Panel 2: Isu Prioritas

Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Pemateri: Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes

Sinkronisasi merupakan amanat UU dan semangat NKRI. Sinkronisasi menjadi prioritas dalam tatanan sistem perencanaan pembangunan kesehatan di Indonesia yang terintegrasi. Mengapa harus sinkronisasi? Selama ini upaya sinkronisasi belum jelas, dokumen perencanaan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah di daerah (RPJMD) belum semua memperhatikan dan sinkron dengan RPJM Nasional (RPJMN). Faktanya, perencanaan yang sinkron dan terintegrasi satu sama lain sudah diamanatkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) di Indonesia bahwa perencanaan haruslah terintegrasi dan sinkron satu sama lain serta diamanatkan dalam Undang-Undang No.23 tahun 2014 bahwa Pemerintah Daerah haruslah membuat dokumen perencanaan daerah (RPJMD) yang mengacu RPJPD dan memperhatikan RPJM Nasional (RPJMN).

Ketidaksinkronkan ini juga terjadi akibat adanya situasi politik dimana pemilihan kepala daerah dengan pemilihan presiden tidak sinkron dari aspek waktu. Dalam konteks politik tersebut pilkada serentak yang sekarang sudah mulai dilakukan di Indonesia, mengharuskan para kepala daerah wajib membuat RPJMD sekurang-kurangnya 6 bulan setelah pelantikan. Berdasarkan UU. No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 269 dinyatakan bahwa Menteri berhak membatalkan Perda RPJMD di tingkat provinsi, jika dinilai RPJMD tersebut tidak sesuai dengan RPJMD Provinsi dengan RPJMN. Pada level Kabupaten/Kota tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2014 pasal 271 yang menyatakan bahwa jika RPJMD Kabupaten/Kota dinilai oleh Gubernur dan DPRD Provinsi tidak sesuai dengan RPJPD Kabupaten/Kota dan RPJMD Provinsi, serta RPJMN, maka sebagai perwakilan pemerintah pusat berhak untuk membatalkan Perda-nya.

Sebagai upaya perwujudan sinkronisasi di perencanaan sektor kesehatan PKMK FK UGM bekerjasama dengan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat di Kementrian PPN/Bappenas serta didukung oleh lembaga donor seperti DFAT, AIPHSS, dan UNICEF telah mewujudkannya dalam penyusunan modul sinkronisasi RPJMD-RPJMN Subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat yang telah dimulai pada tahun 2015. Modul sinkronisasi tersebut disusun untuk menjembatani pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk melakukan sinkronisasi, dan modul tersebut sudah diselesaikan baik dalam versi cetak maupun dalam versi online.

Outlook sinkronisasi RPJMD-RPJMN ini, tidak hanya sampai dengan outlook 2017 tetapi jangka panjang sampai dengan tahun 2027 karena pilkada serentak akan terus dilaksanakan pada tahun tersebut, setelah pemilihan presiden akan dilakukan pada tahun 2025. Pada pilkada serentak di tahun tersebut akan ada 500 Kabupaten/Kota yang akan mengikutinya. Pilkada yang terdekat adalah pilkada pada 15 Februari tahun 2017 mendatang yang akan dilakukan oleh 101 Kabupaten/Kota. Tentunya, upaya penyesuaian dan penyelarasan harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh komitmen.
Pelaksanaan tersebut tentunya tidak hanya membutuhkan sumber daya saja namun juga membutuhkan dukungan regulasi-regulasi daerah yang memperkuat. Surat Edaran Bersama (SEB) Tiga Menteri yang akan segera disahkan, jika hal tersebut terjadi maka akan banyak kegiatan-kegiatan pendampingan yang melibatkan banyak tenaga konsultan. PKMK FK UGM tidak mungkin dapat menjangkau semua daerah-daerah yang menjadi target, sehingga harus melibatkan konsultan atau fasilitator pendamping yang ada di daerah untuk melakukan asistensi atau pendampingan sinkronisasi. Sebagai tahapan awal, pemenuhan fasilitator pendampingan ini sudah mulai dilakukan pada akhir 2016 dengan melakukan pelatihan jarak jauh untuk calon fasilitator pendamping yang nantinya juga akan direkomendasikan sebagai fasilitator pendamping bagi daerah. Sinkronisasi yang dilaksanakan dengan komitmen penuh oleh semua pihak yang terlibat baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sektor-sektor yang terkait yang berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan dapat mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata.

Notulen: Emmy Nirmalasari, SKep, MPH


Sinkronisasi Produk Hukum di Bidang Kesehatan

Pemateri: Rimawati

Regulasi kesehatan adalah seperangkat aturan yang tertulis bidang kesehatan yang dibuat oleh badan legislatif maupun stakeholder terkait yang tujuannya adalah untuk mengatur pelaksanaan dan penyelenggaraan kesehatan di Indonesia. Sepanjang periode pertengahan tahun 2015 sampai dengan awal Desember 2016 telah disusun dan disahkan sebanyak 158 regulasi kesehatan dalam berbagai jenis produk hukum. Jenis produk peraturan yang teridentifikasi selama tahun 2016 terdiri dari Undang-undang (7 buah), Peraturan Pemerintah (5 buah), Peraturan Presiden (9 buah), Peraturan Menteri Kesehatan (27 buah), Peraturan Menteri Keuangan (10 buah), Peraturan Menteri Perdagangan (5 buah), SE Menteri Kesehatan (3 buah), Keputusan Menteri Kesehatan (10 buah), Peraturan BPJS (20 buah), Peraturan BPOM (17 buah), Peraturan Daerah/Provinsi/ Kabupaten Kota (55 buah). Dari 158 beberapa menyangkut tentang bidang kesehatan yang terdiri dari Pelayanan Kesehatan (43 buah), Asuransi Kesehatan dan JKN (37 buah), Tenaga Kesehatan (16 buah), Perbekalan dan Alkes (9 buah), Sistem Informasi Kesehatan (9 buah), Farmakin (10 buah) dan Sistem Kesehatan Daerah (34 buah).

Dalam konteks pembentukan regulasi kesehatan banyak dipengaruhi oleh politik hukum kesehatan yang akan menciptakan kebijakan hukum kesehatan. Produk perundangan itu dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Regeling dan Beschikking. Dilihat dari kedua ini perumusan regulasi kesehatan akan sangat dipengaruhi dengan politik hukum. Sinkronisasi Regulasi Kesehatan tidak selamanya sepanjang tahun 2016 mengalami implementasi peraturan sebagaimana yang diharapkan. Ada beberapa produk hukum bidang kesehatan yang diajukan melalui MK untuk dilakukan Judicial Review. Proses ini seringkali murni karena produk hukum yang dibuat bertentangan dengan konstitusi adakalanya juga dipengaruhi oleh Politik hukum.

Ada beberapa isu Prioritas yang ada dalam regulasi di bidang kesehatan yaitu, yudisial review UU 20 /2013 tentang Dikdok (Putusan Mk No. 122/PUU-XII/2014), UU 24/2011 tentang BPJS (Putusan MK No. 47/PUU-XIII/2015), UU 36/2014 tentang tenaga kesehatan (Putusan MK No. 82/PUU-XIII/2015 dan No. 88/PUU-XIII/2015), Kewenangan Daerah UU No. 9/2015 dan PP No. 18/2016 dan Pelayanan Kesehatan dan SDM.

Regulasi tahun 2016 masih ada beberapa regulasi bidang kesehatan khususnya terkait isu pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan/ JKN dan tenaga kesehatan yang masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Disahkannya PP No. 18 tahun 2016 di mana RSUD menjadi UPT Dinkes membutuhkan aturan pelaksana dalam bentuk produk hukum Perpres. Regulasi kesehatan pada tahun 2016 membutuhkan peran aktif dari para perumus baik dari badan legislatif maupun stakeholder terkait. Dalam penyusunan regulasi kesehatan perlu dipertimbangkan adanya politik hukum dalam penyusunan untuk menghindari adanya kemandulan dalam produk hukum yang dibuat.

Outlook Regulasi Kesehatan 2017, DPR RI/ DPRD melakukan Advokasi untuk penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Pemerintah sebagai legislative body. Pemerintah (Badan Eksekutif) melakukan Advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Pemerintah sebagai executive body. Kementrian Kesehatan dan Kementrian terkait melakukan advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Teknis dari amanat peraturan perundang-undangan sebagai penyelenggara teknis. Pemerintah daerah (bagian hukum sekertaris daerah) melakukan advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan. Peranan PKMK FK UGM dalam penyusunan Regulasi Kesehatan 2017 antara lain:

  1. Melakukan fasilitasi dan konsultasi dengan DPR, DPRD maupun Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan serta Organisasi Profesi untuk penyusunan naskah akademik dan rancangan penyusunan kebijakan teknis yang dibutuhkan
  2. Melakukan advokasi penyusunan regulasi teknis kesehatan baik pada level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

Notulen: Intan Anatasia N.P., M.Sc.,Apt


Emergency Medical Team

Pemateri : Madelina Ariani, SKM,MPH.

Indonesia kembali dikejutkan dengan bencana gempa bumi yang berkekuatan 6SR pada pukul 05.03 WIB di Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh, setelah Tsunami yang terjadi sekitar 12 tahun yang lalu. Ada sekitar 1009 kejadian bencana yang terjadi di Aceh sejak tahun 1815-2016. Tetapi Jawa masih menjadi juara dalam jumlah kejadian bencana yang terbanyak di Indonesia (sumber: Pusat Data Informasi dan Humas – BNPB).

Sama seperti di tahun 2015, bencana perubahan iklim masih menjadi kejadian bencana yang banyak terjadipada tahun ini. Walaupun di awal tahun bencana kebakaran hutan dan lahan sempat menjadi perhatian dari beberapa propinsi, seperti Propinsi Riau, Palembang, Jambi dan Kalimantan.
Perjalanan kesiapan penanggulangan bencana di Indonesia selama tahun 2016 semakin meningkat. Fasilitas kesehatan baik puskesmas, rumahsakit dan sumber daya manusia semakin sadar bahwa dibutuhkan peningkatan kapasitas terhadap itu semua. Salah satu bentuk yang dilakukan adalah dengan penyusunan rencana kontijensi yang sudah dilakukan Dinas Kesehatan serta kesiapan Rumah Sakit (HDP) dan Puskesmas di Indonesia.

Kebutuhan masyarakat dalam menerima pelayanan terhadap kejadian gawat darurat juga sudah dilakukan pada tahun ini oleh pihak Kementrian Kesehatan berdasarkan Instruksi Presiden no 4/2013, lewat Public Safety Center (PSC) 119. Walaupun dari 539 kabupaten, baru sekitar 90 kabupaten yang memiliki PSC 119, tetapi ini juga menjadi salah satu usaha pemerintah dalam membantu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kegawatdaruratan. Tidak hanya itu, melalui Permenkes No 19 Tahun 2016 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu juga dikembangkan menjadi salah satu sistem yang terkordinasi dari pre Hospital, Inter Hospital dan Intra Hospital. Melihat hal ini maka dibutuhkan sumber daya baik tenaga medis maupun para medis yang terampil dan siap jika dibutuhkan sewaktu-waktu. Saat ini sudah dilakukan pertemuan dan rencana kedepan agar tiap kabupaten, propinsi dan sampai tingkat nasional wajib menyiapkan Tim Reaksi cepat (Emergency Medical Team) sesuai dengan panduan WHO, dan siap terjun saat terjadi krisis kesehatan ataupun bencana.

Berdasarkan prioritas dan perubahan paradigma ke arah kesiapsiagaan, dalam kebijakan penanggulangan bencana di tahun 2017 pada fase pra bencana sesuai dengan "Sendai Framework" yaitu pengurangan risiko bencana dengan penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah lokal. Maka Divisi Manajemen Bencana juga melakukan aksi ini dengan berbagai kegiatan bekerja sama dengan Kemenkes, WHO, rumah sakit, Puskesmas, BPBD, Pemda dan lintas fakultas dalam memberikan pendampingan guna membantu Fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia agar siap dalam menghadapi krisis kesehatan.

Lewat Deklarasi UGM kampus tangguh bencana, maka pengembangan kurikulum manajemen bencana masih akan tetap dilakukan dan selalu dievaluasi agar Fakultas Kedokteran khususnya bisa memiliki mahasiswa yang memahami peran mereka jika masuk dalam situasi bencana. Tidak hanya mahasiswa, tetapi pihak Ilmu Kesehatan masyarakat (IKM) di Fakultas Kedokteran akan membangun sistem keselamatan kerja terhadap dosen, staf, satuan keamanan, petugas yang sehari-hari bertugas saat jam kerja dan di luar jam kerja, untuk siap menghadapi situasi gawat darurat. Harapannya tidak hanya di lingkungan IKM tetapi seluruh civitas di lingkungan FK akan terbangun sistem Keselamatan kerja dan bangunan yang aman (safety building).

Notulen: Intan Anatasia N.P., M.Sc.,Apt


 

Pembahas : drg. HM Taufiq Ak, M. Kes,

Dinas Kesehatan Provinsi D.I. Yogyakarta

Dalam melakukan sinkronisasi pembangunan kesehatan, pihak terkait dalam hal ini adalah stakeholder, harus memiliki ideologi yang sama. Sederhananya adalah pemahaman, konsep, dan kesepakatan yang sama agar sinkronisasi ini dapat terjadi. Cotohnya, di Provinsi D. I. Yogyakarta selama ini jika daerah akan menyusun suatu kebijakan (kesehatan), daerah harus paham bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat, kesehatan masyarakat, dan prinsip dasar pembangunan kesehatan. Fokus yang harus disepakati, diatur dalam suatu kebijakan yang dapat berlaku lokal masing-masing, jadi harus ada kesepakatan bersama. Mulai dari kepemimpinan, perbaikan kebijakan, dan perbaikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari BPJS Kesehatan, bahwa pelayanan kuratif BPJS Kesehatan telah membayar 6,9 Trilyun untuk di D. I. Yogyakarta. Ini menjadi contoh bahwa dalam proses pembiayaan akan memiliki dampak yang luas khususnya juga kepada masalah ekonomi secara luas. Maka, perlu ada tindak lanjut mulai dari apa yang harus dilakukan selanjutnya dan bagaimana sinkronisasi yang akan kita kerjakan. Jika semisal sudah ada RPJMD, ada hukum, ada kewenanagan, tapi ternyata ada permasalahan yaitu perbedaan prioritas masalah. Masalah penentuan prioritas ini tidak mudah. Perlu ada sinkronisasi kebijakan dulu dalam tingkat stakeholder (misal dalam 5 tahun pemilu) dan kita harus seoptimal mungkin menggunakan sumber daya yang kita miliki. Selain itu, dengan adanya laporan dari BPJS Kesehatan tersebut, kita harus dapat melakukan standar pelayanan kesehatan di Indonesia. Standar pelayanan ini sebaiknya juga mencakup dari kualitas, mutu, dan akses ke pelayanan kesehatan yang optimal. Salah satu sistem yang harus diperbaiki adalah masalah sistem rujukan, kompetensi dan kualitas SDM Kesehatan, profil kemampuan masing-masing FKTP dan FKTL, mengembangkan permberdayaan masyarakat, mutu pelayanan, dan lingkungan. Sinergisme aspek-aspek tersebut dapat menjadi acuan bagi stakeholder untuk dapat sampai pada penentuan program prioritas bersama, khususnya dalam bidan kesehatan.

Diskusi Panel 2

Moderator : Anis Fuad, DEA

Mengapa permasalahan bencana mudah menjadi penggerak bagi setiap orang yang terkait untuk dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik? (Pertanyaan dari Anis Fuad, DEA)

Jawaban :
Sebenarnya tidak mudah untuk dapat berkoordinasi dalam menanggulangi/tanggap darurat bencana, tapi masing-masing pihak terkait darimanapun, dengan kepentingan yang sama mereka akan menurunkan ego masing-masing sehinigga dapat bersatu dan berkoordinasi dengan lebih baik. Disisi lain, jika dilihat dari sisi manajemen SDM, respon terhadap bencana memberikan spontan recruitment personal yang mudah karena pemahaman bahwa bencana ini erat kaitannya dengan cepat tanggap dan memerlukan respon yang tinggi. Retension dari sisi bencana mulai dari fase emergency respon sampai fase selanjutnya bahkan masih ada terus tenaga-tenaga yang respon/turut serta menolong. Atau dapat dikatakan akan ada retensi yang lebih lama. Dalam proses release personalnya pun bahkan ada ceremony khusus yang dilakukan. Mungkin, hal-hal seperti ini dapat diadopsi untuk diterapkan dalam menghadapi permasalahan kesehatan pada daerah-daerah terpencil atau perbatasan.

Berkaitan dengan masalah sinkronisasi secara umum, dari tingkat provinsi biasanya akan memberikan gamabran secara umum yang akan diterapkan dan disesuaikan oleh masing-masing daerah kabupaten/kota. Permasalahannya adalah apakah penerjemahan maksud dan makna dari gambaran umum provinsi akan ditangkap atau ipahami sama ke depannya oleh kabupaten/kota di wilayahnya. Penerjemahan dalam sinkronisasi dalam waktu yang sama itu biasanya masih menjadi kendala. Tapi, biasanya saat terjadi bencana itu akan terjadi lebih mudah. Pemanfaatan anggarannya pun biasanya akan berbeda karena ada situasi sosial yang memang berbeda dari kondisi biasanya/normal.

Bagaimana meningkatkan retensi tenaga kesehatan di wilayah terpencil? (Pertanyaan via webinar dari Alvin Pasaribu),

Jawaban :
SDM Kesehatan harus dipastikan memiliki kompetensi dan kemampuan yang memadai. Selain itu, harus dipastikan bahwa kemampuan mereka itu cocok dengan kebutuhan masyarakat di lokasi yang menjadi sasaran. Kedekatan dengan pihak lokal juga dapat meningkatkan motivasi dalam bekerja. Disisi lain, dari pihak lokal/daerah juga harus memastikan bahwa ada kesiapan sarana prasarana yang menunjang prosedur kerja tenaga kesehatan terkait. Hal lain yang berpengaruh adalah kaitan dengan masalah insentif dan ikatan dinas Pegawai negeri Sipil (PNS). Mengingat bahwa ini berada di lokasi yang terpencil/perbatasan, maka sebaiknya yang harus dipastikan adalah sistem pelayanan/prosedur yang tetap/terstandar, meskipun nanti tenaga kesehatannya akan berganti-ganti.

Siapakah yang memiliki kewenangan dalam mengharmonisasikan kebijakan/regulasi? (Pertanyaan dari Shita Listyadewi, PhD),

Jawaban :
Dalam tata pemerintahan kita ada 3 lembaga terkait yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif memiliki wewenang dalam mengeluarkan produk hukum Undang-Undang. Dari pihak eksekutif, pemerintah pusat ataupun daerah memiliki c.q untuk lembaga teknisnya melalui kementerian atau instansi di daerah. Yudikatif sendiri memiliki kewenangan untuk menegakkan produk hukum baik di pusat ataupun di daerah. Di sisi lain, dalam melakukan penyusunan regulasi/peraturan, seharusnya juga mengikutsertakan orang-orang ahli yang terkait dengan substansi peraturan yang akan dibuat. Fungsi lain yang tidak boleh dilupakan adalah pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan tersebut harus melihat bahwa jangan sampai ada pertentangan antara peraturan yang dia atasnya atau yang sudah ada sebelumnya. Harmonisasi ini diharapkan dapat menjadi penghubung dalam sinkronisasi substansi kebijakan dari pusat misalnya yang akan diturunkan atau diadopsi di daerah. Harmonisasi ini juga sangat penting untuk dilakukan agar tidak menimbulkan kebingungan/makna ganda dalam suatu regulasi tertentu.

{jcomments on}

Notulensi Panel 3: Isu Prioritas

Telah dilaksanakan diskusi Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017, sesi ini merupakan panel ke-3 yang dimoderatori oleh dr Bella Donna, M.Kes. Bertindak sebagai Pembahas yakni dr. Arida Oetami, M.Kes. Sesi ini memotret penjelasan yang sudah disampaikan oleh dr Nurcholis yang mengangkat tema KB dan Isu care pathway yang disampaikan oleh dr Shinta Prawitasari, SpOG. Menurut dr.Arida apa yang sudah dijelaskan oleh panelis merupakan kegiatan yang saling terkait antara satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan.

Jika melihat permasalahan KB dan KIA maka tidak lepas dari komponen keluarga, misalnya apa yang terjadi di Yogyakarta pada 2016 saja sudah lebih dari 60 kelahiran usia remaja dan hal ini tidak lepas dari komponen keluarga. Menurut Arida ,harus ada pengendalian penduduk baik terkait kualitas maupun kuantitasnya. Kualitas mencakup kualitas hidup termasuk umur harapan hidup), kuantitas yakni dengan pendewaasaan usia pernikahan. Untuk mengatur pertambahan penduduk secara kuantitas maka beberapa hal harus dilakukan dengan pengaturan kehamilan yang diinginkan, pembinaan kepesertaan KB, penggunaan alat obat KB, peningkatan pendidikan, akses layanan KB, penurunan kematian ibu pasca melahirkan dan kematian bayi dan anak. Atau bisa disebut pengaturan fertilitas dan penurunan mortalitas.

Menurut ibu yang pernah menjabat sebagai kepala Dinkes DIY ini, rencananya tahun depan pihak-pihak terkait akan merancang PERDA tentang ketahanan keluarga. Hal ini dilakukan untuk memastikan ibu hamil setelah melahirkan telah menjadi peserta KB baru. Dijelaskan juga bahwa perlu menguatkan sistem mulai dari pemerintah sampai dengan pelayanan KIA, tidak bisa yang diperbaiki hanya sistemnya saja, tapi sistem dalam komunitas itu juga harus dikerjakan. Maka, langkah selanjutnya ialah perlu membentuk konselor keluarga.

Sesi diskusi pada isu prioritas ke-3 berlangsung dengan baik, beberapa pertanyaan disampaikan sebagai bentuk mempertegas kembali terkait dengan kondisi terkini keterlibatan KB dan KIA dalam situasi kesehatan nasional saat ini. Beberapa permasalahan mengemuka terkait permasalahan kematian ibu dan anak, salah satu penyebab diantaranya adalah karena faktor budaya, mutu pelayanan kesehatan yang rendah, meskipun pada permasalahan akses bukan menjadi kendala. Jika dilihat dari program yang dilaksanakan terlihat bahwa masing-masing komponen sepertinya memeiliki agenda sendiri-sendiri padahal tujuannya sama sehingga ke depan diharapkan berhasil dalam mensinegrikan kebijakan antara Kemkes dan BKKBN. (Reporter: Andriani)

 

Sesi Pengantar Umum Kesehatan Global 2017: Resilient Health System

Mengawali Pertemuan Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017 PKMK FK UGM, dr. Yodi Mahendradhatta, MSc, PhD mengisi sesi pertama Pengantar Umum mengangkat tema kesehatan global yang di tahun 2017 yang akan mengusung topik Resilient Health System. Resilient Health System digadang-gadang akan menjadi revolusi besar di sektor kesehatan 2017, karena kata resilient atau resiliensi sendiri secara harfiah dapat diartikan ketahanan dari kejatuhan dan untuk bangkit. Konsep ini sebetulnya bukan konsep kesehatan secara murni, namun diadopsi mengingat banyaknya kejadian dan krisis yang terjadi pada tahun 2016 di berbagai sektor kehidupan yang turut mengancam ketahanan sistem kesehatan global sehingga relevan untuk diterapkan. Menurut jurnal Lancet, 2016 merupakan tahun kegelapan dengan banyaknya krisis yang terjadi termasuk di bidang kesehatan, diantaranya merebaknya Zika Virus yang bahkan dinyatakan oleh WHO sebagai global health emergency.

Kemudian terkait pendanaan kesehatan baik di skala nasional maupun global, berbagai konflik dan isu politis dunia turut berpengaruh terhadap pendanaan kesehatan. Misal akibat konflik Syiria, menyebabkan gelombang imigrasi besar-besaran di berbagai negara Eropa yang mengakibatkan negara-negara Eropa harus mengatur ulang pendanaan kesehatan nasionalnya untuk menangani pengungsi. Sedangkan di sisi lain, negara-negara Eropa memegang peran penting dalam pendanaan kesehatan global sehingga menyebabkan pemotongan kucuran-kucuran dana bagi negara berkembang dan tertinggal. Tidak terkecuali dengan kejadian Brexit atau keluarnya Inggris dari Eropa, yang turut mempengaruhi pendanaan kesehatan global karena Inggris juga merupakan salah satu penyumbang terbesar. Ditambah lagi dengan kondisi politik Amerika pasca terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika, pendanaan kesehatan dunia dalam ketidakpastian sedangkan Amerika merupakan penyumbang terbesar di WHO. Menurut dr. Yodi, dilatarbelakangi kondisi-kondisi inilah maka sistem kesehatan di 2017 agak sulit untuk diprediksi. Maka dalam Simposium Global Health Ke-4 di Vancouver beberapa waktu lalu, ditetapkanlah konsep Resilient Health System ini untuk Sistem Kesehatan 2017. Elemen-elemen dari Resilient System Sistem Kesehatan Global ini adalah :

  • kapasitas mendeteksi ancaman kesehatan sebelum terjadi (detect health system before they strike)
  • seberapa jauh sistem kesehatan komprehensif dan menjangkau masyarakat (melalui JKN)
  • kapasitas sistem mencegah disrupsi
  • seberapa cepat sistem memobilisasi sumber daya di luar kesehatan
  • sistem cepat bangkit ketika terguncang

Refleksi Sektor Kesehatan Secara Umum di Indonesia

Masih dalam sesi Pengantar Umum, pembahasan kedua mengangkat tema Refleksi Sektor Kesehatan Secara Umum di Indonesia, oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro. Dalam presentasinya Prof. Laksono mencoba merefleksikan kembali kondisi sistem kesehatan di Indonesia di tahun 2016 yang ternyata masih banyak masalah. Pertama dari sisi pembiayaan kesehatan, di tahun ke-3 pelaksanaan JKN Presiden Joko Widodo menyatakan, pemerintah mengalami kerugian mencapai 7 trilyun rupiah akibat defisit dana BPJS karena dana PBI digunakan oleh PBPU sehingga tidak tepat sasaran. Kedua, dari sisi hubungan antar lembaga, masih terjadi disharmonisasi antara BPJS dengan daerah karena sistem BPJS tidak match dengan sistem desentralisasi. Ketiga dari sisi supply side, yang menjadi keprihatinan adalah pertumbuhan rumah sakit swasta profit yang semakin agresif dibandingkan jenis rumah sakit lainnya, kemudian untuk penyebaran dokter spesialis kurang merata dan masih terpusat di Jawa. Keempat, dari sisi Promosi Kesehatan juga masih memprihatinkan, karena meski dananya sudah ada namun programnya tidak juga berjalan karena tenaga ahlinya masih kurang. Kelim,a dari sisi Alokasi Anggaran 2016 masih banyak klaim dana yang tertunda di BPJS, serta kasus fraud juga belum tertangani dengan baik. Melihat berbagai permasalahan ini maka kita patut pesimis bahwa UHC 2019 dapat tercapai di Indonesia, mengingat upaya pemerataan kesehatan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebagai goal UHC masih jauh dari harapan. Sehingga solusi di tahun 2017 adalah fokus pada pembiayaan kesehatan dan evaluasi kebijakan pembiayaan kesehatan (UU SJSN tahun 2004 dan UU BPJS tahun 2011). Fokus pada pembiayaan kesehatan dalam hal ini antara lain :

  1. Solusi Penambahan Sumber Dana : peningkatan penerimaan pajak, memberlakukan kebijakan batas atas untuk pengeluaran jumlah tertentu kelebihannya ditutup oleh Pemda
  2. Solusi pembatasan pengeluaran BPJS : pemberlakuan batas atas untuk PBPU, pemberlakuan batas atas untuk rumah sakit
  3. Solusi realisasi dana kompensasi BPJS, yang diatur dalam UU SJSN tahun 2004

Sementara itu, memasuki sesi diskusi, berbagai pertanyaan dan pernyataan mengemuka dari para peserta Pertemuan Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017, yang ditujukan kepada kedua pembicara sesi pengantar umum. Diantaranya mengenai keprihatinan banyaknya stateless people seperti anak jalanan yang notabene tidak memiliki identitas resmi sehingga posisinya tidak diatur dalam JKN. Menanggapi hal ini, dr. Yodi berpendapat bahwa dari sisi kesehatan global permasalahan stateless people tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di negara-negara maju jumlahnya masih banyak dan menjadi perhatian pemerintah. Sementara menurut Prof. Laksono, dari sisi kesehatan nasional permasalahan stateless people dalam status kesehatan dapat diatasi melalui Jamkesda. Meski di tahun 2017 wacananya Jamkesda akan dilebur ke dalam JKN. Namun menurutnya lebih baik Jamkesda jangan sampai hilang, karena BPJS dinilai masih belum siap mengambil alih semua beban pembiayaan kesehatan.

Pertanyaan kedua datang dari dr. Handoyo Pramusinto dari Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM, yang menanggapi tema kesehatan 2017 : Resilient Health System sejalan dengan manajemen krisis, sekaligus menanyakan apakah UHC 2019 hanya merupakan beban BPJS saja dan bagaimana keadilan BPJS terhadap kesenjangan daerah. Menanggapi pertanyaan ini dr. Yodi mengungkapkan bahwa resiliensi masyarakat Indonesia menghadapi krisis diacungi jempol oleh dunia internasional, namun sistemnya yang perlu diperbaiki. Sedangkan terkait pertanyaan UHC, Prof. Laksono setuju bahwa UHC tidak bisa dibebankan kepada BPJS saja untuk keberhasilannya karena ternyata memang belum mampu.

Sementara itu, dr. Siti Noor Zaenab, M.Kes turut memberikan pendapatnya dengan menyatakan tidak cukup bila solusi pembiayaan kesehatan 2017 hanya dengan pemberlakuan batas atas saja. Melainkan perlu dilakukan perbaikan kelembagaan di semua lini, baik BPJS, rumah sakit, dan Pemda.

{jcomments on}

 

 

Diskusi Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017

The Phoenix Hotel Yogyakarta, Jumat, 23 Desember 2016

08.00-08.30

Registrasi

08.30-08.45

Sambutan dan Pembukaan
dr. Yodi Mahendradhata, MSc. Ph.D (Direktur PKMK)

video

Pengantar Umum (Moderator: Shita Dewi)

08.45-09.05

Refleksi Kesehatan Global
dr. Yodi Mahendradhata, MSc. Ph.D (Direktur PKMK)

materi   video

09.05-09.25

Refleksi Sektor Kesehatan secara umum di Indonesia
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D (Ketua Board PKMK)

materi   video

09.25-10.00

Sesi Diskusi

video   notulensi

10.00-10.20

Rehat Pagi

Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017

10.20-11.30

Panel 1: JKN dan Pembangunan Kesehatan dari Pinggir
Moderator: dr. Yodi Mahendradhata, MSc. Ph.D

PH: Penggunaaan Dana Kapitasi untuk Penguatan Layanan Primer
(dr. Likke Prawidya Putri, MPH)

materi

RS: Penguatan RS di Indonesia pasca 2 tahun JKN
(Sarwestu Widyawan, MPH)

materi

Mutu: Implementasi National Quality Framework
(drg. Puti Aulia Rahma, MPH) 

materi

Simkes: Reformasi Mental Sistem Informasi JKN
(Anis Fuad, S.Ked. DEA)

materi

Pembahas: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Ph.D

11.30-13.00

Istirahat dan makan siang

13.00-14.10

Panel 2: Isu Prioritas
Moderator: Anis Fuad, S.Ked, DEA

Sinkronisasi RPJMN RPJMD
(Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes)

materi

Sinkronisasi Produk Hukum di Bidang Kesehatan
(Rimawati, SH. M.Hum)

materi

Team Based Deployment
(Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes MAS)

materi

Emergency Medical Team
(dr. Bella Donna, M.Kes)

materi

Pembahas: Kepala Dinas Kesehatan DIY

materi   notulensi

14.20-15.00

Panel 3: Isu Prioritas
Moderator: dr. Bella Dona, M.Kes

Monitoring Evaluasi Keluarga Berencana
(dr. Nurholis Majid, M.Kes)

materi

Care Pathway untuk KIA
(dr. Shinta Prawitasari, SpOG)

materi

Pembahas: dr Arida Oetami, MKes

materi   notulensi

15.10-16.10

Knowledge dissemination and translation

Moderator: DR dr Andreasta Meliala, MKes, MAS
Narasumber: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D)

materi

Pembahas: Prof. dr. Adi Utarini, MPH, MSc, PhD [10’]

materi

16.10-16.20

Penutupan (dr. Yodi Mahendradhata, MSc. Ph.D)

  Foto Bersama dan Rehat 

 

 

 

 

 

 

 

Notulensi: Expanding UHC in The Presence of Informality in Indonesia: Challenges And Policy Implications

Seminar Ekonomi Kesehatan melalui webinar yang pertama dilaksanakan pada Kamis (8/12/2016). Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Departemen Health Policy and Management (HPM) FK UGM, PKMK FK UGM dan sejumlah pakar di bidang ekonomi dan kesehatan yang terkait.

Diskusi pertama diisi oleh Teguh Dartanto, PhD (LPEM FE UI). Teguh memberikan sejumlah pandangan berbasis riset seputar perjalanan JKN 3 tahun ini. Fokus utama yang disorot salah satu penelitian LPEM FE UI ialah informal sector yang menggunakan banyak dana kapitasi (untuk pengobatan) namun banyak yang enggan rutin membayar premi. Sejak awal berlakunya JKN, ahli kesehatan masyarakat di Indonesia yakin roadmap universal health coverage akan tercapai pada 2019. Namun, para ahli kesmas ini belum memperhatikan bahwa terdapat faktor perilaku masyarakat (belum tentu mau bergabung menjadi peserta), tambah Teguh.

Perjalanan asuransi kesehatan Indonesia menarik, ide awal muncul di tahun 1957 dengan adanya proteksi pekerja sosial, kemudian tahun 1968 muncul asuransi kesehatan. Perkembangan kemudian, yaitu tahun 1992 terbentuk PT Askes. Tahun 1998 pemerintah mencanangkan jaring pengaman sosial (JPS). Lalu pada tahun 2008 lahirlah jaminan kesehatan masyarakat/jamkesmas. Terakhir, pada 2014 seluruh warga harus bergabung ke BPJS Kesehatan atau sistem JKN.

Sayangnya, kebijakan yang terakhir ini mewajibkan seluruh warga tergabung dalam JKN, bukan memiliki proteksi kesehatan Dalam meng-cover kesehatan warga, terdapat dua sistem, yaitu non contributory misalnya Thailand yang menanggung biaya kesehatan warganya melalui pajak namun ini terbatas dan sustainability-nya kurang baik. Kedua, contributory yang seperti diterapkan Filipina, dimana sistem ini lebih sustainable, dan meminta kontribusi dari seluruh warganya (membayar premi). Roadmap JKN terlihat baik, namun saya tidak yakin akan berjalan baik.

Proses JKN yang berjalan di Indonesia, masih terjadi deficit keuangan, menurut data tercatat bahwa 3,1 Trilyun (2014), 5,8 Trilyun (2015), 6,8 Trilyun (proyeksi 2016), dan 8,6 Trilyun (proyeksi 2017). Meskipun kepesertaan meningkat drastis yaitu 168 juta peserta per September 2016.

Tugas besar bersama ialah bagaimana meningkatkan kepesertaan JKN dan bagaimana mendorong peserta agar rutin membayar premi?

LPEM UI melakukan riset pada April 2014, 3 bulan pasca pelaksanaan JKN, sejumalh 400 responden di Deli Serdang, Pandeglang, Kupang diberi pemahaman terkait sistem yang baru yaitu JKN. Para responden ialah mereka dari sector informal yang kemungkinan bergabung menjadi peserta JKN. Ada dua poin yang menarik yaitu orang mau bergabung jika fasilitas kesehatan yang ada baik. Kemudian, masyarakat juga membutuhkan pengetahuan tentang asuransi kesehatan, masih ada pertanyaan jika tidak sakit apakah uang bisa kembali?. Faktanya, banyak sektor informal yang tidak menjadi peserta karena pendapatannya yang tidak rutin. Selain itu, banyak peserta yang mendaftar karena sakit (atau membutuhkan perawatan segera).

Kesimpulannya, Teguh menyarankan agar ada integrasi jamkesda ke JKN, untuk seluruh daerah, karena masih banyak daerah yang tidak bergabung karena merupakan janji politik di awal kepemimpinan. Kemudian, perlu dibangun kesadaran bersama tujuan akhir JKN ialah dapat meng-cover kesehatan seluruh warga. Maka, perlu dilakukan analisis bersama antara ahli kesmas, ekonom dan ahli keuangan agar hasilnya dapat diterima semua pihak. Perlu dipertimbangkan pula apakah Sin Tax (cukai rokok) akan digunakan dalam JKN atau tidak, faktanya idealnya cukai rokok akan semakin rendah karena program Tobbaco Control yang berhasil dilakukan (W).

 

Medical School Universitas Gadjah Mada Department
of Health Policy and Management Economics Seminar Series

English

In the past several decades, health economics has emerged as an established sub-field within the field of microeconomics. Its development both in theoretical and vast amount of empirical research has shaped the design of health policy across the world. Launched in December 2016, this seminar series intend to discuss recent findings on various topics in health economics which are relevant to current Indonesian policy in the health sector. Invited speakers are established or young and emerging researchers in the field of health economics who are preparing to publish their work in reputable peer-reviewed journals. The series will provide technically rigorous discussions as well as a platform for fostering future research collaborations between researchers in the field. The seminar will be held bi-monthly. Topics in the seminar will include:

  1. Health and health services production
  2. Health services demand and utilization
  3. Health services and/or health systems financing
  4. Health measurement
  5. Policy interventions on health-related behaviours
  6. Efficiency aspects of health policy
  7. Organization of health care market

Series Organizer: Giovanni van Empel (MSc Health Economics alumni, University of York; MD student, Universitas Gadjah Mada)

Supervisor : Professor Laksono Trisnantoro (Chair, Department of Health Policy and Management – Universitas Gadjah Mada)

We are open for suggestions on potential speakers for upcoming seminars. For suggestions and more information on these seminars please contact: Giovanni van Empel (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.)

  Scheduled Speakers:

No.

Speaker

Paper Title

Date

1

Teguh Dartanto, P.hD
(LPEM FEUI)

notulensi

video 1   video 2

Expanding Universal Health Coverage in The Presence of Informality in Indonesia: Challenges And Policy Implications

8 December 2016

paper

2

Darius Erlangga (P.hD candidate, University of York)

Notulensi

video 1   video 2

The Impact of public health insurance on healthcare utilisation in indonesia

24 February 2017

materi

3

Asri Maharani

(PhD student, University of Manchester) 

video

The double-edge sword of corporatisation in hospital sector: Evidence from Indonesia

21 April 2017

materi

3

Hafidz Firdaus

(PhD student, University of Leeds)

Assesing Hospital Performance in Indonesia: An Application of Frontier Analysis Technique

Januari 2018

materi

3

dr. Fikru Rizal, MSc

video

Explaining the Fall in Socioeconomic Inequality of Childhood Stunting in Indonesia

November 2018

materi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pendidikan dan Penelitian untuk Penelitian
dan Isu Kebijakan dan Sistem Kesehatan

Oleh: Laksono Trisnantoro

Di dalam simposium ini, sekelompok dosen perguruan tinggi yang mendidik pogram pasca Kebijakan dan Manajemen Kesehatan berkumpul untuk membahas Pendidikan dan Pelatihan untuk penelitian kebijakan dan sistem kesehatan. Kelompok ini dimotori oleh London School of Hygiene dan Tropical Medicine bersama dengan CHEPSAA, sebuah jaringan dari Afrika.

Ada pembicara dari CHEPSAA yang membahas mengenai pelaksanaan workshop untuk Kepemimpinan dan Manajemen. Mengingat isinya, serial workshop ini mengundang coaches dari luar, tidak hanya dari perguruan tinggi. Materi tentang kepemimpinan sangat banyak diberikan, termasuk mengenai The art of effective listening, Management vs Leadership, dan menangani orang per orang yang berbeda perangai dan sifat. Satu hal yang ditekankan adalah pengajaran diharapkan mampu melakukan refleksi apa yang ada di lapangan. Kegiatan refleksi ini dilakukan pada workshop dan diikuti kemudian pembelajaran di tempat kerja.

Pembicara Quan Li dari Shinchuan University, West China serta Prof. Kara Hanson memaparkan Joint Initiative antara China dengan London School of Hygiene and Tropical Medicine. Kerjasama ini untuk melakukan pelatihan-pelatihan mengenai Health Policy and System Research di West China dalam bentuk short courses. Pembelajaran dilakukan melalui adaptasi modul CHEPSAA dengan modifikasi terutama di bagian evaluasi. Pelaksanaan dilakukan dengan membentuk working group dan melakukan pelatihan setiap minggu.

Akses terhadap materi CHEPSAA dapat dilihat pada link berikut:

klik disini

 

Pembicara berikutnya adalah dari proyek ARCADE European Union yang membahas penggunaan kursus-kursus online dan blended learning. Pengalaman dengan model online dan blended learning adalah: isinya tepat untuk pembelajaran di berbagai negara, terdapat interaksi aktif antar peserta; meningkatkan independensi dalam proses belajar. Meskipun masih terdapat problem dalam bahasa yaitu masalah aksen, serta berbagai kesulitan teknis.

Ada berbagai tantangan untuk dosen yang melakukan hal ini, antara lain: model pembelajaran ini masih sangat baru. Motivasi dosen masih banyak yang rendah; ada fleksibilitas dan memberi peluang untuk diskusi real-time. Namun disadari juga bahwa system blended dan online ini mempunyai keterbatasan waktu.

Kunci untuk pembelajaran di masa mendatang adalah: peningkatan kemampuan perguruan tinggi untuk melakukan Blended Learning; adanya kolaborasi antar perguruan tinggi; adanya target yang jelas untuk siapa yang akan dilatih; adanya dukungan staf yang ahli e-learning secara baik; bagaimana system Quality Assurance dapat dilakukan; integrasi dalam kurikulum Master dan Akreditasi, serta dukungan infrastruktur.

arcadeBagi Anda yang ingin mempelajari lebih lanjut proyek ini silahkan klik website:

http://www.arcade-project.org 

Untuk berbagai bahan dan modul pembelajaran, silahkan klik link berikut:

http://healthsystemsglobal.org/twg-group/4/Teaching-and-Learning-Health-Policy-and-Systems-Research/

 

  Refleksi untuk Indonesia

Sistem kesehatan di Indonesia yang saat ini sedang mengalami perubahan besar, perlu dukungan sistem pembelajaran. Siapa yang membutuhkan sistem pembelajaran. Banyak sekali, antara lain:

  • Pejabat di Kementerian Kesehatan
  • Para Pimpinan dan Staf Dinas Kesehatan Propinsi (34 propinsi) dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Lebih dari 500 kab/kota)
  • Anggota DPR dan DPRD Komisi Kesehatan
  • Pimpinan dan staf BPJS
  • Pimpinan dan Staf Bappenas dan Bappeda
  • Manajer di lebih dari 2000 RS se-Indonesia
  • Pimpinan Perhimpunan Profesi dan Asosiasi Pelayanan Kesehatan
  • Pimpinan lebih dari 7000 puskesmas
  • Dosen di lebih dari 70 FK dan lebih dari 150 FKM/Stikes
  • Peneliti-peneliti
  • Sampai ke mahasiswa

Untuk menjangkau ribuan sasaran ini, cara terbaik memang seperti yang dijalankan oleh proyek ARCADE dan dari kelompok Health System Group ini yaitu mengandalkan pada program online dan Blended Learning berbasis website. Untuk Indonesia yang mempunyai profil geografis kepulauan, sistem berbasis jarak jauh ini merupakan keharusan. Tidak mungkin akan terjadi proses pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan hanya dengan tatap muka untuk puluhan ribu pengguna yang tersebar di berbagai pulau.

PKMK FK UGM telah merintis kegiatan ini selama 5 tahun. Masih banyak problem yang dihadapi, yang mirip dengan apa yang dibahas di sesi ini. Akan tetapi secara perlahan berbagai problem mulai dapat diatasi dan saat ini berbagai pihak seperti PERSI, KARS, berbagai RS Rujukan Nasional sudah mulai melihat potensi pembelajaran seperti ini. Memang masalah teknis berupa dukungan internet yang bandwith besar masih menjadi kendala. Namun dengan adanya dukungan pemerintah untuk memperluas cakupan internet yang broad band, masalah teknis ini diyakini akan berkurang.

Masalah yang diproyeksikan masih terus menghambat adalah justru motivasi para dosen atau pelatih untuk menggunakan. Hal ini dirasakan di berbagai proyek perintisan yang ada di ARCADE atau di CHEPSAA. Hal ini akan menjadi masalah utama di masa depan apabila Indonesia kekurangan dosen atau instruktur yang mempunyai motivasi tinggi untuk memberikan pelajaran atau penyebaran ilmu secara jarak-jauh. Untuk itu program pengembangan ini perlu didukung bersama antar berbagai pihak.

Reportase Terkait: 

{jcomments on}

Penutup Laporan

Oleh: Laksono Trisnantoro

vcc-2

Simposium Global Health System Research ke-4 telah diselenggarakan pada 14-18 November 2016 di Vancouver Kanada, mengangkat tema Resilient and Responsive health systems for a changing world.

Bahan-bahan simposium ini menarik untuk dipelajari dalam kerangka memicu kemajuan sistem kesehatan di Indonesia. Selama 5 hari pertemuan, tim PKMK FK UGM yang terdiri dari Laksono Trisnantoro, Ni Luh Putu Andayani, Shita Listya Dewi, dan Yodi Mahendradhata telah melaporkan berbagai topik yang dinilai sangat relevan untuk Indonesia.

Diharapkan para pembaca laporan ini adalah para peneliti kebijakan, pengambil kebijakan, serta para mahasiswa yang tertarik mempelajari kebijakan dan sistem kesehatan. Harapan lebih lanjut tentu ada follow-up dari laporan ini. Apa yang akan dilakukan setelah kegiatan di Vancouver?

Dalam hal ini, PKMK FK UGM bersama dengan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia berusaha untuk melakukan berbagai kegiatan, antara lain:

  1. Melakukan diskusi atau pertemuan ilmiah mengenai apa yang didapatkan di Vancouver. Sebagai contoh, untuk akhir tahun ini akan membahas mengenai buku Evidence Based Policy dalam konteks UHC di dunia dan di Indonesia.
  2. Ada berbagai topik yang perlu ditindak lanjuti dengan pelatihan-pelatihan, misalnya mengenai Riset Implementasi, ataupun melakukan penyebaran hasil penelitian kebijakan.
  3. Melakukan diskusi dengan pakar-pakar internasional yang mempunyai perhatian ke Indonesia. Diskusi ini akan dilakukan dengan menggunakan webinar.
  4. Melakukan penelitian-penelitian secara lebih tajam dan menyusun proposal-proposal baru.

Untuk rencana tindak lanjut topik Implementation Research adalah sebagai berikut

  1. Pengembangan Proposal NIH bersama John Hopkins University Bloomberg School of Public Health untuk pengembangan teori (misal: scaling up) dan metode (misal pengukuran sustainability) IR
  2. Pelaksanaan pelatihan IR bagi komite etik bersama WHO/TDR: ini diperlukan karena sebagian besar komite etik belum familiar dengan konsep IR sehingga kurang siap dalam review proposal IR
  3. Fasilitasi pelaksanaan IR Massive Open Online Course di Asia Tenggara bersama WHO/TDR
  4. Peluncuran strategi nasional IR bersama Balitbangkes
  5. Pelaksanaan workshop penyusunan proposal bagi topik-topik prioritas dalam strategi nasional
  6. Pengembangan modul pelatihan IR khusus bagi pelaksana program bersama Alliance of Health Policy and Systems Research.

Dengan demikian diharapkan isu-isu ataupun pendekatan global dapat dipergunakan di Indonesia untuk mencari solusi yang lebih baik demi peningkatan indikator sistem kesehatan. Di samping itu, berbagai website penting untuk pengembangan sistem kesehatan dapat diklik untuk dipelajari lebih mendalam.

Mohon dapat terus mengikuti kegiatan di website www.kebijakankesehatanindonesia.net 

Andaikata mempunyai saran dan usulan, mohon dapat ditulis pada kolom komentar dibawah

Reportase Terkait:

{jcomments on}