawatiran inilah kemudian seminar ini diselenggarakan.

Diskusi dimulai dengan presentasi dari dr. Asjikin Iman H. Dachlan, MHA, Kepala Pusrengun PPSDM Kementerian Kesehatan dan Dr. dr. Andreasta Meiala, M.Kes dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Dr. Asjikin menjelaskan mengenai beberapa regulasi dan kesepakatan yang telah diatur dalam rangka MEA, sedangkan dr. Andreas mengemukakan beberapa data mengenai kondisi lapangan tenaga kesehatan di beberapa negara. Terdapat kesimpulan bahwa negara-negara ASEAN saat ini masih memproteksi tenaga kesehatan Warga Negara Asing dan bersepakat untuk hanya saling bertukar teknologi informasi. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang sangat diminati untuk kerja dokter spesialis dari asing, membangun Rumah Sakit dan mengekspor pasien ke luar negeri. Meski sudah terdapat beberapa regulasi yang mengatur, namun Indonesia masih memiliki soft door policy sehingga dibutuhkan strategi yang lebih matang dalam menghadapi MEA, apakah strategi bertahan atau penetrasi ke luar negeri, atau untuk menambah supply tenaga kesehatan yang kurang. Terutama adanya klausul bahwa jika aturan lokal tidak sesuai dengan aturan internasional, seperti adanya ketimpangan rasio tenaga kesehatan, maka aturan pelarangan masuknya tenaga kesehatan asing dapat ditembus.

Setelah presentasi, dilanjutkan dengan diskusi bersama para pembahas yaitu DR. dr. Kiki Lukman, M(Med)Sc, Sp.B.KBD, FCSI (Wakil ketua MKKI) sebagai perwakilan IDI Pusat, Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) (Ketua Divisi Pendidikan KK) dari Konsil kedokteran indonesia, dr. Nurdadi Saleh, SpOG dari POGI Pusat , dan DR. dr. Zulkifli Amin, SPPD-KP dari Kolegium PAPDI. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini membahas bahwa perhimpunan profesi tidak sepenuhnya menolak MEA, sebaliknya beberapa perhimpunan profesi telah menyiapkan banyak hal dalam persiapan menghadapi MEA. Selain itu, para perhimpunan profesi menginginkan disusunnya suatu regulasi tentang masuknya tenaga kesehatan asing dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia agar mendapatkan pelayanan yang benar, termasuk juga melindungi dokter-dokternya, jangan sampai dokter Indonesia justru tidak bisa mencari lapangan pekerjaandi tanah air sendiri. Diperlukan pula penelitian lebih lanjut tentang distribusi

Dokter serta akar masalah lambat dan kurangnya layanan kesehatan, apakah dari alat yang rusak atau penganggaran dana kesehatan yang kurang. Pada akhirnya diperlukan terobosan baru dari pihak perhimpunan profesi, kementerian kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, dan berbagai pihak yang terkait untuk mengatasi masalah ketimpangan distribusi dokter dan dokter spesialis-subspesialis agar tidak menjadi justifikasi bagi masuknya dokter asing ke Indonesia.

Sebagai ringkasan dan kesimpulan, posisi IDI dan KKI tidak sepenuhnya menolak MEA. Ke depan, diperlukan kemampuan diplomasi yang baik untuk melindungi kepentingan masyarakat Indonesia dan anggota perhimpunan profesi. Jangan sampai IDI menjadi public enemy karena tidak pandai berdiplomasi. Selain itu, dibutuhkan pula data yang lebih detail tentang spesialis dan sub-spesialis serta menjadikan residen sebagai pekerja dokter yang sedang magang melalui academic health system yang lebih baik. Dengan kemampuan menyusun strategi persiapan yang lebih matang dalam menghadapi MEA, diharapkan kita dapat menjadikan MEA sebagai peluang untuk memperbaiki status kesehatan di Indonesia, bukan sebagai ancaman.

Reporter: Noor Afif Mahmudah

{jcomments on}

Reportase Seminar Peran IDI & Perhimpunan Profesi dalam Memperjuangkan Hak Residen dan Fellow dalam Proses Pendidikan

Yogyakarta – Jum'at, 4 Maret 2016 Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan UGM bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran UGM telah menyelenggarakan Seminar Perhimpunan Profesi Diskusi yang ke-3 dengan judul "Peran IDI dan dan Perhimpunan Profesi dalam memperjuangkan hak residen dan fellow dalam proses pendidikan" di Ruang Theater, Gedung Perpustakaan FK UGM. Seminar ini terdiri dari dua sesi dan mendatangkan berbagai pembicara serta pembahas dari AIPKI, ARSPI, PERSI, IDI, IKABI, Direktur RSUP dr. Sardjito, dan Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan.

  Pengantar

Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Annual Scientific Meeting FK UGM 2016 dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Board PKMK UGM. Acara ini terselenggara atas kerja sama PKMK FK UGM dan Roche. Laksono mengutarakan tujuan dari seminar ini untuk membahas kemajuan proses pemenuhan hak residen dan fellow sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran; membahas peranan IDI dan Perhimpunan Dokter Ahli dalam pemenuhan hak residen dan fellow; serta membahas bentuk gabungan antara university-based dengan hospital-based training untuk residen dan fellow dalam Academic Health System.

  Sesi I - Pembicara

Sesi pertama membahas mengenai apakah residen dan fellow merupakan dokter yang bekerja dalam pendidikan ataukah seorang siswa? Apakah ada kemajuan dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran?. Sesi ini diawali dengan presentasi oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. Laksono memaparkan tentang setelah 2 tahun UU Pendidikan Kedokteran disahkan, masih tampak sistem pendidikan kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan berjalan secara terpisah. Diperlukan adanya integrasi antara duasistem tersebut untuk mencapai pelayanan kesehatan yang lebih baik. Ditekankan pula bahwa residen dan fellow bukan siswa biasa dan tidak dapat dipisahkan dengan SDM kesehatan lain di Rumah Sakit, dimana mereka juga memiliki hak sebagai perkerja seperti hak mendapatkan insentif, serta hak untuk beristirahat. Dukungan dari perhimpunan profesi seperti IDI sangat dibutuhkan dalam reformasi ini.

  Sesi I – Pembahasan Tahap ke-1

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pertama oleh beberapa pembahas yaitu Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., Sp.OG(K) sebagai perwakilan ketua AIPKI dari Pokja Spesialis dan Subspesialis, Prof. dr. H. Abdul Khadir, Ph.D., Sp.THT/KL(K)., MARS selaku Ketua 1 ARSPI yang juga menjabat sebagai Direktur RS Dharmais, serta dr. Kuntjoro A. Purjanto, MMR sebagai ketua PERSI.

Pada sesi pembahasan tahap ini, Prof. dr. Ova Emilia mendukung reformasi ini dan mengusulkan misi dari reformasi adalah untuk meningkatkan bentuk tanggung jawab residen dari pendidikan tidak hanya dari pencapaian segi kompetensi saja, namun juga meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan. Pihak ARSPI juga sangat mendukung dan menyatakan bahwa ke depannya harus ada reformasi serta diharapkan adanya penguatan Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan melalui Academic Health System. Beliau juga menegaskan kembali tentang tiga hak residen yang harus dipenuhi berdasarkan UU Dikdok, yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk mendapatkan insentif, dan hak untuk mendapatkan istirahat. Ketua PERSI mengutarakan bahwa PERSI menunggu aplikasi rundown serta roadmap yang jelas dari reformasi ini, agar bersifat akuntabel dan jelas jalan eksekusinya. Selain itu, dibutuhkan pula pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tahu dan bisa memenuhi keadilan dan pemerataan kesehatan di seluruh Indonesia. Hal ini dapat terwujud jika adanya komitmen yang kuat dari semua pihak terkait.

Setelah pembahasan kemudian terdapat diskusi yang sangat menarik antara pembahas dengan peserta seminar. Salah satu peserta, dr. Endro Basuki, Sp. BS dari RSUP dr. Sardjito menyatakan bahwa residen harus dimanusiakan. Target utama adalah bagaimana residen selesai masa pendidikan dengan selamat, serta yang paling mudah selain pemberian insentif adalah residen tidak perlu membayar biaya PPDS karena sudah dibiayai oleh pemerintah atau instansi lain. Dari sesi ini dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak setuju bahwa residen perlu mendapatkan haknya, dan detail operasional tentang pemenuhan hak ini perlu dibicarakan lebih lanjut.

  Sesi I – Pembahasan tahap ke-2

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tahap ke-2. Prof. DR. Dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) selaku Ketua MKKI – IDI menyatakan bahwa IDI perlu memprioritaskan status residen di Rumah Sakit sebagai apa, kemudian sumber alokasi dana insentif dari mana, serta dilaksanakan dalam jumlah yang memadai. IDI berharap bahwa ada dukungan dari pemerintah untuk dapat mencapai tujuan ini.

Ketua IKABI Pusat, yakni dr. R. Suhartono, Sp.BT-KV menekankan perlunya kesamaan persepsi tentang residen dari pihak fakultas, perhimpunan profesi, dan kementerian kesehatan (Kemenkes). Selain itu dalam penerimaan residen, harus disesuaikan dengan kebutuhan dari Kemenkes sehingga terdapat kesesuaian antara jumlah residen yang diterima oleh universitas dan kebutuhan di Rumah Sakit.

dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS sebagai kepala pusat pendidikan SDM Kesehatan mengutarakan tentang adanya pembentukan perencanaan yang disusun bersama oleh dinas kesehatan kabupaten di mana kini sedang konsolidasi peta kebutuhan SDM tenaga kesehatan selama 5 tahun mendatang. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan ini tidak hanya diperlukan di RS Pemerintah saja, namun juga RS Swasta.

Pada diskusi pembahasan tahap ini diutarakan beberapa pendapat, seperti harapan bahwa dosen klinis dari residen perlu dimanusiakan juga agar mendapatkan porsi yang sesuai. Suara dan aspirasi dari Persatuan Dokter Dosen Klinis (PERDOKDI) juga diharapkan untuk turut didengar dalam penyusunan PP dari UU Dikdok. Ditekankan pula perlu diciptakan iklim yang sehat dan kondusif tidak hanya untuk residen, namun juga untuk dokter senior. Sembari menanti penyusunan PP, pihak-pihak yang bersangkutan juga mempersiapkan yang dibutuhkan sehingga ketika PP telah jadi bisa langsung dieksekusi.

  Sesi II – Pembicara

Pada sesi kedua dilakukan pembahasan mengenai Harapan di masa mendatang tentang skenario Academic Health System di Indonesia berdasarkan PP RS Pendidikan dan harapan untuk badan PPSDM Kementerian Kesehatan. Pembicara sesi ini yaitu Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, Dipl. PH sebagai ketua minat MMR FK UGM menyampaikan hasil data kajian pemberian insentif yang dilakukan di RSUP dr. Sardjito, RSUD dr. Moewardi, dan RSUP dr. Cipto Mangunkusumo.

Di Era JKN peningkatan jumlah pasien yang tidak diikuti oleh jumlah DPJP menyebabkan adanya pembagian beban kerja yang "dibungkus" oleh pendidikan. Dalam pembagian beban ini sudahkah ada pembagian beban kerja, kompensasi, dan keadilan yang jelas antara DPJP dan residen?
Dari hasil riset didapatkan bahwa ada beberapa bentuk pembagian insentif dari Rumah Sakit, namun dengan dasar acuan yang tidak jelas dan memiliki aturan masing-masing yang tergantung pada: status residen, regulasi yang mendukung, dan manajemen RS. Melalui riset, didapatkan pula bahwa residen sudah masuk dalam siklus manajemen, namun yang belum ada adalah sistem reward dan punishment bagi residen. Selain itu data jumlah residen, fellow, dan data kapasitas RS Pendidikan serta data dosen pendidik untuk pendidikan spesialis dan sub-spesialis masih sulit untuk ditemukan.

Prof. Laksono sebagai moderator menambahkan tentang Academic Health System di mana Fakultas Kedokteran sebagai pihak pengelola residen sehingga tetap dikenakan biaya SPP, namun yang membayar bukan pihak residen pribadi namun RS, Pemerintah daerah, atau kelompok tertentu yang membayar. Selain itu penetapan RS Pendidikan dan jejaring tidak bisa asal namun sesuai kebutuhan. Jika RS tidak membutuhkan adanya residen atau fellow, maka tidak perlu menjadi RS Pendidikan. Ijazah dan sistem kontrol mutu pendidikan yang mengeluarkan tetap universitas karena kondisi yang sulit keluar dari UU Sisdiknas.

  Sesi II – Pembahas

Pembahasan sesi ke-2 kali ini diisi oleh dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS (Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan), Prof. DR. dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) (Ketua MKKI – IDI), dan dr. M. Syafak Hanung, Sp.A (Direktur Utama RSUP dr. Sardjito). Melalui pembahasan kali ini didapatkan fakta bahwa data mengenai residen yang melalui tugas belajar di Pusat Pendidikan SDM Kesehatan dapat diakses jika perlu. Ketua MKKI juga menyampaikan bahwa data-data di perhimpunan profesi juga ada dan tengah dirapikan, serta diharapkan minggu depan sudah dapat dirilis. Sedangkan dr. Syafak menyampaikan bahwa di RSUP dr. Sardjito telah membentuk tim ad hoc untuk membicarakan tentang bagaimana sistem pendidikan residen dapat diatur dengan lebih baik agar dapat memenuhi hak dan kewajiban dari residen terhadap RS Pendidikan.
Dari diskusi pada sesi ini diungkapkan bahwa semua pihak telah sepakat bahwa residen itu juga termasuk pekerja pelayanan kesehatan sehingga hak insentif dan jam istirahat harus diperjuangkan. Tentang jam istirahat, ada kaidah kesehatan kerja yang seharusnya diimplementasikan pada residen yang tidak menghambat residen untuk meraih target kompetensi.

  Penutup dan Kesimpulan

Seminar yang berjalan selama kurang lebih 6 jam ini ditutup dengan dukungan penuh dan kesepakatan dari semua pihak baik dari Perhimpunan profesi, RS Pendidikan, Fakultas Kedokteran, dan Kementerian Kesehatan tentang residen dan fellow juga termasuk tenaga medis RS sehingga harus dipenuhi hak dan kewajibannya. Langkah ini jangan hanya berhenti di PP saja, namun juga harus sampai teknis operasionalnya. Ke depannya akan dibentuk tim yang membahas teknik operasional dari berbagai stakeholder. IDI menyatakan siap untuk menjadi anggota tim. RSUP dr. Sardjito juga sedang menyiapkan tim ad hoc untuk teknis operasional ini. Kemenkes bersedia menjadi inisiator dan bekerjasama dengan Kemenristek dikti. Serta Kemenkes berencana akan mengumpulkan dan melibatkan kolegium serta RS Pendidikan untuk dokter spesialis dan subspesialis. Dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak bertekad untuk terus menjalankan amanat UU dan siap untuk memfasilitasi proses ini.

Oleh: Noor Afif Mahmudah dan M. Ali Rosadi

 

back

Hasil Pertemuan II:

Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas

Yogyakarta, 18 Februari 2016

LATAR BELAKANG

Kebijakan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kegiatan promotif-preventif di puskesmas tahun 2016 ini tercermin dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Hal ini merupakan tonggak penting karena akhirnya keberpihakan pada kegiatan promotif-preventif bisa tercermin dalam alokasi anggaran yang jelas dan relatif besar.

Dalam konteks demikian, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini diselenggarakan dalam 2 (dua) kali. Seminar ke-1 telah dilakukan pada Kamis 11 Februari 2016, sedangakan Seminar ke-2 dengan tema: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas juga telah diselenggarakan pada Kamis 18 Februari 2016. Resume hasilnya disampaikan dalam laporan singkat ini.

RESUME

  1. Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan sebagai acuan kegiatan promosi kesehatan mulai dari level provinsi, kabupaten/kota, hingga ke puskesmas. Dasar pemikirannya antara lain:
    • Jangka Waktu 5 Tahun. Seperti halnya RPJMD dan Rencana Strategis, Grand Design Promosi Kesehatan memiliki jangka waktu 5 tahun. Hal ini menguntungkan karena kegiatan promosi kesehatan yang bertujuan mengubah perilaku sulit dilihat hasilnya dalam satu tahun atau jangka pendek. Dengan adanya Grand Design, ada acuan (dan diharapkan jaminan) untuk mengimplementasikan strategi promosi kesehatan secara berkesinambungan (minimal 5 tahun) agar perubahan perilaku dapat terjadi.
    • Fokus Perubahan Perilaku terkait Masalah Kesehatan Prioritas. Grand Design Promosi Kesehatan sejalan dengan Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota karena harus mengacu pada masalah kesehatan prioritas yang ada dan dirumuskan dalam Renstra. Dengan demikian, posisi Grand Design Promosi Kesehatan adalah "penjabaran" Renstra di bidang promosi kesehatan dengan focus perubahan perilaku terkait masalah kesehatan prioritas.
      Catatan: Masalah Kesehatan Prioritas adalah 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK), Sanitasi Terpadu Berbasis Masyarakat (STBM), Posbindu, ATM (AIDS, TB, Malaria), dan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS).
    • Integrasi Kegiatan di Semua Level. Grand Design di daerah dikembangkan di level provinsi kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan penyusunan rencana kerja kegiatan promosi kesehatan di puskesmas. Dengan prinsip integrasi seperti ini, kegiatan promosi kesehatan dapat lebih fokus untuk mendukung upaya mengatasi masalah kesehatan prioritas di suatu wilayah khususnya terkait perubahan perilakunya.
    • Pendekatan Akademis dan Praktis. Grand Design disusun dengan mengacu pada sistematika yang dianjurkan dalam teori. Meskipun demikian, penyusunan Grand Design tidak terlalu teoritis. Untuk itu kombinasi dengan pendekatan praktis juga dilakukan agar Grand Design yang dihasilkan lebih membumi.
    • Fokus pada Program Nyata. Kegiatan promosi kesehatan selama ini seringkali dianggap "abstrak." Salah satu penyebabnya adalah upaya tersebut tidak dijabarkan dalam "bahasa program" yang jelas indikatornya dan dapat dihitung biayanya. Grand Design Promosi Kesehatan ini berfokus pada program nyata untuk menghindari ketidakjelasan (abstrak) tersebut.
    • Dimensi Upaya Promosi Kesehatan Terintegrasi dengan BOK. Secara operasional, Grand Design dijabarkan ke dalam program yang mencakup empat dimensi yaitu KIE, Pemberdayaan Masyarakat, Advokasi, dan Kemitraan dengan sasaran Rumah Tangga, Pelayanan Kesehatan, Sekolah, Tempat Kerja, dan Tempat Umum. Keempat dimensi tersebut sudah tersedia "menunya" dalam Juknis BOK dari Kementerian Kesehatan. Dengan demikian, penganggaran implementasi Grand Design ini di level puskesmas tidak menjadi masalah.
    • Terbuka Inovasi dalam Implementasi di Level Lokal. Posisi Grand Design ini berada di level "meso" (antara makro dengan mikro). Dalam penjabarannya di level mikro (puskesmas) sangat terbuka peluang untuk melakukan inovasi baik teknologi maupun pendekatannya sesuai kebutuhan setempat. Adanya Grand Design untuk memastikan agar semua kegiatan promosi kesehatan dapat terfokus dan terintegrasi di semua level.
  2. Dari aspek kebutuhan SDM, dalam penyusunan Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan Tim Tenaga Ahli (minimal S2 Promosi Kesehatan). Di sisi lain, untuk implementasi di level puskesmas, dibutuhkan tenaga promoter kesehatan. Dalam Juknis BOK, puskesmas dapat mengontrak tenaga promoter kesehatan. Namun, yang belum jelas adalah sumber anggarannya untuk mengontrak tenaga ahli tersebut.
  3. Secara teknis, bagaimana menyusun (how to) Grand Design agar dapat direplikasi di semua daerah, masih harus dibahas lebih lanjut.

 

{jcomments on}

Grand Design Sebagai Tools Kegiatan Promotif Dan Preventif Yang Terintegrasi

Grand Design promosi kesehatan diharapkan memiliki bentuk lebih aplikatif , dan bisa menjadi kebijakan nasional yang bersifat lokal specifik. Hal ini yang menjadi perdebatan panjang dalam seminar seri kedua yang bertajuk Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas. Seminar ini diselenggarakan oleh PKMK FK UGM pada Kamis 18 Februari 2016.

Melalui seminar seri kedua ini PKMK FK UGM ingin menyepakati bagaimana bentuk dari Grand Design dari promosi kesehatan. Selama ini sering terjadi disintegrasi antara kegiatan promotif dan preventif, yang seharusnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, promotif harus ada disetiap program-program preventif dan dilakukan oleh tenaga ahli. Bagaimana hal tersebut diatur dan siapa yang mengatur akan dikemas dalam sebuah Grand Design sehingga sangat penting untuk dirumuskan.

Yayi Suryo Purbandari (Departemen Perilaku Kesehatan,Lingkungan dan Kedokteran Sosial) sebagai narasumber dalam seminar ini menjelaskan bahwa Grand Design disusun disetiap level, ada yang ditingkat nasional, provinsi, ada yang ditingkat kabupaten.

Menambahkan pernyataan tersebut, Rita Damayanti (Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia) sebagai narasumber juga mengatakan bahwa Grand Design minimal harus menyinggung 5 program utama dalam promosi kesehatan (Gerakan 1000 hari pertama kehidupan , STBM, Posbindu, ATM (AIDS, TB,Malaria), UKS), dan tetap harus menyambung program generiknya BOK. Grand Design harus cukup efisien, dan fleksibel serta jelas. Fleksibel artinya dapat disesuaikan dengan keadaan daerah masing-masing.

Yayi Suryo Purbandari (Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial) menjawab seharusnya Grand Design dibuat oleh Tim Ahli, dan Grand Design yang ada sekarang ini masih terus direview.

Menyambung hal tersebut Dwi Handono Sulistyo (Konsultan PKMK FK UGM) menyampaikan bahwa pembahasan Grand Design ini tidak akan sampai pada seminar seri kedua ini saja, akan ada seminar lanjutan untuk mematangkan konsep Grand Design tersebut.

{jcomments on}

Resume Hasil Pertemuan 1: Kajian Prospek Kegiatan Promotif-Preventif Di Puskesmas Dalam Anggaran Kemenkes

back

LATAR BELAKANG

Kebijakan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kegiatan promotif-preventif di puskesmas tahun 2016 ini tercermin dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Hal ini menjadi tonggak penting karena akhirnya keberpihakan pada kegiatan promotif-preventif bisa tercermin dalam alokasi anggaran yang jelas dan relatif besar.

Anggaran Kementerian Kesehatan di tahun 2016 ini perlu diketahui oleh para ahli promosi kesehatan. Ada beberapa pertanyaan mendasar, antara lain:

  1. Apakah "menu" kegiatan promosi kesehatan yang bersifat generik tersebut dapat diterapkan dan sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-masing puskesmas?
  2. Bagaimana bentuk kegiatan riil promosi dan preventif kesehatan di Puskesmas dengan menggunakan dana yang ada?
  3. Apakah memang diperlukan system kontrak?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini diselenggarakan dalam dua kali. Seminar pertama telah dilakukan pada Kamis, 11 Februari 2016. Resume hasilnya disampaikan dalam laporan singkat ini. (Catatan: Seminar ke-2 dengan tema: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas akan diselenggarakan pada Kamis 18 Februari 2016).

RESUME

Dengan dukungan dana BOK 2016, prospek kegiatan promotif-preventif di puskesmas menjadi cerah. Prospek cerah ini akan tercapai jika berbagai prasyaratnya terpenuhi antara lain:

  • Dinas Kesehatan Kab/Kota harus dapat menjabarkan Juknis DAK Bidang Kesehatan dari pusat ke dalam Juklak sesuai situasi dan kebutuhan setempat. Hal ini dibutuhkan sebagai acuan bagi puskesmas termasuk dalam membuat indicator kinerja bagi tenaga kontrak promoter kesehatan.
  • Lingkungan internal kesehatan (mulai dari level kabupaten hingga ke puskesmas) harus benar-benar memahami kebijakan baru tersebut agar bisa mendukung dan atau melaksanakan kegiatan tersebut dengan baik. Namun, dikhawatirkan belum semua pegawai memahami hal ini.
  • Pemda setempat perlu diadvokasi agar penyerapan dana BOK ini bisa dilakukan sejak awal tahun. Permasalahan muncul karena tahun ini dana BOK harus melalui APBD sehingga ada pemda yang mengharusnya penyerapan dana BOK harus sesuai mekanisme APBD. Hal ini berdampak pada terlambatnya penyerapan.
  • Kegiatan promosi kesehatan tidak bisa lagi dilakukan secara rutin dengan pendekatan klasik (tanpa inovasi atau tidak sesuai dengan kebutuhan setempat). Agar upaya ini efektif, kegiatan tersebut harus berdasarkan suatu Grand Design. Grand Design ini disusun di level provinsi, kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan pelaksanaan di level puskesmas.

Kualifikasi tenaga promoter kesehatan yang dibutuhkan tergantung pada level organisasi dan tugas yang harus dilakukan. Jika hanya sebagai eksekutor di puskesmas, maka cukup D3 Kesehatan (tapi jika harus membuat analisis, harus S1). Untuk level kabupaten/kota, minimal S1 Promkes. Untuk level provinsi, minimal S2 Promkes. Artinya, di semua level tenaga promoter kesehatan dibutuhkan dengan kualifikasi yang sesuai.
Bagi daerah yang sulit untuk mendapatkan tenaga promoter kesehatan (seperti di Indonesia Bagian Timur), muncul ide agar dilakukan pendekatan teknologi informasi yang paling sesuai.

{jcomments on}

 

Tantangan Promosi Kesehatan di tahun 2016 , What do we need?

11febkki

Menyambut tahun emas Promkes, Indonesia memerlukan Promoter Kesehatan yang bersifat lokal spesifik dan menu kegiatan promotif preventif yang tidak generik. Begitulah kira-kira kesimpulan hasil seminar yang diselenggarakan PKMK FK UGM pada Kamis 11 Februari 2016 yang bertajuk Kajian Prospek Promotif dan Preventif di Puskesmas Dalam Anggaran Kemenkes 2016.

"Tahun ini merupakan tahun istimewa bagi sektor kesehatan karena Pemerintah Pusat menaikan anggaran untuk kesehatan terutama kegiatan promosi kesehatan dari tahun sebelumnya, sehingga penting untuk membuat suatu model atau bentuk kegiatan yang efektif agar dana tersebut terserap dengan tepat ", ungkap LaksonoTrisnantoro dalam pembukaan seminar.

Melalui seminar ini PKMK mencoba mengkritisi Permenkes No.82 tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016. Ada dua poin, yaitu menu upaya promotif dan preventif, dan sistem kontrak tenaga promoter kesehatan, dalam konteks ini Dwi Handono Sulistyo (Konsultan PKMK FK UGM) juga mengarahkan para ahli promkes untuk membuat suatu grand design dalam pelaksanaan upaya promotif-preventif yang terarah.

Hal tersebut merupakan langkah awal untuk mengoptimalkan Dana DAK non fisik yang dialokasikan untuk kegiatan promotif-preventif yang dirasakan selama ini masih banyak gagal di daerah.

Menu promosi kesehatan dalam Juknis DAK selain generik juga tidak up-to date , ungkap salah satu penanya dari webinar.

Menanggapi hal tersebut Dedi Kuswenda (Direktur Promosi Kesehatan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes) menyatakan bahwa hal tersebut sebenarnya masih bisa di modifikasi, dan hal tersebut juga merupakan upaya untuk tetap mengingatkan tugas Puskesmas sebagai pelaksana UKM, tidak hanya UKP saja seperti yang selama ini terjadi.

Tanggapan mengenai menu kegiatan promosi kesehatan juga dibahas oleh Veronika Evita Setyanignrum (Kepala Puskesmas Moyudan, Sleman, DIY) Beliau membenarkan bahwa menu promosi kesehatan tersebut masih generik dan untuk mengatasi hal tersebut, Puskesmas Moyudan membuat petunjuk kegiatan operasional agar lebih mudah diimplementasikan di daerah.

Poin kedua yang dibahas mengenai kualifikasi tenaga promkes yang akan di kontrak. Fatwa Sari Tetra (Departemen Perilaku Kesehatan,Lingkungan dan Kedokteran Sosial) memberikan masukan bahwa kualifikasi tenaga promkes yang dikontrak seharusnya mempertimbangkan kearifan lokal. Dedi Kuswenda menyampaikan bahwa kualifikasi tenaga ahli sesuai dengan levelnya yaitu level provinsi, kabupaten/kota, dan pengembangan sistem kontrak dimulai dengan grand design untuk menjadi acuan nantinya.

Seminar ini merupakan seminar seri pertama dalam rangkaian seminar Promosi Kesehatan dan akan dilanjutkan pada Hari Kamis, 18 Februari 2016 mendatang dengan pematangan mematangkan konsep grand design.

{jcomments on}

  • angka jitu
  • toto 4d
  • toto
  • toto macau
  • rtp live slot
  • bandar togel 4d
  • slot dana
  • toto sdy
  • toto slot
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • bandar togel
  • toto macau
  • bandar slot
  • toto togel
  • togel4d
  • togel online
  • togel 4d
  • rajabandot
  • toto macau
  • data toto macau
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • judi online
  • nexus slot
  • agen slot
  • toto 4d
  • slot777
  • slot777
  • slot thailand
  • slot88
  • slot777
  • scatter hitam
  • toto slot
  • slot demo
  • slot777
  • toto 4d
  • toto slot
  • agen slot
  • scatter hitam
  • slot 4d
  • bandar slot/
  • bandar slot/
  • toto slot
  • mahjong slot
  • slot jepang
  • slot777
  • slot dana
  • slot dana
  • toto slot
  • bandar slot
  • scatter hitam
  • toto slot
  • slot 2025
  • toto slot
  • bandar slot
  • agen slot
  • slot dana
  • slot777
  • bandar slot
  • slot thailand
  • toto slot
  • slot resmi
  • togel4d
  • slot resmi
  • KW
  • slot online
  • slot gacor
  • slot88
  • slot
  • situs slot
  • slot777
  • slot gacor
  • pgsoft
  • mahjong
  • slot demo
  • slot 4d
  • slot scater hitam
  • judi online
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • slot vip
  • demo slot
  • slot bet kecil
  • slot bet 400
  • slot gacor