d. Penjelasan dan justifikasi desain evaluasi

Disain evaluasi realis akan mengidentifikasi hirarki outcome dan aktivitas program yang diharapkan menghasilkan outcome tersebut. Realist evaluation memungkinkan peneliti untuk mengindentifikasi mekanisme mana yang berhasil dan mekanisme mana yang tidak berhasil atau menghasilkan outcome yang tidak diharapkan, tergantung pada konteksnya.

 

d. Penjelasan dan justifikasi desain evaluasi

Penelitian ini menggunakan pendekatan realist evaluation yang merupakan bentuk evaluasi berbasis teori, berdasarkan pada filosofi sains realis yang membahas pertanyaan apa yang berhasil, untuk siapa, dalam keadaan apa, dan bagaimana dilakukan. Pendekatan ini merupakan cara evaluasi implementasi kebijakan yang dirancang untuk menangkap aspek-aspek yang terjadi di lapangan. Dalam pendekatan ini, teori dibingkai sebagai proposisi tentang bagaimana suatu mekanisme berjalan dalam konteks untuk mencapai hasil tertentu. Realist evaluation sangat relevan untuk penelitian ini karena bertujuan untuk mengembangkan teori dengan berprinsip pada pentingnya konteks untuk memahami mengapa suatu program atau kebijakan berhasil atau tidak berhasil. Dengan demikian, kegiatan realist evaluation berusaha untuk menguraikan hubungan antara mekanisme, konteks, dan hasil, tidak hanya terbatas pada apakah suatu program berhasil atau tidak. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan lebih komprehensif dalam menjawab pertanyaan penelitian.

 

d. Penjelasan dan justifikasi desain evaluasi

 Penelitian ini menggunakan pendekatan realist evaluation yang merupakan bentuk evaluasi berbasis teori, berdasarkan pada filosofi sains realis yang membahas pertanyaan apa yang berhasil, untuk siapa, dalam keadaan apa, dan bagaimana dilakukan. Pendekatan ini merupakan cara evaluasi implementasi kebijakan yang dirancang untuk menangkap aspek-aspek yang terjadi di lapangan. Dalam pendekatan ini, teori dibingkai sebagai proposisi tentang bagaimana suatu mekanisme berjalan dalam konteks untuk mencapai hasil tertentu. Realist evaluation sangat relevan untuk penelitian ini karena bertujuan untuk mengembangkan teori dengan berprinsip pada pentingnya konteks untuk memahami mengapa suatu program atau kebijakan berhasil atau tidak berhasil. Dengan demikian, kegiatan realist evaluation berusaha untuk menguraikan hubungan antara mekanisme, konteks, dan hasil, tidak hanya terbatas pada apakah suatu program berhasil atau tidak. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan lebih komprehensif dalam menjawab pertanyaan penelitian

 

c. Penjelasan kebijakan program, inisiatif atau produk yang dievaluasi

Kebijakan program yang menjadi bahan evaluasi yaitu kebijakan tata kelola BPJS Kesehatan. Adanya pedoman umum tata kelola BPJS Kesehatan memberikan peluang adanya evaluasi bentuk lembaga BPJS Kesehatan dan keorganisasian BPJS Kesehatan. Undang-Undang SJSN No. 40 tahun 2004 (Presiden Republik Indonesia, 2004) dan Undang – Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Presiden Republik Indonesia, 2011) merupakan undang – undang yang menjadi dasar pelaksanaan Jaminan Kesehatan. Undang –undang ini menjelaskan struktur hubungan antar lembaga di dalam pelaksanaan JKN. Hubungan kelembagaan ini tidak banyak dijelaskan dalam undang – undang SJSN dan BPJS dan tidak terdapatnya lembaga mana yang menjadi penanggungjawab (principal) BPJS (Trisnantoro, 2018). Demikian halnya dengan Undang – Undang no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Presiden Republik Indonesia, 2014), dimana dalam hal kesehatan Pemerintah Daerah juga menjadi penanggungjawab pembangunan kesehatan di wilayahnya. Sehingga Pemerintah Daerah juga merupakan penanggungjawab terselenggaranya kesehatan di daerah. Hubungan kelembagaan yang tidak jelas antara BPJS dan Pemerintah Daerah menjadi salah satu penyebab mengapa Pemerintah Daerah tidak banyak menerima laporan – laporan terkait penyelenggaraan JKN di daerahnya. Laporan ini berguna sekali untuk melakukan perencanaan dan penganggaran terkait dengan pembangunan kesehatan di daerah.

Hubungan antar lembaga ini sebenarnya sudah diperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 85 Th 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 3 peraturan pemerintah ini menjelaskan didalam salah satu ayatnya terkait dengan sistem informasi. Hal ini jelas mengisyaratkan bahwa seharusnya BPJS Kesehatan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, Kementerian Kesehatan, dan seluruh organisasi lain, khususnya dalam hal sistem informasi (Presiden Republik Indonesia, 2013) (Presiden Republik Indonesia, 2017). Keluarnya Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018 tentang optimalisasi pelaksanaan program jaminan kesehatan mengisyaratkan adanya keikutsertaan lembaga – lembaga lain yang terlibat dalam pelaksanaan jaminan kesehatan (Presiden RI, 2018). Hal ini menandakan bahwa sebelum Inpres ini muncul ada indikasi bahwa pelaksanaan Jaminan Kesehatan hanya melibatkan lembaga tertentu.

c. Penjelasan kebijakan program, inisiatif atau produk yang dievaluasi

JKN merupakan sebuah sistem pembayar tunggal (single payer system) layanan medis untuk seluruh penduduk. Sistem ini merupakan bertujuan untuk menciptakan akses kesehatan yang berkeadilan untuk seluruh rakyat sekaligus yang untuk mengendalikan belanja biaya kesehatan. Hingga 1 April 2018, jumlah peserta JKN sudah mencapai sekitar 195,2 juta jiwa. Hingga 31 Desember 2017, BPJS Kesehatan sudah bekerja sama dengan 21.763 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan 2.292 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Sekitar 219,6 juta peserta mengakses layanan kesehatan yang terdiri atas 66,7% pemanfaatan di FKTP, 29,3% di poliklinik rawat jalan FKRTL, dan 4 % rawat inap FKRTL.

Terkait dengan isu keadilan sosial, beberapa kebijakan yang potensial untuk dievaluasi antara lain sebagai berikut.

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.
  2. Perpres Nomor 19 Tahun 2016 (Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang JKN) tentang Jaminan Kesehatan – tarif iuran BPJS Kesehatan, pemerataan dan redistribusi peserta JKN di FKTP, tanggung jawab pemda atas ketersediaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan.
  3. Permenkes Nomor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional – kompensasi bagi daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan.
  4. UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) – integrasi jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) dengan JKN.
  5. Permenkes Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan JKN – regionalisasi tarif INA-CBGs.
  6. Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2017 tentang Kebijakan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Palayanan.

c. Penjelasan kebijakan program, inisiatif atau produk yang dievaluasi

 JKN merupakan sebuah sistem pembayar tunggal (single payer system) layanan medis untuk seluruh penduduk. Sistem ini tidak hanya bertujuan untuk menciptakan akses kesehatan yang berkeadilan untuk masyarakat, tetapi juga mengendalikan belanja biaya kesehatan. Selain itu, kebijakan program JKN juga diharapkan mendukung kualitas pelayanan kesehatan, kepuasan peserta JKN-KIS, dan kepuasan provider mitra BPJS Kesehatan. Evaluasi kebijakan kapitasi berbasis kompetensi untuk menilai mutu dan kepuasan peserta JKN serta provider BPJS Kesehatan juga akan diikuti dengan evaluasi program/ kebijakan yang terkait dengan kebijakan paket manfaat, standar prosedur klinis, standar tarif pelayanan kesehatan, sistem penanganan pengaduan peserta, kebijakan kompensasi, kebijakan iur biaya, dan kebijakan lain yang terkait.

Adapun beberapa kebijakan yang potensial untuk dievaluasi, antara lain :

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional  hasil pengelolaan DJS untuk pengembangan program dan kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dasar peserta JKN-KIS
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan  hak yang sama untuk memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  kewajiban memenuhi kebutuhan dasar peserta JKN-KIS dengan pelayanan yang berkualitas harus bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi atau lembaga lain (dalam atau luar negeri)
  4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan
  5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2017 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional  tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka menjamin keberlangsungan dan peningkatan kualitas pelayanan bagi peserta JKN-KIS
  6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota  sebagai salah satu bidang urusan pemerintahan, bidang kesehatan merupakan urusan wajib untuk diselenggarakan oleh Pemprov dan Pemda
  7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah  dana kapitasi diperuntukkan untuk jasa pelayanan, sarana prasarana, dan biaya operasional lainnya untuk mendukung pelayanan kesehatan dalam gedung dan luar gedung
  8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan  standar tarif pelayanan primer, rujukan/ spesialistik, selisih biaya
  9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan  standar tarif pelayanan primer, rujukan/ spesialistik, selisih biaya
  10. Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor HK.01.08/III/980/2017 Tahun 2017 dan Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama  acuan bagi berbagai pihak dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan primer
  11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 046/MENKES/SK/II/2014 Tentang Tim Monitoring dan Evaluasi Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional  komponen dan tugas tim monitoring dan evaluasi program JKN-KIS
  12. Permenkes 75 tahun 2014 tentang PKM
  13. Permenkes 56 tahun 2014 tentang klasifikasi dan perijinan RS
  14. Permenkes nomor 34 tahun 2017 tentang akreditasi rumah sakit
  15. Permenkes nomor 46 tahun 2015 tentang akreditasi Puskesmas
  16. Permenkes 1438 tahun 2010 tentang standar pelayanan kedokteran

b. Lingkungan sekitar evaluasi (context)

BPJS Kesehatan merupakan badan hukum yang dibentuk dengan Undang-Undang untuk menjalankan sebagian penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan, yakni urusan penyelenggaraan program jaminan sosial bidang kesehatan. BPJS Kesehatan tergolong lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan yang berada di tingkat pusat. BPJS Kesehatan sendiri mempunyai hubungan kelembagaan yaitu Presiden, DJSN, dan Kementerian atau lembaga Negara di Pusat, Pemerintah Daerah. Selaku lembaga profesional di bidang jaminan sosial kesehatan, BPJS Kesehatan memiliki pengetahuan, pengalaman dan data serta informasi yang sangat diperlukan dalam perumusan kebijakan dan peraturan perundangan di bidang jaminan sosial bidang kesehatan. Sebaliknya, BPJS memerlukan dukungan kebijakan dan regulasi yang dirumuskan atau dibentuk oleh Kementerian terkait guna menjaga keamanan dan keberlangsungan penyelenggaraan program jaminan sosial bidang kesehatan.

Kebijakan sentralistik yang dijalankan di BPJS Kesehatan menimbulkan tantangan untuk mencapai sasaran-sasaran Peta Jalan JKN. Kebijakan sentralistik ini memberikan dampak pada beberapa isu keterbatasan seperti keterbatasan akses data BPJS Kesehatan baik oleh Lembaga, Kementerian Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah. Hal ini memberikan dampak negatif pada keberlangsungan program dan sustainability BPJS Kesehatan.

b. Lingkungan sekitar evaluasi

JKN merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Per 1 Januari 2014, semua program jaminan kesehatan yang telah dilaksanakan pemerintah (Askes PNS, JPK Jamsostek, TNI, Polri, dan Jamkesmas), diintegrasikan ke dalam satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Sama halnya dengan program Jamkesmas, pemerintah bertanggungjawab untuk membayarkan iuran JKN bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).