Opening Remarks

Pembukaan Symposium on Research, Policy & Action to
Reduce the Burden of Non-Communicable Diseases

r1ncd

Pembukaan Symposium on Research, Policy & Action to Reduce the Burden of Non-Communicable Diseases, diselenggarakan pada Kamis (26/09/2013) di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kegiatan ini akan berlangsung hingga Jumat (27/9/2013), kurang lebih 200 orang mahasiswa berbagai minat FK UGM maupun dari universitas lain mengikuti acara ini. Hadir pula para peserta lain dari kalangan profesional di Indonesia maupun luar negeri. Acara dibuka dengan tarian yang dipersembahkan oleh Roro Sinta Puji Wiboyo, mahasiswa FK UGM. Kemudian, dilanjutkan dengan laporan kegiatan yang dipaparkan oleh dr. Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, PhD. Acara secara resmi dibuka dengan pemukulan Gong oleh Dekan FK UGM, Prof . Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B (K) Onk.

Sesi 1

NCDs, Health and Development agendas

r1ncd2

Tema yang diangkat pada sesi pertama Simposium Internasional tentang Penelitian Kebijakan, dan aksi pengurangan penyakit tidak menular ini adalah NCDs, Health and Development. Sesi ini menghadirkan dua pemateri yaitu Dr Yodi Mahendradhata, MSc, PhD dan Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH. Presentasi pertama disampaikan oleh Dr Yodi Mahendradhata, MSc, PhD yang menyoroti tentang masih banyaknya masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia, adanya pembangunan Millennium Development Goals 4 dan 5 juga tidak cukup mengatasi berbagai masalah lapangan kerja yang produktif, kekerasan terhadap perempuan, perlindungan sosial, ketimpangan, penyingkiran sosial, keanekaragaman hayati, malnutrisi dan peningkatan penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi dan kompleksitas yang berkaitan dengan dinamika demografi, perdamaian dan keamanan, pemerintahan, supremasi hukum dan hak asasi manusia. Terkait hal tersebut terdapat empat dimensi pembangunan berkelanjutan yang direncanakan untuk kedepannya yaitu pembangunan nasional, inklusi sosial, kelestarian lingkungan dan pemerintahan yang baik.

Pemaparan kedua disampaikan oleh Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH, Menurutnya ada banyak agenda-agenda kedepan yang akan di kerjakan di Indonesia. Muncul delapan fokus prioritas nasional untuk kesehatan yaitu 1) meningkatkan kesehatan ibu dan keluarga, 2) perbaikan gizi, 3) CD dan NCD kontrol, kesehatan lingkungan, 4) meningkatkan tersedianya, keterjangkauan, keamanan, kualitas, makanan dan obat, 5) Jamkesmas, 6) pengembangan, bencana dan krisis manajemen komunitas, dan 7) meningkatkan layanan kesehatan primer, sekunder dan tersier. Dari kedelapan fokus prioritas tersebut pengurangan penyakit tidak menular masuk dalam prioritas ketiga, menurut data Riskesdas penyakit tidak menular di Indonesia masih tinggi. Stroke masih menjadi penyebab utama kematian di Sumatera dan Jawa. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang telah membuat perencanaan untuk prioritas tersebut. Pernyataan Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH ini disambut meriah oleh peserta yang hadir dengan tepuk tangan.

Sesi 2

Hubungan Perubahan Iklim dengan Penyakit Tidak Menular

r1ncd4

Sesi kedua, pembahasan lebih banyak tentang hubungan dan dampak perubahan cuaca terhadap penyakit tidak menular. Secara signifikan penyakit tidak menular meningkat seiring peningkatan temperatur suhu bumi. Perubahan iklim juga menyebabkan banyaknya korban dan kematian akibat bencana. Begitu juga dengan upaya pencegahan perubahan iklim pada sektor lain memperlihatkan penurunan angka penyakit tidak menular.

Prof. Dr. Rainer Sauerborn dari Universitas Heildelberg, Jerman memaparkan secara jelas bagaimana perubahan cuaca berhubungan dengan penyakit tidak menular. Hal ini merupakan tantangan dari penelitian dan kebijakan kesehatan karena perubahan apapun yang terjadi untuk menangani perubahan iklim akan berdampak bagi sektor kesehatan.

Kasus penyakit yang berhubungan dengan dampak perubahan iklim di Indonesia dipaparkan oleh Prof. Dr. Hari Kusnanto dari Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada. Contohnya, peningkatan permukaan suhu laut berdampak pada kehidupan nelayan dan keluarganya. Begitu juga dengan kekeringan yang terjadi akhir-akhir ini berdampak pada meningkatnya penyakit tidak menular dan kasus kurang gizi.

 

Sesi 3

Strategi Sektor Kesehatan untuk Mencegah dan
mengendalikan Non-Communicable Diseases (NCD)

r1ncd3

Sesi ini di awali oleh permainan Piano Prof. Dr Rainer Sauerborn. Peserta sangat terhibur dengan adanya permainan piano tersebut. Setelah itu acara dilanjutkan kembali, pada sesi ini ada 2 pembahas yaitu Dr. dr. Hernani Djarir, MPH dan dr. Prima Yosephine , kedua pembahas ini menyoroti Strategi Strategi Sektor Kesehatan untuk Mencegah dan mengendalikan Non-Communicable Diseases (NCD).

Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena NCD (63 % dari seluruh kematian) dan hampir setengah (14 juta) kematian NCD terjadi sebelum usia 70 tahun. Penyebab kematian terbesar NCD adalah kardiovaskular, kanker, penyakit pernapasan kronis dan diabetes yang hampir 80 % kematian NCD ini terjadi di Negara berpenghasilan rendah dan menengah dan sebagian besar bisa dicegah. Dampak negative dari epidemic NCD ini ternyata menimbulkan dampak yang serius bagi kehidupan masyarakat seperti mengurangi produktivitas dan berkontribusi terhadap kemiskinan. Sehingga NCD menciptakan beban yang cukup signifikan terhadap system kesehatan dan beban ekonomi pada suatu Negara.

Tiga pilar strategi Dunia untuk mencegah dan mengendalikan NCD adalah dengan surveillance (melakukan pemetaan epidemic dari NCD), prevention (mengurangi tingkat paparan faktor risiko) dan management (memperkuat pelayanan kesehatan untuk penderita NCD). Lalu bagaimana strategi Indonesia mencegah dan mengendalikan NCD?

Tantangan dalam mencegah dan mengendalikan NCD di Indonesia adalah (1) kesenjangan layanan (upaya untuk mengontrol NCD belum difokuskan dan masih terfragmentasi, terbatasnya akses di daerah pedesaan dan masyarakat miskin); (2) kesenjangan system kesehatan (alokasi anggaran kesehatan yang terbatas, tidak tepat waktu, tidak proposional dan tenaga kesehatan yang tidak memadai, terlatih dan tidak cukup diberdayakan); dan (3) Kesenjangan kebijakan (sector program yang distorsi (tidak efisien) dan berlebihan; pemerintah daerah yang belum berorietasi pada skala prioritas (seperti MDGs) berdasarkan rencana anggaran).

Kebijakan kesehatan yang telah dibuat Pemerintah Indonesia sebagai salah satu cara mencegah dan mengendalikan NCD meliputi

  1. PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan
  2. Permenkes No 28 Tahun 2013 tentang pencantuman peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan produk tembakau
  3. Permenkes No 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman informasi kandungan gula, garam dan lemak serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan siap saji guna menekan konsumen dari penyakit tidak menular

Indonesia melakukan pencegahan dan pengendalian NCD dengan multi sektoral yaitu (1) mengurangi factor risiko yang dimodifikasi melalui intervensi yang cost-effective; (2) mengembangkan dan memperkuat kegiatan pelayanan kesehatan berbasis masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian factor risiko NCD. Program NCD yang dilakukan seperti (1) promosi kesehatan melalui pos pembinaan terpadu pada masyarakat yaitu menjelaskan perilaku hidup sehat (tidak merokok, makan makanan yang sehat, melakukan aktivitas yang sehat); (2) pengendalian terpadu pada factor risiko NCD (hipertensi, perokok, obesitas) melalui dokter keluarga dan puskesmas; (3) rehabilitasi pada kasus NCD melalui home care, monitoring & controlling.

Kesimpulannya untuk melawan NCD perlu tindakan yang cepat dan kepemimpinan yang kuat di tingkat global, regional dan nasional.

Sesi 4

Peningkatan Tanggung jawab Sistem Kesehatan
terhadap Penyakit Tidak Menular

r1ncd5

Sesi terakhir ini mengalir dalam pembahasan mengenai respon sistem kesehatan menangani ancaman penyakit tidak menular. Dimoderatori langsung oleh Prof. Laksono Trisnantoro, diskusi tentang penilaian Dr.Krishna Hort (Nossal Institute, Universitas Melbourne, Australia) terhadap sistem kesehatan Indonesia langsung dikomentari oleh Dr. Soewarta A Kosendari perwakilan Kementerian Kesehatan.

Dampak peningkatan penyakit tidak menular akan memperbanyak kerja enam komponen sistem kesehatan. Misalnya, pembiayaan kesehatan akan meningkat dengan berulangnya pengobatan penyakit tidak menular. Selain itu mampukah pelayanan kesehatan dan sumberdaya kesehatan kita dalam menyikapi penyakit tidak menular yang penanganannya berbeda dengan penyakit menular. Misalnya, masih sulitnya tenaga kesehatan dalam menentukan penyebab dari penyakit tidak menular.

Dalam presentasinya, Dr. Krisna Hort menunjukkan tools untuk mengukur kesiapan sistem kesehatan suatu negara menghadapi penyakit tidak menular. Bangladesh dan Fiji menjadi negara yang telah dinilai dan hasilnya mereka masih pada fase kedua yang baru menapaki masa pelaksanaan. Bagaimana dengan Indonesia? Selengkapnya silahkan simak materi Dr. Krisna Hort dan tanggapan mengenai penelaian tersebut simak pada materi Dr. Soewarta A. Kosen.

 

 

Refleksi dari peserta

Kebijakan health for all mengacu pada Universal Health Coverage (UHC), tujuannya ialah kesetaraan kesehatan untuk semua orang. Universal health care yaitu kesehatan untuk semua orang bahkan yang mengalami disabilitas, misal di Jerman mereka menempatkan huruf Braile di transportasi publik.

Sementara, health in all yaitu kesehatan masuk dalam semua semua sektor, misalnya Kementrian Perhubungan, Kementrian Pendidikan dan lain-lain. Bridge untuk menghapus gap yang ada di masyarakat? Bridge yang bisa dibentuk salah satunya pendidikan, pendidikan ini yang akan membantu menghilangkan gap.

Modul:

Geospatial differences: the role of social and environmental variables

lutfan

Modul ini disampaikan oleh Lutfan Lazuardi, dosen dari FK UGM. Faktor yang mempengaruhi SDH meliputi: sosial ekonomik, transportasi, perumahan, akses untuk servis kesehatan, grup sosial dan tekanan lingkungan atau sosial. Perbedaan geospasial terlihat dari distribusi dokter di Indonesia terpusat di kota, bahkan di DIY juga begitu. Atau kasus masyarakat Jogja yang berada di bawah garis kemiskinan yang tinggal di bantaran sungai terancam penyakitmisalnya TBC. Hal tersebut diungkap penelitian yang berjudul Delayed treatment of TB patients in rural areas of Yogyakarta provice, Indonesia-Yodhi Mahendradata, et al. Seharusnya data ini bisa diambil untuk menjadi masukan dalam perumusan kebijakan.

Kolaborasi antar sektor dan penemuan kasus yang tepat sangat dibutuhkan. Misalnya untuk kasus darurat persalinan di Yogyakarta. Kondisinya seperti ini: RS yang terdekat sering penuh, jadi, dibutuhkan informasi yang terintegrasi mana yang akan dituju ketika kedaan darurat. Kombinasi pengukuran atas keadaan dan strategi untuk mengukur estimasi bisa menjadi solusi, yaitu melalui google map untuk melihat traffic dan seberapa jauh harus berpindah. Lalu masalah geospasial lain yang terjadi yaitu air di Yogya sudah tercemar nitrat, sekitar 98 persen dari populasi yang ada.

Masalah besar dalam kesehatan di Indonesia ialah perbedaan pembangunan yaitu sangat modern dan sangat terpencil. Lalu diikuti biaya hidup yang terlalu tinggi di suatu daerah. Hal ini terjadi di Indonesia, misal untuk program vaksinasi harus berbeda besaran biayanya untuk masing-masing daerah. Misal Aceh-Jogja-Papua. Selain itu, untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi, bisa disusun regulasi hulu untuk sarana telekomunikasi dan transportasi: mungkin bisa dilakukan telemedicine di negara ini. Bisa menjadi universal service public transportation, untuk membuka remote area pada akses kesehatan. Atau dapat diikuti dengan dibukanya penerbangan perintis dari perusahaan penerbangan Indonesia, namun hal ini perlu advokasi ke pemerintah. Penerbangan ini bisa untuk semua hal, bukan hanya kesehatan. Hal yang perlu digarisbawahi, masih dibutuhkan komitmen dari pemerintah untuk menghubungkan akses antar pulau. Lalu, masalah persebaran dokter umum dan spesialis yang harus dipikirkan ulang. Silahkan simak paparan selengkapnya 

Modul:

Social networks and exclusion:
The case of medical pluralism among the urban floor in yogyakarta

siwi

Penelitian "Social network and exclusion: The case of medical pluralism among the urban floor in Yogyakarta" disampaikan oleh Retna Siwi Padmawati. Penelitian ini dilakukan secara antropologi dan menemukan banyak hal menarik. Pembukaan dari sesi ini, Siwi menyampaikan bahwa pemerintah memberikan asuransi pada masyarakat sejak 2005 dalam bentuk jamkesmas, jamkesda, dan lainnya. Seting untuk riset ini masih banyak masyarakat di bantaran sungai yang melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya mandi, cuci piring dan lain-lain di sungai.

Responden yang terlibat dalam penelitian ini bekerja di sektor informal. Dalam proses penelitian ini, Siwi menemukan ada tukang gigi yang tidak bersertifikat, hal ini bisa memicu infeksi gigi. Sedangkan, tidak ada penyelamatan dari pemerintah pada warga dari hal seperti itu. Kebijakan dan sistem kesehatan di Indonesia harus melihat, pertama: banyak proses sosial dalam masyarakat. Kedua, akses pada fasilitas kesehatan dan pengobatan alternatif. Ketiga, ekonomi politik sosial budaya merupakan empat elemen yang saling berinteraksi.

Terdapat dua hal yang bersifat sangat kuat dalam masyarakat Indonesia, yaitu concept of the effectiveness of medicine, masyarakat sering menyebut obat yang cocok/cespleng untuk masing-masing orang, karena tidak semua obat pas untuk semua orang. Serta concept of searching for cure, masyarakat sangat berusaha bersungguh-sungguh untuk berobat dan mencoba banyak pengobatan (ikhtiar). Pengobatan tradisional atau alternatif sesuai untuk warga miskin, karena umumnya keahlian ahli obatnya karena kursus atau diwariskan orang tua dan umumnya biaya yang harus dibayarkan hanya 5 ribu hingga 200 ribu.

Konstruksi masyarakat atas pengobatan tradisional, yang disebut ahli pengobatan tradisional dalam masyarakat yaitu mereka yang memberikan pengobatan yang baik dan sesuai, siap melayani 24 jam, bisa memberikan obat sesuai kebutuhan pasien, kadang menggratiskan pengobatan tersebut (atau biaya periksa yang ''terserah" pasien). Pengobatan tradisional ini campuran antara biomedicine, akupuntur, bekam dan herbal dari China. Mereka banyak yang beralih ke alternatif karena mengalami dilema, yaitu ingin segera sembuh, terpengaruh sugesti lingkungan untuk obat yang tepat, dan lain-lain.

Implikasi pada hulu dan hilir kebijakan yang diharapkan yaitu menunda perawatan yang tepat, menghapus diskriminasi jamkesmas serta kualitas perawatan di sektor informal. Lalu diikuti refleksi: Apalagi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan masyarakat miskin dan pengobatan tradisional?

Modul:

Pathway from social experience to health, health behavior and nutrition

istiti

Modul ini dipaparkan oleh BJ Istiti Kandarina, dosen dari FK UGM. Masalah kesehatan yang mengintai masyarakat kita yaitu perbedaan (geografis, ekonomi, dan sebagainya) serta masalah nutrisi. Nutrisi awal yang harus dicermati dalam siklus kehidupan yaitu untuk anak yang baru lahir. Setelah anak lahir, nutrisi apa yang dibutuhkan? Tentu saja jawabnya Air Susu Ibu (ASI). Namun, ASI yang akhir-akhir ini dikampanyekan untuk diberikan secara eksklusif selama 6 bulan mengalami tantangan. Masih ada kasus seperti ini, umumnya yang mengasuh anak ketika lahir itu nenek dari anak tersebut. Sehingga, banyak yang tidak memberikan ASI eksklusif. Terkadang hal ini, dipicu karena ibunya merupakan wanita yang bekerja penuh di luar rumah.

Dukungan pemerintah pada wanita hamil yaitu makanan khusus ibu hamil. Nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil telah disediakan pemerintah Indonesia yaitu makanan khusus yang terbuat dari ikan. Namun, sayangnya makanan tersebut dikonsumsi anggota keluarga yang lain. Hal tersebut masih terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Selain nutrisi, regulasi untuk wanita hamil yang sangat berbeda di masing-masing negara. Di Jerman, cuti hamil satu tahun dan bekerja setelah 3 tahun melahirkan. Di Bangladesh, cuti melahirkan 6 bulan. Di Indonesia, cuti melahirkan 3 bulan, bahkan jika bekerja di bank itu cuma sebulan.

Diskusi dalam sesi ini mengarah pada hingga saat ini, hal yang paling dibutuhkan di Indonesia ialah pendidikan dan promosi kesehatan. Sejak 2011, pemerintah mengkampanyekan Jaminan Persalinan (Jampersal), asuransi persalinan dari lahir hingga satu bulan setelah melahirkan. Mereka harus ke Puskesmas untuk dikontrol kehamilannya. Namun, banyak dari saran bidan yang menangani ibu hamil ini tidak didengar. Kadang hal inilah yang membuat ibu hamil tersebut kekurangan gizi.

Life cycle nutrition ialah hal esensial yang dibutuhkan untuk menjamin generasi yang baik untuk semua. Hamil yang berulang itu mempengaruhi malnutrition, jadi butuh adanya KB. Kebijakan di China one child is better, tapi itu menjadi dilema siapa yang akan mengasuh orang tua nanti ketika 15 atau 20 tahun yang akan datang. Namun, faktanya masih banyak yang punya anak lebih dari 4. Lalu, masih banyak yang melakukan aborsi karena ingin anaknya laki-laki. Sesi ini ditutup dengan beberapa video, yang pertama video dari Public Health, Harvard University yang menyampaikan pesan the society is our patient. Lalu video dari WHO saat deklarasi Rio tahun 2011, meninggalkan pesan yang mendalam yaitu fundamental human rights-health, so reduce inequity.

Materi silahkan 

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
bekerjasama dengan
MTAF Global Fund

Menyelenggarakan pengembangan konsultan kesehatan
dengan pendekatan jarak-jauh dan tatap muka

Kegiatan Perdana:

Informasi dan Pembentukan Data Based Konsultan Manajemen Kesehatan
dalam program
Management and Technical Assistance Facility (MTAF)

Kamis tanggal 3 Oktober 2013 pukul 10.00 – 14.30
di Ruang Theater Lt.2 , Gedung Perpustakaan FK UGM
dan disiarkan melalui Video Streaming di

www.kebijakankesehatanindonesia.net

  Pengantar

Pengembangan sistem kesehatan Indonesia dalam era desentralisasi membutuhkan peran aktif konsultan teknis dan manajemen. Tanpa ada jenis tenaga ini, akan sulit untuk memicu pengembangan dan memonitor kinerja pembangunan kesehatan. Tuntutan akan adanya konsultan teknis dan manajemen ini juga disuarakan oleh badan-badan dunia untuk pembangunan kesehatan.

Saat ini sedang dikembangkan data-base untuk konsultan dan manajemen teknis oleh Program MTAF Global Fund. Data-base ini merupakan kegiatan awal untuk mengembangkan informasi, komunikasi, dan kerjasama antara konsultan. Langkah ini kemudian diikuti dengan pengembangan kapasitas individu dan lembaga penyedia tenaga jasa konsultan.

 

  Tujuan Kegiatan

  1. Membahas tujuan Program Managemen and Technical Assistance Facility
  2. Membahas sistem data base konsultan kesehatan dari Program MTAF Global Fund.
  3. Melakukan rencana pengembangan konsultan di masa depan melalui program jarak jauh dan tatap muka.

 

 Jadwal Acara dan Topik

Waktu

Topik

Pembicara

09.30 – 10.00

Registrasi

 

10.00 – 12.00

Pembukaan oleh Prof. Laksono Trisnantoro

Informasi dan Pembentukan dan Operasionalisasi MTAF

Membahas makna konsultan manajemen dan konsultan teknis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Krisyani Inawati, SE,Ak, MBA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

12.00 – 13.00

Ishoma

 

13.00 – 14.30

Data Based Konsultan Kesehatan di Indonesia melalui www.konkes.org 

Perencanaan lebih lanjut untuk pengembangan konsultan melalui program jarak jauh 

 

dr. Bambang Hartono, SKM, M.Sc

 

 

 

 

 

 

 

 

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

 

 

 

  Peserta

  1. Konsultan Pusat-pusat di FK UGM dan luar daerah
  2. Dosen IKM dan S2 IKM
  3. Dosen Kedokteran Tropis
  4. Manajer PKMK FK UGM
  5. Bapelkes Yogyakarta dan Jawa Tengah
  6. Dosen IKM dan FKM di Universitas se Jawa tengah

Kegiatan ini diselenggarakan secara tatap muka dan live-streaming melalui www.kebijakankesehatanindonesia.net  Kegiatan dilakukan dengan cara jarak-jauh. Ujian dilakukan secara jarak-jauh dan tatap muka. Mengikuti kegiatan ini gratis, namun apabila ingin diuji akan ada pembayaran.

 

Keterangan lebih lanjut dan pendaftaran :

Hendriana Anggi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting) / +6281227938882
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. / This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Pembukaan Winter School 2013:
Social Determinants of Health Developing Countries Perspective

winterd1

Pembukaan Winter School 2013 dilakukan hari ini (17/9/2013) di Ruang Senat FK UGM. Winter school dibuka oleh empat orang yang terkait dengan kursus ini, yaitu Prof. Laksono sebagai Advisor, B. J Istiti Kandarina sebagai Director, Prof. Adi Utarini sebagai perwakilan Dekan FK UGM dan Stefanie Rohrs sebagai perwakilan dari Institute of Tropical Medicine and International Health, Charite-Universitatsmedizin Berlin.

Pembukaan ini dihadiri sekitar 20 peserta aktif yang tertarik dengan isu SDH dan Post Agenda MDGs 2015. Mereka berasal dari China, Bangladesh, Indonesia, Jerman dan negara lain. Winter school akan berlangsung selama 10 hari dengan kelas kecil yang akan diisi dosen dari Indonesia dan Jerman. Acara ini berlangsung atas kerjasama S2 IKM FK UGM, DAAD dan Institute of Tropical Medicine and International Health, Charite-Universitatsmedizin Berlin. Kursus ini dimulai tahun 2009 lalu, saat itu tema yang diambil yaitu health insurance.

Dari pertemuan ini, panitia berharap akan ada kesepakatan dan pemahaman yang sama tentang Social Determinants of Health untuk diaplikasikan dalam upaya mengurangi kesenjangan sosial. Selain itu, kursus ini diharapkan dapat mengungkap apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan yang saat ini terjadi serta menyelaraskan program SDH dengan MDGs 2015 yang akan berakhir pada 2015.

winterd1-1

Module 1: Social Determinants of Health and post 2013 agenda

Modul pertama disampaikan oleh Prof. Charles Surjadi dan dimoderatori oleh Mubasyir Hasanbasri. Faktor individual, komunitas, meso, global, faktor ini mempengaruhi suatu keadaan. Untuk mewujudkan SDH yang baik, maka dibutuhkan aksi global. Aksi global membutuhkan: pertama, meningkatkan kondisi hidup sehari-hari. Hal ini bisa dilakukan mulai dari pertumbuhan anak yang baru lahir. Kedua, mengatur kesenjangan dalam uang, sumber daya dan kekuatan. Proses ini bisa dilakukan di tingkat lokal, nasional dan global. Ketiga, mengukur dan memahami masalah dan pengaruh dari aksi. Kesenjangan kesehatan dapat diatasi dengan investasi pada training pembuat kebijakan dan praktisi kesehatan. Lalu diikuti kesepahaman publik pada Social determinants of health. Hal ini juga membutuhkan fokus yang kuat di riset kesehatan publik.

Konferensi Rio Oktober 2011 memberikan rekomendasi 53 kebijakan dan 16 poin yang dideklarasikan. Salah satunya kesehatan harus masuk dalam seluruh kebijakan atau Health in All Policies (HiAP). Pendekatan HiAP dilakukan secara horisontal, kebijakan yang melengkapi dan terkait strategi dengan potensial tinggi untuk berkontribusi pada kesehatan populasi. Inti dari HiAP yaitu menguji faktor yang terkait kesehatan, dimana dapat berpengaruh pada peningkatan kesehatan namun masih terkontrol oleh kebijakan dari banyak sektor di luar kesehatan. Universitas harus menjembatani komunikasi SDH-kebijakan dengah pemerintah dan media.

Inequity yang terjadi dalam kesehatan, bukan karena natural namun karena konstruksi masyarakat atau dibentuk. Akar penyakit yang harus diselesaikan bukan lagi hanya di permukaan lagi. SDH yang diterapkan di masing-masing negara harus selaras dengan MDGs 5, sehingga seluruh negara mampu maju secara bersamaan. MDGs sesuai dengan konsep yang diterapkan, sesuai dengan framework dengan SDH. Fokusnya pada kondisi di lapangan untuk pembangunan dan kebijakan atau bisa disebut strenghtening health system. SDH digunakan untuk berfokus pada bagaimana menggunakan frameworks SDH untuk menjalankan program (promote reframe health development). Program kesehatan tergantung perilaku individu. Kebijakan seperti apa yang membentuk masyarakat? Apa yang memicu ketidakadilan? Hal ini bisa dijawab dengan pergi ke lapangan dan Anda akan tahu apa saja masalah kesehatan yang terjadi. Selengkapnya tentang paper Prof. Charles, silahkan 

Kemudian, Mubasysyir Hasanbasri memaparkan concept and case of SDH .Di bagian hulu terdapat aspek kebijakan dan pada hilir terdapat aspek kuratif. Hal yang perlu diperjuangkan kali ini adalah mengubah aspek hilir ke hulu. Bagaimana akademis bisa mempengaruhi kebijakan dalam kesehatan? Selain itu, aspek kuratif dan preventif yang dilakukan dokter masuk dalam aspek hilir. Seluruh aspek yang dilakukan perilaku individu masuk dalam hilir. Misalnya : perilaku mencuci tangan yang dilakukan di SD. Kemudian, hulu atau apa saja yang dilakukan pemerintah itu misalnya pemerintah menyediakan tempat khusus untuk mencuci tangan. Hal yang perlu kita cermati dan lakukan adalah aware of why people do downstream and upstream.

Kemudian, faktor lain yang mempengaruhi kesehatan dalam masyarakat adalah faith. Faith is stop asking question. Banyak dari faktor kepercayaan yang membentuk masyarakat bahwa suatu hal tak bisa diubah. Kebijakan pemerintah India misalnya, dengan memberi subsidi makanan untuk komunitas. Hal ini berlaku untuk yang miskin. Hal yang perlu dilakukan adalah mengubah kebijakan tersebut untuk semua warga negara. SDH mengarah pada faktor-faktor yang menentukan kesehatan dan sosial. Policy maker cant frame what is social determinants. They need the logic of the social determinant. Policy maker need an explanation of SDH. Improving health to raise the community. Coalition the strategy to influence the policies. Scientist sebagai aktor dalam SDH, esensi jika ada pertemuan scientist dalam SDH yaitu diskusi untuk melihat SDH. Focus on our actions: no policies but action is more important. Poin yang harus disadari ialah penyakit itu bukan dari individu namun masyarakatnya (perilakunya).

winterd1-2

Modul ketiga disampaikan Stefanie Rohr, dengan judul "How do social determinants influence health". Faktor yang mempengaruhi kesehatan diantaranya: lingkungan, pendidikan, tempat, pendidikan dan lain-lain. Pendidikan yang penting untuk ditanamkan mencakup kematian, kematian anak, depresi, kesehatan jiwa dan lain-lain. Bukti nyata jika pendidikan memberikan pengaruh positif pada tidak merokok, aktivitas fisik, menggunakan perawatan preventif, sudah menggunakan perawatan spesialis, manajemen yang baik untuk penyakit kronis. Hubungan antara pendidikan orang tua dan kematian anak menunjukkan hal seperti berikut: terdapat lima penyebab umum di negara miskin dan berkembang yaitu pneumonia, diare, malaria, kondisi saat lahir dan campak. Sementara, dampak urbanisasi pada kesehatan meliputi: kekerasan dan kejahatan, perumahan, bencana alam, traffic dan transisi nutrisi. Interaksi antara faktor sosial yaitu antara: ketidakadilan sosial dan kesehatan. Social determinants (SDH) ini berpengaruh besar pada health outcomes. Simak paparan lengkapnya melalui link berikut 

Modul selanjutnya dipaparkan oleh Stefanie Rohr lagi. Kali ini ia menyampaikan tema Gender and health. Hubungan antara gender dan kesehatan ternyata sangat erat. Tahun 1995 di Amerika, terjadi 1,5 kali lipat resiko terkena kanker kulit pada laki-laki karena mereka tidak menjaga kulitnya dari sinar matahari. Hal-hal yang dilakukan perempuan, seperti memakai sunblock jika keluar rumah, memakai baju panjang dan topi dianggap tidak maskulin oleh laki-laki. Mereka ingin tampil natural atau cenderung cuek pada penampilan dan kesehatannya.

Masyarakat dunia masih patriarki, jadi masih terjadi ketidakseimbangan. Misalnya masyarakat China yang masih senang jika anaknya lahir laki-laki, bukan perempuan. Laki-laki dan perempuan sangat dominan berperan dalam menentukan feminim atau maskulinnya suatu perilaku. Gender adalah konsep konstruksi sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat. Masyarakat aktif dalam konstruksi gender tergantung perilakunya. Perilaku berdasar gender memiliki implikasi yang kuat dalam kesehatan. Silahkan simak paparan Stefanie melalui 

Kelompok KIA:
Workshop Penyusunan Rencana Tindak Lanjut POKJA KIA 

32c3

Selama 4 hari pelaksanaan Forum Nasional IV Jaringan kebijakan Kesehatan Indonesia dan Konas IAKMI yang tahun ini dilaksanakan di Kupang, dibahas berbagai Program besar salah satunya Program KIA yang sedang berjalan di indonesia. Khusus Untuk POKJA KIA telah di bahas tiga konsep besar di mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan Policy Brief . Untuk Perencanaan telah di petakan adanya MAF di tingkat provinsi yang digunakan di Jawa tengah dan Perencanaan Berbasis bukti dan Penetapan Prioritas Program KIA dengan Analityc Herarcy Proses (AHP) di Sulbar, sedangkan untuk Pelaksanaan telah dipetakan juga 1) Revolusi KIA, 2) Program SH , 3) Program Expending maternal dan neonatal survival (Emas di prov jawa tengah), 4) Penelitian "Health seeking behavior di provinsi NTT dan Jawa Timur, 5) Penggunaan surveilans respons dan jumlah kematian absolut di provinsi DIY. Selanjutnya sudah disusun beberapa Policy Brief diantaranya Analisis kebijakan: Tentang penggunaan data kematian dan terjadinya stagnasi program di berbagai daerah, 2) Strategi penurunan jumlah kematian bayi dengan revitalisasi AMP, 3) Manual rujukan KIA, 4) surveilans respon, 5) Menyoroti gerakan revolusi KIA di NTT, 5) Determinasi kunjungan ANC di daerah Kumuh/perkotaan, 6) Evalusasi Kebijakan Jampersal di DIY.

Pada sesi ini yang bertindak selaku moderator adalah dr. Hanevi Djasri, MARS. Sesi ini cukup diminati oleh peserta. Pada sesi diskusi ada banyak usulan yang diberikan oleh peserta yang hadir diantaranya: 1). Perluasan informasi mengenai inovasi KIA, 2). Perbaikan tampilan/kemasan policy brief , 3) Memetakan dukungan politis dari sisi parlemen, 4). Distribusi policy brief ke dinkes, parlemen, 4). Intervensi dalam mutu pelayanan klinis (Clinical care) misalnya: Mutu ANC tidak hanya memantau cakupan K1 dan K4, Standarisasi pelaksana manual rujukan (pelaksana harus distandarisasi pelaksana-pelaksana ini , misalnya bidan faktanya bidan tidak mampu untuk memberikan pertolongan), Adanya komitment yang kuat dari pelaksana (dr. yang masih on call), 5). Menyusun modul program KIA sesusai dengan kondisi lokal (Misalnya modul MTBS 1-12) disederhanakan untuk provinsi papua) POA di level provinsi (bisa ambil pengalaman dari penyusunan manual rujukan KIA, 6) Keterlibatan tokoh adat dan pemuka agama, 7) Strategi implementasi yang lebih baik berdasarkan peraturan yang sudah ada: contoh Bimtek Monev KIA untuk melihat komitment Dinkes dan RS (Tim AMP) , 8) Menyusun strategi replikasi yang berlaku secara umum, 9). Pelatihan advokasi di level struktural dan kultural, 10) Menyebarluaskan manual rujukan yang sudah ada, 11) Progres berbagai inovasi yang dipaparkan tahun 2013, 12) Analisa berbagai kebijakan terkait KIA, 13) Keterkaitan antara aspek ilmiah dengan implementasi lapangan (Desain ilmiah dengan desain project), 14) Tanggapan atau analisis dari organisasi profesional :POGI, IDAI, Feto, Hogsi, Perinasia, JNPK , P2KB, dsb keterkaitan antara aspek klinisi –manajerial –regulasi, 15) Meningkatkan penerimaan konsep surveilans respon, 16) RS PONEK harus: AMP, dashbord, rujukan balik, 17) Policy brief harus evidence based jangan hanya experience based, 18) Menyusun topok-topik yang dapat diteliti oleh mahasiswa S2 sesuai dengan POA Pokja KIA

Ditulis oleh Armiatin

Sesi 3. 4c

Makalah Bebas Kelompok KIA dan Penyakit Tidak Menular

Makalah bebas kelompok KIA dan penyakit tidak menular di laksanakan di ruang Pearl Hotel On The Rock Kupang. Pada sesi ini ada 6 pembicara yang mempresentasikan hasil penelitian yang dilakukan di berbagai daerah di indonesia. Presentasi pertama oleh Qomariah Alwi, dalam penelitiannya Qomariah Menyoroti tentang gerakan Revolusi KIA dalam meningkatkan Linakes di Faskes, pemberian ASI Ekslusif dan penimbangan Balita di Kab. Kupang NTT. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan revolusi KIA dan PPKIA dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya persalinan Nakes di fasilitas kesehatan, pemberian asi ekslusif dan penimbangan. Qomariah menjelaskan bahwa ada banyak dampak positif yang dirasakan dengan adanya revolusi KIA ini, salah satunya adanya kebijakan lokal pemerintah untuk menerbitkan Perbub Revolusi KIA dan Perbub tentang percepatan pelayanan KIA, dengan adanya Perbub ini semakin meningkatkan Linakes dan Lin-Faskes, terjalin mitra bidan dukun-dukun dan kader diatur dengan reward dan punishment, Kades membuat Perdes persalinan Toma Toga berperan serta dalam persalinan dan kegiatan posyandu, ada MOU antara Puskesmas dengan pihak kecamatan/Satpol PP untuk penyelamatan bayi, tidak hanya itu Linakes di faskes meningkat cukup drastis, meskipun banyak manfaat yang dirasakan namun ada juga kekurangan-kekurangannya dalam pelaksanaannya, diantaranya kebijakan revolusi KIA tidak didukung dengan sarana prasarana SDM, biaya dan tidak adanya monitoring dari Provinsi. Gerakan ini masih berfokus ke kekesehatan ibu, belum serius ke masalah gizi balita.

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh Tumiji dari Balitbangkes Surabaya, dengan judul Determinasi kunjungan antenatal care di daerah kumuh perkotaan di indonesia, dalam presentasinya Tumiji menyampaikan bahwa ditemukan hanya 60% ibu hamil yang menerima lengkap komponen antenatal care dan puskesmas memberikan pelayanan yang lebih baik. Wanita yang melakukan antenatal care di sektor swasta memiliki resiko lebih tinggi untuk menerima kecukupan anc yang rendah, meski kualitas teknis layanan antenatal care lebih rendah dibanding dipuskesmas/polindes, namun fasilitas kesehatan justru mendapat kunjungan antenatal care yang lebih tinggi. banyak alasan masyarakat memilih sektor swasta namun layanan yang diberikan sering tidak memadai dan tidak sesuai dengan pedoman pemerintah, sektor swasta dinilai lemah dalam peraturan dan kontrol meskipun ada, seringkali kurang efektif karena rendahnya pengawasan publi dan lemahnya penegakan hukum.

Selanjutnya Presentasi ketiga disampaikan oleh Ummul Khair dari Bapelkes Dinkes DIY. Penelitiannya menyoroti tentang Evaluasi Kebijakan jaminan persalinan di Provinsi DIY. berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar AKI dan AKB menurun, salah satunya adanya kebijkan Jampersal, namun menurutnya perlu dilakukan evaluasi kebijakan Jampersal ini. Penelitiannya dilakukan di 5 Kab/Kota dengan subyek penelitian Dinas Kesehatan dan pemberi layanan dan pengumpulan datanya dengan indepth interview. Hasil penelitiannya ditemukan SDM belum memenuhi secara kuantitas dan kualitas, masih ada RSUD yang belum memiliki dokter obsgyn, keterbatasan tenaga bidan di puskesmas dan masih kurangnya jumlah MOU dengan bidan. Untuk nominal jasa yang diberikan tidak sepadan dengan nilai jasanya, paketan jampersal yang belum akomodatif dan kadang-kadang menimbulkan image negatif, pemgembalian atau pencairan dana memakan waktu lama. Fasilitas dan peralatan di puskesmas belum kondusif dan kelengkapan peralatan di RS rujukan tidak semua puskesmas Poned memadai. Kebijakan yang ada tidak sinkron

Selanjutnya Presentasi keempat disampaikan oleh Triastuti Sugiatmi dari Dinkes Provinsi Tarakan dengan judul Evaluasi Kebijakan PPD test dalam kasus TB anak di dinkes kota tarakan. Hasil Penelitiannya menunjukkan PPD test diadakan dengan dana APBD pada tahun 2010 dan dimanfaatkan pada tahun Januari 2011- Oktober 2012, Logistik pendukung TB anak untuk kasus lanjutan khususnya yang didiagnosa positif TB anak (INH profilaksis) belum terjaga sustainabilitasnya—penatalaksanaan belum sesuai standar walaupun sudah dilakukan penegakan diagnosa yang lebih baik. Pelatihan ataupun on the job training TB anak belum ada program yang terpusat. Baru dilaksanakan di kota Tarakan Juni 2013. Tidak seluruh puskesmas yang menyelenggarakan tes PPD –mempunyai SOP. (3 dari 7 puskesmas ), TB Anak memang program yang masih sering diabaikan baik dalam tataran nasional maupun lokal. Upaya pengadaan PPD test dengan dana dari APBD II untuk meningkatkan cakupan program TB anak patut dihargai walaupun banyak kekurangan dalam tataran implementasi . Hasil mantoux test yang bisa memberikan hasil yang positif palsu maupun negatif palsu menggambarkan masih sulitnya penegakan diagnosis TB anak kasus khusus di layanan primer walaupun sudah memanfaatkan mantoux test.

Berikutnya Yusni Zainal berasal dari Dinkes Kab. Sinjai dengan judul Kelemahan dalam pelaksanaan pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu dan anak. Menurutnya penting dilakukan pemantauan, karena semua pelaksanaan kegiatan memiliki potensi kegagalan, dan monitoring merupakan cara untuk menemukan kegagalan. Monitoring berguna untuk memperbaiki komponen kegagalan program. Temuan dalam penelitiannya adalah PWS KIA berorientasi pada peningkatan capaian, kurang dalam menemukan kasus-kasus yang justru perlu ditindaklanjuti, kasus-kasus yang harus di tindaklanjuti cepat justru tidak masuk dalam prioritas pencatata. Diharapkan kedepannya point tindak lanjut dari masalah situasi setempat harus menjadi tekanan dalam pelaporan pemantauan, sistem teknologi informasi bisa membantu akses oleh semua pihak dan diharapkan Dinkes mengontrak manajer untuk tindak lanjut masalah KIA. Pembicara Rini Anggraeni dari FKM Unhas menutup sesi dengan mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul Faktor resiko penyakit tidak menular (Hipertensi dan DM) di Kab. Tana toraja tahun 2011. Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular dengan angka kematian yang semakin meningkat. Sedangkan hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebeb meningkatnya resiko penyakit stroke, jantung dan ginjal. Tanah toraja merupakan salah satu kabupaten di sulawesi selatan yang masyarakatnya diduga memiliki resiko yang tinggu akan DM dan hipertensi. Pengamatan terhadap kebiasaan masyarakat/budaya menunjukkan bahwa tingkat konsumsi lemakcukup tinggi serta cenderung memiliki pola hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Kebiasaan ini dapat memicu konsumsi lemak yang tinggu dan memungkinkan terjadinya obesitas hiperlipidemia/hiperkolesterolemia dan hipertensi.

Ditulis oleh Armiatin

Sesi 3. 2c.

Pengembangan Inisiatif Millenium Acceleration Framework
di Provinsi Jawa Tengah

Pembicara I: Dr. Arum Atmawikarta, MPH
(Sekretaris Eksekutif MDG's Nasional BAPPENAS

32c2

Provinsi Jawa Tengah telah mengembangkan Inisiatif Millenium Acceleration Framework (MAF). MAF adalah kerangka metodologis yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan stakeholders berupa pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan bottleneck dalam upaya mencapai target MDGs dengan kategori off-track sekaligus solusinya. Tujuannya untuk Memberikan kontribusi untuk mengejar ketertinggalan pencapaian target MDGs dengan langsung menangani 'intervensi' utama secara efektif. Ada 4 langkah MAF yaitu: 1) Penentuan prioritas untuk melakukan intervensi secara spesifik, 2) Mengidentifikasi dan menyusun prioritas untuk mengatasi bottleneck secara efektif, 3) Menetukan solusi bersama multistakeholders dalam mengatasi bottlenecck, 4) Perencanaan dan pemantauan implementasi dari solusi yang ditentukan.

Metode MAF telah diimplementasikan di 15 negara di 3 benua. Di Indonesia penerapan pertama metode MAF dilaksanakan di Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan daerah tersebut memiliki komitmen yang tinggi dan akan berdampak terhadap sasaran nasional. Dalam proses penyusunan MAF memerlukan kerja sama yang kuat antara berbagai stakeholders yang berasal dari Pemerintah, universitas, organisasi profesi, lembaga kemasyarakatan, media, mitra kerja internasional, swasta.

Tahapan penerapan MAF di Provinsi Jawa Tengah: 1) Penjajakan baik dipusat maupun didaerah untuk menyamakan persepsi tentang area MAF yang akan digarap (Komunikasi dengan kementrian kesehatan, komunikasi dengan Kementrian PPN/Bappenas, komunikasi dengan UN, 2) Pemilihan kandidat lokasi (komitmen Pemda tinggi dan akan berdampak terhadap sasaran secara nasional), 3) permintaan resmi dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada UN, 4) mulai melakukan persiapan (Rapat koordinasi, menyusun agenda kerja, merekrut konsultan, menyusun TOR untuk pelaksanaan MAF, 5) berkunjung ke Provinsi Jawa Tengah (bertemu dengan Bappeda dan stakeholder lain menyampaikan gagasan MAF dan menyampaikan persepsi, stakeholder: Pemerintah, perguruan tinggi, Organisasi Profesi, Lembaga Swadaya Masyarakat.

Proses penyusunan MAF di Jawa Tengah dapat digunakan sebagai lesson learned untuk mempercepat pencapaian sasaran MDGs 5 atau MDGs kategori off track lainnya dengan berbagai penyesuaian sesuai dengan kondisi daerah.

Pengalaman Dinas Kesehatan Provinsi Papua dalam mendukung implementasi perencanaan berbasis bukti Sektor KIA di 7 Kabupaten di Provinsi Papua


 

Pembicara II: drg.Agnes Ang

32c1

Pada sesi ini dr. Agnes Ang selaku Kabid Bina Program dan Pengembangan Kesehatan Wilayah Dinkes Provinsi Papua berbagi pengalaman tentang Perencanaan Berbasis Bukti yang berlangsung di 7 Kabupaten di Papua. Perencanaan Berbasis Bukti (PBB) adalah inisiatif yang bertujuan untuk membuat perencanaan di level kabupaten/kota menjadi lebih sistematis dan menggunakan data kesehatan yang spesifik untuk daerah. Perencanaan Berbasis Bukti juga menggunakan bottleneck analysis framework dan mengedepankan penggunaan 66 intervensi yang berbasis bukti, atau yang telah terbukti efektif menurunkan angka kematian ibu dan anak. Melibatkan 3 kelompok yaitu masyarakat, keluarga hingga klinisi, selain itu dapat dijadikan sebagai bahan advokasi untuk pembiayaan dan bisa menggunakan strategi-strategi prioritas bagi daerah.

Tingginya AKI dan AKB di indonesia dan adanya kesempatan yang diberikan dalam era desentralisasi keleluasaan untuk merencanakan sesuai dengan kebutuhan daerah. mendorong Provinsi Papua untuk melakukan perencanaan dan penganggaran yang lebih tepat didaerah (bottom up) yang dipadu dengan top down. Namun ada berbagai tantangan Provinsi Papua dengan dengan luas Wilayah 316.553,1 dan jumlah penduduk 2.833.381 jiwa. Hampir separuh dari total penduduk papua berdomisili di wilayah pegunungan dan 60% penduduk Papua berdomisili daerah yang bertopografi sulit. Ada berbagai tantangan yang dihadapi seperti perencanaan yang tidak sistematis, kapasitas lokal yang terbatas, tidak digunakannya data lokal dalam perencanaan, SDM terbatas terutama untuk daerah pemekaran, apalagi di daerah yang terlibat konflik. Hampir separuh dari total penduduk papua berdomisili di wilayah pegunungan dan 60% penduduk Papua berdomisili daerah yang bertopografi sulit. Papua Kendalanya biaya tinggi, transportasi sulit bahkan ahanya ada 3 Provinsi yang bisa dilalui jalur darat, biaya transportasi tinggi

PBB di Papua telah berlangsung di 7 kabupaten dan telah menunjukkan adanya peningkatan anggaran untuk kesehatan ibu dan anak. Perencanaan berbasis bukti memiliki nilai tambah bagi Provinsi Papua 1) PBB menegaskan perlunya Intervensi efektif menjadi pedoman dalam program mengurangi kematian ibu dan anak, 2) PBB dapat memberikan gambaran kuantitatif untuk intervensi efektif dan bottlenecknya. Sebagian data dapat dipergunakan sebagai alat monitoring untuk UPK4, 3) PBB dapat memberikan gambaran besaran anggaran untuk meningkatkan intervensi efektif, 4) PBB dapat dipergunakan untuk memperbaiki alokasi sumber daya : mana yang prioritas untuk investasi. Kedepannya di diharapkan perencanaan dan penganggaran kesehatan di Kab/Kota dapat menggunakan pendekatan yang sistematis, PBB dikembangkan secara open-system dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah, Perencanaan menggunakan PBB hanya dapat berjalan apabila ada pendamping (tim fasilitator). Selain itu perlu mengembangkan sejumlah fasilitator/ technical assistance (TA), melembagakan kegiatan fasilitator dengan dana yang tersedia setiap tahun (misal dengan dana dekonsentrasi), dana ini akan komplemen dengan anggaran Perencanaan Mikro PKM dari BOK.

Ditulis oleh: Armiatin

Sesi 3

Konteks Kebijakan AIDS:
Epidemiologi dan Perilaku Beresiko

 

Pengantar

Kelompok AIDS secara aktif berdiskusi pada Jumat, 6 September 2013 pukul 08.00-10.00 WIB di Ruang Ruby, Hotel On The Rock, Kupang. Epidemiologi dan Perilaku Beresiko dalam konteks Kebijakan AIDS merupakan tema pertama yang diutarakan dalam pembahasan pada sesi pertama Kelompok AIDS pada Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia IV yang diselenggarakan di Kupang pada 4-7 September 2013. Pembicara yang terlibat dalam sesi ini berasal dari berbagai pihak, baik itu lembaga pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat lokal, maupun pihak LSM dan donor asing yang terkait dengan Kebijakan dan Program HIV AIDS di Indonesia. Sesi Kelompok AIDS kali ini dimoderatori oleh Iko Safika, M.PH, PhD.

31a

Mengapa Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku perlu dilakukan di Indonesia

Narasumber pertama berasal dari Kementrian Kesehatan yaitu Dr. Siti Nadia Wiweko (Kasubdit AIDS P2PL). Nadia menyampaikan paparan terkait Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku. Pada sesi hari ketiga kelompok AIDS, Nadia memaparkan bahwa secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi HIV/AIDS rendah, tetapi terkonsentrasi pada sub populasi berisiko. Terkait dengan hal ini pemerintah merasa perlu melakukan kegiatan pemantauan regular terhadap epidemi yang terjadi. Sejak tahun 1998 hingga 2011, sudah dilakukan beberapa survei integrasi antara HIV dan IMS serta survei perilaku atau yang sering disebut dengan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP). STBP sendiri sudah dilakukan pada 2007, 2009, dan 2011. STBP 2011 dilakukan di 11 provinsi yaitu Provinsi Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua. Provinsi tersebut sama dengan STBP 2007, kecuali Lampung dan Maluku.

Apa Tujuan Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku ?

  1. Mengetahui prevalensi Gonore, Klamidia, Sifilis, dan HIV serta menganalisa populasi paling berisiko dan menganalisa kecenderungannya.
  2. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang penularan dan pencegahan HIV pada populasi paling berisko dan populasi rawan (remaja) dan menganalisa kecenderungannya.
  3. Mengetahui tingkat perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV diantara populasi paling berisiko dan menganalisa kecenderungannya.
  4. Mengetahui cakupan internvensi pengendalian HIV dan IMS serta dampaknya pada kelompok populasi paling berisiko dan populasi rawan.

Siapa saja responden STBP

Kemudian, narasumber juga menjelaskan bahwa responden STBP adalah populasi usia >15 tahun berisiko tinggi tertular HIV dan populasi rawan tertular HIV (remaja), yang terdiri dari Wanita Pekerja Seks Langsung (WPSL), Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung (WPSTL), Pria berisiko tinggi (Pria risti), Pengguna Napza Suntik (Penasun), Wanita-Pria (Waria), Lelaki suka Seks dengan Lelaki (LSL), Narapidana, dan murid kelas 11 9SMA) untuk mewakili populasi remaja, kelompok lelaki supir truk, tukang ojek, pelaut dan Tukang Bongkar Muat (TKBM). Populasi STBP 2011 sama dengan STBP sebelumnya, kecuali narapidana baru dimasukkan pada STBP 2011. Total responden adalah 25.150 dengan pembagian WPS 7304, Pria Risti 4899 (Pelaut, TKBM, Supir truk, Tukang ojek), Waria 1089, LSL 1250, Penasun 1420, WBP 2000, dan Remaja (pelajar SLTA) 7022.

Penutup

Kesimpulan dari hasil survei pada seluruh kelompok sasaran adalahdibanding STBP 2007, pola prevalensi HIV antar kelompok sasaran cenderung tetap, sedangkan prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) mengalami perubahan. Pada pola perilaku tidak terjadi peningkatan perilaku penggunaan kondom secara konsisten pada seks berisiko.Sedangkan pada sisipengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada seluruh kelompok sasaran mengalami penurunan (Pengetahuan komprehensif mengukur tingkat pengetahuan pencegahan dan penularan HIV-AIDS tentang lima hal berikut: (1) tidak dapat mengetahui ODHA hanya dengan melihat; (2) setia terhadap pasangan dapat mencegah penularan HIV; (3) penggunaan kondom dengan benar dapat mencegah penularan HIV; (4) penggunaan alat makan bersama dengan ODHA tidak dapat menularkan HIV; (5) gigitan nyamuk/serangga tidak dapat menularkan HIV.)Untuk selanjutnyapada penggunaan napza suntik pada kelompok sasaran selain penasun cenderung tetap.Sedangkanperilaku berbagi jarum pada penasun cenderung turun.

Tujuan Survei Cepat Perilaku (SCP)

Pada sesi kedua pemaparan Kelompok AIDS pada 6 September 2013, Halik Sidik (Asisten Deputi Penguatan Kelembagaan-Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/KPAN) memaparkan hasil survei dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengenai Survei Cepat Perilaku Penasun (Pengguna napza suntik) dan Wanita Pekerja Seksual (WPS) Tahun 2010, 2011, dan 2013. SCP Penasun WPS dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran akses terhadap program dan pola perilaku berisiko Penasun di 9 kota serta WPS di 12 kabupaten/kota dengan jumlah WPS terbanyak. Tujuan khusus SCP WPS adalah untuk mengetahui karakteristik WPS, untuk mengetahui akses WPS terhadap program dan perilaku penggunaan kondom dengan menggunakan rancangan survei kuantitatif berbasis komunitas dimana hasil survei dapat digeneralisir pada populasi penasun di lokasi SCP.

31b

Di mana saja lokasi SCP Penasun dan WPS dilakukan?

SCP Penasun dilakukan di Medan, DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar. Sedangkan SCP WPS dilakukan di Jakarta barat, Semarang, Malang, Banyuwangi, Denpasar, Indramayu, Bintan, Palembang, Makassar, Jayapura, Sorong dan Simalungun.

Kesimpulan hasil SCP

Upaya mengubah perilaku pada Penasun relatif berhasil sementara pada Pembeli Seks belum berhasil dengan melihat rendahnya kesadaran akan pemakaian kondom pada saat berhubungan dengan WPS. Kemudian, dari hasil pemaparan kesimpulan SCP muncul pertanyaan terkait dengan kebijakan bahwa: Apakah rendahnya perubahan perilaku pada pembeli seks disebabkan karena skala intervensi yang masih rendah atau karena metodologi intervensinya, atau karena keduanya? Sumber daya dan manajemen bisa jadi menjadi solusi dan pendekatan untuk mengatasi masalah secara skala dan gabungan keduanya. Namun apabila masalahnya terletak pada Metodologi intervensinya, pemerintah masih memiliki tugas untuk mencari pendekatan dan solusi yang paling sesuai dengan kondisi perkembangan persebaran HIV/AIDS di Indonesia saat ini.


Narasumber 3:

Silvy Devina – HCPI (HIV Cooperation Program Indonesia)
Survey Terpadu Biologi dan Perilaku di Lapas (Integrated Biological and Behavioral Surveilance) (IBBS)

HIV Cooperation Program Indonesia (HCPI) adalah sebuah proyek di bawah naungan Burnet Institute Australia yang memiliki program membantu Indonesia dalam merencanakan, membangun, dan mengiplementasikan penanganan yang efektif dan berkelanjutan terhadap HIV.

31c

Latar Belakang Peneltiian diadakannya STBP terhadap WBP

Ibu Silvy Devina memulai pemaparannya pada pertemuan sesi Kelompok HIV dengan menjelaskan bahwa latar belakang diadakannya penelitian Prevalensi HIV dan SIfilis (2010) dan HIV dan HCV (2012) dan Perilaku Berisiko karena prevalensi HIV pada WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) lebih tinggi daripada komunitas umum. (Dolan J. et al 2007) dan menurut estimasi dari sekitar 140.000 WBP di Indoensia, 5000 sudah terinfeksi HIV (3,6%) (kemenkes, 2009). Melihat angka yang cukup signifikan tersebut, HCPI membuat sebuah studi pada tahun 2010 dan 2012.

Tujuan Studi 2010 dan 2012 adalah untuk:

  1. Mengetahui prevalensi HIV dan Sifilis (2010) dan HIV dan HCV (2012)
  2. Mengidentifikasi perilaku berisiko penularan HIV dan HCV: Penggunaan jarum suntik untuk menyuntikkan napza, praktek tato, tindik, pemasangan aksesoris kelamin.
  3. Menilai pengetahuan WBP tentang penularan dan pencegahan HIV dan HCV.

Kesimpulan dan Rekomendasi Studi 2010 dan 2012

Seperti dijelaskan oleh Ibu Devina, Prevalensi HIV pada WBP di Lapas Narkotika lebih tinggi dibandingkan di Lapas Umum (6,5% berbanding 1,1%). Prevalensi HIV lebih tinggi pada WBP perempuan (2010) dan Perilaku berisiko pada WBP laki-laki: penasun, tato, tindik, dan aksesoris kelamin.

Sebagai penutup HCPI meberikan rekomendasi dari hasil studi yang mengacu pada penemuan hasil akhir penelitian dengan mengingat pentingnya upaya pencegahan, perawatan dan dukungan terhadap populasi kunci dalam hal ini WBP.

  1. Membangun kerjasama, jejaring, sistem rujukan layanan deteksi dini dengan penyedia layanan kesehatan HIV/AIDS.
  2. Menyediakan pemutih, kondom, jarum suntik steril dan menginkatkan layanan methadone dan rehabilitasi/ detoksifikasi di Lapas.
  3. Kajian terhadap program KIE
  4. Pelatihan program HIV/AIDS untuk petugas Lapas/Rutan
  5. Pendekatan alternative penahanan penasun, pengurangan masa hukuman, dan de-kriminalisasi pengguna Napza.
  6. Program deteksi dini, pemeriksaan dan pengobatan IMS khusus WBP perempuan.

Narasumber 4:

Ibu Retno Mardiyati – Yayasan Spiritia
Faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV pada ODHA di Indonesia

Yayasan Spiritia adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan pada 1995 sebagai kelompok dukungan sebaya oleh dan untuk orang yang terinfeksi HIV (Odha) dan terpengaruh oleh HIV (Ohidha).

Topik bahasan oleh narasumber dari Yayasan Spiritia berfokus pada penelitian yang memberikan dukungan terhadap Orang Dengan HIV AIDS (ODHA).

Mengapa ada Terapi Kepatuhan terhadap ARV?

HIV merupakan salah satu penyakit yang treatable tapi belum curable karena belum ditemukan obatnya.Sehingga seorang ODHA harus mengonsumsi obat ARV seumur hidup dan tepat waktu.Jadwal ketat minum obat HIV ini tidak boleh meleset agar bisa menekan jumah virus di tubuh. Jika tidak disiplin obat justru akan menjadi resisten terhadap tubuh.Karenanya ODHA harus mengonsumsi obat ARV untuk mempertahankan kekebalan tubuhnya.

Mengapa Penelitian ini diadakan?

Ibu Retno memberikan penjelasan mengenai latar belakang pentingnya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV pada ODHA di Indonesia.

•  Menurunkan risiko kematian
•  Mengurangi angka kesakitan
•  Mengurangi jumlah virus
•  Meningkatkan daya tahan tubuh

Lokasi Penelitian meliputi Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bangka, Belitung, Lampung dan DKI Jakarta.Responden utama adalah ODHA dengan kepatuhan 95% berjumlah 16 orang.Responden pendukung adalah Ohida 14 orang, Petugas kesehatan 10 orang, dan dukungan sebaya 5 orang.

Karakteristik yang berhubungan dengan kepatuhan minum ARV meliputi umur, gender, waktu, status HIV, pergantian rejimen ARV. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam terapi ARV dikategorikan dalam: Faktor personal, Faktor sosial, faktor Lupa dan Cara Mengingat, peran Ohida, dan Obat.

Hasil Penelitian dan Rekomendasi

Narasumber menjelaskan kesimpulan mengenai hasil penelitian bahwa berdasarkan analisis multivariat, variable dominan yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV adalah mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat (peran Ohida).

Berkaitan dengan kompleksnya terapi ARV baik itu ditinjau dari faktor personal, faktor sosial, faktor Lupa dan Cara Mengingat, peran Ohida, dan Obat, hasil temuan penelitian merekomendasikan hal-hal yang perlu dilakukan.

Kementrian Kesehatan perlu melakukan:

  1. Segera menerapkan penggunaan obat yang lebih disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil yang digunakan dan mengurangi frekuensi minum obat dengan kombinasi dosis tetap
  2. Memperbaiki pendataan dan pelaporan pengguna obat untuk menghindari ketidaktersediaan stok obat di tempat layanan

Rumah Sakit Rujukan dan Puskesmas perlu:

  1. Memperhatikan peningkatkan kepuasan pasien terhadap layanan yang diberikan melalui peningkatan kenyamanan klinik/tempat layanan, jadwal dokter yang sesuai dengan kebutuhan pasien, durasi waktu menunggu yang lebih singkat, meningkatkan keterampilan komunikasi antara dokter dan pasien.
  2. Meningkatkan kualitas layanan dengan mengurangi stigma dan diskriminasi di tempat layanan
  3. Meningkatkan kepedulian dan keterampilan para pemberi layanan kesehatanMeningkatkan keterlibatan pasien dalam layanan
  4. Mempermudah jangkauan/akses pasien ke tempat layanan melalui penyediaan layanan atau layanan satelit yang lebih banyak
  5. Menyediakan layanan terintegrasi (satu atap)
  6. Meningkatkan jumlah dokter sehingga rasio dokter dengan pasien tercukupi.
  7. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu membantu mengingatkan Odha dalam meningkatkan kepatuhan dengan cara pengoptimalan teknologi sederhana seperti penggunaan alarm.

KP, KDS, dan pihak keluarga perlu:

  1. Memberikan pengetahuan esensial mengenai cara penularan, pengobatan, efek samping, kepatuhan, resistensi dan motivasi dan pendukungan minum obat.
  2. Mengembangkan strategi dukungan kesebayaan lebih kuat dimana pendukung sebaya tidak hanya berdasarkan status HIV tetapi juga kesebayaan berdasarkan populasi risiko dan telah terapi ARV khususnya yang berkepatuhan tinggi sehingga dapat menjadi model.
  3. Perlu meningkatkan jumlah dan mutu pendukung sebaya dalam memotivasi dan mempersiapkan odha menggunakan ARV.

ODHA perlu:

  1. Meningkatkan rasa percaya diri dengan melalui keterlibatan diri dalam kegiatan dukungan sebaya.
  2. Meningkatkan pengetahuan ARV sehingga memotivasi diri Odha untuk kesiapan memulai dan mempertahankan kepatuhan ARV.
  3. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya melaporkan efek samping yang dialami kepada dokter.
  4. Mengetahui faktor atau potensi yang menyebabkan penghambat kepatuhan dan mencari akses akan dukungan dan rujukan untuk mengatasinya.
  5. Meningkatkan kesadaran Odha dalam memulai terapi tepat waktu sesuai pedoman yang berlaku.
  6. Membuat manajemen waktu pribadi yang sesuai dengan aktivitas pribadi dan waktu minum obat

Penutup

Pencapaian untuk semua rekomendasi diatas membutuhkan wadah dukungan sebaya dan pemberi layanan kesehatan primer. Kedua wadah tersebut akan berjalan dengan baik jika penguatan sistem komunitas dan penguatan sistem kesehatan terselenggara dengan baik di tingkat lokal dan nasional.

 

  • angka jitu
  • toto 4d
  • toto
  • toto macau
  • rtp live slot
  • bandar togel 4d
  • slot dana
  • toto sdy
  • toto slot
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • bandar togel
  • toto macau
  • bandar slot
  • toto togel
  • togel4d
  • togel online
  • togel 4d
  • rajabandot
  • toto macau
  • data toto macau
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • judi online
  • nexus slot
  • agen slot
  • toto 4d
  • slot777
  • slot777
  • slot thailand
  • slot88
  • slot777
  • scatter hitam
  • toto slot
  • slot demo
  • slot777
  • toto 4d
  • toto slot
  • agen slot
  • scatter hitam
  • slot 4d
  • bandar slot/
  • bandar slot/
  • toto slot
  • mahjong slot
  • slot jepang
  • slot777
  • slot dana
  • slot dana
  • toto slot
  • bandar slot
  • scatter hitam
  • toto slot
  • slot 2025
  • toto slot
  • bandar slot
  • agen slot
  • slot dana
  • slot777
  • bandar slot
  • slot thailand
  • toto slot
  • slot resmi
  • togel4d
  • slot resmi
  • KW
  • slot online
  • slot gacor
  • slot88
  • slot
  • situs slot
  • slot777
  • slot gacor
  • pgsoft
  • mahjong
  • slot demo
  • slot 4d
  • slot scater hitam
  • judi online
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • slot vip
  • demo slot
  • slot bet kecil
  • slot bet 400
  • slot gacor