SIMPOSIUM III

Simposium III ICTOH dilaksanakan pada Jum'at (30/5/2014) pukul 13.55-16.30 WIB di Royal Ballroom, Hotel Royal Kuningan.

Ifdhal Kasim, SH (mantan Ketua Komnas HAM) menyampaikan materi terkait HAM, Pengendalian Tembakau dan Peran Negara. Saat ini, di Indonesia, konsumsi rokok cenderung meningkat. Pada tahun 2013, produksi rokok sebanyak 302 miliar batang, yang berarti 1.313 batang / mulut (termasuk bayi). Menurut GATS 2011, Indonesia menempati urutan ketiga (36,1%) setelah China dan India. Menurut pasal 29 ayat 3 UU no 39 th 1999 tentang hak asasi manusia, ada hak atas lingkungan hidup yang bbaik dan sehat. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia warganya. Ketentuan HAM dalam FCTC meliputi: a) Prioritas hak untuk melindungi kesehatan masyarakat, b) Hak atas kesehatan, c) Hak mengakses informasi, d) Melindungi hak anak-anak, e) Melindungi hak wanita

Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc., PhD. (Wakil Menteri Kesehatan Indonesia) menyampaikan materi yaitu Upaya Peegendalian Tembakau di Indonesia. Menurut GYTS (2009) dan GATS (2011):

  1. Sebanyak 51,3% orang dewasa terpapar AROL di tempat kerja
  2. Sebanyak 78,4% orang dewasa terpapar AROL di rumah
  3. Sebanyak 85,4% orang dewasa terpapar AROL di restoran
  4. Sebanyak 68,8% remaja (13-15 tahun) terpapar AROL di rumah
  5. Sebanyak 78,1% remaja (13-15 tahun) terpapar AROL di luar rumah

Kemudian menurut GYTS (2009):

  1. Sebanyak 89,3% remaja (13-15 tahun) melihat iklan rokok melalui billboard
  2. Sebanyak 76,6% remaja (13-15 tahun) melihat iklan rokok melalui majalah/koran
  3. Sebanyak 11,3% remaja (13-15 tahun) memiliki barang dengan logo industri rokok
  4. Sebanyak 7,7% remaja (13-15 tahun) pernah menerima rokok gratis

Program pengendalian tembakau meliputi,

  1. Promotif dan preventif:
    1. KTR sudah ada di 127 kabupaten/kota di 32 provinsi
    2. Informasi, edukasi dan komunikasi
    3. Advokasi, melalui Aliansi bupati/walikota
  2. Penanganan penyakit:
    1. Pengobatan
    2. Upaya berhenti merokok
  3. Aturan perundang-undangan:
    1. UU No. 36 Th 2005 tentang Kesehatan
    2. PP No 109 Th 2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau bagi Kesehatan
    3. Permenkes No 28/2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan
    4. PP No 109/2012 pasal 49: Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan KTR
    5. PP No 109/2012 pasal 50: KTR diberlakukan pada:
      1. Fasyankes
      2. Tempat proses belajar mengajar
      3. Tempat anak bermain
      4. Tempat ibadah
      5. Angkutan umum
      6. Tempat kerja
      7. Tempat umum atau tempat lain yang ditentukan

Ada argumen bahwa kebijakan KTR 100% melanggar hak asasi perokok, penjelasan untuk hal ini ada di peraturan terkait: pertama. setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat (pasal 9 ayat 3 UU No 39/1999 tentang HAM). Kedua, paparan asap rokok orang lain melanggar HAM. Ketiga, H\hak perokok untuk merokok tidak sama dengan hak untuk mencemari udara dengan racun yang akan dihisap dan mengancam hak hidup orang lain. Keempat, kebijakan KTR tidak melarang orang merokok, tetapi mengatur tempat orang merokok. Kellima, keselamatan pekerja ukan pilihan antara pekerjaan dengan kesehatan yang dikorbankan

Upaya menuju aksesi FCTC 2012 – 2014:

  1. Desember 2012: PP 109/2012. Isi PP sudah sejalan dengan FCTC. PP mendapat dukungan luas dari pemerintah dan masyarakat
  2. 2013 – 2014:
    1. Sosialisai PP 109/2012
    2. Berbagai upaya advokasi, koordinasi, edukasi tentang aksesi FCTC kepada pihak pemerintah dan masyarakat melalui pertemuan, dialog interaktif di media elektronik, dan informasi di media cetak

 

  1. Argumen pihak industri rokok untuk melawan upaya aksesi FCTC:
    1. Petani: Aksesi mengancam petani tembakau dan cengkih karena akan kehilangan pasar
    2. Pengangguran: Industri rokok berperan besar memberi lapangan kerja. Aksesi akan mengurangi lapangan kerja.
    3. Pendapatan negara: Pendapatan dari industri rokok berperan besar dalam pembangunan. Aksesi mengancam pendapatan negara.
  2. Tantangan dalam pengendalian ntembakau:
    1. Komitmen politik pemerintah pusat maupun lokal sebagai pembuat kebijakan masih terbatas
    2. Perlu strategi holistik dalam pengendalian tembakau
    3. Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat kurang memadai berkaitan dengan masalah kesehatan akibat mengonsumsi tembakau
    4. Terbatasnya kebijakan yang mendukung pengendlian tembakau di luar bidang klesehatan

Kesimpulannya: pertama, konsumsi tembakau merupakan ancaman terhadap kualitas, terutama produktivitas SDM. Oleh karena itu, perlu upaya berkesinambungan untuk memastikan pencapaian tujuan pengendalian tembakau di Indonesia. Kedua, peran pemerintah pusat meupun local, termasuk organisasi masyarakat, sangat penting dalam percepatan dan kepastian dari semua upaya untuk mencegah dan mengendalikan masalah merokok.

Arimbi Heroepoetri, LL.M (Komisioner Komnas Perempuan) menyampaikan Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan dan Anak dari Dampak Produk Tembakau. Definisi kesehatan reproduksi yaitu suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan social secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi serta fungsi dan prosesnya. Ruang lingkup kespro secara luas:

  1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir
  2. Keluarga berencana
  3. Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR), termasuk PMS-HIV/AIDS
  4. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi
  5. Kesehatan reproduksi remaja
  6. Pencegahan dan penangan infertilitas
  7. Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis
  8. Berbagai aspek kespro lain, misalnya kanker serviks, mutilasi genetika, fistula dll.

Abdillah Ahsan, SE., M.SE (Lembaga Demografi, Fak. Ekonomi Universitas Indonesia), memaparkan Dampak Sosial Ekonomi Masyarakat akibat Konsumsi Produk Tembakau

  1. Angka ketergantungan penduduk terus meningkat:
    1. Tahun 1970: 1 orang bekerja menanggung hampir 1 anak
    2. Tahun 2000: 2 orang bekerja menanggung 1 anak
    3. Tahun 2020-2030: 3 orang bekerja menanggung 1 anak
    4. Setelah tahun 2030: tanggungan meningkat karena pesatnya pertambahan lansia
  2. Bonus demografi landasan pertumbuhan ekonomi, dengan syarat:
    1. Suplai tenaga kerja yang besar meningkatkan pendapatan per kapita bila ada kesempatan kerja yang produktif dan bisa menabung
    2. Peranan perempuan: jumlah anak sedikit memungkinkan perempuan memasuki pasar kerja, membantu peningkatan pendapatan
    3. Tabungan rumah tangga yang diinvestasikan secara produktif
    4. Modal manusia yang besar bila ada investasi untuk itu. Modal manusia terdiri dari pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.
    5. Meningkatnya konsumsi rokok akan menurunkan kualitas kesehatan dan mengancam pencapaian bonus demografi.
  3. Keinginan untuk berhenti merokok: Indonesia 10,5%, Bangladesh 39,1%
  4. Pengeluaran untuk rokok dan sirih di rumah tangga termiskin setara dengan:
    1. 13 kali pengeluaran untuk daging
    2. 5 kali pengeluaran untuk susu dan telur
    3. 2 kali pengeluaran untuk ikan
    4. 2 kali pengeluaran untuk sayur-sayuran
    5. 6 kali pengeluaran untuk pendidikan
    6. 6 kali pengeluaran untuk kesehatan
  5. Menurut Soewarta Kosen (2012), pada tahun 2010:
    1. Kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait dengan meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait dengan merokok sebesar Rp. 105,3 T
    2. Biaya pembelian rokok Rp. 138 T
    3. Biaya rawat inap akibat penyakit terkait dengan merokok Rp.1,85 T
    4. Biaya rawat jalan akibat penyakit terkait dengan merokok Rp. 0,26 T
  6. Konsumsi rokok adalah perangkap kemiskinan:
    1. Konsumsi rokok mengurangi pendapatan yang bisa dibelanjakan  timbul kesempatan yang hilang  salah satu faktor penyebab kemiskinan
    2. Kebiasaan merokok menimbulkan banyak penyakit berbahaya  meningkatkan disabilitas, morbiditas dan mortalitas  menurunkan produktivitas tenaga kerja nasional
    3. Kebiasaan merokok  penyakit  meningkatkan biaya kesehatan

Drs. Manager Nasution, MA. (Komisioner Komnas HAM), Pengendalian Tembakau sebagai Upaya Perlindungan atas hak Kesehatan dan Hak Hidup. Ada dua peraturan yang ditegaskan Manager, yaitu Pasal 28H UUD 1945: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Serta UU No 39/1999 tentang HAM, Pasal 9 ayat 3: Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 52: Setiap anak berhak atas perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia da untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hokum bahkan sejak dalam kandungan.

Diskusi:

Usul Wamenkes meminta kepada presiden SBY di akhir masa jabatan 'meninggalkan warisan' ratifikasi FCTC. Indonesia terlibat dalam pembuatan draft FCTC, tidak ada alasan menunda-nunda ke depannya, setelah konferensi meminta presiden SBY mengaksesi FCTC. Penerima bantuan jaminan kesehatan mampu membeli rokok Rp. 300.000 per bulan, maka perlu validasi ulang. Bila tidak mungkin, perokok menjadi kriteria. Bila tidak mungkin juga, dibedakan kartu antara perokok dan bukan perokok (misalnya dengan warna yang berbeda), sehingga mudah dibedakan.

Perlu segera dijalin kerjasama dengan Persatuan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) dengan 'menularkan' ilmu pengendalian tembakau. Dengan meningkatnya tingkat ekonomi suatu bangsa, kasus kanker leher rahim akan menurun, tetapi di Indonesia justru meningkat (perlu penelitian ulang tentang risiko kanker leher rahim pada wanita yang memiliki pasangan yang merokok). Negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi HAM warganya. Bila tidak meratifikasi FCTC, berarti negara tidak bertanggungjawab. Apa aksi Komnas HAM untuk ratifikasi FCTC? Tidak fair bila kartu jaminan kesehatan perokok berbeda warna dengan bukan perokok, karena perokok adalah korban dari industri rokok.

Tanggapan:

Wamenkes akan menyampaikan kepada presiden SBY (SBY pernah menyampaikan setuju untuk meratifikasi FCTC bila semua menteri setuju). Indonesia memang terlibat dalam pembuatan draft FCTC, tetapi tidak ikut menandatangani.. Realitas di Indonesia: 32% orang miskin merokok. Memang perlu kerja sama, FCTC sesuai dengan UU kesehatan. UU berlaku untuk semua kementrian, sehingga Kementrian Perindustrian harus patuh. Bila menolak, berarti melanggar UU. Firma hukum di Washington menyarankan kepada Phillip Moris untuk mengintensifkan lobi industri rokok untuk menunda FCT. Beberapa negara bagian di Australia dituntut karena pembatasan rokok dianggap melanggar WTO. Komnas HAM tetap mendorong ratifikasi FCTC. Wamenkes akan mengusulkan ke KPU pada saat debat capres-cawapres, ada topic tentang FCTC  memilih capres-cawapres yang pro FCTC.

 

Simposium II

Diseminasi hasil penelitian tobacco control research network (MTCC)

Reporter: Ningrum

SImposium II bagian dari ICTOH dilaksanakan pada Jum'at (30/5/2014) pukul 13.30-15.30 WIB. Simposium ini diselenggarakan di ruang Rosewood 4, Hotel Royal Kuningan. Moderator kali ini yaitu Dra. Mutia Hariati Hussin, M.Si.

Berikut adalah enam materi yang sudah disampaikan, pertama peer education untuk mendukung keterlibatan remaja SMP dalam upaya pencegahan perilaku merokok di Kabupaten Bantul Yogyakarta, oleh Heni Trisnowati, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Pemegang program di sekolah seharusnya melakukan lebih banyak monitoring dan mentoring secara intensif untuk meningkatkan implementasi peer educator. Peer edukasi dapat digunakan sebagai pendekatan promosi kesehatan kepada anak muda untuk mencegah perilaku merokok.

Kedua, The effect of second hand smoke exposure on lung function and nicotine urince of café and restaurant employee of semarang city, oleh: Nurjanah, Universitas Dian Nuswantara. Pada berbagai penelitian sudah terbukti bahwa perokok pasif merupakan faktor resiko kesehatan. Pada tahun 2011 sudah dilakukan pengukuran asap rokok kadar PM 2.5 mikron di tempat-tempat umum cukup tinggi dan bervariasi, di restoran dan café menjadi lokasi merokok dengan kadarnya yang paling tinggi, di restoran 7.6 dan di café 164.3. aktivitas merokok di tempat-tempat umum seperti di café dan restoran itu mengakibatkan asap rokok orang lain untuk konsumen dan pekerja. Jadi penelitian ini dibatasi hanya pada pekerja saja karena mereka mendapatkan paparan asap rokoknya di tempat kerja selama delapan jam sehari. Efek yang diteliti adalah kontinin urin dan fungsi paru dan ini dalam waktu lama bisa mengakibatkan bahaya berbagai macam penyakit yang terkait dengan rokok. Penelitian ini untuk meneliti bagaimana efek dari second hand smoke terhadap fungsi paru dan urin kontinin pada pekerja café dan restoran di kota Semarang. Penelitian ini tidak bisa random karena tidak mendapatkan ijin dari pengelola café dan restoran. Setelah melalui ijin yang sulit, peneliti dapat melakukan penelitian di 13 tiik kafe. Restoran maupun kafe yYang menolak ada yang mengatakan "Mbak saya ndak usah diteliti, saya sudah tahu tempat kerja saya jelek kualitas udaranya". Kemudian dari 13 café dan restoran itu didapatkan 70 orang responden yang tidak merokok dan dia bekerja aktif disitu dan dia mendapatkan paparan asap rokok paling tidak dalam sehari terakhir kerjanya itu. Untuk instrumentnya kami menggunakan spirometry kemudian peneliti periksa untuk kontinin urin, juga peneliti menggunakan TSI Sidepak untuk mengukur indeks udara, kemudian kuesioner untuk mengidentifikasi karakteristik dari paparan asap rokok tersebut. Dari 13 café dan restoran tesebut kami mendapatkan hasil moderat sampai unhealthy. 50% yang kami teliti berapa pada level very unhealthy ini berdasarkan WHO. 46% pegawai mendapatkan paparan sangat tidak sehat dari rokok orang lain. Responden masih dalam usia produktif yaitu dengan rata-rata 26 tahun, untuk fungsi paru sudah diperoleh obstruksi sedang, obstruksi ringan padahal mereka baru bekerja beberapa saat di café dan restoran dan mereka tidak mempunyai pengalaman merokok sebelumnya. Walaupun mereka tidak merokok tapi di dalam darahnya sudah terdapat nikotin sebesar 42 minogram per mili liter untuk pegawai café dan 33 minogram per mili liter untuk pegawai restoran. Variabel yang berhubungan dengan kontinin urin waktu paparan dalam sehari dia terpapar berapa jam untuk asap rokoknya karena kadang-kadang mungkin juga tidak terpapar selama jam kerja. Paparan yang kedua adalah dari teman kerjanya, jadi setelah bekerja biasanya para pekerja berkumpul, nongkrong dan akhirnya mereka terpapar asap rokok dari teman-temannya yang merokok. Penelitian ini dilaksanakan saat perda tahun 2013 itu belum disahkan, dan penelitian ini sudah dipresentasikan untuk mendesak Perda segera. Setelah Perda keluar selama setahun, untuk implementasi Perwalnya masih belum selesai dibuat dan disahkan sehingga implementasi ini belum memiliki instrumen untuk dilakukan sehingga harapannya sekarang Perwalnya selesai dibuat dan disahkan sehingga bisa melindungi orang-orang di tempat-tempat umum untuk menghindari penyakit yang terkait dengan rokok. Untuk perhatian di café dan restoran smoking area sudah ada tetapi masih dalam satu gedung contoh area merokok di lantai I dan area bebas merokok di lantai II atau area merokok di salah satu sudut café atau restoran. Kelemahan penelitian ini karena pengukuran indeks udara masih belum bisa dipisahkan apakah itu hanya dari asap rokok atau asap-asap yang lain.

Ketiga, Health burden expenditure tobacco related disease of Tolitoli district in 2014, oleh: Egi Abdul Wahid, Puskesmas Ogotua, Sulawesi Tengah. Penelitian ini dipicu oleh semakin banyaknya perokok awal di usia muda, dengan berusaha menekan iklan rokok yang ada di daerah. Tolitoli adalah daerah penghasil cengkeh terbesar di Sulawesi Tengah dengan jumlah perokok 38.2% perokok dewasa. Di salah satu kecamatan dimana peneliti tinggal, 90% rumah tangga perokok. Tolitoli termasuk daerah tertinggal dengan pendapatan daerah perkapita 0, 61 % dengan jumlah penduduk miskin mencapai 70% dari total penduduknya. 40% masyarakat ditanggung biaya pengobatannya oleh Jamkesda dan atau Jamkesmas artinya kalau tidak dicegah maka pengobatan penyakit akibat rokok akan semakin besar yang disubsidi oleh pemerintah. Kami mencoba mengadvokasi pemerintah daerah untuk bisa menghentikan iklan rokok walaupun dengan kekhawatiran mereka "Saya itu daerah miskin, kalau iklan rokok dihentikan itu akan menyebabkan pemasukan daerah saya juga semakin menurun". Namun, tujuan dari penelitian ini adalah mencoba membandingkan jika iklan rokok tidak dihentikan maka beban biaya kesehatan yang diakibatkan oleh rokok yang harus dikeluarkan pemerintah daerah itu juga akan semakin besar.

Keempat, Tanaman alternatif pengganti tembakau di Temanggung, oleh: Agung Prabowo, Pusat pengembangan bioteknologi pertanian, Universitas Muhammadiyah Magelang. Petani tembakau di Temanggung sudah mencoba untuk menanam kopi sebagai pengganti menanam tembakau, tetapi baru 6 bulan pohon kopi tersebut dibabat habis oleh petani karena terlalu lama untuk menghasilkan kopi berbeda dengan tembakau yang hanya perlu waktu 6 bulan untuk bisa dipanen. Penelitian ini menawarkan para petani tembakau untuk menanam jati kebon atau sejenis kayu sengon tapi dengan kwalitas yang lebih tinggi. Penelitian ini juga penawarkan para petani tembakau untuk menanam stevia , dimana stevia sangat cocok untuk ditanam diberbagai tempat dengan ketinggian tertentu. Stevia adalah sejenis rumput yang bisa dipanen setiap 3 bulan sekali dan nanti akan terus tumbuh seperti teh. Stevia mengandung kemanisan 200-300 kali lebih tinggi dari gula. Sementara ini petani tembakau di Temanggung sudah dialihkan dengan menanam tanaman keduanya tersebut dalam satu tempat sehingga bisa di panem dalam waktu yang berkelanjutan.

Kelima, Normative juridical research: Warranties and certainty of legal protection children from cigarette addictives in 113 local smoke free area policy in Indonesia, oleh: M. Abdoel Malik R, Lentera Anak Indonesia. Penelitian ini baru berjalan dan diharapkan November tahun ini sudah selesai. Penelitian ini bertujuan untuk melihat 113 kebijakan kota, kabupaten dan provinsi dalam memberikan perlindungan hukum dalam anak-anak dari asap rokok sebagai upaya memberikan kepada anak tempat dan ruang untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal. Tumbuh dan berkembang ini tidak hanya diatur dalam undang-undang 23 tahun 2002 tapi juga menjadi hak konstitusional anak yang diatur dalam UUD 45 dalam 24 B 2 pasal sehingga hak anak untuk tumbuh dan berkembang itu adalah hak konstitusionalnya yang pemerintah seharusnya segera melakukannya. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah salah satu upaya untuk mendukung tumbuh kembang tersebut dan ini yang akan dilihat sejauh mana kebijakan KTR nya ini adalah rumusan masalah yang akan coba kami jawab dalam penelitiannya sejauh mana kuratif pemerintah daerah terhadap kepastian dan jaminan hukum terhadap rokok, koten dari kebijakan kota tersebut yang berkaitan dengan jaminan anak dari bahaya asap rokok dan terakhir adalah kendala kebijakan tersebut

Keenam, Pemetaan profil dan dampak iklan pada anak-anak (studi kasus pada anak-anak usia hingga 10 tahun di Kabupaten Bantul, Sleman dan kota Yogyakarta), oleh: Fajar Junaidi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian ini ingin melihat bagaimana iklan rokok sebagai promosi mampu mempengaruhi anak-anak. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, untuk kuantitatif peneliti menyebarkan kuesioner ke 120 anak di bawah 10 tahun dengan golongan ekonomi menengah ke bawah dan tinggal di kampung. Peneliti mengambil sampel di Sleman, Jogja dan Bantul untuk mewakili daerah urban setelah itu dilakukan wawancara indepth dan FGD untuk metode kualitatif. Pada saat anak-anak diwawancara itu mereka tidak menginginkan snack tetapi rokok sebagai reward. Penelitian ini masih berjalan dan wawancara baru dilakukan beberapa kali. Dari wawancara yang sudah dilakukan anak-anak sudah sangat fasih untuk menceritakan jenis iklan rokok yang sering mereka lihat di televisi, baliho dan poster. Mereka juga tahu bahaya rokok dari bungkus rokok sehingga alangkah lebih baik kalau peringatan tentang bahaya rokok dibungkus rokok dibuat semakin keras, mungkin segera diberlakukan untuk pictorial warning. Adanya sikap permisif dari keluarga yang mengijinkan mereka merokok ketika mereka bisa menghasilkan uang sendiri turut mendorong mereka untuk mencoba merokok. Kebiasaan merokok sudah dimulai dari TK, dan anak-anak biasa merokok berjamaah pada saat jam pulang sekolah di suatu tempat yang sepi. Mereka juga bisa menikmati batang rokok di kebun bahkan di kuburan karena mereka merasa aman dari pengawasan orang tua.

Reportase Simposium 1

Reporter: Tutik Istiyani

Pada simposium 1 membahas mengenai inisiatif pengembangan kawasan tanpa rokok (KTR). Simposium ini dilaksanakan setelah istirahat makan siang, tepatnya pada pukul 13.45 – 15.00 di Hotel Royal Kuningan dengan dimoderatori oleh Dr. Rohani Budi Prihatin, M.Si dari Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR-RI. Dalam symposium ini tidak begitu banyak yang hadir, yaitu hanya sekitar 18 orang termasuk para presenter. Hal ini terjadi karena pada jam yang bersamaan, juga dilaksanakan dua acara satellite meeting dan dua simposium dengan tema pembahasan yang lain. Dalam simposium mengenai inisiatif pengembangan KTR ini, ada enam makalah yang dipresentasikan. Masing-masing presenter diberi waktu presentasi selama 10 menit dan tanya jawab sekitar 3 menit. Secara singkat, keenam makalah tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Tindak Pidana Ringan (TIPIRING) KTR merupakan Terobosan Kepatuhan Perda KTR. Makalah ini dipresentasikan oleh Ramadhani dari No Tobacco Community. Dalam presentasinya disampaikan bahwa dalam upaya penegakan Perda KTR, Dinas Kesehatan Kota Bogor dan Satuan Polisi Pamong Praja bekerjasama dengan petugas tim gabungan untuk melaksanakan TIPIRING di area yang merupakan KTR. Tim gabungan terdiri atas SKPD terkait dan LSM pendukung pengendalian tembakau. Tim gabungan selalu melaksanakan rapat teknis terlebih dahulu untuk merencanakan target TIPIRING. Pelanggar KTR akan dikenakan sanksi berupa denda atupun surat teguran yang dikeluarkan oleh hakim. Denda berkisar antara Rp 20.000 sampai Rp 50.000. Hambatan dalam pelaksanaan TIPIRING adalah pelanggar KTR terkadang tidak hadir dalam persidangan. Pada tahun 2010, TIPIRING dilaksanakan sebanyak 4 kali, tahun 2011 sebanyak 15 kali, tahun 2012 sebanyak 6 kali, tahun 2013 sebanyak 10 kali dan pada tahun 2014 ini TIPIRING telah dilaksanakan 1 kali dari 5 TIPIRING yang direncanakan.

Kedua, Mengukur Pajanan Asap Rokok di Jakarta, Indonesia. Makalah ini dipresentasikan oleh B. Fellarika Nusarrivera dari Swiss contact Indonesia Foundation. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur kadar PM2.5 dan perilaku merokok di tempat umum dan tempat kerja di Jakarta. Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran singkat yang membantu pemangku kepentingan memahami seberapa besar pekerja dan pengunjung di setiap lokasi yang diukur terpajan oleh AROL. Hasil penelitian membuktikan bahwa kadar rata-rata PM2.5 di ruang tertutup dimana terdapat kegiatan merokok di Jakarta adalah 195. Hasil ini 2.5 kali lebih tinggi dari kadar PM2.5 di ruang tanpa kegiatan merokok. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa tidak ada kadar pajanan AROL yang bebas dari resiko.

Ketiga, Bali Tobacco Control Initiative: Penguatan Komitmen Lokal dan Perda KTR di Bali. Makalah ini dipresentasikan oleh I Made Ketut Duana dari Bali Tobacco Control Initiative. Dalam presentasinya dipaparkan bahwa Bali sebagai sebagai tujuan wisata international dan representasi Indonesia secara international, Bali dituntut memiliki standar fasilitas public bertaraf international dan salah satunya pengaturan KTR. Hasil studi kepatuhan menunjukkan peningkatan kepatuhan terhadap Perda KTR Provinsi Bali. Hasil opinion poll juga menunjukkan 88% perokok dan 93% bukan perokok mendukung implementasi Perda KTR. Komitmen lokal sangat efektif dalam implementasi Perda KTR serta menghadapi intervensi industry rokok.

Keempat, Pengaruh Persepsi Mahasiswa terhadap Kawasan Tanpa Rokok dan Dukungan Penerapannya di Universitas Sumatera Utara. Makalah ini dipresentasikan oleh Tria Febriani dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan karena Universitas Sumatera Utara sebagai salah satu institusi pendidikan, sampai saat ini belum menerapkan kawasan tanpa rokok di lingkungan kampus. Penelitian yang dilakukan merupakan survey explanatory research dengan populasi seluruh pengurus pemerintahan mahasiswa (Pema) dari setiap fakultas di Universitas Sumatera Utara yang berjumlah 1506 orang dan diambil sampel secara purposive sampling sejumlah 98 orang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persepsi tentang kawasan tanpa rokok mempunyai pengaruh terhadap dukungan penerapan kawasan tanpa rokok.

Kelima, Evaluasi Kualitas Udara pada Sektor Pariwisata di Bali. Makalah ini dipresentasikan oleh Ketut Suarjana dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini dilakukan setelah 2 tahun implementasi Perda KTR di Bali, merupakan penelitian deskriptif crossectional menggunakan pengawasan kawasan dan observasi. Kualitas udara dievaluasi menggunakan alat monitor kualitas udara "dylos" yang mengukur particulate matter (PM 2,5). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dari seluruh sampel, 56% area memiliki kualitas udara di atas standard yang ditetapkan oleh WHO. 3 kawasan pariwisata yang dievaluasi adalah bar, restoran, dan hotel. Hotel merupakan kawasan dengan kualitas udara paling baik, sedangkan bar merupakan kawasan dengan kualitas udara yang paling buruk. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa penempatan kawasan khusus merokok di dalam ruangan, meskipun dengan pembatas fisik, tidak dapat melindungi mereka yang berada di kawasan bebas rokok. Jadi kawasan merokok harus berada di luar gedung/di ruangan terbuka.

Keenam, Kepatuhan Mahasiswa terhadap Penerapan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kampus Universitas Hasanuddin. Makalah ini dipresentasikan oleh Ida Leida M. Thaha dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui factor yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok pada mahasiswa. Penelitian dilakukan di fakultas yang ada di bawah naungan kesehatan di Universitas Hasanuddin dengan sampel sejumlah 127 mahasiswa yang dipilih secara proportional random sampling. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kepatuhan terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok dengan sikap dan lingkungan social. Oleh karena itu perlu adanya dukungan semua pihak secara social antara mahasiswa dan juga peningkatan sikap positif.

Satelit Meeting II

Koalisi Profesi Kesehatan Anti Rokok

Reporter: Endang

Satelit meeting II 'Koalisi Profesi Kesehatan Anti Rokok' digelar pada Jum'at (30/5/2014) pukul 13.30-15.00 WIB di Rosewood 4, Hotel Royal Kuningan. Rita Damayanti bertindak sebagai moderator kali ini. Koalisi Profesi Kesehatan Anti Rokok (KPKAR) adalah aliansi dari profesi kesehatan yang bekerja sama untuk memperjuangkan Indonesia Bebas Rokok 2025. Organisasi ini bekerja dengan kemandiriannya masing-masing. Namun terikat dalam kode etik. Aliansi ini dideklarasikan pada tahun 2012 dengan deklarator dari IAI, IAKMI,IBI,IDI,PDGI,PPNI. Ada sepuluh kode etik yang berlaku bagi anggota KPKAR, diantaranya, pertama menjadi panutan untuk tidak merokok. Kedua, memantau dan mencatat status merokok pasien dalam rekam medis. Ketiga, menerapkan KTR di tiap kegiatan dan fasilitas organisasi. Keempat, melakukan advokasi perundang-undangan yang melindungi masyarakat dari bahaya rokok. Kelima, aktif memberikan nasehat dan konseling kepada pasien uuntuk berhenti merokok. Keenam, mewujudkan setiap anggota profesi kesehatan untuk melakukan edukasi bahaya rokok pada tiap kesempatan. Ketujuh, membangun jejaring dengan pemerintah,swasata danLSM untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok. Kedelapan, tidak bekerja sama dan tidak menerima sponsor dari industri rokok. Kesembilan, aktif terlibat dalamberbagai kegiatan anti rokok, baik nasional, regional mapun internasional. Kesepuluh, membangun norma dan budaya tidak merokok sebagai perilaku hidup sehat

Para pemateri yang terlibat dalam meeting kali ini, pertama, Analisis determinan keberlangsungan Kebiasaan Merokok dokter dan dokter gigi di Kota Makasar tahun 2012 (Nur Akbar Bahar, Universitas Hasanudin). Kepribadian / sikap dokter adalah determinan yang paling berpengaruh terhadap kebiasaan dokter dan dokter gigi. Perilaku merokok doker mempengaruhi perilaku merokok pasien. Dokter yang mempunyai kebiasaan merokok lebih lama, lebih sulit berhenti merokok dan biasanya belum siap membantu pasien berhenti merokok. Rekomendasi KPKAR menjadi sebuah jawaban untuk mengadvokasi dokter tidak merokok, maka diperlukan aturan agar dokter tidak merokok.

Kedua, A first step incorporating Tobacco program into anIndonesian Pharmacyschool curriculum: A case study at Gadjah Mada University ( Susi Ari Kristina). Peran apoteker untuk membantu pasien berhenti merokok sangat diperlukan.Karena apoteker langsung berhubungan dengan pasien, baik pasien yang belum berhenti merokok, ingin berhenti merokok maupun telah berhenti merokok. Beberapa obat yang digunakan untuk berhenti merokok tersedia di Indonesia. Peran apoteker sama efektifnya dengan peran dokter. Langkah yang sudah dilakukan mengembangkan modul dan memasukkan modul dan evaluasi modul padakurikulum pendidikan fakultas farmasi. Ada enam modul yang diujicobakan serta memberikan ketrampilan konseling berhenti merokok. Hasil peningkatan kemampuan mahasiswa untuk konseling, training untuk farmasi sangat penting untuk meningkatkan konseling. Modul saat ini bisa dijadikan sebagaimata kuliah pilihan di fakultas Farmasi UGM.

Ketiga, Smoking cessation advise practice among Puskesmas General Physicians at Central Jakarta in 2013 (Apriani Gendari). Tujuan penelitian untuk mengetahui peran dokter keluarga dalam memberikan nasehat berhenti merokok.Karena didokter keluarga waktunya lebih longgar dibandingkan di puskesmas/rumahsakit. Hasil penelitian 50 % dokter praktek memberi nasehat untuk berhenti merokok. Faktor yang mendorong adalah umur, sikap dokter, jumlah pasien, lamanya berperan menjadi dokter sebagian besar dokter perempuan memberi nasehat berhenti merokok.Dokter yang sudahlama praktek kurang dalammemberikanmasehat berhenti merokok. Dokterusia muda lebih peduli kepada nasehat uuntuk berhenti. Banyaknya jumlah pasien menghambat dokter untuk memberikan nasehat lebih lama kepada pasien.Sudah banyak dokter praktek memberikan nasehat berhenti merokok. Hal ii harus diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dan melibatkan dokter usia muda. Acara dilanjutkan dengan sharing tentang hal-hal yang sudah dilakukan oleh IBI,IAI, Perkumpulan promoter danPendidik Kesehatan masyarakat terkait dengan 10 kode etik KPKAR.

 

Manajemen Pengetahuan untuk Pembuatan Kebijakan di Lintas Sektor dan Lintas Program Kesehatan

Diskusi bulanan yang keempat dilaksanakan pada Kamis (22/5/2014) dan diawali dengan review dari diskusi sebelumnya. Pada Januari atau diskusi bulanan pertama, telah dibahas manfaat Knowledge Management (KM) untuk lingkungan di luar organiasi yang mengadakan KM (policy making). Hasil riset ini bisa digunakan untuk pembuatan kebijakan di lokal, pusat, dan unit-unit. Hal ini biasanya digunakan oleh para praktisi, ketika penelitian tersebut ada hasilnya maka digunakan organisasi profesi dan akan digunakan untuk mempengaruhi pembuat keputusan. Diskusi kedua membahas tentang mencegah kehilangan pengetahuan, meningkatkan daya saing, reorganisasi, dan lain-lain.

Bulan ketiga, diskusi bulanan membahas tentang produksi dan difusi pengetahuan yaitu penelitian lalu publikasi penelitian diikuti telaah sistematik dan telaah TS lalu baru EBDM. Kali ini, atau minggu keempat mengambil tema produksi dan diseminasi pengetahuan. Pengambilan keputusan berdasarkan bukti dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu literature review, systematic review (ada sistem untuk menjaring masalah-critical appraisal-sintesa-disimpulkan), state wide survey (survey seluruh negara bagian) dan key information review.

Diskusi kali ini akan banyak membahas tentang diseminasi. Diseminasi yang dimaksud sifatnya lebih aktif. Sementara, difusi bersifat secara pasif menyediakan pengetahuan dan siapa saja dipersilakan menggunakan hasil penelitian. Manfaat diseminasi antara lain: meningkatkan kemampuan menemukan, membangkitkan budaya EBDM dalam organisasi-organisasi Pemda (berbasis bukti), dan lain-lain.

Jika melihat kasus Indonesia, hal yang harus disadari ialah penyakit tidak bisa hilang, dan penyakit tidak berhubungan langsung dengan kemiskinan. Melalui penyakit terabaikan (neglected) program lintas sektoral dan lintas program dapat mulai dilakukan. Mengapa yang terabaikan? Pertama, karena tidak diperhatikan oleh yang berwenang, misalnya cacingan, lepra, trachoma (daftar ini bukan penyakit prioritas). Penyakit terabaikan berkembang di lingkungan yang buruk atau perumahan kumuh. Alasan kedua, pencegahan primordial dan primernya sama. Kegiatan yang terintegrasi seperti apa? Harapannya, kegiatan yang terintegrasi lebih terbatas atau terarah. Hal yang dilakukan ialah systematic review, proyek-proyek menganggap laporannya rahasia. Ada survey yang melibatkan Pemda untuk melihat kebutuhan setempat. Sektoral Dinkes Yogya dan PMPK pernah memiliki ruang pembuatan keputusan untuk fasilitasi hasil surveilans. Namun hal tersebut kurang dimanfaatkan dengan baik.

DISKUSI

Deni Harbianto menyampaikan menurut pengalaman kami sebagai konsultan, riset yang cukup bagus, namun ketika dibawa ke Kemkes ada semacam blocking dari mereka karena menganggap pemerintah memiliki data yang lebih bagus. Namun hal ini tanpa disebutkan surveilans yang valid atau tidak dan data the best-nya di-keep oleh stakeholder. Apa yang sebaiknya dilakukan?

Kemudian Rossi Sanusi memberikan pendapatnya, dampak riset lebih tampak di level lokal. Hal yang sering terjadi, pusat akan lebih resist pada penelitian semacam ini. Ke depannya, telaah sistematik akan lebih banyak dilihat. Jika hasil penelitian sudah dijaring, maka tidak ada alasan untuk menolak. Misalnya dilakukan penapisan yang meliputi: laporan 10 tahun terakhir, negara berkembang dan ditulis dalam bahasa Inggris. Laporan kemudian di-critical appraisal, disintesa dan ditarik kesimpulannya. Bukti penelitiannya lemah/kuat akan dipengaruhi organisasi yang besar misal Mac Master. Ada satu cara untuk melacak hal ini, yaitu masuk ke situs Search Engine dan cari dengan kata kunci 'Systematic Review Website'. Ada semacam review, intervensi ini gamblang/tidak, atau apa yang sebaiknya dilakukan. Jika mengusulkan intervensi, apa bukti sebelumnya? Jadi tidak mulai dari 0 dan ada perlindungan legal. Sayangnya, budaya kita mengingat, bukan membaca. Hal ini terkait dengan kemampuan menerima pendapat orang lain. Maka, harus belajar toleransi yaitu budaya berbeda pendapat sejak kecil.

dr. Sutjipto menyampaikan pertanyaannya yaitu kemampuan Dinkes untuk melakukan interpretasi dan menggunakan data lemah, apa yang bisa disarankan akademisi atau Pusat Studi? Lalu, bagaimana untuk meningkatkan kemmapuan advokasi dan negosiasinya. Menganalisa hasil surveilans-mulai dai pengumpulan data baik surveilans kasus maupun surveilans sindromik. Bagaimana melibatkan orang setempat. Menganalisa dan membuat keputusan. Perlu membuat intervensi apa? Misal bakteria bachi uji coba di Sleman, lalu ada pengurus RT/RW yang ragu. Maka, seharusnya diisodorkan bukti jika hal tersebut aman/tidak di dunia? Dewan riset yang sudah ada seharusnya menyediakan info dengan mengumpulkan dan mengolah.

Digna Purwaningrum menyampaikan pengalamannya yaitu ia pernah terlibat dalam penyusunan keputusan berbasis bukti hasil penelitian di Jogja. Dari segi pengambil kebijakan, sangat membutuhkan hal tersebut. Apakah PT bisa memberikan bentuk data yang lebih mudah, tidak banyak yang bisa mengartikan data. Usulan dari Pemda: ada website khusus tentang hal ini, ada update tentang data yang diolah dari Pusat Studi/kajian dan aparat pemda. Tanggapan dari dr. Rossi Sanusi, evaluator harus dilibatkan dari awal menyusun proyek. Saran untuk PKMK yaitu struktur mengikuti fungsi, yaitu menghasilkan penelitian dan diolah (hasil penelitian Indonesia dan dunia).

Group V
Communicable Desease

14 May 2014

rahbRahmad BakhtiarIn The 8th Postgraduate Forum on Health Systems and Policy held at UGM, Rahmat Bahtiar on the second day revealed that the rate of detection of TB cases in the province of East Kalimantan is below the national target . On the other hand , in line with WHO in order to create a strategy that emphasizes strategies for develop case finding in patients with TB, in 2008 the provincial health authority has also made several interventions.

According to focus on the problems found, intervention efforts that have been made by the medical center did not show an increase in case detection. This is because the implementation of case finding is not consistent due to constrained by the resources ( budget ), lack of monitoring and evaluation in the implementation and the lack of feedback from the district health authorities. 


wintaWienta diarsvitri

Unlike the previous speaker, Wienta Diarsvitri last speaker in the session as well Communicable Disease ( DC ) chose the theme of the risk of HIV among key populations. Research conducted at the Hospital Dr Ramlan Surabaya and Sidoarjo District Government Hospital as many as 70 HIV treatment. In males accounted for 51.4 %, the remaining women with a mean age of 34.4 years of age respondents Lowest 19 years.

Viewed from the perspective of education, Housewives have higher education while on Women Sex Workers ( FSW ) with a basic education. Yet both are only of 45.8 % that has the knowledge and aware of the risks of HIV infection in general. This fact is compounded by not wearing a condom during intercourse with a partner either permanent or casual. According to him , the people and the government should be more concerned about the risk group . Realizing all of this of course is very important to strengthen HIV prevention programs, especially at -risk groups need to increase education and counseling governing law.

Group II
ASEAN Homework For Welcomed the ASEAN Economic Community 2015

14 May 2014

 

PKMK-Yogyakarta. Oral presentations have taken place in the Main Conference of the Faculty of Yogyakarta, with the theme of non-communicable disease. This presentation as a continuation of the second day of the 8th Postgraduate Forum on Health Systems and Policy was moderated by dr. Fatwa Tetra Sari Dewi, MPH., Ph.D. Forum held with featuring five presentan are from Indonesia, Malaysia and Thailand.

Forum initiated by the presentation of this white elephant country with the title Prevalence of Diabetes Mellitus in HIV-Infected Thai patient. The results of the study Rungruangrong Seubmongkolchai, RN, M.Sc revealed an association with the use of antiretroviral drugs prevalence of Diabetes Mellitus (DM) in Thailand. A total of 205 809 AIDS patients in Thailand were infected during the 4:11 ± 2.72 years was diagnosed with DM 25.645 people.

g2day2

The second presentation raised the issue of the rapid industry in Malaysia which have an impact on respiratory disorders , with the title of Relationship between Ambient Air Pollution in an Industrial Area and Respiratory Symptoms among School children in Malacca , Malaysia . Mohammad Adam Adman identify an association between air pollution and FeNO concentrations in middle school children . Researchers compared the concentration of the air in the school with a radius of 3 km from Malacca to control school in Putrajaya. FeNO is used to identify the presence of respiratory tract infections .

The third presentation by Supriyati ( Indonesia ) titled Multilevel Analysis of Social Determinants of Smoking Behavior in Indonesia . The data showed no significant relationship between social demographics such as sex, age, place of residence, education level, occupation, socioeconomic status and smoking behavior. Recommendations of this study suggest local governments issuing local regulations related to tobacco control.

Oral presentation sessions followed by Komang Yuni Rahyani of the island, with the title and Premarital Sexual Initiation among Adolescent Contraception Services Policy in Bali. Komang discloses the use of contraception among men is higher than women. Half of the sample of 121 women answered the initiation of premarital sex being forced, threatened, and raped by a spouse or boyfriend. This presentation attracted the attention of the audience to ask, that this study used birth control pills for women before intercourse and condom for men.

Presentations last closed S3 students from Malaysia, with the title of Factors Associated with Fall Injury at Home among Children Under 5 Years Old in Yemen. Al - Abed Ali Ahmed reveals about the culture of consuming khat leaves incidence risk children under five years fell. Cultural consuming khat leaves a problem in caring for children, it is certainly because there is no supervision from parents or caregivers .

From various research results from the three countries showed that policies can be set and evaluate existing policies and new policies made to welcome the migration of physicians in 2015.

The last session was closed with five participants shared photos oral presentation with dr. Fatwa Tetra Sari Dewi, MPH., Ph.D.

g2day2-2

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep., MPH