Tema: Implementing Improvement and Innovation in
Health Services and Systems

Reporter: Shita Dewi

  Pengantar

Sesi ini merupakan sesi skills building yang merupakan salah satu dari sekian banyak sesi satelit dalam acara pra konferensi hari pertama, Senin 14 November 2016. Sesi ini memperkenalkan sumber belajar daring yang dapat digunakan untuk mengasah ketrampilan melakukan riset implementasi.

hsr14-1

Judul Sesi: A Pragmatic Guide to Health Systems Implementation Research

(Henry Lucas, Merrick Zwarenstein, Archna Gupta, Gerald Bloom, Linda Waldman)

Sesi dimulai dengan penjelasan sederhana mengenai riset implementasi dan manfaatnya dalam membantu para pembuat kebijakan untuk menghadapi perubahan dalam sistem kesehatan yang begitu cepat. Beberapa aspek yang dapat menjadi fokus dari riset implementasi adalah pemahaman mengenai konteks, intervensi yang bersifat eksperimental, inovasi, tatakelola maupun politik dalam sistem kesehatan.

Namun, melakukan riset implementasi memiliki tantangan khusus karena para pembuat kebijakan biasanya lebih familiar dengan riset operasional (operation research). Oleh karena itu, kita perlu memahami dari awal perbedaan antara keduanya. Riset operasional biasanya digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan implementasi suatu intervensi dan biasanya dibiayai oleh inisiatornya. Sementara riset implementasi digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan implementasi suatu intervensi dalam berbagai konteks yang berbeda serta biasanya dibiayai secara independen.

Tantangan lainnya dalam riset implementasi adalah bahwa akan selalu ada trade-off antara fidelity dan adoptation dari suatu intervensi. Jika penekanannya ada pada fidelity, maka faktor konteks lokal akan mempengaruhi efektivitasnya. Sebaliknya, bila penekanannya ada pada adoptation, maka semakin sulit untuk membuat generalisasi.

Tantangan lainnya adalah bahwa riset implementasi harus melakukan tracking, ini membedakannya dari riset evaluasi. Artinya dibutuhkan data yang bersifat time series, dan analisis yang dilakukan bukan bersifat cross-sectional.

Dalam riset implementasi, juga terdapat kepentingan untuk mempertimbangkan perspektif gender karena implementasi intervensi apapun dalam sistem kesehatan biasanya tidak berarti sama bagi setiap orang. Selain itu. memiliki dampak dan risiko yang berbeda pula; terkadang terdapat unintended consequences apabila kita tidak mempertimbangkan bagaimana implikasi intervensi tersebut bila dilihat dari perspektif gender.

Terkait perspektif gender, kita harus memutuskan penelitian kita termasuk ke dalam kategori yang mana:

  • Gendel unequal: penelitian yang melanggengkan ketidaksetaraan gender
  • Gender blind: penelitian yang mengabaikan perspektif gender
  • Gender sensitive: penelitian yang mempertimbangkan perspektif gender
  • Gender specific: penelitian yang mempertimbangkan gender dan berusaha mengatasi ketidaksetaraan gender
  • Gender transformative: penelitian yang mempertimbangkan gender dan berusaha mengatasi penyebab ketidaksetaraan gender

Terakhir, diceritakan pula berbagai pengalaman bagaimana riset implementasi memiliki peran dalam mengubah kebijakan. Satu pelajaran penting dari berbagai pengalaman ini adalah riset implementasi harus melihatkan para stakeholders khususnya pembuat kebijakan dalam setiap tahapannya. Ini bukan hal yang mudah dilakukan mengingat para pembuat kebijakan biasanya sibuk dan memiliki agenda yang begitu cepat berubah. Oleh karena itu, perlu untuk selalu mengingatkan mereka akan agenda riset implementasi melalui feedback meeting, namun di sisi lain juga menyadari bahwa pembuat kebijakan akan cenderung bersifat pragmatis dan bahwa mereka memiliki berbagai competing priorities dan sumber dayanya terbatas.

Pembicara kemudian memperkenalkan sebuah sumber belajar daring yang dapat digunakan peneliti, yaitu eBook Riset Implementasi yang dapat diunduh di http://courses.arcade-project.org/course/view.php?id=9

  Take Home Message

Komitmen untuk melakukan riset implementasi memiliki konsekuensi bahwa peneliti harus menyadari berbagai tantangan yang akan dihadapi. Peneliti juga perlu menyadari bahwa tidak ada kebijakan yang dibuat in isolation, para pembuat kebijakan harus selalu mempertimbangkan opportunity cost dan trade off dari setiap kebijakan yang akan diambil. Oleh karena itu, agar kemungkinan dapat adopsi lebih besar, peneliti harus mampu menunjukkan bahwa intervensi yang disarankan akan berpengaruh positif across system. Namun di sisi lain, peneliti juga harus menjaga integritas dan independensinya, terutama bila dihadapkan pada tuntutan pembuat kebijakan.


Reportase Terkait

{jcomments on}

Reportase: Kebijakan Kontrak Tenaga Promkes dengan Dana BOK Menyebabkan Inequity?

Selasa, 8 November 2016

PKMK-Yogya. Seminar awal terkait tenaga kontrak dilaksanakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), FK UGM pada Selasa (8/11) secara tatap muka dan jarak jauh (webinar). Narasumber yang dihadirkan dari internal, yaitu Dwi Handono Sulistyo (Konsultan PKMK FK UGM) dan dari eksternal yaitu Anung Sugihantono (Direktur Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes) serta Bayu Wibowo Ignasius (Dinas Kesehatan Kab. Lumajang). Faktanya pemanfaatan dana BOK untuk kontrak Tenaga Promkes untuk Puskesmas masih kurang dimanfaatkan karena adanya keraguan oleh pemerintah daerah terkait dengan regulasi yang dinilai kurang matang. Kebijakan ini lebih banyak dimanfaatkan oleh daerah maju seperti Jawa daripada di daerah "kurang" maju. Seminar ini bertujuan untuk menggali lebih dalam pelaksanaan kebijakan Permenkes No 82 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarana Prasarana Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khsususnya pada Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).

Dalam pemaparannya, Anung Sugihantono (Direktur Dirjen Kesehatan Masyarakat) memaparkan bahwa dalam pelaksanaan kebijakan ini, hanya 16.97% puskesmas di seluruh Kabupaten di Indonesia yang memanfaatkan dana BOK ini untuk mengontrak tenaga promosi kesehatan (promosi kesehatan), masih ada 83.03 % puskesmas di Indonesia yang belum menyerap dana tersebut untuk mengontrak tenaga promkes. Dwi Handono Sulistyo (PKMK FK UGM), daerah-daerah yang belum menyerap dana tersebut seperti Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat atau wilayah yang merupakan perbatasan Indonesia-Malaysia serta Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara.

Hal serupa ditanggapi, peserta dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, DIY membenarkan dan menyampaikan bahwa Kabupaten Sleman merupakan kabuapten yang termasuk dalam kategori melaksanakan kontrak tenaga promkes. Dinas Kesehatan sejauh ini sudah mengontrak tenaga promkes 25 tenaga promkes di 25 Puskesmas di Kabupaten Sleman DIY. Hal yang serupa disampaikan oleh Bayu Wibowo Ignasius (Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang Provinsi Jawa Timuur) yang mengatakan bahwa di daerahnya sudah melaksanakan kontrak tenaga promkes di Puskesmas dan peran promkes mampu meningkatkan peran UKBM di Puskesmas.

Lalu bagaimana dengan yang tidak memanfaatkan dana ini? Apa kendala yang dihadapi? Anung Sugihantono mengatakan bahwa kurangnya pemahaman Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam membidik hal ini dan benturan dari regulasi daerah terkait dengan pengangkatan tenaga honorer sehingga menjadi salah satu penyebab terjadi keterlambatan bahkan tidak terlaksananya kontrak tenaga promkes untuk puskesmas.
Namun, peserta seminar yang berasal dari puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten di hulu dan mahasiswa mengatakan bahwa tidak terserapnya dana tersebut karena konsep dan isi dari regulasi yang kurang matang dan dinilai belum bisa meyakinkan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk menyerap dana BOK ini terkait kontrak tenaga promkes.

Hal tersebut menimbulkan keraguan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk mengontrak tenaga promkes. Keraguan tidak hanya dirasakan oleh yang tidak menyerap namun yang telah menyerap dana BOK tersebut seperti Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Keraguan tersebut bukan dalam hal pelaksanaan akan tetapi lebih kepada sustainability dari kebijakan Permenkes No. 82 Tahun 2015, tentang pemanfaatan Dana BOK untuk tenaga promosi kesehatan.

Reporter: Emmy Nirmalasari, MPH

{jcomments on}

Keynote Speech Menteri Keuangan RI

"Alokasi dan Sinergi Anggaran Kesehatan dalam Gerakan Masyarakat Hidup Sehat"

Sri Mulyani Indrawati, SE, MSc, PhD

srimulyaniSri Mulyani IndrawatiDi sesi keynote speech kedua, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati memaparkan alokasi dan sinergi anggaran kesehatan dalam Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Selama 6 tahun pengalaman di World Bank, masalah kesehatan menjadi masalah yang utama di setiap negara. Saat ini begitu banyak negara yang telah atau sedang dalam proses mencapai universal health coverage, dan dalam pengalaman Sri mengevaluasi UHC di China, makin banyak dana yang dianggarkan untuk kesehatan, masyarakat semakin tidak puas. Tujuan dari UHC itu baik, namun, "Setelah UHC ini dilakukan, apakah betul pelayanan kesehatan mencapai hasil yang baik? Ini tidak sekedar membangun rumah sakit dan puskesmas, tetapi juga bagaimana mengembangkan SDM kesehatan, sistem yang terintegrasi sehingga tercapai prinsip efisiensi, akuntabilitas, dan efektivitas", lanjut Sri. Untuk itu, masalah bagaimana anggaran kesehatan dibelanjakan merupakan satu hal yang sangat penting untuk terus dikawal bersama.

Sri melanjutkan dengan memaparkan analogi antara pengelolaan keuangan negara dengan rumah tangga, di mana ada pos belanja, pendapatan dan bagaimana menjaga keseimbangan kedua hal tersebut. Jika belanja lebih tinggi dari pendapatan, maka perlu hutang. Hutang ini perlu kita perhatikan apakah hutang dapat dimanfaatkan untuk hasil yang lebih baik. Pos-pos belanja itu ada yang tidak dapat dihindari, di tingkat rumah tangga misalnya pengeluaran untuk sekolah, listrik, air, di tingkat negara yang jelas tidak dapat dihindari adalah gaji. Untuk kesehatan, anggaran kesehatan meningkat rata-rata 21.9% per tahun antara 2009-2017 dan tahun ini kita sudah memenuhi 5% anggaran kita untuk kesehatan yang mencapai 104 trilyun. Dana kesehatan tidak hanya dialirkan ke pusat, tetapi juga ke daerah. Ini hal yang perlu diingat bahwa kesehatan adalah urusan yang didesentralisasikan, sehingga kesehatan menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah.

Target belanja kesehatan di tingkat daerah menurut ketentuan Undang-undang adalah 10%. Data menunjukkan bahwa belum tentu provinsi dengan pendapatan tertinggi memberikan alokasi. "It's not about money, but vision and commitment". Adanya JKN bertujuan untuk melindungi masyarakat dari biaya kesehatan yang menyulitkan. Namun, tujuan itu hanya akan sukses bila ditopang oleh berbagai komponen: tata kelola di semua institusi yang terlibat, baik kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan, penyedia pelayanan kesehatan, sampai ke industri farmasi. Sehingga, tugas kita semua untuk membangun fondasi secara benar.

Sri Mulyani menutup pidatonya dengan menekankan bahwa pemerintah telah berkomitmen untuk meningkatkan anggaran untuk kesehatan masyarakat karena ini bukan belanja melainkan investasi. Hal ini menjadi amanah untuk ahli kesehatan masyarakat untuk dapat berkontribusi memastikan bahwa belanja tersebut dimanfaatkan secara baik.

Reporter: Likke Prawidya P, MPH

materi   video   Arsip Diskusi

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

Sambutan dan Pembukaan Konas IAKMI XIII

Konas IAKMI Ke-XIII diselenggarakan di Makassar pada 3 – 5 November 2016. Acara ini dihadiri oleh 1300 peserta dari seluruh Indonesia. Acara diawali dengan pergelaran paduan suara mahasiswa FKM Universitas Hasanuddin yang cukup menghibur peserta sambil menanti kehadiran para pejabat membuka acara. Acara dibuka dengan tarian Paraga sebelum akhirnya para pejabat yang telah hadir secara bergantian menyampaikan sambutannya.

Ketua Umum IAKMI

(dr. Adang Bachtiar, MPH, SCD, PhD)

adangdr Adang bachtiarDalam laporannya, ketua umum IAKMI menyatakan bahwa permasalahan kesehatan masyarakat merupakan permasalahan yang serius dalam upaya sektor kesehatan, khususnya dalam mendorong promkes untuk mencapai Nawacita 3. IAKMI juga adalah anggota Tim Kendali Mutu Kendali Biaya terkait JKN dan melihat tantangan pembiayaan kesehatan sebagai masalah yang krusial dalam konteks gaya hidup sehat yang belum diadopsi sepenuhnya dan biaya katastropik kesehatan masih tinggi.

 

video

 

Gubernur Sulawesi Selatan

(Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, MSi, MH)

syahrulSyahrul Yasin LimpoDalam sambutannya, Gubernur Sulawesi Selatan mengharapkan agar Konas dapat membangkitkan komitmen seluruh pesertanya untuk membangun kesehatan di Indonesia. Kawasan Timur Indonesia khususnya sangat kaya akan sumber daya, 9000 pulau, 5000 sungai, 28 gunung tinggi, emas, gas, minyak dan kekayaan kehutanan dan kelautan yang luar biasa. Tetapi kekayaan itu tidak akan bisa dikelola dengan baik bila kesehatan tidak menjadi prioritas. Gubernur menyatakan bahwa pendekatan kewilayahan seharusnya menjadi arah dalam kebijakan kesehatan.

video

 

WHO Representative

(Dr. Sharad Adikary)

sharadDr. Sharad AdikaryDalam sambutannya, Dr Sharad menyatakan bahwa situasi kesehatan global menunjukkan beberapa paradoks. Misalnya angka harapan hidup meningkat sejak tahun 1990-an, tetapi kematian anak di bawah lima tahun juga tinggi. Berbagai penyebab kematian semakin kompleks dengan adanya faktor globalisasi, industrialisasi, dan perubahan iklim. Hal ini mendorong berbagai upaya untuk promosi perilaku sehat, well-being, dan pencanangan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk 15 tahun ke depan. Target-target SDGs membutuhkan perencanaan, implementasi dan pemantauan yang berkelanjutan dan sinergi dari berbagai sektor.

video

 

 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

Keynote Speech Menteri Kesehatan RI

Dr. dr. Nila Djuwita F Moeloek

menkesDalam sambutannya yang berjudul "Kerja Nyata Sehatkan Indonesia", Menteri Kesehatan RI mengingatkan visi dan misi pemerintah Indonesia termasuk 9 prioritas Nawacita, khususnya agenda ke-5 yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Roadmap pembangunan kesehatan sesuai RPJMN berprioritas pada akses ke pelayanan yang berkualitas, sekaligus penguatan pelayanan kesehatan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Turunnya Human Development Index Indonesia ke 11.1% (bahkan di bawan Vietnam) tentu saja memprihatinkan. Namun di balik itu, ada beberapa capaian yang positif. Bonus demografi pada tahun 2030 merupakan peluang untuk meningkatkan daya saing Indonesia. AKI, walaupun belum mencapai MDGs, turun. Begitu pula AKBA, walaupun AKI masih tinggi. Angka stunting turun, mengindikasikan perbaikan gizi. Pengendalian penyakit menular masih menjadi tantangan, namun terjadi transisi epidemiologi ke arah peningkatan penyakit tidak menular (PTM), yang uniknya memiliki prevalensi yang tinggi pula bahwa di daerah pedesaan dan masyarakat kurang mampu.

Proporsi sebesar 29.67% (Rp. 16,9 trilyun) di JKN adalah untuk beban penyakit katastropik termasuk jantung, diabetes dan ginjal. Ini adalah penyakit-penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan perubahan perilaku. Di sisi supply, tantangannya adalah penguatan pelayanan. Tantangan utama dalam hal ini adalah distribusi SDM kesehatan, yang berusaha diatasi dengan Nusantara Sehat dan mengirimkan tim (bukan lagi by profession) untuk mengisi daerah-daerah yang masih kekurangan (sejulmah 838 orang di 158 puskesmas).

Peserta JKN telah mencapai hampir 170 juta peserta yang dilayani di 25.828 fasilitas kesehatan (termasuk 20533 FKTP, 2001 FKRTL, 2047 apotik 936 optik). Namun faktanya, proporsi penyerapannya sekitar 80% masih di FKRTL, hanya 20% di FKTP (di negara maju, proporsinya biasanya terbalik). Penggunaan E-katalog telah mendorong ketersediaan obat generik.

Namun ke depan, perlu perubahan orientasi ke paradigma kesehatan yang berprioritas pada layanan kesehatan primer dan bersifat lintas sektor. Penguatan promotif-preventif diupayakan melalui launching GerMas. Perlu dilakukan harmonisasi kebijakan kesehatan Pusat dan Daerah untuk menyukseskan hal ini. Area GerMas yang perlu digalakkan adalah masyarakat kurang aktivitas fisik, deteksi dini hipertensi diabetes dan kanker, masyarakat yang kurang konsumsi buah dan sayur.

12 SPM bidang kesehatan merupakan tanggung jawab Pemda tetapi juga diperlukan pendekatan keluarga (pemberdayaan masyarakat), buktinya 12 indikator keluarga sehat tidak jauh berbeda dengan 12 indikator SPM. Dengan melaksanakan pendekatan keluarga, Pemda akan "tertolong" dalam mencapai SPM. Walaupun BPJS masih terpusat di UKP, namun Dana Desa bisa digunakan untuk memberi daya ungkit pada UKM misalnya membangun Rumah Desa Sehat yang mencakup posyandu, pusbindu, dsb. Untuk mendorong pencapaian kinerja, diharapkan sistem kontrak dapat memotivasi pencapaian Indikator Keluarga Sehat (IKS). Ini memberikan tantangan kepada IAKMI dan AIPTKMI untuk mendorong para profesi kesehatan dan mahasiswa untuk membantu pencapaian IKS di wilayah masing-masing.

Reporter: Shita Listyadewi

materi     Video   Ringkasan diskusi 1 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

 

Keynote Speech Hari ke 2

Keynote speech pada hari kedua Konas IAKMI XIII Makassar, Jum'at (05/11/2016), diisi oleh dua pembicara dari Thailand dan Malaysia. Kedua pembicara mengangkat isu yang berbeda. Prof. Dr. Siti Amrah Sulaiman dari Universiti Sains Malaysia mengangkat isu pengobatan alternatif dan makanan sehat. Sementara itu, Dr. Winai Dahlan dari Chulangkorn University mengangkat isu makanan halal.

Siti Amrah Sulaiman dikenal sebagai seorang ahli etnobotani yang mempelajari keterkaitan antara pengetahuan dan adat kebiasaan manusia dengan tumbuh-tumbuhan baik dalam fungsi pengobatan, ritual agama, ataupun penggunaan lainnya. Dalam kesempatan ini, Amrah menyoroti perlunya dukungan pada pengobatan alternatif dan makanan sehat di tengah semakin bergantungannya masyarakat pada obat-obatan. Amrah mengambil contoh madu sebagai makanan sehat yang berperan besar dalam memperbaiki jaringan tubuh karena memiliki antioksidan paling tinggi dibandingkan makanan lainnya. Dukungan terhadap konsumsi makanan sehat perlu ditingkatkan di lingkungan rumah tangga sebagai bagian dari pemeliharaan kesehatan keluarga.

Sesi keynote speech selanjutnya diisi oleh Winai Dahlan, pendiri sekaligus direktur Halal Science Center Chulangkorn University. Winai melihat makanan halal bukan hanya sebatas kebutuhan untuk memenuhi tuntutan agama tetapi juga perhatian untuk menjamin bahwa makanan yang dimakan baik, aman, sehat, dan higienis. Melalui institusi yang ia dirikan, Winai menyediakan layanan informasi mengenai produk halal sekaligus mengembangkan teknologi pengolahan makanan yang mampu menjamin kehalalan suatu produk.Halal science, ungkap Dahlan, merupakan upaya untuk menjamin keamanan dan integritas makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Keberadaan kedua pembicara tamu tersebut memberi warna tersendiri bagi pelaksanaan IAKMI XIII. Keduanya melihat bahwa upaya promotif-preventif masyarakat diawali dari upaya kesehatan di level keluarga. Makanan yang baik dan sehat, menurut keduanya, adalah kunci bagi terwujudnya keluarga sehat dan bahagia. Apakah Anda siap menyediakan makanan sehat dan halal bagi keluarga Anda?

materi

Reporter: Insan Rekso Adiwibowo

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

 

Reportase Workshop Penelitian Implementasi Kebijakan Kesehatan

work2nov1

"Selama ini penelitian hanya dibaca oleh pembuat kebijakan lalu dimasukkan ke dalam lemari, penelitian kebijakan harus melibatkan pembuat kebijakan secara aktif." Begitulah kalimat pembuka yang disampaikan oleh Prof. Laksono Trisnantoro dalam kegiatan "Workshop Penelitian Implementasi Kebijakan" pada hari Rabu (02/11/2016). Workshop ini merupakan bagian dari rangkaian acara Pra-Konas IAKMI XIII yang diselenggarakan di Makassar, 3 – 5 November 2016. Kegiatan ini diramaikan sekitar 126 orang dari berbagai institusi baik praktisi maupun akademisi dan peneliti kebijakan kesehatan.

Salah satu definisi Riset implementasi, seperti diungkapkan oleh dr. Yodi Mahendradhata, MSc. PhD., merupakan sebuah pendekatan sistematik untuk memahami dan mengatasi kendala-kendala menuju implementasi intervensi, strategi, dan kebijakan kesehatan yang efektif dan berkualitas. Ini membuat riset implementasi cenderung "ateis", artinya tidak terikat dengan suatu jenis metodologi saja, tapi menjadikan metodologi alat untuk menjawab pertanyaan penelitian dan kebutuhan untuk menyediakan bukti bagi implementasi kebijakan. Sementara penelitian biasa hanya berbicara mengenai indikator (what) dan outcome kesehatan, penelitian implementasi turut melihat bagaimana implementasi dijalankan (how) dan outcome implementasinya.

Workshop ini disertai sesi Panel yang diisi oleh dr. Likke Prawidya Putri, MPH yang menceritakan mengenai kegiatan penelitian implementasi JKN di layanan primer beserta tantangan-tantangan yang muncul selama penelitian. Ia mengungkapkan bahwa salah satu tantangan adalah kebijakan JKN berubah-ubah selama proses penelitian berjalan. Hal ini diakui oleh drg, Doni Arianto, MKM dari Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kemenkes RI. Meski demikian, ini merupakan tanda bagus karena walaupun penelitian masih berjalan, hasilnya dapat langsung digunakan dalam perbaikan kebijakan JKN. Upaya ini dinilai positif oleh pembahas Prof. Dr. dr. HM Alimin Maidin, MPH. Ia menambahkan bahwa permasalahan JKN lainnya di layanan primer adalah besarnya pemasukan kapitasi tidak diimbangi dengan kurangnya sumber daya dan kapasitas administrasi keuangan di Puskesmas.

Rangkaian acara workshop ini ditujukan untuk memperkenalkan peserta mengenai riset implementasi dan potensinya dalam pengembangan kebijakan kesehatan. Workshop ini juga memperkenalkan berbagai instrumen pembelajaran riset implementasi dan informasi terkini yang dapat diakses melalui website Indonesia Implementation Research (link: http://indonesia-implementationresearch-uhc.net/).

Presenter dari Filipina yang mendapat beasiswa pascasarjana FK UGM, Tyrone Reden menarik perhatian dengan mengemukakan tingginya angka pertumbuhan penderita HIV di Filipina. Ia mengajukan proposal penelitian implementasi mengenai feasibility dan appropriateness kebijakan peningkatan kemampuan pekerja kesehatan komunitas untuk melakukan tes dan konseling HIV. Di samping itu juga dipresentasikan beberapa penelitian implementasi yang berada dalam lingkup kerja sama UGM dan WHO.

Pada sesi penutup, Laksono menekankan bahwa saat ini ada arus besar menuju riset implementasi dalam berbagai studi di sektor kesehatan. Ini akan berimplikasi pada semakin banyaknya pembiayaan dan diharapkan ke depannya dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas implementasi kebijakan di Indonesia.

reporter Insan Rekso Adiwibowo