Reportase HSR 2018, Hari Ketiga

Rabu, 10 Oktober 2018

Sesi 1

Placing Community health systems at the heart of service delivery

Pembicara :

  1. Kumanan Rasanathan, Health Systems Global Board, Cambodia
  2. Soumya Swaminthan, World Health Organization, Switzerland
  3. Amuda Baba Dieu-Merci, Panafrican Institute of Community Health, Democratic Republic of Congo
  4. Ariel Frisancho, Catholic Medical Mission Board, Peru
  5. Manmeet Kaur, City Health Works, USA
  6. Stefan Swartling Peterson, UNICEF, USA
  7. Helen Schneider, University of the Western Cape, South Africa

  Pokok-pokok bahasan/paparan/diskusi:

Placing Community health systems at the heart of service delivery

  Laporan Kegiatan

Kumanan Rasanathan, Health Systems Global Board, Cambodia, membuka plenary dengan menampilkan video tentang “we are free”. Video tersebut menunjukkan bahwa terdapat keterbatasan dari penderita HIV yang ingin mengakses layanan kesehatan, karena masalah akses, Deklarasi Alma Atta menekankan pada kepentingan layanan kesehatan yang dekat ke kehidupan dan partisipasi masyarakat. Diperkirakan dalam 40 tahun mendatang sistem kesehatan akan berjuang dengan perubahan penyediaan layanan disebabkan oleh demografi, epidemiologi, budaya dan transformasi teknologi termasuk urbanisasi. Namun, upaya penguatan sistem kesehatan sering mengabaikan peran komunitas/masyarakat. Para narasumber mempertimbangkan bagaimana kebutuhan sistem kesehatan harus sejalan dengan komunitas yang heterogen baik untuk manusia dan lingkungannya, serta pengalaman masyarakat tersebut.

hsr3 15

Soumya Swaminthan, World Health Organization, Switzerland, memberikan keynote speech  yang memaparkan tentang fasilitas kesehatan primer tidak hanya bagaimana ketersediaan gedung, dan obat, namun bagaimana melibatkan masyarakat untuk diberdayakan sehingga dapat berpartisapasi dalam masalah kesehatannya. Penelitian diharapkan dapat memberikan dampak tidak hanya kepada berapa banyak jumlah publikasi, namun lebih penting adalah bagaimana penelitian kita dapat berdampak langsung politik dan sistem kesehatan yang berguna kepada masyarakat. WHO menekankan dan mendorong pelaksnaan penelitian yang berlangsung interdisiplin sehingga luarannya dapat mencakup berbagai cakupan. WHO mendukung peningkatan penelitian dengan peningkatan kapasitas tim multi displin sehingga memiliki tools yang lebih sesuai dengan konteks penelitian tersebut.

Selanjutnya, plenary dilangsungkan dalam diskusi. Community Health Worker (CHW) dapat menyuarakan tentang masalah sebenarnya yang sedang dihadapi oleh masyarakat. CHW memberikan diharapkan dapat memberikan ruang untuk menghargai setiap ide - ide berdasarkan fakta yang berguna dalam pengambilan kebijakan kesehatan. Di sisi lain, banyak negara memiliki konflik kepentingan dan rapuh terhadap masalah politik dan keamanan. Leaving nobody behind masih terasa jauh, karena pelayanan kesehatan primer di pedesaan Bahakan masih berjuang dalam kekurangan tenaga kesehatan dan kualitas layanan yang diterima. CHW merupakan kunci dalam meningkatkan layanan kesehatan yang berbasis pada masyakarat, sehingga suara masyarakat dapat didengar. Lebih jauh, CHW dapat menjadi pedoman dalam memperbaiki berbagai keterbasan sistem kesehatan. CHW memerlukan dan dapat mendorong performans lintas sektor dalam memepercepat SDGs, sehingga yang masih menjadi persoalan adalah bagaimana kita membawa CHW sebagai social connector. CHW dapat memberikan gambaran konteks/gambaran sehingga dapat menyatukan masyarakat kedalam sistem kesehatan.

  Refleksi untuk Indonesia:

Indonesia telah memiliki banyak CHW diantara kader JKN, Kader STBM dan kader lainnya yang telah diorganisasi oleh puskesmas. Namun, kader - kader tersebut masih bekerja untuk sektor kesehatan dan pemerintah perlu melibatkan mereka dalam kolaborasi lintas sektor. Pengambilan keputusan secara terpisah memperlambat penyelesaian masalah kesehatan dan juga pembangunan kesehatan.

Reporter : Relmbuss Biljers Fanda

 

Link Terkait:

Reportase HSR 2018, Hari Kedua

Selasa, 9 Oktober

Sesi 1

Welcoming Plenary
Sustainable Development Goals yang Terintegrasi dan Tidak Dapat Dipisahkan: Memastikan Pendekatan Multi Sektor 


  Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:

Plenary pembukaan diisi oleh Kabir Sheikh dari Alliance for Health Policy and System Research yang menyatakan bahwa penelitian di bidang kesehatan perlu memperhatikan perspektif ilmu sosial untuk memastikan adanya pendekatan yang inklusif untuk kesehatan dan kesetaraan dalam kesehatan.

Ada berbagai faktor yang membuat berbagai kelompok masyarakat menjadi rawan, yaitu ketidaksetaraan pendapatan, perubahan iklim, pola epidemi dan wabah, kekerasan terhadap perempuan dan anak, perang dan konflik, dan banyak hal lain. Oleh karena itu, salah satu tema utama dalam simposium ini adalah memastikan sistem kesehatan yang tidak mengabaikan satu orang pun.

hsr2 1

Sejalan dengan itu, Menteri Pembangunan Internasional Inggris, Rt.Hon. Alistair Burt, MP menyatakan bahwa pemerintah Inggris menempatkan prioritas yang tinggi terhadap penelitian. Hal ini diindikasikan oleh fakta bahwa 3% dari anggaran DFID digunakan untuk penelitian dan sebagian besar untuk sektor kesehatan. Pada simposium ini, terdapat 40 penelitian yang didanai DFID yang akan dipresentasikan. Komitmen pribadi Alistair untuk mendukung sistem kesehatan Inggris dibuktikan dengan kesaksian bahwa Alistair sekeluarga bahkan semua cucunya berada di dalam sistem NHS dan tidak memiliki asuransi pribadi. Alistair menyatakan tiga posisi strategis dari penelitian. Pertama, penelitian dibutuhkan untuk mendukung pemerintah membuat keputusan mengenai cara apa yang efektif dan berhasil. Kedua, peneliti diperlukan untuk inovasi dalam pelayanan, tetapi lebih penting lagi bagaimana memastikan bahwa inovasi tersebut dapat dinikmati oleh mereka yang paling membutuhkan. Ketiga, hasil penelitian dapat dimanfaatkan bukan hanya pemerintah dan pengambil kebijakan, melainkan juga oleh mereka yang berada di garda depan pelayanan.

hsr2 2

Selanjutnya dilangsungkan diskusi panel yang mengangkat isu mengenai pendekatan multi sektor untuk mencapai SDGs yang dimoderatori oleh Anthony Costello. Panelis pertama, Maureen Samms-Vaughn, mengangkat isu pentingnya tata kelola untuk memastikan pendekatan multisektor bisa berjalan dengan baik. Maureen menyatakan bahwa pendidikan profesi kesehatan (dokter, perawat, bidan, ahli kesehatan masyarakat, sanitasi, nutrisi, dst) saat ini berada di silo masing-masing, padahal nantinya di dunia nyata harus bekerjasama untuk mengatasi permasalahan yang sama.

Panelis kedua, Evelyn Kandakai, menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dan khususnya perempuan adalah kunci yang masih jarang digunakan. Padahal masyarakat memiliki kekuatan untuk menggerakkan pemerintah, dan pada gilirannya pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengubah arah dari pembangunan. Panelis ketiga, David Stuckler, menyatakan bahwa sudah terlalu banyak penelitian membuktikan pendekatan yang efektif untuk meningkatkan berbagai indikator pencapaian SDG namun ternyata belum diadopsi. Ada penghalang besar yang membuat berbagai sektor sulit bekerjasama. Contoh yang diangkat adalah bagaimana berbagai kebijakan yang gagal karena lobby para produsen makanan. Hal ini disamakan dengan perjuangan yang lama untuk dapat ‘mengalahkan’ lobby perusahaan rokok/tembakau. Namun, panelis juga mengingatkan akan adanya kekhawatiran bahwa kemampuan fiskal suatu negara akan sangat mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang efektif. Misalnya, ketika negara berkomitmen untuk mencapai SDG tetapi dibatasi oleh budget yang terbatas dan cenderung rendah khususnya untuk sektor kesehatan dan pendidikan serta ketersediaan infrastruktur sanitasi dasar.

hsr2 3

  Refleksi untuk Indonesia:

Pendekatan multi sektor untuk isu kesehatan dan isu sistem kesehatan, adalah pendekatan yang tidak dapat diabaikan mengingat berbagai faktor eksternal mempengaruhi status kesehatan secara luas. Walaupun sektor kesehatan seringkali terlihat didominasi oleh inovasi dalam teknologi perawatan maupun investasi untuk pelayanan kuratif, sistem kesehatan harus terus memperhatikan pendekatan kesehatan masyarakat, karena pendekatan kesehatan masyarakat merupakan garda depan untuk membangun masyarakat yang tangguh menghadapi berbagai faktor eksternal tersebut.

Pendekatan multi sektor hanya dapat dimungkinkan apabila semua pihak merasa bahwa pencapaian SDGs merupakan tanggung jawab bersama. Untuk itu, ada berbagai gap yang harus diatasi, misalnya gap tata kelola, perspektif gender, dalam kemampuan mengatasi ego sektoral. Selain itu, pemerintah perlu bekerjasama dengan sejumlah kementerian terkait untuk memastikan anggaran yang cukup untuk mendukung upaya pencapaian SDGs. Perlu pula bantuan dari pihak di luar pemerintah untuk mendesak agenda pencapaian SDGs di semua sektor. Peneliti memiliki posisi strategis untuk mendorong bukti - bukti yang telah dianalisis untuk menunjukkan apa pendekatan yang efektif. Lebih jauh lagi, rekomendasi peneliti juga harus mendorong dan mendesak adanya kerjasama multi sektor.

Reporter : Shita Dewi

 

Link Terkait:

 

Reportase HSR 2018, Hari Pertama

Senin, 8 Oktober 2018

Sesi 1

Health financing Toward UHC: Practical lessons learned from priority setting and strategic purchasing in low and middle - income countries


  Pengantar

Problem di UHC tetap masih pada akses dan sumber dana. Out of pocket spending masih mendominasi di daerah - daerah miskin. Sementara itu penggunaan dalam bentuk Benefit Packages juga harus dikritisi. Apa yang harus diberikan dalam bentuk apa, dan untuk siapa pelayanan diberikan. Tantangan yang ada antara lain data tidak cukup untuk dapat dipakai dalam pengambilan keputusan. Kurang ada keterlibatan civil society. Tantangan berikutnya adalah situasi supply side, misalnya quality improvement, ketersediaan, problem bernegosiasi dengan pihak swasta merupakan contoh. Juga mengenai alokasi sumber dana: kegiatan apa yang harus dibayari dan untuk siapa.

hsr3 1Sesi ini diawali dengan paparan Professor Anthony Culyer dari University of York yang saat ini menjabat sebagai Ketua International Decision Support Initiative (IDSI). Pada intinya disebutkan bahwa dalam situasi saat ini untuk sektor kesehatan, Cost-Effectiveness Analysis (CEA) bukan satu - satunya solusi. Terdapat ideologi tentang kesehatan yang berguna bagi semua. Apa value  dan impact yang harus memiliki bukti. Hal ini bukan sebuah kegiatan politis namun teknis. Di Inggris dikembangkan oleh NICE dan didukung oleh pemerintah dan kelompok oposisi.

Apa yang bisa di - share dari pengalaman di Inggris? NICE dibentuk karena terdapat skandal - skandal medik. Dibutuhkan lebih banyak perencanaan yang bisa memilah - milah impact pelayanan kesehatan, mana yang logis dan mana yang tidak. Untuk itu capacity building mengenai isu ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi situasi terkait nilai dan dampak dari pelayanan kesehatan.

hsr3 2Prof Calypso dari Imperial College Inggris membahas lebih banyak mengenai rationing plan. Tergantung pada situasi di berbagai negara. Perlu independensi negara yang mengembangkan perencanaan pelayanan kesehatan yang masuk ke UHC atau yang tidak. Menentukan Benefit Package dan obat apa yang harus masuk. Untuk itu capacity development penting sekali dalam kegiatan ini. Namun konteks yang ada perlu diperhitungkan. Setiap negara mempunyai regulasi masing - masing. Terdapat perbedaan transparasi dan perbedaan perilaku politikus.

 

 

Bagi para pembaca yang ingin lebih mendalami mengenai diskusi ini lebih lanjut, silahkan membaca buku yang berjudul menarik ini.

BOOKS
What's In, What's Out: Designing Benefits for Universal Health Coverage

read more

 

 

 

 

  Refleksi untuk Indonesia

Dalam situasi defisit di BPJS, pertanyaan mengenai apa yang masuk dan apa yang harus keluar dari list pelayanan kesehatan dan serta obat – obatan yang dibutuhkan. Apakah BPJS perlu membayar untuk sebuah obat yang sangat mahal dengan manfaat yang sangat kecil? Apakah BPJS harus membayar teknologi yang tidak cocok lagi? Hal-hal ini menjadi kunci yang perlu dipelajari oleh kita para peneliti kebijakan kesehatan, termasuk para klinisi yang sehari hari berhadapan dengan pasien. Pertanyaan mengenai Apa yang akan didanai oleh BPJS dan untuk siapa, akan menjadi pertanyaan klasik sepanjang masa. Untuk itu perlu sekali membaca buku yang dapat di klik di atas.

Reporter : Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)

Link Terkait:

 

Training Resources

backk Back

Pada hari pertama ini, terdapat workshop yang terkait dengan ketrampilan dalam penyebaran hasil penelitian. Judulnya adalah:
"Out of Library and into the World: Communication for research".

Sesi ini sangat penting untuk kita semua, peneliti dan juga para mahasiswa pascasarjana kebijakan dan manajemen kesehatan.

Tujuan sesi ini adalah untuk:

  1. Memahami untuk siapa, mengapa, bagaimana dan melalui format apa hasil riset akan disampaikan;
  2. Memahami berbagai macam platform yang tersedia untuk penyebaran hasi riset;
  3. Mampu menyusun isi dan membentuknya menjadi bahan yang dikirimkan.

Di dalam kegiatan ini, peserta workshop dilatih beberapa hal mengenai Presentasi dan menulis Blog. Untuk presentasi dilakukan kegiatan mempersiapkan penyajian mulai dari menulis opening, sampai ke penyusunan struktur presentasi. Untuk menulis blog ada berbagai hal yang perlu dilakukan secara detil agar blognya menarik.

Para pembaca laporan yang tertarik untuk mempelajari lebih lanjut silahkan klik di sini untuk mengikuti berbagai Video dan bahan training untuk berbagai cara penyebaran ilmu:

Designing Effective Research Posters

Learn how to design clear and engaging research posters that communicate effectively with your audience.

 

Writing and Promoting your Blog Post

Blogging is a way to get your research and ideas out to into the world. This guide goes through the key points in structuring and promoting your blog post.

Presentation Matters!

A short video on how to make the most of presenting



 

 

Policy Engagement

Understanding the tools, tactics and approaches to how you can successfully engage with policy audiences and achieve demonstrable research impact.

 

Communicating Through the Media

A guide for researchers on how to communicate through the media.

 

Why should researchers use social media?

These resources will show how researchers can use social media to benefit their work.

Pleno 1.2

Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kesehatan Masyarakat

pleno1-2

Sulistiono (Ketua MTKI), memaparkan bahwa Surat Tanda Registrasi (STR) yang merupakan bukti tertulis dan dikeluarkan oleh MTKI dapat berlaku secara nasional maupun internasional. Saat ini hampir 34 ribu tenaga kesehatan masyarakat yang telah memiliki STR, dan terbanyak berasal dari Provinsi Sulsel (6000-an orang). Sulistiono menambahkan bahwa tenaga dengan jabatan fungsional atau dengan pengalaman tertentu yang ditetapkan oleh organisasi profesi sendiri, bisa mendaptakan sertifikasi meskipun secara pendidikan tidak melewati jenjang tertentu.

materi

Usman (Kepala Badan PPSDM Kementeran Kesehatan) mengatakan bahwa seharusnya kompetensi puskesmas diperkuat untuk mencegah semakin meningkatnya PTM. Data menunjukkan bahwa penanganan penyakit jantung telah menghabiskan anggaran JKN sebesar Rp 3,5T padahal kasus ini ada di urutan keempat terbanyak. 80% dana JKN digunakan untuk kuratif. IDI telah mengusulkan agar komposisinya diubah menjadi 50 : 50, untuk memperbesar kapitasi. Penyebaran tenaga kesehatan menunjukkan kecenderungan dimana kebanyakan nakes mengisi daerah-daerah barat dan kota besar. Hanya tenaga sanitarian yang menunjukkan pola sebaliknya, yaitu makin ketimur dan perifer makin banyak. Saat ini ribuan puskesmas masih kekurangan tenaga kesehatan. Diproyeksikan kebutuhan tenaga kesehatan untuk mengisi puskesmas-puskesmas tersebut adalah sebanyak hampir 63 ribu tenaga. Tahun 2019 ada lebih dari 56 ribu tenaga kesehatan sudah akan ditngkatkan kompetensinya.

materi

Anung Sugihantono (Dirjen Kesehatan Masyarakat) menggelitik peserta dengan pertanyaan siapa yang bertanggungjawab terhadap pengeluaran rumahtangga yang komposisinya lebih banyak untuk belanja makanan instan (26%) dan rokok (hampir 13%). Menurutnya, dengan perubahan generasi X dan Y menjadi generasi Z saat ini, para ahli kesehatan masyarakat harus pandai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda, dan bukan hanya membicarakan mengenai trend kesakitan maupun prevalensi melainkan sampai keukuran-ukuran ekonomi, misalnya berapa kerugian dari banyaknya pasien dialysis perbulan yang menyerap APBN maupun APBD.

materi

IAKMI – sebagaimana dipaparkan oleh Dedi Supratman (Ketua UKSKMI) – telah melakukan berbagai upaya strategis untuk mewujudkan profesi kesehatan masyarakat yang mutunya diakui, misalnya dengan mengebangkan instrument untuk uji kompetensi dan menjalin MoU dengan berbagai instansi yang terkait. Sayangnya, hasil uji kompetensi yang dipaparkan oleh Agustin Kusumayanti menunjukkan bahwa kurang dari 40% peserta uji yang lulus. Artinya, mutu sarjana kesehatan masyarakat masih rendah dan sangat bervariasi antar - perguruan tinggi. 

silahkan klik materi dedi supratman dan agustin kusumayanti  materi 1   materi 2

Reporter: Putu Eka Andayani

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

 

Presentasi Oral Hari 3

Oral 1

Ekonomi Kesehatan

oral5Dwi Handono dari PKMK FK UGM memaparkan hasil penelitiannya mengenai kendala penyerapan Jampersal di salah satu kabupaten di Kalimantan Barat. Pembiayaan melalui program Jampersal di tahun 2016 ini dimanfaatkan untuk operasional rumah tunggu, operasional pelayanan kesehatan di rumah tunggu serta biaya transportasi rujukan persalinan. Daerah-daerah dengan karakteristik perdesaan ataupun terpencil membutuhkan rumah tunggu untuk mengantisipasi komplikasi maternal, namun demikian dana Jampersal tersebut belum terserap karena kurang terperinci-nya juklak/juknis, belum adanya Perda yang mengatur besaran biaya perjalanan untuk jarak tertentu, serta belum ada standar biaya dan fasilitas rumah tunggu yang akan disewa.

Peneliti lain dari PKMK FK UGM mengangkat topik kesetaraan alokasi pembiayaan program kesehatan antar wilayah perkotaan dan perdesaan di 3 kabupaten di Papua. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa belum ada pedoman dalam perencanaan dan penganggaran yang spesifik mengarahkan perlunya alokasi secara khusus untuk wilayah perdesaan atau terpencil, guna memastikan bahwa dana dimanfaatkan dan dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat dalam satu kabupaten.

Beralih ke isu di pelayanan kesehatan tingkat rujukan, Ryman Napirah dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulalako, Palu memaparkan hasil penelitannya mengenai costing Rumah Sakit melalui metode ABC, Activity Based Costing. Penelitian yang mengambil RS Anutapura sebagai lokasi penelitian menggunakan metode penghitungan costperawatan di Rumah Sakit berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh 3 kelompok pos pembelanjaan, yakni: 1) Unit level activity meliputi: telepon, listrik, air, makan-minum, perawat; 2) batch level activity: biaya kebersihan, bahan habis pakai, dan administrasi, serta; 3) Facility level activity: meliputi biaya laundry, gedung dan fasilitas. Dari analisis tersebut, Ryman menemukan bahwa perhitungan cost dengan metode ABC menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan penghitungan cost model tradisional. Ryman menutup sesinya dengan merekomendasikan penggunaan metode ini ke depannya untuk meningkatkan transparansi dan akurasi penghitungan unit cost di Rumah Sakit.

Nurfardiansyah Bur dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia, Makassar mengangkat isu hubungan antara bauran pemasaran Rumah Sakit Umum Daerah di Gowa dengan loyalitas pelanggan. Dalam dunia pemasaran, dikenal istilah 'bauran pemasaran' yang dapat diartikan sebagai alat perusahaan untuk memperoleh respon yang diinginkan dari pasar. Penelitian Nurfardiansyah mengambil sampel 114 pasien rawat dinap di RSUD Gowa dan melihat berbagai aspek pelayanan, antara lain: promosi, tenaga kesehatan penyedia pelayanan kesehatan, proses pelayanan, dan fasilitas fisik. Hal yang menarik adalah bahwa fasilitas fisik, promosi serta penyedia pelayanan kesehatan yang baik menjadi faktor-faktor yang berpengaruh pada loyalitas pasien, sedangkan proses pelayanan tidak berpengaruh pada loyalitas pasien. Tidak berhubungannya antara proses pelayanan dengan loyalitas dapat saja disebabkan oleh status pasien yang sebagian besar anggota BPJS Kesehatan dan status RS sebagau milik pemerintah, sehingga cenderung memiliki loyalitas tinggi.

Reporter: Likke Prawidya Putri, MPH

 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

Presentasi Oral Hari 2

Oral 1

Kemitraan dalam Pembangunan Berkelanjutan

oral1Pembangunan berkelanjutan tentunya membutuhkan kerjasama lintas sektor. Peningkatan derajat kesehatan untuk masyarakat hidup sehat dan bahagia dalam mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan yang merupakan tajuk dari Konas IAKMI XIII Makassar, menyiratkan pentingnya kemitraan untuk mencapai visi Indonesia Sehat. Sesi presentasi oral pada hari Jum'at (05/11/2016) menghadirkan pemateri-pemateri yang telah terlibat dalam upaya inisiasi maupun eksekusi kemitraan lintas sektor.

Dari sektor KIA, Ketut Surmayaksa, Tuti Sumartinah, dan Deni Harbianto mengangkat berbagai pendekatan kemitraan yang berbeda dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Ketut menyasar pendampingan pada ibu hamil sebagai bagian dari program pengabdian mahasiswa untuk memastikan kunjungan antenatal diketahui dan dijalankan oleh ibu hamil. Tuti menggali potensi kemitraan yang dapat dilakukan Dinas Kesehatan dengan indung beurang (dukun bayi). Potensi indung beurang ke depan diharapkan dapat menjadi agen pemeliharaan kesehatan keluarga berbasis budaya dan agama untuk melengkapi fungsi bidan sebagai tenaga profesional. Deni, peneliti dari PKMK FK UGM, menggandeng SKPD Kesehatan dan SKPD terkait lainnya untuk melakukan Perencanaan Penganggaran Berbasis Bukti (PPBB) untuk mendukung perencanaan KIA berbasis permasalahan lokal.

Isu-isu menarik lainnya datang dariRisnah yang mengambil pendekatan Participatory Action Research (PAR) di Jeneponto dengan terlibat langsung untuk memberdayakan aset masyarakat bersama-sama warga setempat. Dengan upaya ini, Risnahingin membangun inklusi sosial yang dapat meningkatkan kemandirian individu. Ni Made Dian Kurniasari melakukan survey untuk melihat potensi pemberian informasi kesehatan pada wisatawan melalui pramuwisata di Bali. Dian menemukan bahwa pramuwisata memiliki efikasi dan keinginan untuk menjadi aktor kesehatan di sektor pariwisata.

Dito Anurogo melirik kerjasama keilmuan di sektor kesehatan dan melihat adanya potensi malconduct dan ketidaketisan yang terjadi saat ini dan akan terjadi di masa yang akan datang, terutama pada studi mengenai otak dengan teknologi yang semakin canggih. Dito mengungkapkan bahwa neuroetik (etika mengenai sistem syaraf) harus diturunkan, bukan lagi sebagai wacana tapi sudah merambah isu publik. Oedojo Soedirham menyoroti perubahan persepktif kesehatan masyarakat yang bukan lagi menyangkut sanitary tapi ke arah health setting. Persepektif ini adalah perspektif holistik lintas-sektor di mana kesehatan tidak hanya dilihat dari penyediaan infrastruktur tetapi juga dengan memodifikasi lingkungan dan budaya. Oedojo mencoba menjelaskan perspektif ini untuk melihat kemungkinan diterapkannya health promoting university, di mana pengelola universitas secara aktif membangun healthy setting di kampus.

Singkatnya waktu dan banyaknya pembicara membuat sesi ini terkesan terburu-buru dan alokasi untuk waktu tanya jawab dihilangkan. Meski demikian, peserta dapat melihat potensi berbagai jenis kemitraan baik yang dilakukan oleh universitas, dinas kesehatan, bahkan dinas pariwisata.. Sesi ini memberikan gambaran yang menarik bagaimana memanfaatkan kemitraan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.

reporter : Insan Rekso Adiwibowo

 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

Reportase Pleno 2

Universal Health Coverage

pleno2

Sesi ini dibuka oleh Ketua Umum IAKMI terpilih, dr. Ridwan M. Thaha, MSc dan Direktur Utama BPJS, Prof. DR. dr. Fahmi Idris, MKes. Ridwan Thaha menyatakan bahwa masalah eskalasi biaya kesehatan merupakan masalah semua pihak. Fahmi Idris yang juga merupakan anggota IAKMI menyampaikan terima kasih atas MoU dan kesempatan dalam memaparkan berbagai hal yang terkait dengan BPJS Kesehatan.

Sesi plenary ini adalah sesi terakhir dari rangkaian Kongres Nasional IAKMI 2016. Sesi yang dimoderatori oleh Sumarjati Arjoso ini menghadirkan narasumber dari UNFA, Dirut BPJS, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Prof. Ascobat Ghani dan Kepala Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI, DR. Siswanto.

Fahmi Idris mengatakan bahwa progress yang tercapai saat ini on the right track. Mandat UU cukup berat, yaitu hanya sebagai pembeli pelayanan kesehatan. Namun karena kondisi sistem yang belum optimal (pelayanan kesehatan, kendali mutu, sistem pembayaran) sehingga mandat UU BPJS adalah mengembangkan ketiga hal tersebut. Data menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan lebih besar dari biaya yang diterima, karena tingginya kasus katastropik (menyerap 33% dari dana kesehatan). Satu-satunya jawaban untuk mengatasi ini adalah pencegahan. Jika struktur biaya iuran yang tidak sesuai dengan aktuaria tidak dibenahi akan menjadi masalah besar yang berkepanjangan.

materi

National Program Officer UNFPA, Melanie, berbicara tentang sexual and reproductive health and rights in the SDGs under UHC context. SDGs bersifat bottom up dan targetnya merata untuk seluruh negara anggota, ini merupakan pembeda utama dengan MGDs. Setelah indikator global dan nasional dipetakan, ada beberapa isu penting terkait target. Misalnya target terkait penurunan angka kematian ibu, definisi mengenai skill/competency of health personnel belum sama dengan yang di level global. Selain itu, indikator lain misalnya pemenuhan kebutuhan ber-KB, pengambilan keputusan oleh perempuan dan sebagainya. Paket KB (termasuk konseling), pemakaian alat kontrasepsi, pengelolaan side-effect adalah paket-paket pelayanan KB yang direkomendasikan oleh hasil studi yang memiliki efektivitas tinggi jika diintegrasikan ke program SDGs. Juga ada paket kesehatan ibu pencegahan malaria dan HIV pada ibu.

materi

Dra. Mirnawati, Apt, MKes (Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Dirjen Yankes Kementerian Kesehatan) mewakili Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan berbicara tentang upaya untuk memperkuat upaya promotif dan preventif oleh fasilitas kesehatan primer. Gerakan masyarakat sehat adalah gerakan yang dilakukan bersama-sama oleh semua kementerian: Perindustrian, PU, Badan POM dan Kesehatan, yang rencananya akan dicanangkan pada 12 Desember di 10 daerah. Isunya, akses pelayanan dasar dan rujukan yang berkualitas belum merata. Peningkatan akses dilakukan bersama dengan kementerian lain, peningkatan kuaitas dilakukan bersama dengan Pemda, yaitu untuk memenuhi standar sesai kelas pelayanan sebagaimana diatur pada Permenkes terkait. Kemenkes telah menyiapkan berbagai roadmap, antara lain puskesmas yang bekerjasama dengan dinkes dan RS, regionalisasi RS Rujukan. Perlu dukungan semua pihak termasuk IAKMI untuk mencapai seluruh tujuan pembangunan kesehatan tersebut.

materi

Prof. Ascobat Gani (Guru Besar FKM UI, Ketua Tim Kendali Mutu-Kendali Biaya BPJS) berbicara tentang Peran SKM di Era UU No. 23 dan SDGs memaparkan bahwa ada 9 tantangan bagi SKM yang saling terkait, antara lain disparitas, ketidakmerataan faskes, determinan penyakit, "hutang" MDGs, sistem kesehatan yang belum diperkuat, UU No. 23/1992 dan turunannya, JKN, yang harus dilihat secara menyeluruh. Peran SKM yaitu membina kesehatan wilayah secara komprehensif, menggerakkan mesin sosial dan mesin birokrasi, promosi kesehatan, pelayanan pencegahan, surveillance, menggerakkan sektor lain, serta memperkuat sistem kesehatan.

materi

Kepala Badan Litbang Kemenkes, DR. Siswanto, memaparkan bahwa peran Balitbangkes untuk mendukung pelaksanaan evidence based policy. Diperlukan inovasi program sebagai masukan bagi pembuat kebijakan. Untuk menguatkan sistem kesehatan, Balitbang melakukan banyak riset mulai dari aspek input, proses hingga output dan outcome. (pea)

materi

Reporter: Putu Eka Andayani

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III