Tara Singh Bam, PhD, MPH – International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
Tobacco and Health

taraTara Singh BamTara memulai presentasi dengan mengungkapkan ribuan bahan kimia yang terkandung dalam sebatang rokok, termasuk 250 bahan yang mengandung toksin sebagai penyebab kanker. Dampak rokok terhadap kesehatan tidak hanya dialami oleh perokok aktif melainkan juga berdampak terhadap perokok pasif, baik orang dewasa maupun anak-anak. Tembakau merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia dimana sebanyak 5 juta orang meninggal dunia akibat tembakau setiap tahun, melebihi jumlah kematian akibat TB, HIV dan malaria. Apabila tindakan efektif tidak segera dilakukan, maka pada abad 21 sebanyak 1 juta orang akan meninggal dunia setiap tahunnya.

Tara kemudian menjelaskan bahwa tembakau merupakan endemic di Indonesia dimana 67 persen laki-laki dan 4,5 persen perempuan merokok. Sebanyak lebih dari 61 juta perokok hidup di Indonesia dan sebanyak 97 juta orang Indonesia, termasuk 43 juta anak Indonesia terpapar asap rokok setiap harinya. Rokok menyebabkan lebih dari 235 ribu penduduk Indonesia meninggal dunia setiap tahunnya. Rokok merupakan salah faktor risiko utama penyebab empat penyakit tidak menular utama, yaitu penyakit jantung, kanker, diabetes, dan penyakit pernafasan akut.

Tara selanjutnya menerangkan tindakan global yang dilakukan untuk mengatasi masalah rokok. Salah satunya adalah upaya pengendalian tembakau melalui kerangka kerja konvensi pengendalian rokok (FCTC) yang digagas oleh WHO dan diadopsi mulai Mei 2003. Hingga Juni 2013, FCTC telah diratifikasi oleh 177 negara. Tara menyayangkan Indonesia yang terlibat dalam penyusunan FCTC namun hingga saat ini belum menandatangani dan meratifikasi FCTC.

Pada akhir presentasi, Tara menayangkan website world tobacco ASIA yang menyatakan bahwa Indonesia adalah pasar potensial tembakau dunia karena tidak ada larangan merokok dan peraturan yang lemah jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, Tara menegaskan kepada para peserta simposium bahwa pengendalian tembakau merupakan harga mati yang harus diperjuangkan demi menciptakan kesehatan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Sebagai kata penutup, Tara mengajak peserta untuk mendorong Pemerintah Indonesia meratifikasi FCTC dan menolak pelaksanaan konferensi Internasional Tembakau di Bali pada tahun 2014.



Professor Paul Ward, Flinders University, Adelaide, Australia
To trust of not to trust, that is the question

p2Prof. Paul WardPada hari kedua simposium, Prof Paul berbicara mengenai kepercayaan atau rasa percaya seseorang terhadap sesuatu yang merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan oleh jaringan kualitas sosial di enam negara. Isu kepercayaan yang berbeda terjadi pada masalah kebutuhan kesehatan dan perhatian sosial terhadap kelompok-kelompok tertentu seperti pekerja seks, grup-grup yang berbeda secara budaya dan bahasa, kaum minoritas, dan perbedaan status sosial ekonomi. Contoh unsur kepercayaan lainnya adalah bagaimana rakyat percaya terhadap pemerintah dan sistem pelayanan kesehatan.

Prof Paul kemudian menekankan bahwa penelitian tentang rasa percaya yang dilakukan didasarkan pada 5 pertanyaan dasar, yaitu pengertian percaya (apa), siapa orang yang dapat dipercaya, dimana rasa percaya itu muncul, mengapa orang menjadi percaya atau tidak, dan bagaimana mempertahankan kepercayaan. Pada dasarnya penelitian tentang rasa percaya dilakukan karena kebijakan dan penelitian kesehatan publik menggunakan konsep capital social dan keterlibatan sosial yang menjadikan rasa saling percaya sebagai landasan utama tetapi tidak dijelaskan dengan baik.

Prof Paul selanjutnya memberikan tiga studi kasus yang dapat memberikan ilustrasi mengenai rasa percaya. Studi kasus yang pertama adalah interaksi antara dokter dan kaum marjinal dimana kepercayaan antara dokter dan pasiennya tumbuh berdasarkan kepercayaan interpersonal dan kepercayaan terhadap sistem yang ada. Kepercayaan terhadap individu dan institusi merupakan contoh kasus kedua, dimana beberapa pertanyaan tentang percaya atau tidak percaya terhadap individu (keluarga, dokter, polisi, pejabat negara, dll) dan institusi (bank, rumah sakit, pemerintah, dll) diangkat di dalam penelitian kualitas sosial di enam negara. Studi kasus yang ketiga adalah mengenai hasil penelitian tentang kepercayaan yang dilakukan di Skotlandia.

Prof Paul pada akhir presentasinya menegaskan bahwa kepercayaan itu terjadi karena dua hal, yaitu kepercayaan interpersonal dan kepercayaan pada sistem. Kepercayaan interpersonal terbangun karena adanya keakraban yang timbul karena komunikasi yang baik. Kepercayaan terhadap institusi ditentukan oleh keakraban terhadap kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan, sistem pelayanan personal, hierarki dalam pelayanan, dan pengaturan layanan. Kepercayaan pada sistem kesehatan juga ditentukan oleh sistem pendidikan kedokteran yang ada.



Keynote Speech

dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, Menteri Kesehatan RI


nadr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, Menteri Kesehatan RINafsiah Mboi memulai sambutan dengan mengajak para hadirin untuk melakukan persamaan persepsi mengenai pengertian determinan sosial kesehatan (SDH), yaitu berdasarkan definisi dari Komisi SDHWHO ("kondisi-kondisi yang mempengaruhi kesehatan seseorang mulai dari lahir, tumbuh, bekerja, dan menjadi tua yang termasuk di dalamnya kondisi sistem kesehatan. Keadaan ini terbentuk oleh faktor-faktor yang lebih luas, yaitu ekonomi, kebijakan sosial, dan politik").

Selanjutnya menjelaskan bahwa SDH tidak terlepas dari komitmen ttujuan pembangunan millennium (MDGs) global yang telah disepakati bersama oleh 189 Kepala Negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi Milenium di New York pada tahun 2000. Deklarasi MDGs menetapkan 8 tujuan pembangunan yang harus dicapai pada tahun 2015. Indonesia baru mulai mengadopsi MDGs pada tahun 2005, yaitu dengan memasukkan MDGs ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan dituangkan kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang dimulai dengan RPJMN 2005- 2009 serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen anggarannya.

Paparan selanjutnya yang disampaikan adalah mengenai pencapaian MDGs di Indonesia, khususnya MDGs terkait bidang Kesehatan, yaitu tujuan 4 (kesehatan anak), 5 (kesehatan ibu), dan 6 (HIV, Malaria dan penyakit menular lainnya). Mid term review 2012 terhadap semua lembaga dan semua provinsi menunjukkan bahwa Kementerian Kesehatan paling banyak memiliki angka merah. Meskipun 89 persen persalinan telah dilakukan di fasilitas kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih, namun kematian ibu dan kematian bayi masih tinggi. Hasil analisa menunjukkan bahwa masih tingginya angka kematian ibu dan bayi disebabkan oleh kondisi kesehatan ibu hamil yang berisiko tinggi (anemia, hipertensi, overweight, diabetes mellitus), dan peningkatan jumlah ibu hamil berusia terlalu muda (dibawah 20 tahun). Oleh karena itu pemerintah telah bertekad untuk melakukan upaya komprehensif tidak hanya di hilir (peningkatan kapasitas Puskesmas PONED, Rumah Sakit PONEK, perluasan Jampersal), namun juga di hulu (kesehatan reproduksi wanita remaja, kesehatan ibu hamil). Kementerian Kesehatan akan fokus pada 9 Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 7,5 juta jiwa dan Kabupaten/Kota dengan kasus kematian ibu dan anak tertinggi.

Di bidangHIV/AIDS, Nafsiah memaparkan peningkatan jumlah test HIV terhadap mereka yang berisiko tinggi (populasi kunci). Kebijakan test HIV diperluas dari sukarela (voluntary counseling and testing - VCT) menjadi inisiasi provider (Provider Initiative Counseling and Testing-PICT), dimana semua yang datang berobat ke Puskesmas dan Rumah Sakit dengan penyakit kelamin langsung diobati dan ditest HIV serta langsung diberi kondom. Ibu hamil di daerah resiko tinggi juga ditest HIV. Mereka yang terbukti positif HIV langsung diberikan pengobatan.

Nafsiah selanjutnya memaparkan pengurangan jumlah pasien yang resisten terhadap obat TB di Indonesia mengalami kemajuan dimana kesembuhan MDR TB meningkat menjadi 80 persen. Untuk malaria, pemerintah fokus pada 7 provinsi yang paling tinggi penderitanya, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku , Maluku Barat, NTT, dan Bangka Belitung.

Nafsiah mengakhiri sambutannya dengan menyoroti agenda pembangunan kesehatan pasca 2015, khususnya tujuan pembangunan kesehatan global yang baru, yaitu penyakit tidak menular (PTM) dan akses menyeluruh terhadap hak kesehatan reproduksi. Upaya yang akan dilakukan untuk percepatan pencapaian penanggulangan penyakit tidak menular adalah upaya kesehatan pada setiap kelompok usia, khususnya remaja usia sekolah.


 

Adang Bachtiar, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)
Public Health Good Governance: the Role of Public Health Profession
 

adangAdang Bachtiar , Ketua IAKMIAdang Bachtiar (Pak Adang) memulai pemaparan tata kelola kesehatan masyarakat yang baik dengan memberikan definisi tata kelola yang baik dari Kofi Anan "... the rule of law, predictable administration, legitimate power and responsive regulation...".(aturan perundangan, administrasi yang dapat diprediksi, kekuasaan yang legitimasi, dan peraturan yang responsif}.

Pak Adang selanjutnya mengemukakan upaya-upaya untuk mencapai tata kelola yang baik di bidang kesehatan masyarakat yaitu dengan cara reformasi sektor kesehatan yang meliputi pembiayaan kesehatan, organisasi dan manajemen, dan reformasi sektor publik. Tata kelola yang baik dapat meningkatkan status kesehatan melalui empat hal utama, yaitu toleransi nol terhadap anti korupsi, partisipasi & pemberdayaan untuk pengembangan kesehatan, penegakan hukum, dan pengembangan politik kesehatan untuk kesehatan masyarakat. Beberapa prinsip tata kelola yang baik untuk sektor publik meliputi akuntabilitas, transparansi, integritas, kepemimpinan, efisiensi dan penjagaan hak.

Pak Adang kemudian juga mengangkat permasalahan–permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia, antara lain pelayanan kesehatan, kebijakan& program sektor kesehatan, dan pembangunan sektor lainnya. Sistem kesehatan di Indonesia masih belum efisien yang disebabkan oleh rendahnya standar kompetensi profesi kesehatan yang berakibat pada prioritas kesehatan masyarakat yang diabaikan dan pelayanan kesehatan yang salah sasaran.

Pak Adang mengakhiri pemaparan dengan mengungkapkan ekpektasi dari para pemimpin kesehatan masyarakat dengan menekankan pentingnya komitmen politik "kesehatan adalah hak asasi" dan efektivitas mobilisasi sumber daya sebagai fondasi empat pilar kesehatan masyarakat di Indonesia. Keempat pilar tersebut (pelayanan kesehatan berbasis bukti, sinergi tenaga kesehatan, budaya kompetensi global, dan sumber daya manusia untuk kesehatan) merupakan keunggulan kompetitif yang dapat meningkatkan derajat kesehatan.



Professor Paul Ward, Flinders University, Adelaide, Australia
Theoretical and empirical analysis across the Asia Pacific
 

paulProfessor Paul WardProf. Paul memulai presentasi dengan mengetengahkan pandangan komisi determinan sosial kesehatan (CSDH) mengenai multi dimensi ketidakberuntungan yang dialami oleh orang miskin. Banyak penelitian memberikan bukti bahwa grup populasi tertentu diabaikan secara sosial, modal sosial yang rendah, akses buruk terhadap sumber keuangan dan ketidakberdayaan. Banyak juga bukti bahwa sehat dan sakit tidak hanya ditentukan oleh faktor biologi dan genetik.

Prof. Paul lebih lanjut menjelaskan bahwa banyak penelitian epidemiologi terkait dengan SDH yang sudah dilakukan namun penelitian-penelitian tersebut belum menggambarkan sebuah konsep dan kerangka kerja metodologi yang menghubungkan berbagai konsep untuk populasi grup yang sama. Konsep tersebut dapat dipakai untuk menyoroti beberapa masalah yang dihadapi oleh kelompok tertentu ataupun yang dialami oleh kelompok lain.

Prof. Paul juga mengungkapkan teori kualitas sosial, yaitu kondisi dimana orang dapat berpartisipasi secara sosial, ekonomi dan budaya dalam komuniti mereka yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan potensi individu. Konsep kualitas sosial mencoba mengartikan dan merespon kualitas hidup orang, bukan mengukurnya. Terdapat 4 faktor normatif yang dapat menggambarkan kualitas struktur sosial, kebijakan dan hubungan dalam masyarakat. Keempat, faktor tersebut adalah keadilan sosial, solidaritas, kesamaan hak dan martabat manusia. Namun demikian agar kualitas sosial dapat berjalan dengan baik, diperlukan empat kondisi, yaitu keamanan ekonomi sosial, kohesi, keterlibatan dan pemberdayaan.

Selanjutnya Prof. Paul menjelaskan tentang jaringan kualitas sosial di Asia yang beranggotakan universitas di China Daratan, Jepang, Taiwan, Hongkong, Thailand, Korea Selatan, Singapura dan Australia. Keenam universitas ini melakukan survey kualitas sosial di masing-masing negara. Pemaparan Prof. Paul berikutnya adalah penjelasan mengenai survey yang dilakukan di keenam negara tersebut.

Prof. Paul menutup presentasi dengan memberikan kesimpulan atas studi kualitas sosial di enam negara.