Workshop Pengajaran IKM di Pendidikan Kedokteran

Pada hari pertama (11/12/2013) acara dibuka oleh tuan rumah Chulalongkorn Medical School. Silahkan klik paper pembukaan dari:

Dr. Pak - Regional Strategic framework for strengthening teaching of pubic health in undergraduate

Dr. Kumara - Current Public Health Challenges

Setelah itu, para peserta melaporkan kemajuan dari negaranya masing-masing. Wakil Indonesia adalah Dr. Trevino Pakasi, Ph.D dari FK UI, Ketua Regional III PDKKIKM Indonesia. Dr. Pakasi mempresentasikan mengenai apa yang dikerjakan oleh FK-FK Indonesia setelah pertemuan di Bangkok tahun 2009. Memang selama 4 tahun setelah pertemuan di Bangkok, belum banyak yang terjadi karena kendala komunikasi. Silahkan  untuk menyimak papernya.

Pada hari kedua, forum membahas berbagai inovasi pengembangan kurikulum IKM termasuk pengembangan aspek sistem kesehatan dan kebijakan didalamnya. Prof. Laksono Trisnantoro memaparkan pengalaman 10 tahun FK UGM dalam memberikan pengajaran IKM dan memasukkan unsur Ilmu-ilmu yang interdisiplin ke dalam pendidikan mahasiswa kedokteran. Silahkan  untuk menyimak laporannya.

Pada hari kedua dibahas sesi yang menarik mengenai Transformative Public Health Teaching in Undergraduate Medical Schools oleh Prof. Thomas V.Chacko. Prof. Thomas merupakan Secretary General South East Asean Regional Association for Medical Education. Berikut ini beberapa poin penting yang disampaikan Prof. Thomas:

Pertama, reformasi ketiga membahas mengenai perspektif sistem kesehatan. Calon dokter perlu dididik dalam konteks sistem kesehatan. Maka, leadership dalam kurikulum mutlak dibutuhkan.

Kedua, perlu ada Interprofessionnal Education

Ketiga, terkait masalah Dosen IKM. Dosen IKM perlu dibekali dengan ketrampilan mengajar yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebaiknya ada kewajiban bagi dosen IKM untuk selalu mendapat pelatihan terus menerus mengenai pengajaran IKM di medical education. Bagaimana caranya? Perlu dilakukan dengan berbagai cara.

Keempat, bagaimana caranya agar para dosen IKM di FK terlibat dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi program-program kesehatan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. Silahkan  

Hari ketiga:

Di hari ke 3 ini ada topik menarik mengenai peran Konsil Kedokteran dalam pengajaran IKM di pendidikan kedokteran. Judulnya adalah Peran Konsil Kedokteran dalam Pendidikan Kesehatan Masyarakat di Pendidikan Kedokteran oleh Somsek Lolekha MD PhD, President, Medical Council of Thailand.

Dalam pemaparan Somsek menyebutkan tugas Konsil antara lain untuk licensing penetapan academic standard dan certify the diplomate in board if medical specialty and sub-specialty. Dalam penetapan kompetensi ini, PH merupakan ilmu kunci yang perlu diberikan kepada mahasiswa kedokteran. Kompetensi di Thailand mencakup mulai dari ilmu kesehatan masyarakat yang klasik seperti epidemiologi, sampai ke sistem kesehatan Thailand dan ekonomi kesehatan serta ekonomi klinis. Dalam paparan mengenai kerjasama internasional menghadapi pasar Asia yang semakin terbuka, direncanakan ada pembagian tugas dimana untuk masalah kompetensi ini akan dikembangkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Di samping itu dianjurkan juga untuk mengembangkan penggunaan e-learning dan e-teaching. Silahkan 

Acara dilanjutkan dengan diskusi menarik mengenai Rekomendasi Global untuk pendidikan kedokteran yang disampaikan oleh Erica Wheeler dari WHO Geneva. Silahkan simak diskusi tersebut dengan  


 

Refleksi kegiatan ini untuk Indonesia. Setelah penutupan acara, ada beberapa hal yang perlu dicermati untuk Indonesia:

  1. Pengajaran IKM di pendidikan kedokteran merupakan gerakan yang harus dipantau di level SEARO dan di level negara;
  2. FK-FK Indonesia yang hadir di Bangkok (UI, UGM, Unair, Unsri, Unpad) perlu mengembangkan kegiatan sebagai follow-up pertemuan ini. Badan Koordinasi IKM dan IKP diharapkan dapat menjadi lembaga yang mampu mengembangkannya.
  3. Disepakati bahwa pertemuan internasional yang dikoordinir WHO akan dilakukan dua tahun lagi untuk mengetahui progress kemajuan peningkatan pengajaran IKM di pendidikan kedokteran. Kemudian, negara-negara anggota diminta untuk menyiapkan diri.

 

 

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK)
bekerjasama dengan

Magister Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dan MMR
Prodi S2 IKM FK UGM

Menyelenggarakan diskusi mengenai:

Berbagai Isu Strategis Dalam Sistem Kesehatan
di Kabupaten 
Dalam Era BPJS

Ruang R. 301 IKM FK UGM, Yogyakarta
Jumat, 20 Desember 2013
Disiarkan melalui streaming di berbagai website di PKMK FKUGM

 

  Pengantar

Berbagai isu strategis saat ini muncul di Indonesia terkait dengan system kesehatan, terutama menjelang era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN). Beberapa hal yang masih mendapatkan kendala adalah upaya promosi dan prevensi di era BPJS dan bagaimana peran dinas kesehatan kabupaten/kota dan propinsi dalam menghadapi SJSN.

Dalam rangka mendiskusikan isu – isu tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan bekerjasama dengan Minat KMPK dan MMR FK UGM bermaksud menyelenggarakan Diskusi Satu Hari dalam membedah Isu – Isu Strategis dalam Sistem Kesehatan di Kabupaten dalam Era BPJS.

 

  Agenda

Ruang R. 301 IKM FK UGM Yogyakarta

Waktu

Keterangan

Pembicara

08.00 – 08.30

Registrasi

 

TOPIK : Upaya Promosi dan Prevensi di Era BPJS

08.30 – 09.00

Pengantar : Situasi Upaya Pencegahan dan Promosi saat ini dan Kemungkinannya di Era BPJS

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

09.00 – 11.00

SESI DISKUSI:

Penyusunan Rencana Strategis untuk Program Pencegahan dan Promosi

Dr. Bambang Sulistomo, MPH – Penasehat Khusus Menteri Kesehatan RI

   Deklarasi Jakarta 2013

Pembahasan oleh :

  1. Dr. dr. Yayi Suryo Probandari, M.Si. Ph.D
  2. Dr. Krishnajaya, MS

11.00 – 13.30

ISHOMA

 

TOPIK : Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Propinsi dalam Era BPJS

13.00 – 13.30

Pengantar Diskusi

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

13.30 – 16.00

SESI DISKUSI:

Peranan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Propinsi dalam Era BPJS dan Hubungan Antara Dinas Kesehatan dan RSD dan RS Swasta

Metode : Round table discussion

Pembahasan oleh :

dr. Anung Sugihantono, M.Kes - Kadinkes Jateng

Dr. Ronny Rukmito, M.Kes - Kadinkes Kabupaten Klaten

Dr. Krishnajaya, MS - Ketua ADINKES

Dr. Kuntjoro, M.Kes – Ketua ARSADA

 

  Peserta

Peserta yang diharapkan hadir adalah:

  1. Dosen dan pengelola KMPK
  2. Dosen dan pengelola Minat Studi Promkes
  3. Dosen dan pengelola MMR
  4. Mahasiswa S2 IKM
  5. Konsultan / Peneliti PKMK

 

Tidak dipungut biaya, namun peserta yang mengikuti mohon melakukan pendaftaran terlebih dahulu melalui :

Ratna Sary /Hendriana Anggi
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-542900 (hunting)
Mobile : +628164261996/ +628122793882
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. / This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Web: www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Kunjungan ke University of Cape Town untuk mempelajari Consortium for Health Policy and System Analysis in Africa (CHEPSAA)

Melalui kerjasama dengan 7 universitas di Afrika dan 4 universitas di Eropa, University of Cape Town mengembangkan jaringan untuk sektor penelitian dan analisis kebijakan kesehatan dan sistem kesehatan di Afrika sejak 2011. Hal ini dilakukan karena kemampuan melakukan riset kebijakan dan sistem kesehatan dinilai masih kurang di Afrika.

Konsorsium ini didirikan dengan lima tujuan, yaitu:

  1. Apa saja action yang dibutuhkan untuk anggota organisasi, termasuk untuk menilai kebutuhan.
  2. Berdasarkan kebutuhan tersebut, maka dilakukan pengembangan-pengembangan aset dan kompetensi staf, termasuk para staf muda dan membahas kekurangan yang ada.
  3. Melakukan konsolidasi dan pengembangan pendidikan pascasarjana yang dapat diakses secara gratis melalui website.
  4. Mengembangkan kerjasama antara peneliti, dosen, policy makers, dan manajer.
  5. Mengelola pengetahuan secara efektif untuk mempermudah komunikasi.

Seluruh tujuan ini, ditetapkan pada tahun 2011 dengan dukungan dana dari European Union. Dukungan tersebut akan diberikan hingga 2015 mendatang.

Apa yang sudah dilakukan oleh CHEPSAA selama dua tahun terakhir?

Berikut ini beberapa hal yang telah dilakukan CHEPSAA, diantaranya: pertama, merancang dna mendokumentasikan pendekatan untuk pengembangan kapasitas dari anggota. Kedua, melakukan penilaian akan kebutuhan anggota. Ketiga, mengembangkan berbagai strategi untuk: pengembangan staf dan organisasi untuk mendukung pengajaran dan penelitian; membangun networking dan melakukan riset pada kebijakan dan praktek; serta mrngelola pengetahuan.

Keempat, melakukan pengembangan kurikulum untuk program Master atu kursus singkat. Kelima, melakukan pertemuan tahunan di Ghana dan Afrika Selatan. Keenam, mengembangkan website untuk ilmu kebijakan dan pengembangan media sosial.

Dalam diskusi dengan Prof. Lucy, muncul hal menarik terkait hal yang sudah dilakukan yaitu menggunakan sistem open. Dalam program ini, berbagai materi perkuliahan dapat dipergunakan pihak lain dengan berbagai syarat. Contohnya: Modul Introduction to Complex Health Systems: Course Outline for Public Discussion (October 2013).

Modul ini dapat digunakan dalam mekanisme kerja lisensi berdasarkan prinsip Creative Commons Atribution Non Commercial Share Alike 2.5 (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/). Apa arti lisensi ini?

Perguruan Tinggi lain dapat menggunakan dengan tujuan:

to Share – to copy, distribute and transmit the work

to Remix – to adapt the work

Dalam kondisi:

Attribution. You must attribute the work in the manner specified by the author or licensor (but not in any way that suggests that they endorse you or your use of the work)

  Non-commercial. You may not use this work for commercial purposes

Share Alike. If you alter, transform, or build upon this work, you may distribute the resulting work but only under the same or similar license to this one

 

Ada beberapa syarat lainnya:

  1. For any reuse or distribution, you must make clear to others the license terms of this work. One way to do this is with a link to the license web page: 
  2. http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/
  3. Any of the above conditions can be waived if you get permission from the copyright holder.
  4. Nothing in this license impairs or restricts the authors' moral rights.
  5. Nothing in this license impairs or restricts the rights of authors whose work is referenced in this document.
  6. Cited works used in this document must be cited following usual academic conventions
  7. Citation of this work must follow normal academic conventions

Jika anda ingin mempelajari lebih lanjut mengenai konsorsium ini,
silahkan klik di www.hpsa-africa.org  

 


Refleksi Untuk Indonesia

refleksi

Tujuan antara CHPESAA dan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) memang serupa, namun banyak perbedaannya. Pada pertemuan pertama tahun 2010, JKKI didirikan atas inisiatif beberapa perguruan tinggi yang dimotori oleh UGM. Pertemuan tahunan dilakukan hingga yang terakhir terjadi pada September 2013 di Kupang, NTT. Pendirian ini memang tidak berdasarkan proyek.

Perbedaan lain yaitu CHEPSAA menitik beratkan pada penyelenggara pendidikan pascasarjana di bidang kebijakan dan sistem kesehatan. Salah satu fokusnya ialah penguatan kurikulum pendidikan. Sementara, JKKI belum memiliki tujuan serupa.

Hal yang mirip ialah langkah awal berupa penilaian diri. CHEPSAA dimulai dengan langkah awal berupa penilaian kapasitas diri. JKKI akan mendapat dukungan dana dari AusAid secara formal pada 2014 di Indonesia. Hasil penilaian awal ini akan dilakukan pada Desember 2013. Harapannya, akan ada laporan dari tim konsultan yang dikontrak AusAid untuk kegiatan ini.

Lalu, berikut ini daftar beberapa hal penting yang perlu dikembangkan di Indonesia:

  1. Penggunaan prinsip Open dalam materi-materi yang dihasilkan oleh Konsorsium ini.
    Prinsip Open memang bertentangan dengan asas monopoli maupun penguasaan atas karya ilmiah. Dengan sistem Open yang berdasarkan kerangka lisensi berbagai produk pengembangan ditawarkan kepada pihak lain dengan berbagai persyaratan. Hal ini yang bekum banyak dilakukan di Indonesia karena pemahaman mengenai hal ini juga belum banyak. Bagian dari hasil kunjungan ini mengenai sistem Open menjadi pembelajaran penting.
     
  2. Pengembangan Emerging Leaders.
    Poin lain yang tak kalah penting yaitu pengembangan para peneliti muda dalam program Emerging Leaders. Dalam konteks penelitian kebijakan, perlu dilakukan kegiatan untuk melatih para peneliti muda. Pengalaman di Afrika menunjukkan perlunya pengembangan peneliti muda secara berkesinambungan.
     
  3. Ketrampilan Personal.
    Penelitian kebijakan harus memiliki ketrampilan personal untuk berkomunikasi secara formal dan informal. Hal ini dibutuhkan sejak awal penulisan proposal, memperoleh dukungan dana, saat penelitian, saat laporan dan advokasi hasil penelitian. Ketrampilan-ketrampilan ini tidak mudah diperoleh karena situasi di masing-masing negara berbeda. Atau yang biasa disebut unsur 'seni'.

Demikian beberapa refleksi yang dapat ditarik dari kunjungan ke Afrika Selatan (LT).

Sesi 3.3.B
Implementasi Kebijakan dan Program AIDS

 

aidsfn2

Pembicara :

1. Suhendro Sugiharto - PKNI

Menurut Suhendro Sugiharto sebagai perwakilan dari lembaga PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia), saat ini trend penggunaan narkotika sudah bergeser, dari Heroin ke ATS, namun, layanan yang tersedia umumnya masih berbasis pada penanganan Heroin. Bagaimana dengan pengguna ATS? Apakah layanan sudah memadai bagi perawatan ketergantungan narkotika sebagai komponen yang efektif dalam penerapan program diversi? Bagaimana dengan SDM-nya? Bagaimana akses terhadap layanan? Apakah sejalan dengan penegakan hukum? Dalam skema Wajib Lapor hanya mereka yang sudah diputus pengadilan ditanggung Negara dan jumlah putusan rehabilitasi sangat kecil. Bagaimana dengan pecandu yang suka rela melaporkan diri? Apakah biaya perawatan ditanggung oleh negara? Dialektika tersebut memunculkan pernyataan sikap dari PKNI yang berisi pengakuan, penghormatan dan pemenuhan HAM; dekriminalisasi korban penyalahgunaan napza; pendekatan berorientasi kesehatan meliputi pendidikan, informasi, konseling, integrasi sosial, farmakologis, psikososial dan aftercare; Sistem Informasi Napza yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) Generik dan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit; Studi dan Policy Brief untuk kebijakan berbasiskan bukti.

2. Esteria Naomi - IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia)

IPPI adalah LSM yang mendukung kelompok ODHA perempuan. Tema yang diangkat adalah Feminisasi HIV. Esterina Naomi menjelaskan bahwa IPPI mendorong pemerintah untuk mengeluarkan komitmen kebijakan bersama antara Kementrian Kesehatan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dalam mengintegrasikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan HIV-AIDS. IPPI juga mendorong pemerintah, mitra pembangunan internasional serta Lembaga PBB untuk membuat skema pendanaan bagi organisasi perempuan dan jaringan perempuan dengan HIV. Tujuannya membangun kesadaran masyarakat akan kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan HIV-AIDS. IPPI juga menyatakan perlu adanya mekanisme sistem rujukan layanan kekerasan terhadap perempuan dan layanan HIV-AIDS termasuk layanan bantuan hukum bagi perempuan dengan HIV yang menjadi korban kekerasan serta proses re-integrasi.

3. Tono Muhammad – GWL Ina

Tono Muhammad sebagai perwakilan dari GWL Ina memaprkan bahwa GWL INA mencoba menyoroti pelibatan komunitas GWL dalam pembuatan kebijakan penanggulangan HIV bagi GWL. GWL Ina merupakan sebuah jaringan organisasi-organisasi berbasis komunitas gay, waria dan LSL lain di 28 propinsi dengan 71 organisasi anggota. Fokus mereka saat ini adalah penguatan sistem komunitas agar dapat terlibat secara lebih bermakna dalam penanggulangan HIV.

Menurut Tono, saat ini sulit memperkirakan besarnya populasi GWL karena mereka cenderung tidak diperhitungkan, stigma dan diskriminasi masih tinggi baik internal komunitas maupun eksternal (stakeholder dan masyarakat), adanya kebijakan-kebijakan yang tidak kondusif (misal kriminalisasi kondom dan kriminalisasi homoseksual), kasus pada kelompok dibawah 24 tahun terus meningkat, penggunaan media berbasis teknologi mengurangi kesempatan untuk melakukan pertemuan (tatap muka), kurangnya layanan IMS yang bersahabat dan komprehensif. Strategi yang perlu dikembangkan adalah peningkatan kapasitas komunitas agar lebih terlibat dalam pembuatan kebijakan; strategi perlu sesuai dengan karakteristik sub komunitas dan kondisi geografis; perlu adanya kebijakan-kebijakan yang kondusif dan tidak mengkriminalkan homoseksual; peningkatan kualitas layanan yang bersahabat dan satu atap; menjadikan komunitas sebagai solusi dan bukan sebagai masalah.

4. Aldo - OPSI (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia)

OPSI melalui pemaparan Aldo melihat isu HIV dan AIDS dalam sudut pandang stigma dosa dan kesehatan seksual. Virus HIV yang menjadi penyebab AIDS menular dengan hukumnya sendiri tanpa melihat keyakinan agama, keimanan dan ketaqwaan seseorang. Beberapa implikasi yang muncul karena stigma tersebut adalah banyak pekerja seks yang malu dan takut untuk melakukan VCT sehingga kondisi riil epidemi tidak bisa dideteksi dan dikontrol secara maksimal karena pekerja seks HIV+ akan menyembunyikan diri sehingga penanggulangan HIV dan AIDS tidak bisa maksimal.

Menurut Aldo, masih banyak terjadi pelanggaran HAM terhadap ODHA melalui perlakuan diskriminatif, pengucilan, penolakan, bahkan kekerasan di lingkungan keluarga, kerja, masyarakat, birokrasi pemerintahan, bahkan sampai di tempat-tempat layanan kesehatan. Saatnya mengubah strategi penjangkauan bagi pekerja seks, melalui pendampingan, pemberdayaan, peer outreach. Perubahan kebijakan apapun yang menyangkut pekerja seks wajib melibatkan pekerja seks secara bermakna. Program HIV secara eksplisit harus mencakup dukungan hukum dan perlindungan HAM. Kekerasan terhadap pekerja seks yang selama ini terjadi harus menjadi tolak ukur dalam evaluasi kebijakan tentang kerja seks.

5. Aditya Wardhana - IAC (Indonesia AIDS Coaliton)

Aditya Wardhana sebagai perwakilan dari IAC mengawali pemaparannya dengan beberapa pembelajaran dan peran dari CSO yang concern pada isu AIDS. Program yang dijalankan CSO khususnya dengan partisipasi populasi kunci mampu menjangkau kelompok yang terpinggirkan secara sosial politik (ODHA, Pengguna Narkotika, Pekerja Seks, Gay, Waria, Transgender). Orang dengan HIV lebih tanggap dalam memahami haknya sebagai pasien. Advokasi menjadi salah satu spesialisasi populasi kunci di bidang AIDS baik di level nasional, regional maupun global. Pelibatan penuh komunitas menjadi salah satu poin penting dalam perencanaan implementasi maupun monitoring evaluasi. Tantangan kebijakan selama ini adalah koordinasi, untuk itu perlu penguatan payung hukum Perpres 75 dan modifikasi/penguatan kelembagaan KPAN. Pada aspek implementasi perlu ada Quality Assurance dari kebijakan. Aspek akuntabilitas dan transparansi dari kebijakan serta monitoring dan evaluasi program juga perlu untuk dilakukan. Dari segi pembiayaan, tidak hanya mencakup pendanaan bagi staf KPA namun juga perlu ada alokasi pendanaan APBN/APBD untuk program yang dijalankan populasi kunci.

Presentasi Makalah Bebas :

  1. Dampak Implementasi Kebijakan Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi untuk PSK dan Untuk Penutupan Prostitusi Terhadap Program Penanggulangan HIV-AIDS – Dewi Rochmah Khoiron, FKM Universitas Jember
  2. Pola dan Kinerja Kebijakan Anggaran Penanggulangan HIV dan AIDS: Studi Kasus Kota Yogyakarta, Kab. Sleman dan Kab. Bantul th 2010 s.d. 2012 – Valentina Sri Wijiyati, IDEA

 

19.00 – 21.30 : Membangun Jaringan Kebijakan AIDS Indonesia di Pusat dan Daerah Dalam Konteks Sistem Kesehatan

7 September 2013

08.00 – 10.00 : Pertemuan dengan peneliti dari 9 universitas.