Key Note Speech 1

Politik Membangun Kesehatan Bangsa

Oleh : dr. Nafsiah Mboi, SpA. MPH - Menteri Kesehatan RI
 

nafsiahPemaparan terkait politik kesehatan tidak akan terlepas dengan isu politik nasional menyongsong "2014 sebagai Tahun Politik". Pergantian kabinet baru dan kepala daerah beresiko terhadap berhentinya kebijakan kesehatan baik secara nasional ataupun lokal di daerah. Era reformasi menjadi tonggak pergantian sistem, termasuk sistem kesehatan, sehingga banyak kebijakan politik yang terlantar pada saat ada banyak kabupaten/kota yang berganti kepala dinas, padahal di kabupaten/kota tersebut sistem kesehatan dasar harusnya menjadi prioritas utama. Bahkan banyak kepala daerah bukan merupakan orang yang konsen pada isu kesehatan dan ada kepala dinas kesehatan yang bukan merupakan orang kesehatan. Fenomena tersebut menjadi penekanan agar jangan sampai pergantian politik menjadi hambatan dalam pembangunan kesehatan. Kepala daerah hendaknya dipilih yang care kepada kesehatan, sehingga akan mengalokasikan APBD untuk pembangunan kesehatan di daerahnya.

Komitmen politik pemerintah pada kesejahteraan masyarakat adalah menciptakan Indonesia yang adil dan makmur, sehingga sektor kesehatan tetap menjadi prioritas politik. Pemaparan politik kesehatan Indonesia yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, SpA. MPH berorientasi pada Kerangka Acuan KONAS IAKMI XII tentang angka IPM, AKI, Balita, dan AKB yang masih membutuhkan perhatian. Renstra Kementrian Kesehatan 2010-2014 yaitu masyarakat yang sehat mandiri dan berkeadilan dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat, pelayanan kesehatan yang paripurna, ketersediaan SDM kesehatan, dan good governance. Kementrian Kesehatan berserta jajaran di bawahnya tetap berkomitmen untuk peningkat akses pelayanan kesehatan masyarakat yang komprehensif dan bermutu.

Selama ini program pengobatan gratis sering dibakai untuk kampanye kapala daerah, karena memang isu jaminan pada perolehan pelayanan kesehatan saat sakit merupakan hal yang masih menjadi beban bagi masyarakat Indonesia. Kementrian Kesehatan RI terus mengusahakan penyelesaian masalah pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia. Program Nasional yang akan segera diluncurkan adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2014. Pada akhir Desember 2019 ketika program BPJS menargetkan Total Health Coverage bagi seluruh masyarakat Indonesia. Banyak isu yang muncul sebagai reaksi dari progam tersebut diataranya adalah peran serta masyarakat, kecukupan tenaga pendidikan dan kecukupan fasilitas kesehatan.

Isu yang melemahkan tersebut menurut data nasional yang disampaikan oleh Mentri Kesehatan RI sudah bukan lagi merupakan ancaman. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan terus dikembangkan, baik itu lewat Posyandu, poskesdes, posbindu PTM, atau posmaldes diharapkan dapat terus ditingkatkan. Ketersediaan tenaga kesehatan sudah mendekati target secara nasional. Kesempatan dan upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan diupayakan lewat berbagai macam beasiswa yang ditawarkan. Pemerataan tenaga kesehatan diharapkan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk dapat mengikat putra daerahnya sehingga setelah selesai studi dapat kembali ke daerah dan betah kerja di daerah. Daerah dapat merencanakan kebutuhan tenaga kesehatannya dan mengajukan untuk pepenuhan tenaga kesehatan di daerah. Ketersediaan fasilitas kesehatan secana nasional sudah siap, tetapi ada ketimpangan karena ada daerah yang memiliki banyak RS ada yang kekurangan. Hal tersebut dapat diatasi dengan regulasi dan kebijakan yang tegas pada saat ijin pendirian dan pengembangan RS. Pada akhir pemaparan Menteri Kesehatan RI mengharapkan dapat bekerja sama dengan IAKMI untuk menidentifikasi strategi-strategi yang inovatif untuk mengoptimalkan peningkatan derajad kesehatan masyarakat Indonesia. Selain itu ada tantangan yang diajukan agar IAKMI dapat mempengaruhi keputusan politik di Indonesia demi kesehatan masyarakat.

Oleh : Surahma Asti Mulasari (IAKMI DIY)



Kebijakan Inovatif dalam MDG 4 dan 5
yang Perlu Dikembangkan di Masa Mendatang

stef12

dr. Stevanus Bria Seran, MPH dan dr. Arida Oetami, M.Kes, yang bertindak sebagai pembicara pertama untuk tema ini. Keduanya memaparkan dampak positif dari terobosan kebijakan KIA di daerah masing-masing. Narasumber pertama, yang merupakan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, membahas tentang terobosan kebijakan Revolusi KIA di Nusa Tenggara Timur (NTT). Revolusi KIA berdampak pada penurunan AKI dan AKB. Per tahun 2009, AKI di NTT sebesar 272 kasus, sedangkan pada tahun 2013 (Periode Januari-Juni) AKI turun menjadi 98 kasus. AKB di NTT juga mengalami penurunan dari 1.219 kasus di tahun 2009 menjadi 713 kasus di tahun 2013 (Periode Januari-Juni). Program ini juga berhasil mendorong persalinan ibu di fasilitas kesehatan yang memadai, yang pada tahun 2009 hanya 44,98 persen persalinan di fasilitas kesehatan menjadi 84,59 persen pada tahun 2013 (periode Januari-Juni). Sebagai aspek legal, Revolusi KIA dilindungi oleh payung hukum berupa Pergub No. 42 Tahun 2009.

Pembicara kedua, yang merupakan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membahas tentang penggunaan surveilans respon dan angka absolut di DIY. Di DIY, Surveilans KIA dijalankan dengan alur sebagai berikut: pengumpulan data melalui kohort dan atau PWS Kartini->Pengolahan data PWS KIA->Surveilans kematian ibu, bayi dan anak->validasi data, pemberian umpan balik->pengambilan kebijakan/perencanaan kegiatan. Surveilans KIA ini dirasakan lebih memudahkan dalam deteksi kasus kematian baik di fasilitas kesehatan maupun di masyarakat, memudahkan dalam pelaporan kasus kematian, pelaksanaan otopsi verbal, pelaksanaan audit dan respon segera. Terkait penggunaan angka absolut, dari pengalaman implementasi di DIY, ditemukan kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, angka bisa diperoleh bulanan sehingga lebih mudah memantau perkembangan program. Kekurangannya, angka absolut kurang dapat dipercaya sebagai angka resmi karena ditakutkan adanya under reporting.

Sebelum sesi ditutup, telah dilakukan pembahasan materi paparan oleh empat orang pembahas, kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab yang disambut antusiasme peserta. Sesi yang dilaksanakan di ruangan Ruby hotel On The Rock ini sempat mundur 15 menit akibat dampak mundurnya jadwal sesi sebelumnya. Walaupun cukup banyak gangguan audio, acara tetap berjalan lancar dan menarik minat peserta.

Ditulis oleh drg. Puti Aulia Rahma, MPH

 



Sesi 1.5A-Kelompok BPJS
Pembahasan Proposal Monitoring dan Evaluasi tahun 2014 ke Depan

15bpjs

Pembicara I

Pengembangan Proposal Penelitian Dalam Rangka Pengawasan Pelaksanaan BPJS Kesehatan 2014

M. Faozi Kurniawan, SE, Akt., MPH

Dalam menyambut pelaksanaan BPJS di awal tahun 2014, perlu diadakan suatu sistem monitoring dan evaluasi untuk mengetahui bagaimana implementasi dan efek yang tercipta dari program tersebut. Seperti yang tertulis pada UU BPJS No. 24 tahun 2011 pasal 39 ayat 3 dan Perpres no. 12 tahun 2013 pasal 43 ayat D, monitoring dan evaluasi terhadap BPJS perlu dilakukan oleh DJSN dan OJK setiap 6 bulan. Monitoring dan evaluasi dapat berbentuk outcome/ output yang mengindikasikan kualitas dari BPJS.

Pengawasan terhadap pelaksanaan BPJS tidak hanya dapat dilakukan oleh lembaga pemerintahan, tapi juga oleh kelompok-kelompok penelitian yang tersebar di berbagai daerah. Melalui forum ini diharapkan akan terbentuk proposal penelitian bersama untuk pengawasan pelaksanaan BPJS 2014.

Salah satu upaya pengawasan bersama pelaksanaan BPJS yaitu melalui media website. Hal ini telah dilakukan lewat situs http://manajemen-pembiayaankesehatan.net  & kebijakankesehatanindonesia.net  Melalui media ini pengawas, stakeholder, dan pembuat kebijakan dapat berdiskusi atau melakukan tanya jawab dengan melibatkan banyak orang dan mempermudah alur komunikasi. Tentunya tidak sembarang orang dapat ikut berdiskusi dalam website agar hanya mereka yang ahli di bidang ini yang dapat memberikan opini. Melalui pendaftaran ke admin, peserta diskusi akan mendapatkan username dan password agar bisa ikut berdiskusi. Melalui website ini diharapkan akan menjadi alternatif media diskusi yang murah, efisien, dan tidak membuang banyak waktu. Diskusi juga akan selalu terdokumentasi dalam situs.

Website merupakan salah satu solusi pengawasan BPJS 2014. Diharapkan ke depannya, akan ada komitmen para peneliti untuk mengembangkan proposal dalam hal pengawasan di setiap daerah di Indonesia.


 

Pembicara II

Review Program Jampersal

dr. Tiara Marthias, MPH

Jaminan Persalinan (Jampersal) dapat dikatakan sebagai model kecil dari SJSN yang akan segera diterapkan pada tahun 2014. Melalui penelitian yang dibiayai oleh United Nations Population Fund (UNFPA), dilakukan evaluasi implementasi Jampersal di 10 kabupaten atau kota yang tersebar di 4 provinsi di Indonesia yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.

Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas Jampersal dalam meningkatkan cakupan pelayanan KIA, menganalisa penggunaan Jampersal oleh masyarakat, tantangan implementasi program, dan melihat kesiapan setiap daerah dalam menghadapi BPJS 2014. Penelitian ini dilakukan dengan penggabungan desain studi kuantitatif dan kualitatif.

Dalam evaluasi implementasi dan utilisasi, tiga aspek yang dilihat adalah cakupan populasi, pelayanan yang diberikan, dan proteksi finansial (pembayaran tambahan melalui out of pocket). Terdapat masalah dalam pengumpulan data seberapa jauh pembayaran masyarakat untuk kesehatan yang melalui sistem out of pocket. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapat data dari sektor pelayanan kesehatan swasta, mengingat proporsi sektor swasta mencakup sekitar 40-50 persen dari pelayanan kesehatan di Indonesia. Aspek lain yang dilihat adalah kepersertaan yang diartikan sebagai cakupan implementasi Jampersal baik dari sisi pemberi layanan atau pengguna, dan efektivitas Jampersal dalam mencapai tujuannya.


 

 Pembicara III

Monitoring dan Evaluasi

Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, MPH

Controlling, monitoring, and evaluation merupakan tiga bagian dari proses manajemen yang bertujuan untuk menjamin tercapainya tujuan yang tepat melalui proses yang benar dan mutu yang sesuai. Monitoring sendiri mempunyai arti suatu kegiatan untuk mengamati dan memeriksa jalannya suatu program untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Biasanya monitoring dilakukan seiring dengan berjalannya program. Tujuan akhir dari monitoring adalah untuk menemukan penyimpangan dan mengoreksinya (corrective-action) agar mencapai tujuan yang ditetapkan.

Evaluation adalah kegiatan untuk menilai suatu keberhasilan atau kegagalan program. Berbeda dengan monitoring, evaluation bisa dilakukan sejak program tersebut mulai hingga selesai, tergantung dari bagian mana yang akan dievaluasi (perencanaan atau penilaian gagal/berhasilnya suatu program). Fakta yang terjadi di lapangan adala evaluasi masih tidak dilakukan secara rutin. Beberapa contoh evaluasi antara lain cost effectiveness (menilai hasil dibandingkan dengan biaya), cost benefit (menilai hasil dibandingkan dengan manfaat ke masyarakat), dan cost impact (menilai hasil dibandingkan dengan dampak program yang lebih luas). Agar terciptanya kepedulian melakukan monitoring and evaluation perlu dipilih metode yang sederhana, manajemen yang peduli akan hasil, dan hasil tersebut menjadi basis untuk berbenah diri. BPJS yang mengumpulkan dana publik dan sebagai pelaksana SJSN akan menjadi obyek pengawasan. Beberapa program yang harus di monitor adalah jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.


 

Pembicara IV

Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan 2013 ke Depan

Prof. dr. Bisma Murti, MPH

Syarat cakupan semesta yang ditulis oleh WHO adalah memiliki sistem kesehatan yang berjalan baik, kuat, dan efisien; memiliki sistem pembiayaan kesehatan yang memberikan perlindungan finansial pada warga yang sakit; akses ke pelayanan kesehatan yang bermutu; dan tenaga kesehatan yang cukup mumpuni, dan termotivasi. Seperti yang tertuang pada Undang- Undang nomor 24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS), SJSN harus mencakup lima program yang salah satunya adalah jaminan kesehatan.

Pembahasan cakupan semesta tentunya tidak luput dari aspek keadilan (equity). Hal ini tidak sama dengan kesamaan (equality) karena untuk bisa adil tidak harus semua pihak mendapat porsi yang sama atau memberikan kontribusi yang sama. Sebagai contoh adalah horizontal equity (persamaan layanan untuk kondisi yang sama), dan vertical equity (ketidaksamaan layanan untuk kondisi yang berbeda). Masyarakat kaya tentunya akan membayar lebih besar dibanding masyarakat miskin.

Beberapa tujuan dari sistem kesehatan adalah perlindungan finansial agar masyarakat tidak jatuh miskin dari penggunaan pelayanan kesehatan dan keadilan pembiayaan dimana masyarakat miskin membayar lebih rendah dibanding masyarakat kaya dalam mendapat pelayanan kesehatan.

Beberapa tujuan dari evaluasi adalah mendukung pengembangan suatu program, memperbaiki program, menilai efektivitas, biaya, keberlangsungan, dan manfaat program, juga memonitor proses dan hasil implementasi program untuk keperluan manajemen dan akuntabilitas. Monitor dan evaluasi juga dapat dilihat dari keadilan akses pelayanan (equity), kualitas pelayanan kesehatan (quality) dan perlindungan pembiayaan (financial protection).

Oleh Wega Wisesa Setiabudi



Sesi I

Analisis Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Berbagai Daerah:
Bagaimana data Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia. Mengapa terjadi Stagnasi Program?

s11l

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

Di awal materi, muncul pertanyaan kritis mengenai kebijakan kesehatan ibu dan anak (KIA) yang ada di Indonesia, dan hasil yang belum maksimal meskipun pendanaan yang diberikan untuk kebijakan dan intervensi sudah besar. Sehingga diperlukan ada analisis permasalahan yang ada terkait intervensi yang dilaksanakan serta ketepatan kebijakan yang diterapkan. Selain itu, perlu adanya pembahasan mengenai usulan kebijakan yang masih butuh dikaji dalam upaya strategi intervensi di masa mendatang. Pembahasan diarahkan kepada analisis kebijakan terhadap kurang lebih 500 kabupaten/kota terkait dengan permasalahan KIA.

Selain itu, muncul masalah yang terkait dengan pelaporan dan yang penting dalam isu tersebut yaitu adanya policy brief yang arahnya ke kabupaten kota sebagai rekomendasi dalam rangka perbaikan kebijakan. Situasi yang menarik adalah bahwa selama 20 tahun terjadi peningkatan kasus kematian ibu dan anak, ada yang salah dalam pelaksanaan kebijakan di Indonesia, sehingga perlu digali adanya perbaikan dan permasalahan terkait kebijakan yang dikucurkan.

Tujuan yang ingin diraih yaitu melakukan analisis kebijakan KIA di Indonesia untuk memahami alasan terjadinya stagnasi pencapaian program KIA, penggunaan pendekatan pemetaan intervensi untuk mencari solusi kebijakan KIA serta penyusunan policy brief berdasarkan pengalaman dari berbagai proyek inovasi dan pemetaan intervensi. Analisis kebijakan KIA di Indonesia difokuskan pada isi, aktor, konteks dan proses kebijakan. Jika kita lihat dari konteks analisis kebijakan KIA. Kementerian Kesehatan sudah aktif memberikan dana dan program untuk KIA, AKB untuk KIA sudah banyak.

Pentingnya pemetaan intervensi di kabupaten kota dilakukan dalam upaya pendalaman untuk mencari kebijakan dimasa mendatang dengan prinsip yang digunakan berdasarkan analisis kebijakan. 1) Berfokus pada aksi dan kegiatan yang berlaku di level kabupaten/Kota, hal ini didasarkan karena berbagai tindakan operasional berada di level kabupaten/kota, sementara itu pemerintah provinsi dan pusat berperan sangat penting sebagai pendukung kebijakan, dana, SDM sampai kebimbingan teksi dan manajemen; 2) menggunakan kebijakan dari hulu ke hilir, yaitu Kebijakan dari Hulu (program-program preventif dan promotif) yang banyak menggunakan pendekatan lintas sektor (one health) dan determinan sosial ke hilir mengarah ke program-program klinis seperti pelayanan yang dilakukan ke rumah sakit, dulu Kemenkes ada Dirjen Yanmed dan Yankes, sekarang diubah menjadi Bina Upaya kesehatan serta Gizi dan KIA. 3) Menggunakan jumlah kematian absolut sebagai indikator kinerja program KIA, yaitu data kematian absolut diperlukan dalam kematian ibu dan anak di kabupaten. Angka rates digunakan sebagai cross cheks dan dilakukan dalam dua pendekatan yaitu, menggunakan angka absolut dan data survei. 4) menggunakan filosofi utama kebijakan KIA perlu peningkatan surveilans respon untuk kematian ibu dan anak. 5) memperbaiki program perencanaan monitoring dan evaluasi program. Ini yang diterapkan dalam program Sister Hospital. Proses ini menggunakan pendekatan berbasis bukti (evidence based policy).

Di akhir sesi disampaikan bahwa diperlukan adanya paket policy brief dalam bentuk paket kebijakan, banyak kebijakan yang akan diusulkan, dan paket ini apa yang disebut sebagai variasi yang berbeda. Donor jangan membiaya program yang hanya hulu atau hilirnya saja, namun program yang mengacu pada hulu ke hilir. Diharapkan para pelaku pembangunan kesehatan ibu dan anak bisa dapat memanfaatkan paket policy brief sesuai dengan kebutuhan di daerah masing-masing serta kementerian kesehatan dapat mendukung upaya inovasi yang dilakukan.

 

Pembicara II

Maria Agnes Etty Dedy, S. Si., Apt

Pada pemaparan awal, disampaikan mengenai pendekatan Kebijakan dari Hulu ke Hilir dengan melihat kondisi riil yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ditekankan pada tiga aspek yaitu promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan. Beberapa Permasalahan yang ada di NTT yaitu tingginya angka kematian ibu (AKI), tingginya anemia pada ibu hamil (Bumil), tingginya kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil dan tingginya BBLR pada bayi, tingginya bayi gizi kurang dan buruk, masih rendahnya partisipasi pria ber-KB, kurangnya media promosi kesehatan untuk KIA, belum ada alokasi untuk melahirkan di fasilitas kesehatan. Belum semua ibu hamil didampingi tenaga kesehatan wanita hamil dianggap proses alami, masih ada persalinan yang dilakukan dirumah: budaya tertentu yang berperan dalam hal ini, kedudukan dan peran perempuan tidak menguntungkan.

Berdasarkan permasalahan yang terjadi tersebut, pengalaman yang ada dilihat dari kendala yang terjadi di lapangan antara lain adanya masih rendahnya pengetahuan ibu tentang KIA, dukungan desa yang kurang terhadap program kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang masih SD terutama ibu serta kader kesehatan sehingga tidak maksimal dalam upaya perbaikan program, faktor budaya yang selalu dalam membuat keputusan selalu melibatkan keluarga besar sehingga untuk melakukan tindakan cepat terkendala. Kemudian, jumlah tenaga kesehatan yang kurang meski ada namun jumlahnya lebih banyak dikota sehingga beban kerja banyak sehingga tidak maksimal dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang memerlukan, kondisi geografis yang sulit sehingga terkait biaya persalinan di rumah sakit karena adanya beban transport, kurangnya koordinasi antara pemerintah. Lalu tidak meratanya pelatihan terhadap bidan, fasilitas kesehatan yang kurang memadai, penguasaan bahasa dan budaya setempat yang masih kurang oleh petugas kesehatan, kurang adanya info kesehatan yang ada bagi bidan didesa, kurangnya akses informasi kesehatan, Pemerintah desa menganggap program kesehatan bukan tugas dan peran aparat desa karena beranggapan bahwa program kesehatan hanya menjadi tanggungjawab puskesmas, serta adanya tugas rangkap dari bidan karena harus memegang 2 pustu.

Berdasarkan permasalahan yang terjadi, maka rekomendasi kebijakan yang diberikan adalah setiap ibu hamil harus diperiksa nakes minimal empat kali, apabila tidak maka ada punishment atas ketidaktaatan terhadap kebijakan, Setiap ibu hamil mendapat minimal 90 tablet besi selama masa kehamilan, pemberian PMT pemulihan Bumil KEK dan PMT penyuluhan dan Pemulihan, setiap proses kelahiran ditangani oleh tenaga bidan/nakes dan dokter. Hal ini diikuti setiap ibu yang melahirkan mendapat pelayanan nifas selama minimal 2 kali dalam hangka waktu 40hari setelah persalinan, peningkatkan pengetahuan terkait risiko yang ditimbulkan jika terjadi 4T terhadap masyarakat, perlu penyadaran bahwa persalinan perlu mendapatkan focus pelaksanaan kegiatan dan pelayanan maksimal. Kemudian, tidak perlu menunggu kompromi terlalu lama dalam pemberian pelayanan kesehatan, peningkatan program dana sehat di masyarakat, melalu tubulin, jumputan dan arisan serta adanya dana pendampingan.

Maka diperlukan adanya kerjasama lintas sektor dalam upaya koordinasi bersama lintas sektor dalam upaya perbaikan program dan peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak. Setiap dinas kesehatan kabupaten kota selalu melihat aturan berdasarkan standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh kementerian kesehatan yang diarahkan untuk bukan saja melakukan pelayanan kesehatan saja tetapu melakukan aksi promotif dan prevented kepada masyarakat luas.

 

Ditulis oleh Fauzi Rahman

 



Mahlil Ruby-Centre for Health Economics and Policy Study,
Public Health Faculty of Indonesia University
Health Universal Coverage for talking child health inequity post MDGs in Indonesia


mahlilMahlil memulai presentasi dengan mengungkapkan fakta bahwa Indonesia sebetulnya mampu mencapai tujuan pembangunan milenium 4 (menurunkan angka kematian anak). Hal ini didasarkan pada tren penurunan kematian anak selama satu decade. Kementerian Kesehatan didukung UNICEF telah mengembangkan rencana aksi nasional untuk kelangsungan hidup anak (RAN KHA) dalam rangka percepatan penurunan angka kematian anak.

Mahlil selanjutnya menjelaskan grafik kematian bayi dan anak dibawah usia 5 tahun untuk setiap provinsi berdasarkan data survey demografi Indonesia tahun 2012. Dari grafik tersebut terungkap Sembilan Provinsi yang menempati peringkat teratas kematian anak dan menjadi target utama RAN KHA. Kesembilan Provinsi tersebut adalah Papua Barat, Gorontalo, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Papua, Kalimantan Tengah, dan Aceh.

Mahlil menekankan bahwa intervensi penanggulangan kematian anak harus dilakukan pada program-program yang cost effective dengan melihat penyebab kematian utamanya. Pada kematian neonatal, tiga penyebab utama ada Asfiksia, Prematur, dan Sepsis. Tiga penyebab utama kematian anak di bawah usia lima tahun adalah diare, pneumonia dan meningitis. Oleh karena itu perlu diambil tindakan intervensi yang cost effectif agar kematian anak yang disebabkan oleh penyakit-penyakit tersebut dapat diatasi dengan baik.

Pada akhir presentasi, Mahlil menawarkan kepada peserta perangkat lunak perhitungan cost effective yang dibagikan secara gratis. Perangkat lunak ini dapat dipergunakan oleh peserta untuk perhitungan Intervensi yang cost effective.



Tara Singh Bam, PhD, MPH – International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
Tobacco and Health

taraTara memulai presentasi dengan mengungkapkan ribuan bahan kimia yang terkandung dalam sebatang rokok, termasuk 250 bahan yang mengandung toksin sebagai penyebab kanker. Dampak rokok terhadap kesehatan tidak hanya dialami oleh perokok aktif melainkan juga berdampak terhadap perokok pasif, baik orang dewasa maupun anak-anak. Tembakau merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia dimana sebanyak 5 juta orang meninggal dunia akibat tembakau setiap tahun, melebihi jumlah kematian akibat TB, HIV dan malaria. Apabila tindakan efektif tidak segera dilakukan, maka pada abad 21 sebanyak 1 juta orang akan meninggal dunia setiap tahunnya.

Tara kemudian menjelaskan bahwa tembakau merupakan endemic di Indonesia dimana 67 persen laki-laki dan 4,5 persen perempuan merokok. Sebanyak lebih dari 61 juta perokok hidup di Indonesia dan sebanyak 97 juta orang Indonesia, termasuk 43 juta anak Indonesia terpapar asap rokok setiap harinya. Rokok menyebabkan lebih dari 235 ribu penduduk Indonesia meninggal dunia setiap tahunnya. Rokok merupakan salah faktor risiko utama penyebab empat penyakit tidak menular utama, yaitu penyakit jantung, kanker, diabetes, dan penyakit pernafasan akut.

Tara selanjutnya menerangkan tindakan global yang dilakukan untuk mengatasi masalah rokok. Salah satunya adalah upaya pengendalian tembakau melalui kerangka kerja konvensi pengendalian rokok (FCTC) yang digagas oleh WHO dan diadopsi mulai Mei 2003. Hingga Juni 2013, FCTC telah diratifikasi oleh 177 negara. Tara menyayangkan Indonesia yang terlibat dalam penyusunan FCTC namun hingga saat ini belum menandatangani dan meratifikasi FCTC.

Pada akhir presentasi, Tara menayangkan website world tobacco ASIA yang menyatakan bahwa Indonesia adalah pasar potensial tembakau dunia karena tidak ada larangan merokok dan peraturan yang lemah jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, Tara menegaskan kepada para peserta simposium bahwa pengendalian tembakau merupakan harga mati yang harus diperjuangkan demi menciptakan kesehatan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Sebagai kata penutup, Tara mengajak peserta untuk mendorong Pemerintah Indonesia meratifikasi FCTC dan menolak pelaksanaan konferensi Internasional Tembakau di Bali pada tahun 2014.



Professor Paul Ward, Flinders University, Adelaide, Australia
To trust of not to trust, that is the question

p2Pada hari kedua simposium, Prof Paul berbicara mengenai kepercayaan atau rasa percaya seseorang terhadap sesuatu yang merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan oleh jaringan kualitas sosial di enam negara. Isu kepercayaan yang berbeda terjadi pada masalah kebutuhan kesehatan dan perhatian sosial terhadap kelompok-kelompok tertentu seperti pekerja seks, grup-grup yang berbeda secara budaya dan bahasa, kaum minoritas, dan perbedaan status sosial ekonomi. Contoh unsur kepercayaan lainnya adalah bagaimana rakyat percaya terhadap pemerintah dan sistem pelayanan kesehatan.

Prof Paul kemudian menekankan bahwa penelitian tentang rasa percaya yang dilakukan didasarkan pada 5 pertanyaan dasar, yaitu pengertian percaya (apa), siapa orang yang dapat dipercaya, dimana rasa percaya itu muncul, mengapa orang menjadi percaya atau tidak, dan bagaimana mempertahankan kepercayaan. Pada dasarnya penelitian tentang rasa percaya dilakukan karena kebijakan dan penelitian kesehatan publik menggunakan konsep capital social dan keterlibatan sosial yang menjadikan rasa saling percaya sebagai landasan utama tetapi tidak dijelaskan dengan baik.

Prof Paul selanjutnya memberikan tiga studi kasus yang dapat memberikan ilustrasi mengenai rasa percaya. Studi kasus yang pertama adalah interaksi antara dokter dan kaum marjinal dimana kepercayaan antara dokter dan pasiennya tumbuh berdasarkan kepercayaan interpersonal dan kepercayaan terhadap sistem yang ada. Kepercayaan terhadap individu dan institusi merupakan contoh kasus kedua, dimana beberapa pertanyaan tentang percaya atau tidak percaya terhadap individu (keluarga, dokter, polisi, pejabat negara, dll) dan institusi (bank, rumah sakit, pemerintah, dll) diangkat di dalam penelitian kualitas sosial di enam negara. Studi kasus yang ketiga adalah mengenai hasil penelitian tentang kepercayaan yang dilakukan di Skotlandia.

Prof Paul pada akhir presentasinya menegaskan bahwa kepercayaan itu terjadi karena dua hal, yaitu kepercayaan interpersonal dan kepercayaan pada sistem. Kepercayaan interpersonal terbangun karena adanya keakraban yang timbul karena komunikasi yang baik. Kepercayaan terhadap institusi ditentukan oleh keakraban terhadap kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan, sistem pelayanan personal, hierarki dalam pelayanan, dan pengaturan layanan. Kepercayaan pada sistem kesehatan juga ditentukan oleh sistem pendidikan kedokteran yang ada.

  • slot resmi
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot