Seminar

Kepemimpinan yang Inovatif

Fakultas Kesehatan Masyarakat
Univeristas Sam Ratulangi Manado

  LATAR BELAKANG

Kepemimpinan menjadi sebuah kemudi yang memeganng peranan penting terhadap maju dan mundurnya sebuah organisasi. Sebuah kepemimpinan yang baik akan memberikan kemajuan dan keberhasilan dalam mencapai tujuan dari organisasi. Masalahnya adalah banyak para pemimpin yang merasa memiliki kemampuan tapi kenyataannya membuat organisasi itu bukan menjadi maju tapi malah menjadi mundur. Banyak pemimpin kekurangan pemahaman yang baik bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik.

Berdasarkan latar belakang tersebut makanya dipandang perlu dilakukan sebuah mini seminar untuk membekali para pemimpin dan calon pemimpin untuk dapat belajar dari seseorang yang memiliki pengalaman nyata dalam menjalankan sebuah organisasi dengan baik dan inovatif

  TUJUAN KEGIATAN

  1. Memperluas pemahaman peserta mini seminar apa arti sebuah kepemimpinan
  2. Membagikan pengalaman untuk menjadi sebuah pemimpin yang baik dan yang selalu berinovatif
  3. Memotivasi peserta untuk dapat menjadi pemimpin yang baik

PEMBICARA

Prof. dr. Jootje M.L Umboh, MS

JADWAL ACARA

Selasa, 20 November 2015
Pukul 10.00 Wita

Kegiatan ini disediakan sertifkat bagi yang membutuhkannya dan akan dikirimkan dengan membayar biaya kirim sebesar Rp. 50.000

  Keterangan lebih lanjut silakan menghubungi :

Chrisye Mandagi
081281471779 / This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sam Ratulangi Manado

 

 

Term Of Reference

Kuliah Umum Mahasiswa baru S3
Kesehatan Masyarakat

Padang, 13 Oktober 2015

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

  PENDAHULUAN

Masalah pokok dalam pembelajaran mahasiswa program pasca sarjana S3 kesehatan masyarakat fakultas kedokteran universitas Andalas adalah ketidaksiapan dalam mempersiapkan diri dari berbagai aspek untuk melakukan penelitian yang berorientasi kepada penelitian tentang masyarakat luas. Hal ini membuat mahasiswa menjadi lebih lama dalam melakukan penelitian yang menjadi kewajiban yang harus diselesaikan oleh mahasiswa, untuk itu perlu masukan dan arahan dari berbagai narasumber yang sudah ahli dibidangnya untuk menunjang pendidikan dan penelitian yang diperlukan oleh mahasiswa, apalagi penelitian yang didapatkan haruslah merupakan temuan baru yang inovasi dan kreatif dalam dunia kesehatan masyarakat.

Berdasarkan kebutuhan diatas , maka pengelola S3 kesehatan masyarakat merasa perlu untuk memberikan kuliah umum kepada mahasiswa baru untuk mempersiapkan diri dalam proses perkuliahan dan proses pembuatan disertasi.

  TUJUAN KEGIATAN

  1. Memperluas pengetahuan mahasiswa mengenai tujuan dari kesehatan masyarakat itu sendiri
  2. Membuka pemikiran mahasiswa dalam merancang penelitian yang inovasi dan kreatif
  3. Memotivasi mahasiswa agar selau tekun, ulet , dan pantang menyerah dalam melaksanaan penelitian

Kegiatan untuk mencapai tujuan

Kuliah umum
kuliah dirancang untuk menambah pengetahuan mahasiswa dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat. Untuk itu diundang 2 pembicara tamu dari ANU (australian national university)

PENYELENGGARA

Prodi S3 Kesehatan masyarakat fakultas kedokteran Universitas Andalas

  JADWAL ACARA

No.

Hari/Tanggal

Pukul

Kegiatan

Tempat

1

Selasa, 13 oktober 2015

07.30 - 08.00
08.00 – 08.30
08.30 - selesai

  1. Registrasi
  2. Pembukaan Kuliah umum
  3. Kuliah umum oleh

Prof. Peter McDonald
Dr. Iwu Dwisetyani Utomo

Gedung IJ dan Gedung LPTIK Unand

 

 

Sifat Kebijakan dan
Perilaku Pengambilan Kebijakan

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

  Tujuan

  1. Memahami sifat kebijakan
  2. Memahami perilaku pengambilan kebijakan

Materi

Pada penugasan minggu lalu, kita telah menetapkan kebijakan di level mana yang ingin kita pengaruhi atau ubah. Kita telah pula melihat proses apa yang harus dilalui oleh usulan kebijakan dan institusi mana saja serta level mana saja (pusat, propinsi, kabupaten, lembaga) yang terlibat selama proses itu berlangsung. Berdasarkan analisis tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi siapa pengambil kebijakan. Hal ini mutlak harus kita lakukan karena tanpa itu kita tidak dapat menganalisa mereka.

Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman terhadap kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing pelaku kebijakan. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, sehingga tanggungjawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya.

Namun, ada baiknya pula kita terlebih dulu mengenali sifat dari kebijakan itu sendiri. Berdasarkan sifat dari kebijakan (Anderson, J.E., Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company, 2006) kebijakan publik dibagi ke dalam empat kategori, yaitu:

  1. Kebijakan substantif dan prosedural. Kebijakan substantif adalah kebijakan mengenai apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan substantif mengalokasikan keuntungan dan kerugian maupun biaya dan manfaatnya langsung kepada masyarakat. Misalnya, UU SJSN. Sebaliknya,kebijakan prosedural merupakan kebijakan yang berkaitan dengan bagaimana sesuatu akan dilakukan, atau siapa yang akan diberi kewenangan untuk mengambil tindakan. Contoh kebijakan prosedural adalah undang-undang atau peraturan atau ketetapan yang mengatur mengenai pembentukan suatu badan administratif tertentu serta kewenangan dan proses yang dimilikinya. Misalnya, UU BPJS.
  2. Kebijakan distributif, pengaturan (regulative), pengaturan sendiri (self-regulation), dan redistribusi.Kebijakan distributif adalah kebijakan dalam mengalokasikan pelayanan atau manfaat terhadap segmen tertentu dari masyarakat, yaitu individu, kelompok, perusahaan/lembaga atau masyarakat. Kebijakan distributif biasanya melibatkan penggunaan dana publik untuk membantu kelompok, masyarakat atau lembaga tertentu. Contohnya adalah kebijakan terkait program Raskin. Kebijakan pengaturan/regulatifadalah kebijakan yang memberlakukan larangan terhadap perilaku individu atau kelompok,membatasi sekelompok individu dan lembaga, atau sebaliknya, memaksa jenis perilaku tertentu. Biasanya kebijakan ini bersifat protektif atau mengatur kompetisi. Contohnya adalah peraturan tentang perijinan atau lisensi.Kebijakan pengaturan sendiri adalah kebijakan yang membatasi atau mengawasi terhadap suatu kelompok yang dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada kelompok tersebut untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka melindungi atau mempromosikan kepentingan dari anggota kelompoknya.Kebijakan redistributif adalah kebijakan atau program yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan dapat mendistribusikan kekayaan, hak kepemilikan dan nilai-nilai yang lain diantara berbagai kelas sosial masyarakat atau etnisitas di dalam masyarakat.
  3. Kebijakan material dan simbolik. Kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya komplet pada kelompok sasaran. Sedangkan, kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran
  4. Kebijakan yang melibatkan barang kolektif atau barang privast. Kebijakan public goods adalah kebijakan yang mengatur pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan private goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.

Berdasarkan pembagian kategori di atas, kita dapat mengidentifikasi bahwa usulan kebijakan kita merupakan kebijakan yang mana. Hal ini juga penting dilakukan karena perilaku pengambil kebijakan juga akan bergantung pada sifat kebijakannya.

Maka, seperti apa saja perilaku pengambil kebijakan itu? Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku pembuatan kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut(Nigro, F.A., dan Nigro, L.G., Modern Public Administration, New York: Harper&Row Publishers, 5th ed., 1980):

  1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar. Seringkali pejabat publik harus membuat keputusan karena adanya tekanan-tekanan dari luar. Pada modul yang lalu telah dibahas bahwa salah satu pembuatan kebijakan didasarkan pada asumsi rasional (yaitu parapengambil kebijakan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional), tetapi proses dan prosedur pembuatan kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan-tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusannya. Tekanan ini bisa saja berasal dari atasan atau dari lembaga lain.
  2. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme). Kebiasaan lama organisasi cenderung akan selalu diikuti kebiasaan itu oleh para pejabat publik kendati misalnya keputusan-keputusan itu telah dikritik sebagai sesuatu yang salah dan perlu di ubah. Kebiasaan-kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para pejabat publik yang baru dan mereka sering segan secara terang-terangan mengkritik atau menyalahkan kebiasaan-kebiasaan lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahulunya.
  3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat kebijakan banyak mempengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Misalnya dalam proses penerimaan/pengangkatan pejabat baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
  4. Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman yang terdahulu kadang berpengaruh pada pembuatan kebijakan. Misalnya, orang sering membuat keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggungjawab kepada pihak lain karena khawatir kalau wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan itu disalahgunakan.

Selain itu, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan pembuatan kebijakan sulit atau lambat, yaitu sulitnya memperoleh informasi yang cukup, bukti-bukti yang ada sulit disimpulkan; adanya berbagai macam kepentingan yang berbeda, sulitnya memperkirakan dampak kebijaksanaan, umpan balik kebijakan sering bersifat sporadis, proses perumusan kebijaksanaan tidak dimengerti dengan benar dan seterusnya.

Apalagi faktor lain yang mempengaruhi perilaku kebijakan? Faktor utama adalah konteksnya. Konteks kebijakan sangat menentukan arah kebijakan. Mengapa demikian? Karena pengambilan kebijakan sangat dipengaruhi oleh bukan hanya tatanan kelembagaan yang mungkin berubah sesuai konteksnya, tetapi juga oleh berbagai nilai, dan nilai-nilai ini dapat berubah pula tergantung pada konteksnya. Nilai-nilai yang dimaksud adalah(Anderson, J.E., Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company, 2006):

  1. Nilai-nilai politis (political Values).Keputusan-keputusan seringkali dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.
  2. Nilai-nilai organisasi (organization values). Keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanctions), menjaga status quo, dan sebagainya. Nilai dan budaya organisasi khususnya organisasi birokrasi seringkali sulit berubah, atau mengalami perubahan yang sangat lambat.
  3. Nilai-nilai pribadi (personal values). Seringkali pula keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pengambil kebijakan.
  4. Nilai-nilai kebijakan (policy values). Kebijakan juga bisa dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijaksanaan tentang apa itu "kepentingan publik",atau kebijakan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan
  5. Nilai-nilai ideologi (ideological values). Nilai ideologi dapat menjadi landasan pembuatan kebijaksanaan seperti misalnya kebijakan yang berpihak pada kelompok marjinal atau sebaliknya berpihak pada kelompok kapitalis.

Terakhir, sifat pengambilan kebijakan juga sering dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dan bias. Kesalahan-kesalahan umum sering terjadi dalam proses pembuatan keputusan (Nigro, F.A., dan Nigro, L.G., Modern Public Administration, New York: Harper&Row Publishers, 5th ed., 1980) yaitu:

  1. Cara berpikir yang sempit (cognitive nearsightedness). Adanya kecenderungan manusia membuat keputusan hanya untuk memenuhi kebutuhan seketika sehingga melupakan antisipasi ke masa depan. Pejabat publik pun sering membuat keputusan dengan dasar-dasar pertimbangan yang sempit dengan tanpa mempertimbangkan implikasinya ke masa depan.Atau, seringkali pula pembuat kebijakan hanya mempertimbangkan satu aspek permasalahan saja dengan melupakan kaitannya dengan aspek-aspek lain, sehingga gagal megenali problemnya secara keseluruhan.
  2. Adanya asumsi bahwa masa dapan akan mengulangi masa lalu (the future will repeat the past). Banyak anggapan bahwa situasi adalah stabil, orang akan bertingkahlaku sebagaimana para pendahulunya di masa yang lampau. Tetapi, keadaan sekarang jauh dari stabil. Banyak orang berperilaku di luar dugaan. Namun, kendatipun ada perubahan-perubahan yang besar pada perilaku masyarakat, masih banyak pejabat publik yang beranggapan bahwa perubahan-perubahan itu normaldan hanya bersifat sementara, serta kemudian akan segera kembali seperti sediakala.
  3. Terlampau menyederhanakan sesuatu (over simplification). Selain adanya kecenderungan untuk berpikir secara sempit, ada pula kencenderungan pembuat keputusan untuk terlampau menyederhanakan sesuatu. Misalnya dalam melihat suatu masalah,pelaku kebijakan hanya mengamati gejala-gejala masalah tersebut saja dengan tanpa mencoba mempelajari secara mendalam apasebab-sebab timbulnya masalah tersebut. Akibatnya, kebijakan sering tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalahnya malah ustru mungkin menimbulkan masalah-masalah baru.
  4. Terlalubergantung pada pengalaman satu orang (overreliance on one's own experience). Pada umumnya banyak orang meletakan bobot yang besar pada pengalaman mereka diwaktu yang lalu dan penilaian pribadi mereka. Walaupun seorang pejabat yang berpengalaman akan mampu membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dibanding dengan yang tidak berpengalaman, tetapi mengandalkan pada pengalaman dari seseorang saja bukanlah cara yang terbaik. Situasi dan konteks di masa lalu mungkin berbeda, para pihak yang terlibat juga kemungkinan berbeda, dan sebagainya.
  5. Kebijakan yang dilandasi oleh pra konsepsi pembuat keputusan. Dalam banyak kasus, kebijakan seringkali di landaskan pada prakonsepsi parapembuat kebijakan. Hal ini tidak terlalu salah tetapi tidak sepenuhnya tepat. Kebijakan akan lebih baik hasilnya kalau didasarkan pada temuan dan bukti-bukti (evidence-based). Sayangnya temuan-temuan ini sering diabaikan bila bertentangan dengan gagasan atau prakonsepsi pengambil kebijakan.
  6. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (unwillingness to experiment). Cara untuk mengetahui apakah suatu keputusan itu dapat diimplikasikan atau tidak adalah dengan mengujicoba secara nyata pada ruang lingkup yang kecil (terbatas). Adanya tekanan waktu, pekerjaan yang menumpuk dan sebagainya menyebabkan pembuat kebijakan tidak punya kesempatan melakukan proyek percobaan (pilot project). Selain itu ada yang beranggapan bahwa kegiatan-kegiatan piloting dianggap memboros-boroskan uang saja.
  7. Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide). Kendatipun mempunyai cukup fakta-fakta, beberapa orang tetap enggan untuk membuat keputusan. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap membuat keputusan itu sebagai tugas yang sangat berat, penuh resiko, bisa membuat orang frustasi, kurang adanya dukungan dari lembaga atau atasan, lemahnya sistem pendelegasian wewenang unutuk membuat keputusan, takut menerima kritikan dari orang lain atas keputusan yang telah dibuat dan sebagainya.

Pemahaman akan sifat kebijakan dan perilaku pengambilan kebijakan akan dapat membantu kita dalam mendekati dan berinteraksi dengan para pengambil kebijakan. Kita akan mampu memahami kekuatan, kelemahan dan kekhawatiran mereka serta mampu pula mengidentifikasi cara-cara terbaik untuk membantu mereka, yang pada gilirannya membantu kita dalam upaya untuk mempengaruhi kebijakan.Berikut ini kami lampirkan bahan bacaan mengenai dinamika salah satu kebijakan untuk KIA di Ghana dalam kurun waktu 4,5 dekade sebagai hasil dari dinamika faktor perilaku pengambil kebijakan dan faktor kontekstual.

Bahan bacaan

 

 

Modul 1

Selamat Datang !

Anda masuk pada Masyarakat Praktisi yang membahas mengenai hubungan antara peneliti dan pengambil kebijakan terutama dalam hal kebijakan kesehatan.
Tujuan Masyarakat Praktisi ini adalah untuk:

  1. Mempelajari hubungan antara peneliti dengan pengambil kebijakan melalui lesson-learned di berbagai kasus.
  2. Mengembangkan kemampuan peneliti untuk memahami sifat dan budaya pengambil kebijakan
  3. Mengembangkan kemampuan peneliti untuk menyusun Policy-Brief untuk para pengambii kebijakan.

Siapa anggota Masyarakat Praktisi ini?

Diharapkan yang menjadi anggota adalah:

  • Para peneliti kebijakan kesehatan
  • Para analis kebijakan kesehatan
  • LSM-kelompok-kelompok yang bergerak dalam advokasi kebijakan
  • Pengambil kebijakan yang ingin menggunakan hasil penelitian atau advokasi untuk proses pengambilan kebijakan.

Untuk mengembangkan kemampuan anggota dalam mencapai tujuan tersebut, ada beberapa Program Kegiatan yang dapat diperdalam, antara lain:

  1. Pelatihan Penulisan Policy Brief, 5 – 24 Oktober 2015
  2. Memahami Proses Pengambilan Kebijakandan Sifat Kebijakan dan Perilaku Pengambilan Kebijakan, 26 Oktober – 14 November 2015
  3. Penggunaan berbagai sarana untuk melakukan advokasi, 16 November – 2 Desember 2015

Penyusunan Ringkasan Kebijakan

Selamat datang di Modul 1, Penyusunan Ringkasan Kebijakan (Policy Brief). Modul ini akan mendampingi peserta selama tanggal 5 – 24 Oktober 2015 untuk dapat menulis setiap bagian dari policy brief. Peserta dapat mengakses setiap bagian dari modul ini secara berurutan pada tanggal 5 – 10 Oktober 2015.

Setelah itu, peserta harus menulis naskah ringkasan kebijakan dan dikirimkan ke fasilitator paling lambat tanggal 17 Oktober 2015. Naskah yang masuk akan direview dan diberi masukan oleh fasilitator antara tanggal 19 – 24 Oktober 2015.

Naskah ringkasan kebijakan diharapkan terdiri dari sekitar 1500 – 1700 kata, atau maksimal 5 halaman. Struktur naskah adalah sebagai berikut:

  • Ringkasan Eksekutif
  • Pendahuluan (sekitar 15% dari seluruh naskah)
  • Metodologi (sekitar 5% dari seluruh naskah)
  • Hasil dan Kesimpulan (sekitar 40% dari seluruh naskah)
  • Implikasi dan Rekomendasi (sekitar 40% dari seluruh naskah)

Modul-modul berikut ini disusun untuk menjelaskan panduan penulisan setiap bagian dari struktur tersebut.
Selamat mengikuti!

Hari 1, 5 Oktober : Pendahuluan
Hari 2, 6 Oktober: Metodologi, Hasil dan Kesimpulan
Hari 3, 7 Oktober: Implikasi dan Rekomendasi
Hari 4, 8 Oktober: Ringkasan Eksekutif
Hari 5, 9 Oktober: Finalisasi naskah

Bahan bacaan

 

Modul Hari 1

Pendahuluan

Sesuai namanya, ringkasan kebijakan (policy brief) adalah sebuah dokumen yang memberikan informasi yang singkat namun adekuat agar pembaca dapat mengambil keputusan atau membuat kebijakan. Tujuannya adalah agar ada sesuatu yang dilakukan oleh pengambil kebijakan.

Penulisan policy brief biasanya didasarkan pada hasil penelitian empiris. Kita perlu memahami apakah penelitian ini berada dalam tahapan:

  • Sebelum ada kebijakan. Dengan demikian policy brief diarahkan untuk memberi ide untuk penyusunan kebijakan yang relevan.
  • Saat kebijakan berada dalam proses legislasi untuk menjadi sebuah kebijakan public. Dengan demikian policy brief diarahkan untuk membentuk persepsi atau menggalang dukungan untuk suatu kebijakan yang akan disahkan.
  • Saat kebijakan dilaksanakan. Dengan demikian penelitian merupakan penelitian yang mengarah ke bagaimana pelaksanaan kebijakan (Implementation Research), dan policy brief diarahkan untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan di lapangan.
  • Saat berada dalam fase Evaluasi Kebijakan. Dengan demikian policy brief diarahkan untuk menilai atau mengkritisi suatu kebijakan tergantung pada hasil yang dicapai.

Artinya, tujuan dari policy brief harus dinyatakan secara jelas di dalam naskah policy brief. Tujuan policy brief biasanya ditempatkan di bagian awal dari policy brief, yaitu di bagian Pendahuluan.

Selain tujuan, beberapa hal penting lain yang harus disebutkan di bagian Pendahuluan, yaitu kebijakan apa yang disorot. Nyatakan secara jelas apakah ini merupakan:

  • Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, atau
  • Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah propinsi, atau
  • Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota
  • Kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga

Sebutkan nomor dan judul kebijakannya, jika ada. Dengan memperhatikan konteks tingkat pengambil kebijakan maka kita sebagai penulis Policy Brief dapat membayangkan siapa yang akan dituju. Hal ini sangat penting untuk pemberian rekomendasi nantinya.

Bagian Pendahuluanadalah tempat dimana kita meyakinkan pembaca bahwa isu yang dipilih memang penting dan menarik, oleh karena itu perhatikan hal-hal apa yang harus muncul di bagian ini, serta pilihan kata dan gaya penulisan yang digunakan:

  • Nyatakan mengapa topik ini penting dan menarik
  • Jelaskan seperti apa situasinya atau seberapa mendesak hal ini
  • Nyatakan tujuan dari policy brief
  • Secara singkat berikan gambaran mengenai hasil temuan dan konklusi
  • Tulislah dengan gaya yang menarik perhatian, bukan dengan gaya penulisan laporan

Tergantung dari cara bagian Pengantar ditulis, pembaca dapat saja merasa bahwa:

  • Isunya tidak menarik dan tidak penting
  • Isunya menarik, tetapi tidak penting
  • Isunya penting, tetapi tidak menarik
  • Isunya memang penting dan menarik.

Mengingat sulitnya menulis sebuah policy brief, kami sarankan Anda untuk mempersiapkan hal-hal ini sebelum menulis:

  1. Identifikasi siapa audiensnya. Tanyakan pada diri sendiri: untuk siapa saya menulis, dan mengapa?
  2. Identifikasi pesan kuncinya. Tanyakan pada diri sendiri: apa yang harus pembaca saya ketahui?
  3. Susun kerangka menulis. Tanpa adanya kerangka, kita akan cenderung mengulang-ulang hal yang sama, atau menulis terlalu panjang tanpa fokus yang jelas.

 

 

{jcomments on}

Seminar Nasional

Membumikan Undang-Undang 18 tahun 2014
Tentang Kesehatan Jiwa Masyarakat

25 November 2015
Universitas Padjajaran Bandung

  Rasional

Kesehatan merupakan salah satu ukuran kesejahteraan suatu bangsa, di lain fihak juga merupakan modal dan investasi suatu bangsa dalam pembangunan. Ukuran kesehatan tidak saja menyangkut fisik, tetapi juga mental/ jiwa, sosial dan spiritual. Kesehatan jiwa masyarakat seringkali terabaikan, padahal magnitude gangguan jiwa semakin besar dan meningkat. Pada tahun 2020, gangguan depresi diperkirakan menjadi beban penyakit kedua terbesar setelah kardio-vaskuler.

Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan yang besar namun terlupakan. Sebagian besar penderita tidak mendapatkan pengobatan adekuat. Bahkan sebagian penderita bergelandangan di jalan serta dipasung. Penanganan gangguan jiwa berat yang jauh dari memadai terlebih disertai perlakuan salah sepertipemasungan dan fenomena gelandangan psiotik seringkali berlawanan dengan prinsip hak ajazi manusia dan pancasila serta Undang-undang Dasar 1945. Unmet need pada pelayanan kesehatan membutuhan terobosan dan pengelolaan yang adekuat dan sistemik, bila tidak, maka akan menjadikan tidak hanya tumpukan beban masalah kesehatan dan sosial, tetapi juga ekonomi, kemanusiaan, etika dan martabat bangsa.

Pada tahun 2014 telah diterbitkan Undang-undang no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa masyarakat. Sampai sejauh ini, belum terlihat perubahan sistemik dalam sistem kesehatan di Indonesia. Sebagian besar masyarakat, bahkan pengambil kebijakan belum mengetahui atau mendalami undang-undang ini. Bagaimana implementasi dari instrumen kebijakan, apa yang harus dilakukan oleh sistem kesehatan di pusat dan daerah, bagaimana respon dari stakeholder dan apa yang harus dilakukan untuk efektifitas Undang-undang ii akan dibicarakan dalam seminar.

  Tujuan

Tujuan seminar ini adalah untuk mendorong implementasi kebijakan kesehatan jiwa masyarakat dalam sistem kesehatan daerah.

Pembicara:

Pembicara berasal dari Perguruan Tinggi dan praktisi:

  1. Direktorat Kesehatan Jiwa, Kemenkes RI : Yang telah dan belum dilakkan dalam menindaklanjuti UU 18/ 2014
  2. Wakil Bupati Garut : Pengalaman Kabupaten dan peran UU 18 tahun 2014 dalam memperkuat sistem kesehatan jiwa di Daerah
  3. Dr. Miranda Risang Ayu, SH, MHum (Fakultas Hukum Unpad/ ...) : kekuatan dan kelemahan UU 18 tahun 2014
  4. Teddy Hidayat, dr, SpKJ (K) (FK Unpad/ RSHS/ TPKJM Prov Jabar) : Pengalaman Jabar dalam memperkuat sistem kesehatan jiwa
  5. Bambang Hasta Yoga, dr, SpKJ (FK UGM) : Pengalaman DIY dalam memperkuat sistem kesehatan jiwa
  6. Dr. Deni K Sunjaya, dr, DESS (Fakultas Kedokteran Unpad/ IAKMI) : Penguatan SKJ di daerah pasca UU 18 tahun 2014

Peserta:

Peserta terdiri dari kelompok dan perorangan. Peserta kelompok dikordinir oleh jaringan mitra Perguruan Tinggi yang telah terdaftar. Peserta perorangan mendaftar di www.kebijakankesehatanindonesia.net 

Penyelenggaraan:

Penyelenggara utama adalah Pusat Studi Sistem Kesehatan Fakultas Kedokteran Unpad.
Seminar ini dilaksanakan berbasis web, sehingga peserta dapat mengikuti darimanapun berada. Pusat penyiaran berada di JKKI.
Seminar dilaksanakan pada hari Rabu, tgl 25 November 2015; jam 09.00 – 13.00

Kontribusi

Kontribusi peserta di Fakultas Kedokteran Unpad sebesar Rp. 75.000,- yang digunakan untuk makan siang dan sertifikat. Sedangkan bagi peserta melalui Webinar dibebankan biaya sebesar Rp. 50.000,- untuk sertfikat dan pengirimannya.

  Pendaftaran dapat dilakukan melalui :

Deni K. Sunjaya, dr., DESS
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Telp : +6282218893543
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.  / This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Setelah memahami proses pengambilan kebijakan dan mengenai siapa para aktor pengambil kebijakan dan sifat-sifat mereka, maka kini adalah saat yang tepat untuk melihat berbagai alternative cara yang bisa dipilih untuk mempengaruhi kebijakan.

Modul ini akan terbagi ke dalam lima bagian yang berbeda, yang dapat diakses secara berurutan setiap harinya mulai dari hari ini. Setiap bagian memiliki bahan bacaan tersendiri yang harus dibaca untuk memperdalam pengetahuan mengenai topik yang dibahas.

Selamat mengikuti.

  • Bagian 1. Advokasi (4-5 Desember 2015)
  • Bagian 2. Lobbying (6-8 Desember 2015)
  • Bagian 3. Policy Brief (9-10 Desember 2015)
  • Bagian 4. Dialog Kebijakan (11-12 Desember 2015)
  • Bagian 5. Media (12-14 Desember 2015)

 

Modul Berbagai Cara Mempengaruhi Kebijakan

Bagian 1

Bagian 1. Advokasi

Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

Tujuan:

  • Memahami konsep advokasi
  • Dapat menyusun perencanaan advokasi

Materi:

Advokasi adalah serangkaian kegiatan untuk mempengaruhi pihak lain, dalam hal ini khususnya yang bertujuan untuk merubah atau mempertahankan suatu pandangan dan arah kebijakan, atau bahkan seluruh sistem. Jadi, advokasi merupakan sebuah proses yang dinamik yang melibatkan setidaknya dua pihak. Advokasi harus memiliki tujuan. Advokasi dapat dilakukan di berbagai level pengambilan kebijakan: institusi, lintas institusi, kabupaten, propinsi, nasional bahkan internasional.

Advokasi dapat dilakukan melalui berbagai strategi, misalnya kampanye, public hearing, petisi, komunikasi-informasi-edukasi (KIE), pemasaran sosial, dan sebagainya. Advokasi dapat berlangsung dalam periode waktu yang singkat, atau jangka panjang, tergantung kepada tujuannya dan seberapa cepat tujuan tersebut dapat dicapai. Apabila ternyata dibutuhkan jangka waktu yang lebih panjang, advokasi biasanya akan terdiri dari berbagai kegiatan jangka pendek dan bersifat spesifik untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut.

Advokasi biasanya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:

  • Tujuan
    Karena terkadang isu kesehatan merupakan isu yang sangat kompleks, maka kita harus cermat dalam memilih tujuan advokasi. Pikirkan, apakah tujuan advokasi akan dapat mengatasi masalah yang ada? Apakah tujuan ini masuk akal dan dapat dicapai? Seperti biasa, pastikan bahwa tujuan tersebut SMART (specific, measureable, achievable, result-oriented, time-bound).
  • Data dan penelitian
    Data, hasil penelitian, dan analisis merupakan senjata utama dalam advokasi. Advokasi yang baik harus didasarkan pada bukti dan informasi. Jadi pikirkan, data dan informasi seperti apa yang kita butuhkan untuk mencapai tujuan advokasi yang kita pilih? Jika, data dan informasi itu tidak tersedia, bagaimana cara kita mendapatkannya?
  • Audiens
    Advokasi harus memiliki sasaran yang jelas dan tepat. Jadi pikirkan, siapa audiens yang tepat untuk isu yang kita angkat? Audiens mana yang memiliki pengaruh dan otoritas untuk menghasilkan perubahan yang kita inginkan (atau membantu kita mencapai tujuan advokasi kita)? Jadi, audiens ada yang bersifat primer/audiens kunci, ada pula yang bersifat secondary (bukan pengambil keputusan, tetapi mungkin memiliki kemampuan yang influential untuk pengambilan keputusan).
  • Pesan
    Audiens yang berbeda memiliki reaksi yang berbeda terhadap pesan tertentu. Jadi, pikirkan kecocokan antara isi dan cara menyampaikan pesan kepada audiens yang berbeda-beda. Namun, pastikan bahwa pesan tersebut mengandung setidaknya unsur what, why, when, where dan how. Para pengambil keputusan, misalnya, akan lebih cepat bereaksi bila melihat magnitude dari masalah.
  • Koalisi atau networking
    Seringkali, advokasi tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk memperkuat gerakan advokasi. Jadi pikirkan, siapa pihak-pihak yang memiiki kepentingan yang sama dengan kita dan dapat diajak berkoalisi?
  • Presentasi yang persuasif
    Advokasi harus persuasif. Padahal, kesempatan untuk berbicara dan berdialog dengan pembuat keputusan kunci seringkali terbatas. Jadi pikirkan: jika kita hanya memiliki satu kesempatan singkat untuk meyakinkan pengambil keputusan, apa yang harus kita sampaikan? Bagaimana caranya meyakinkan beliau?
  • Penggalangan dana
    Advokasi tidak murah. Advokasi yang berkelanjutkan, membutuhkan alokasi sumber daya yang cukup besar baik dari tenaga, waktu, pikiran, dan biaya. Jadi, pikirkan bagaimana cara kita mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkan tersebut.
  • Evaluasi
    Apabila tujuan advokasi telah tercapai, perlu dilakukan evaluasi untuk menilai strategi kunci apa yang menentukan keberhasilannya. Apabila tujuan advokasi tidak tercapat, perlu dilakukan evaluasi untuk menilai kelemahan kita dan mengidentifikasi apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaikinya.

Dengan memahami elemen-elemen dari advokasi, maka sebuah rencana advokasi dapat disusun. Kemampuan menyusun rencana advokasi berperan penting untuk menyumbang kepada keberhasilan pencapaian tujuan advokasi. Berikut ini kami lampirkan sebuah advocacy workbook yang sangat praktis dan bermanfaat untuk menyusun rencana advokasi kita.

  TUGAS

Pelajari tools dan worksheets yang tersedia di dalam Advocacy Workbook terlampir.

  • Advocacy Workbook (PDF).
    Sumber: "Stronger Health Advocates, Greater Health Impacts: A workbook for policy advocacy development" (PATH, 2014).

Ada tools yang bisa digunakan sebagai checklist, dan ada worksheet yang digunakan untuk memperjelas strategi advokasi. Sebaiknya Anda menggunakan seluruh tools dan worksheet yang ada untuk membantu penyusunan strategi advokasi nantinya.

Namun, hanya untuk keperluan latihan ini, cobalah susun rencana advokasi Anda dengan menggunakan template yang tersedia di halaman 57-59.

Tugas harap dikumpulkan ke fasilitator paling lambat pada tanggal 20 Desember 2015

 

Bahan bacaan

  • Networking for Advocacy (PDF).
    Sumber: West Slevin, K., and C. Green (2013). "Networking and Coalition Building for Health Advocacy: Advancing Country Ownership". Washington, DC. Health Policy Project: Futures Group.

 

 

Term of Reference

Pertemuan Ilmiah Tahunan Jaringan Epidemiologi Nasional

Kesenjangan Kesehatan, Kependudukan, dan Keluarga Berencana

di Surabaya, 22-23 September 2015

  Latar Belakang

Pada masa kampanye kepala daerah dan calon wakil rakyat cukup sering didengar janji pengobatan gratis dan program menyejahterakan rakyat. Saat ini masih terdapat banyak kesenjangan kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana diantara kelompok penduduk.Terdapat kesenjangan kesehatan antara kelompok miskin dan kaya, kota dan desa, Jawa dan luarJawa. Selain itu upaya pencegahan dan promosi kesehatan kurang mendapatkan perhatian. Terjadi peningkatan angka kesakitan dan pertambahan penduduk yang semakin lama menjadi beban masyarakat dan pemerintah.

Di satu pihak terdapat perkembangan pelayanan kesehatan yang memerlukan peningkatan kemampuan berbagai tenaga kesehatan. Pendidikan tenaga kesehatan telah mengalam berbagai pengembangan,baik di bidang pendidikan dokter, farmasi, kesehatan masyarakat, perawat, bidan, sanitarian, gizi, dan lainnya. Semua institusi pendidikan telah berupaya untuk menyesuaikan dengan peran layanan primer di puskesmas, dokter praktek, ataupun di tempat layanan primer yang lain, termasuk dengan system penyediaan dan pembiayaan kesehatan yang dibangun BPJS Kesehatan dan Ketenaga kerjaan dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ringkasan fakta dan tantangan terkini tentang masalah kependudukan, kesehatan dan keluarga berencana sedang dibuat oleh ahli epidemiologi bersama Badan Koordinasi Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Komite Nasional Perempuan dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), yang nantinya akan diberikan kepada calon kepala daerah, partai politik pengusung dan ketua DPRD.

Kepala Daerah Surabaya sebagai kota kedua terbesar di Indonesia, diminta untuk memberikan tanggapannya tentang upaya yang sudah dilakukan , memanfaatkan bonus demografi termasuk bagaimana upaya pencegahan kesehatan yang perlu dilakukan.Dengan demikian kekhawatiran akan meningkatnya biaya kesehatan,biaya pendidikan dan biaya sector kehidupan lain dapat diatasi pemerintah daerah Surabaya dan daerah lainnya di Indonesia.

Jaringan (JEN) merupakan lembaga jejaring nirlaba yang beranggotakan lembaga-lembaga yang berminat di bidang kesehatan masyarakat. JEN bekerja sama dengan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga kesehatan di dalam dan di luar negeri, bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Dalam mengatasi berbagai masalah kesenjangan kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana, JEN akan mengadakan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) di Surabaya berupa Seminar& Workshop dengan tema:

  1. Mengatasi masalah kesenjangan kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana.
  2. Mengembangkan kurikulum tenaga kesehatan Indonesia tentang JKN dan pelayanan kesehatan primer.

  Tujuan

  1. Mengintegrasikan masalah kesenjangan kesehatan,kependudukan dan keluarga berencana dalam pembuatan kebijakan public dan pilihan politik para politisi.
  2. Memberikan rekomendasi untuk pengembangan kurikulum tenaga kesehatan Indonesia tentang JKN dan pelayanan kesehatan primer.
  3. Menambah wawasan dan kemampuan analisis data bagi peserta.

Sasaran

Anggota Legislatif, Dokter Puskesmas,Dokter Umum, Dokter Keluarga, Dokter Spesialis, Peneliti, Sarjana kesehatan Masyarakat, Perawat, Bidan, Ahli Gizi, Sanitarian, Psikolog, Statistikawan, LSM, dan pemerhati kesehatan yang lain.

  Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Waktu : Selasa-Rabu, 22-23 September 2015.
Tempat : Pusdiklat Humaniora Kemenkes RI
Jl. Indrapura No. Surabaya

Jadwal Acara

WAKTU

TOPIK

NARA SUMBER

08.30- 09. 00

Pembukaan

 

SESI 1

Pembangunan Kesehatan, Kependudukan, dan Keluarga Berencana di Era Pilkada

Moderator :
Prof. Dr. Charles Suryadi dr, MPH

09.00—09.30

Strategi Pemerintah Kota untukMengatasi Masalah Kesenjangan Kesehatan dan Tekanan Kependudukan di Perkotaan

Tri Rismaharini, Ir, MT
(Walikota Surabaya)

09.30 - 10.00

Statistic Update dalam Bidang Kesehatan & Demografi

materi

Kresnayana Yahya, Drs, MSc (Dosen ITS Surabaya)

10.00 – 10.30

DISKUSI

 

10.30 – 11.00

Peningkatan Peran Pelayanan Kesehatan Primer dan Pengarus-utamaan Kesehatan dalam Kebijakan Publik

materi

Herlin Ferliana, dr, MKes.

Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur

11.00 – 11.30

Strategi Revitalisasi Program Keluarga Berencana dan Pemanfaatan Bonus Demografi

materi

Prof. Dr. Haryono Suyono, MA, PhD  (Pakar Kependudukan & KB)

11.30 – 12.00

Peran Tenaga Kesehatan Indonesia dalam Pengendalian Kelahiran di Jawa Timur

materi

Dwi Listyawardani, Ir, MSc
(BKKBN JawaTimur)

12.00—13.00

DISKUSI

 

13.00 – 14.00

ISHOMA

 

SESI 2

Pengembangan Kebijakan JKN dan Pelayanan Kesehatan Primer pada Institusi Kesehatan

Moderator :
Prof. Ghufron Ali Mukti, dr, MSc, PhD

14.00 – 14.30

Tantangan Optimalisasi Peran Dokter Layanan Primer dalam  Penyediaan dan Pembiayaan Kesehatan di Era JKN

Ghazali  Situmorang, Drs, Apt, MSi. (BPJS Pusat)

14.30—15.00

Pengembangan Dokter Layanan Primer dalam Menjawab Tantangan JKN dan MEA

materi

Dr. Pudji Lestari dr, Mkes
(PDKI Jawa Timur)

15.00 – 15.30

Pendidikan Dokter Layanan Primer dan Kesenjangan Kesehatan

materi

Dr. Raden Chasny Noviane (WHO)

15.30 – 16.00

Tantangan pengembangan layanan primer dikaitkan dengan peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer dalam Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional 

materi

Prof. Laksono Trisnantoro, dr, MSc, PhD (Dosen FK UGM)

16.00 – 17.00

DISKUSI

 

17.00 – 17.15

Penutupan Seminar

 

17.15 – 19.00

ISTIRAHAT

 

19.00 – 21.00

Rapat JEN

Prof. BhismaMurti, dr, MPH, MSc, PhD

21.00 – 06.00

ISTIRAHAT

 

 

WAKTU

KEGIATAN

07.00 – 08.00

Makan Pagi

 

08.00 – 12.00

Lanjutan rapat JEN

 

08.00—14.00

 

Workshop   :
Metodologi Penelitian Kesehatan dan Kependudukan

12.00 – 13.00

Kesimpulan hasil rapat JEN

 

13.00 – 14.00

Penutupan dan makan siang

Penutupan Workshop

Panitia

Pengarah/SC : 

  • Prof. Bhisma Murti,dr, MPH, MSc, PhD
  • Prof. Charles Surjadi, dr,
  • Prof. Muninjaya, dr,
  • Prof. Hadi Pratomo, dr,
  • Dr. Siti Pariani, MS, MSc, PhD
  • Prof. Budi Utomo, dr, MPH, PhD
  • Dr. Sabarinah
  • Dr. Ridwan Thaha, SKM, M

Ketua OC : Dr. Florentina Sustini, dr, MS
Wakil : Dr. Budi Utomo, dr, MKes
Sekretaris

  1. Sugiharto, dr, MARS
  2. Atika SSi, MKes

Bendahara

  1. Dr. Sulistiawati, dr., MKes
  2. Fariani Syahrul, SKM, MKes

Sie Ilmiah

  1. Prof. Dr. Chatarina UW, dr, MS, MPH
  2. Dr.Sunaryo., dr., MS., MS.i
  3. Djohar Nuswantoro, dr, MPH
  4. Dr. Siswanto, dr, MSc
  5. Dr. Susilowati Andajani, dr, MS
  6. Dr. Pudji Lestari, dr, MKes
  7. Budiono, dr, MKes

Sie Acara

  1. Linda Dewanti, dr, MKes, MSc, PhD
  2. Pramita Andarwati, dr (Litbangkes Pusat Humaniora)
  3. drg. Ansarul Fahrudda, MKes (Dinkes Provinsi JawaTimur)
  4. Dr. Sisilia Windi
  5. Rukmini, SKep Ns.MKes

Sie Konsumsi

  1. Widati Fatmaningsrum
  2. Dwi Susanti, dr, MPH
  3. Dr. Pramita (Litbangkes Pusat Humaniora)

Sie Publikasi/ Dok

  1. Dr Sri Setyani (Dinkes Kota Surabaya)
  2. PKFI Surabaya
  3. Bagian IKM FK UA, UB, UNEJ, UWK, UHT, UWM, UNUSA, UMM, urindo, UNISMA, FKM UA

Kesekretariatan

  1. Tania Wahyu Sadati, S.Sosio
  2. Satrio Wibowo
  3. Septi Fajar Ningtyas

 

Modul 1

Modul Proses Pengambilan Kebijakan

Periode pelatihan: 1-29 November 2015

Shita Dewi dan Laksono Trisnantoro
Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.

 PENGANTAR

Latihan tentang pengambil kebijakan ini dimulai dengan pemahaman mengenai Proses Pengambilan Kebijakan. Mengapa? Dalam hal ini para peserta perlu untuk meyakini dirinya sendiri bahwa proses pembelajaran ini akan masuk ke kenyataan yaitu mempelajari ilmu kebijakan yang berasal bukan dari disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat. Dengan demikian modul ini mencoba mengajak para peserta untuk memahami proses pengambilan kebijakan dengan dasar teori ilmu kebijakan yang diaplikasikan di sector kesehatan. Pembahasan aplikasi ini akan dilakukan dengan diskusi virtual dimana para peserta di minta untuk mengaplikasikan apa yang ada di lapangan dengan konsep yang ada.

  TUJUAN

Memberi gambaran mengenai konsep terkait proses pengambilan kebijakan

  MATERI

Proses kebijakan adalah proses yang meliputi kegiatan perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Dalam hal ini kita khususnya membahas kebijakan publik, yaitu kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk kepentingan public. Proses kebijakan melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain: para politisi, berbagai institusi pemerintah, para pengambil keputusan, kelompok kepentingan dan pihak-pihak lain.

Untuk memahami proses kebijakan, kita perlu memahami berbagai konsep dasar terkait proses kebijakan, penentuan agenda kebijakan dan perumusan kebijakan.

1. Berbagai Model Proses Kebijakan

Terdapat berbagai macam model proses kebijakan. Pada kesempatan ini, kita akan membahas hanya tiga model.

Pertama, model rasional. Model rasional menekankan bahwa proses kebijakan merupakan proses yang rasional dan dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki cara berpikir yang rasional. Menurut model ini, proses kebijakan meliputi tahap-tahapan tertentu dan berjalan seperti sebuah siklus. Para aktornya dapat secara jelas melihat tujuan dari kebijakan dan cara mencapai tujuan tersebut. Sejak tahun 1950an, konsep ini telah berkembang dan menghasilkan berbagai variasi, namun memiliki esensi yang sama (Laswell, H.D., The Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis, University of Maryland Press: 1956; Jenkins, W.I., Policy Analysis. A Political and Organisational Perspective, Martin Robertson: 1978).

Apabila dielaborasi, maka proses kebijakan akan dimulai dari adanya masalah yang teridentifikasi masuk ke dalam agenda kebijakan (atau, agenda setting). Kemudian setelah informasi yang diperlukan terkumpul, ditemulan berbagai pilihan dan alternative kebijakan, sehingga dapat disusun sebuah kebijakan (policy formulation). Kemudian diambil keputusan mengenai rancangan kebijakan yang paling efisien dan efektif dan diputuskan sebagai suatu kebijakan yang memiliki kekuatan hukum (decision making). Hasilnya adalah sebuah kebijakan yang hampir ideal dan optimal. Setelah ini kebijakan dijalankan (policy implementation) dan dievaluasi (monitoring & evaluation), apabila ditemukan masalah-masalah baru, masalah tersebut akan masuk menjadi agenda kebijakan dan memulai siklus ini kembali.

pk-1

Namun kenyataannya, tidak semua kebijakan mengalami proses yang rasional seperti ini. Dalam kenyataannya, proses kebijakan merupakan proses yang rumit dan kompleks karena dipengaruhi oleh tarik-menarik antara berbagai kepentingan dan berbagai aktor, dipengaruhi pula oleh latar belakang pengalaman implementasi kebijakan terkait atau kebijakan sebelumnya, di'arah'kan oleh berbagai 'suara' kelompok kepentingan, dan biasanya memasuki ranah politik kepentingan.

pk-1

Maka muncul model kedua yaitu Incremental Model. Menurut model ini, proses pencarian informasi yang diperlukan berlangsung terbatas, tidak seluruhnya sistematis, dan dikendalikan oleh terlalu banyak pemain. Kadang cara mencapai tujuan tidak dapat terlihat nyata. Terkadang pilihan dan alternatif kebijakan yang tersedia hanya bisa dinilai dengan cara melihat sejauh mana manfaat kebijakan terdistribusi. Lebih lagi, kebijakan yang dipilih seringkali adalah kebijakan yang mendukung kelompok peserta dari proses ini, dan kurang mempertimbangkan pihak lain yang kebetulan tidak terlibat dalam proses ini. Hasilnya, kebijakan seringkali tidak optimal dan harus diperbaiki terus menerus, sedikit demi sedikit (Lindblom, C.E., The Science of Muddling Through, Public Administration Review 19 (2), p. 79-88).

Konsep ini semakin berkembang dalam model ketiga, yaitu model "tong sampah" (Garbage Can). Model ini melihat bahwa suatu kebijakan dapat dipicu dari tiga arah, yaitu dari masalah (problem stream), kebijakan sebelumnya atau kebijakan terkait (policy stream) atau dari kepentingan politis (political stream). Ketiga aliran ini dapat saja tercampur dan seringkali tidak terduga arahnya. Akibatnya, baik masalah, para aktornya mau pun solusi yang diperkirakan dapat berubah-ubah dengan cepat. (Cohen, M., March, J., and Olsen, J., A Garbage Can Model of Organizational Choice, Administrative Science Quarterly 17, 1972, p. 1-25; Kingdon, J.W., Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins College Publisher: 1983). Akhirnya, sebuah kebijakan bisa saja diambil karena dimotivasi oleh hal-hal lain, yaitu:

  1. Decision by Oversight: kebijakan dibuat for the sake of making deci¬sion tanpa peduli apakah menyelesaikan masalah atau tidak.
  2. Decision by Flight: keputusan tidak dibuat sampai masalahnya pergi meninggalkan pilihan yang ada.
  3. Decision by Resolution: masalah akan diselesaikan secara ad-hoc.

pk-1

Jadi, menurut model ini, kebijakan seringkali tidak menyentuh esensi permasalahan. Para pengambil keputusan harus segera pindah ke 'penyelesaian' masalah berikutnya.

2. Agenda setting

Namun, sebelum kebijakan dapat dirumuskan dan diadopsi, masalah harus bersaing untuk mendapat ruang dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan ada di berbagai level, termasuk agenda sistem politik, agenda lembaga legislatif dan presiden, dan agenda birokrasi. Aktor kunci yang menentukan pengaturan agenda termasuk think tank, kelompok kepentingan, media, dan pejabat pemerintah.

Ada dua model utama dalam melihat agenda kebijakan, yaitu model 'teknokratis' dan model 'politik'. Model teknokratis menjelaskan perubahan kebijakan sebagai hasil dari para pengambil keputusan yang mengubah preferensi mereka dan beradaptasi dengan kondisi baru. Sesuai siklus kebijakan, mereka belajar dari pengalaman yang ditunjukkan oleh hasil evaluasi kebijakan. Inovasi kebijakan, jika ada, adalah produk dari pembuatan kebijakan di mana kebijakan dipandang sebagai hipotesis, atau teori, dan pelaksanaan atau implementasi kebijakan adalah sebagai pengujian dari teori atau hipotesis tersebut. Sementara, model politik, pada dasarnya berusaha untuk menjelaskan penyusunan kebijakan sebagai akibat dari perubahan dalam konfigurasi kepentingan yang dominan.

Meskipun demikian, fakta bahwa suatu masalah harus masuk menjadi agenda kebijakan, menegaskan kepada kita bahwa ada 'jendela kebijakan' dan 'kesempatan untuk tindakan' (Kingdon, 1983), dan tidak selalu berarti bahwa hanya itu permasalahan yang ada di lapangan. Dalam analisis kebijakan, "masalah" merupakan konstruksi analitik, namun dalam politik "masalah" adalah konstruksi politik. Dalam analisis kebijakan, konstruk atau masalah yang teridentifikasi adalah produk dari suatu hasil analisis. Dalam politik apa yang diakui atau disahkan sebagai "masalah" adalah produk dari proses politik. Oleh karena itu, walau pun ada banyak masalah di lapangan, namun tidak seluruhnya masuk ke dalam agenda kebijakan.

Bagaimana cara masalah diangkat ke dalam agenda kebijakan? Ada berbagai cara. Pertama, masalah tersebut harus dirasakan secara luas sebagai situasi yang tidak memenuhi harapan publik. Dengan cara ini, masalah paling tidak masuk ke dalam agenda masyarakat (public agenda). Masalah bisa bergerak menjadi sorotan publik dan dipaksa ke dalam agenda kebijakan dengan besarnya jumlah perhatian dan kemarahan publik. Media dapat sangat efektif dalam hal ini (agenda building). Sebaliknya, media juga dapat menjaga masalah dari agenda kebijakan dengan memberikan kesan bahwa masalah tidak memerlukan resolusi melalui proses kebijakan (agenda cutting). Oleh karena itu, masalah juga bisa masuk melalui dorongan kelompok kepentingan dan para gatekeepers yang menentukan agenda mass media (Rogers, E. M., & Dearing, J. W., Agenda-setting research: Where has it been? Where is it going?, Communication Yearbook, 11, 1988, p. 555-594). Selain itu, suatu peristiwa penting dapat bertindak sebagai pemicu kebijakan yang segera mendorong masalah masuk ke dalam agenda kebijakan. Dalam bidang kesehatan, misalnya kejadian bencana atau wabah.

pk-4

Namun, agenda setting hanyalah sebuah 'entry point'. Sebuah isu tetap harus menarik perhatian para pengambil keputusan (atau, setidaknya salah satu institusi pemerintah) untuk dapat masuk ke dalam proses kebijakan publik. Perlu disadari bahwa tidak semua 'agenda publik' dan 'agenda media' akan masuk ke dalam siklus kebijakan dan kemudian menjadi rumusan kebijakan, sampai akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang terlegitimasi. Agenda kebijakan pun memiliki keterbatasan waktu. Seringkali, item-item di dalam agenda bergeser dengan cepat dan digantikan oleh isu-isu lain yang lebih mendesak terutama di saat krisis.

3. Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan adalah pengembangan kebijakan yang efektif dan dapat diterima untuk mengatasi masalah apa yang telah ditempatkan dalam agenda kebijakan.

Perhatikan bahwa ada dua bagian definisi ini:

  • Formulasi efektif, berarti bahwa kebijakan yang diusulkan dianggap sebagai solusi yang valid, efisien, dan dapat diterapkan. Jika kebijakan ini dilihat sebagai tidak efektif atau tidak bisa dijalankan dalam prakteknya, maka tidak ada alasan yang sah untuk mengusulkan rumusan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, terdapat berbagai alternatif kebijakan yang diusulkan. Ini adalah fase analisis dari perumusan kebijakan.
  • Formulasi diterima berarti bahwa arah kebijakan yang diusulkan kemungkinan akan disahkan oleh pengambil keputusan yang sah, biasanya melalui suara mayoritas dalam proses tawar-menawar. Artinya, kebijakan itu harus layak secara politis. Jika kebijakan kemungkinan akan ditolak oleh pengambil keputusan, mungkin tidak praktis untuk menyarankan kebijakan tersebut. Ini adalah fase politik perumusan kebijakan.

Seperti telah disebut sebelumnya, proses perumusan kebijakan harus melalui fase analisis. Rancangan kebijakan dan berbagai pilihan alternative kebijakan harus dianalisis untuk menemukan kebijakan yang paling valid untuk mengatasi masalah, efisien dan dapat dipraktekkan di dunia nyata. Beberapa model analisis dalam rumusan kebijakan, misalnya:

  1. Analisis Biaya-Manfaat
  2. Model multiobjectives
  3. Analisis Keputusan (decision analysis)
  4. Analisis Sistem (system analysis)
  5. Operation research
  6. Nominal group technique

Pada kesempatan ini, kami memberikan salah satu bahan bacaan terkait analisis sistem yang menjelaskan bagaimana kebijakan disusun dengan melihat ke lingkungan internal dan lingkungan eksternal dari suatu masalah. Namun itu hanyalah salah satu bagian saja dari proses rumusan kebijakan, karena ada fase selanjutnya yaitu fase politis. Pejabat yang terpilih atau ditunjuk secara politis bertanggungjawab kepada publik untuk menyusun kebijakan yang baik dan efektif, namun tidak selalu memiliki kemampuan analitis untuk melakukan hal tersebut.

Para perencana kebijakan memang diharapkan dapat memberikan kontribusi teknis mengenai cara, perilaku, biaya, strategi implementasi, dan konsekuensi dari kebijakan, baik atau buruk. Namun, para ahli dan analis teknis tidak bertanggung jawab langsung kepada publik. Keputusan untuk melakukan trade-off, prioritas nilai, dan beban efek keseluruhan pada akhirnya tetap harus diambil oleh para pengambil keputusan yang, secara teori, akuntabel terhadap masyarakat dalam sistem perwakilan di pemerintahan kita. Hanya dengan adanya otorisasi dari para pengambil keputusan inilah sebuah kebijakan dapat memiliki wewenang dan kekuatan hukum.

Oleh karena itu kita perlu memahami pula proses perundangan yang ada di negara kita. Artinya, proses institusional dan proses politis apa yang harus dilalui agar sebuah usulan kebijakan dapat akhirnya resmi menjadi suatu kebijakan. Hanya dengan memahami proses perundangan ini maka kita dapat mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan dan siapa pengambil keputusan. Hanya dengan cara ini kita mengenali beberapa 'entry point' ke dalam area kebijakan. Ingatlah bahwa tidak semua area kebijakan merupakan area yang terbuka untuk publik. Seringkali area ini merupakan area tertutup atau hanya dapat dimasuki dengan adanya 'undangan' dari para pengambil keputusan. Di bawah ini kami memberikan beberapa bahan bacaan berbagai mekanisme penyusunan perundangan yang dapat dipelajari lebih lanjut.

Sebagai penutup, penting untuk kembali memijakkan kaki ke dunia nyata. Pengambilan keputusan di dunia nyata seringkali dibatasi oleh setidaknya dua hal ini:

Bounded rationality — pengambil keputusan memiliki keterbatasan dalam hal sejauh mana mereka berperilaku rasional.

Satisficing — pengambil keputusan dapat saja mengambil usulan pertama yang memenuhi kriteria-kriteria minimum tertentu.

Akibatnya, pengambilan keputusan seringkali dipengaruhi oleh berbagai bias, misalnya hanya dapat melihat satu dimensi ketidakpastian, memberikan bobot yang terlalu besar terhadap infomasi yang tersedia, dan mengabaikan the law of randomness.

  Diskusi

Anda diharapkan masuk ke website www.kebijakankesehatanindonesia.net untuk melakukan diskusi virtual atau menggunakan mailinglist masyarakat praktisi untuk menyampaikan pendapat.

Diskusi akan dilakukan bertahap dengan cara virtual.

 

  Tugas Akhir modul

  1. Bagaimana cara Anda mengangkat masalah yang Anda pilih untuk masuk ke dalam agenda kebijakan?
  2. Identifikasi pada level apa kebijakan yang Anda ingin ubah/usulkan: UU? PP? Peraturan Menteri? Peraturan Daerah?
  3. Deskripsikan proses perundangan yang harus dilalui oleh usulan kebijakan yang Anda usullkan tersebut.

Tugas harap dikirimkan ke fasilitator paling lambat pada tanggal 9 November 2015 kepada Angelina Yusridar / Hendriana Anggi melalui email This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.


  Bacaan lebih lanjut:

 

 

  • angka jitu
  • toto 4d
  • toto
  • toto macau
  • rtp live slot
  • bandar togel 4d
  • slot dana
  • toto sdy
  • toto slot
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • bandar togel
  • toto macau
  • bandar slot
  • toto togel
  • togel4d
  • togel online
  • togel 4d
  • rajabandot
  • toto macau
  • data toto macau
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • judi online
  • nexus slot
  • agen slot
  • toto 4d
  • slot777
  • slot777
  • slot thailand
  • slot88
  • slot777
  • scatter hitam
  • toto slot
  • slot demo
  • slot777
  • toto 4d
  • toto slot
  • agen slot
  • scatter hitam
  • slot 4d
  • bandar slot/
  • bandar slot/
  • toto slot
  • mahjong slot
  • slot jepang
  • slot777
  • slot dana
  • slot dana
  • toto slot
  • bandar slot
  • scatter hitam
  • toto slot
  • slot 2025
  • toto slot
  • bandar slot
  • agen slot
  • slot dana
  • slot777
  • bandar slot
  • slot thailand
  • toto slot
  • slot resmi
  • togel4d
  • slot resmi
  • KW
  • slot online
  • slot gacor
  • slot88
  • slot
  • situs slot
  • slot777
  • slot gacor
  • pgsoft
  • mahjong
  • slot demo
  • slot 4d
  • slot scater hitam
  • judi online
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • slot vip
  • demo slot
  • slot bet kecil
  • slot bet 400
  • slot gacor