c. Pertanyaan evaluasi, tujuan dan fokus

Pertanyaan Evaluasi:

  1. Bagaimana BPJS Kesehatan mampu mencapai target peserta 76,62% (197,3 juta jiwa) sesuai dengan RKAT tahun 2018?
    • Apakah cakupan kepesertaan JKN mampu meningkatkan akses dan utiliasi peserta terhadap layanan kesehatan baik peserta PBI vs Non-PBI, pedesaan vs perkotaan, atau kelompok tertentu?
    • Bagaimana konteks yang berjalan sehingga kondisi tersebut dapat terjadi?
    • Melalui mekanisme apa kondisi tersebut terjadi?
  2. Bagaimana upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan untuk memastikan paket manfaat tersedia tanpa ada perbedaan antarkategori peserta (PBI dan Non-PBI)?
    • Apakah ada perbedaan kondisi out of pocket atau catastrophic payment antar peserta PBI vs Non-PBI, pedesaan vs perkotaan, atau kelompok tertentu?
    • Jika ada perbedaan, konteks apa yang mendasari kondisi tersebut?
    • Melalui mekanisme apa kondisi tersebut terjadi?
  3. Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjamin jumlah dan sebaran fasilitas kesehatan cukup untuk melayani seluruh peserta JKN?
    • Apa saja kebijakan yang sudah diimplementasikan oleh pemerintah dalam rangka mendorong kecukupan jumlah dan sebaran fasilitas kesehatan di era JKN?
    • Apakah kebijakan tersebut berhasil?
    • Konteks dan mekanisme apa yang muncul dan tidak muncul sehingga kebijakan tersebut berhasil atau tidak berhasil?

Tujuan:

  1. Mengevaluasi kebijakan atau program yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan untuk mencapai target peserta 76,62% (197,3 juta jiwa) sesuai dengan RKAT tahun 2018.
  2. Mengevaluasi kebijakan atau program yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan untuk memastikan paket manfaat tersedia tanpa ada perbedaan antarkategori peserta (PBI dan Non-PBI).
  3. Mengevaluasi kebijakan atau program yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin jumlah dan sebaran fasilitas kesehatan cukup untuk melayani seluruh peserta JKN.

 

 

c. Pertanyaan evaluasi, tujuan dan fokus

Pertanyaan utama yang digunakan untuk evaluasi kebijakan pada sub kajian ini adalah sejauh mana optimalisasi prosedur klinis dan standar tarif yang sesuai harga keekonomian dapat meningkatkan mutu layanan provider dan meningkatkan kepuasan peserta JKN-KIS pada penyelenggaraan program JKN saat ini? Teori mutu dan kepuasan provider serta teori kepuasan pelanggan/ klien akan menjadi teori utama untuk membahas ruang lingkup dan fokus sub kajian ini. Adapun beberapa mekanisme yang menjadi ruang lingkup dan fokus nantinya, diantaranya :

  1. Bagaimana implementasi kebijakan perumusan, penetapan, dan peninjauan secara berkala tentang paket manfaat?
  2. Bagaimana implementasi kebijakan terkait penyusunan prosedur medik keperawatan dan kefarmasian?
  3. Bagaimana implementasi kebijakan terkai penyusunan standar fasilitas kesehatan?
  4. Bagaimana implementasi kebijakan penyiapan dan optimalisasi sistem penanganan komplain/ keluhan peserta (grievances procedure)?
  5. Bagaimana implementasi kebijakan pengukuran kepuasan peserta (customer satisfaction measurement)?
  6. Bagaimana implementasi kebijakan terkait penetapan sistem dan prosedur iur biaya ?
  7. Bagaimana implementasi kebijakan terkait penetapan sistem dan prosedur dalam pemberian kompensasi ?

 

 

 

b. Teori Program

Teori program yang digunakan dalam evaluasi ini adalah Good Governance Theory dan Agency Theory. Good Governance Theory dalam sistem kesehatan menekankan kepada pada tindakan dan norma-norma yang diserap oleh sekelompok masyarakat untuk mengelola sistem kesehatan tersebut kedalam promosi dan perlindungan kesehatan untuk masyarakatnya (Siddiqi et al., 2009). Sebuah framework dalam penilaian tata kelola sistem kesehatan menjabarkan tentang prinsip-prinsip tata kelola, domain untuk melihat kemungkinan-kemungkinan secara utuh baik ditingkat nasional, penyusunan kebijakan kesehatan dan implementasi kebijakan tersebut. Berdasarkan peta jalan JKN, proposal ini akan menekan pada penyelenggaran JKN oleh BPJS Kesehatan, regulasi yang terkait, serta kerjasama lintas sektor dalam penguatan sistem kesehatan.

Penggunaan agency theory untuk menjelaskan situasi dimana BPJS Kesehatan (sebagai Agen) menjalankan dua fungsi organisasi kesehatan maupun organisasi ekonomi (Renmans, Paul and Dujardin, 2016). Hal ini berpotensi menimbulkan konflik peran BPJS Kesehatan dalam sektor kesehatan. Dampak lain yang sedang terjadi adalah BPJS Kesehatan memiliki otoritas terhadap data fasilitas kesehatan baik FKTP maupun FKTL. Namun, sistem tata kelola BPJS Kesehatan yang terpusat mengakibatkan terjadi fragmentasi dalam sistem kesehatan daerah. Peran pemerintah dalam JKN juga terkait dengan stewardship theory yang berarti sebagai pihak yang dipercaya oleh berbagai aktor untuk mengelola secara hati-hati. Stewardship merupakan satu aspek governance yang behubungan tengan teori agensi dan peran pemerintah yang bertindak sebagai agen dari masyarakat (Trisnantoro, 2018). Pembahasan mengenai konsep stewardship berasal dari teori Principal-Agent relationships (Waterman and Meier, 1998) dan Honda et al., (2016).

 

b. Teori Program

Isu kesetaraan (equity) masih menjadi masalah dalam pelaksanaan JKN. Prinsip kesetaraan secara umum menyatakan bahwa layanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan kesehatan individu, sehingga individu yang memiliki kebutuhan lebih besar harus mengakses lebih banyak layanan (ekuitas vertikal), tetapi harus ada akses yang sama untuk kebutuhan yang sama (ekuitas horizontal). Dengan kata lain, kebutuhan merupakan faktor penentu keadilan dalam distribusi layanan kesehatan (Goddard & Smith, 2001).

Kesetaraan juga berarti keadilan atau keadilan sosial, yaitu konsep etis yang didasarkan pada prinsip keadilan distributive yang juga dihubungkan dengan hak asasi manusia. Kesetaraan dalam kesehatan secara luas didefinisikan sebagai ketiadaan kesenjangan sosial. Untuk keperluan operasionalisasi dan pengukuran, kesetaraan dalam kesehatan dapat didefinisikan sebagai ketiadaan disparitas sistematis dalam kesehatan (atau dalam determinan sosial kesehatan) antara kelompok sosial yang memiliki tingkat keuntungan atau kerugian sosial mendasar yang berbeda — yaitu, berbeda posisi dalam hierarki sosial. Ketidaksetaraan dalam kesehatan secara sistematis menempatkan kelompok-kelompok orang yang secara sosial kurang beruntung (misalnya, karena menjadi miskin, perempuan, dan/ atau anggota kelompok ras, etnis, atau agama yang tercabut haknya) pada kerugian lebih lanjut berkenaan dengan kesehatan mereka; kesehatan sangat penting untuk kesejahteraan dan untuk mengatasi efek lain dari kerugian sosial (Braveman & Gruskin, 2003).

Teori yang akan digunakan sebagai baseline dalam penelitian ini yang sekaligus akan diuji adalah teori akses. Sebagaimana diketahui, upaya untuk mencapai ekuitas dapat dilakukan dengan pendekatan teori akses. Akses sebagai alat ukur ekitas pelayanan kesehatan dapat dilihat melalui (1) akses potensial indikator proses (potential access process indicators) yaitu karakteristik populasi, (2) akses potensial indikator struktural (potential access structural indicators) yaitu karakteristik sistem layanan kesehatan, (3) akses nyata indikator objektif (realized access objective indicators) yaitu utilisasi pelayanan kesehatan, dan (4) akses nyata indikator subjektif (realized access subjective indicators) yaitu utilisasi kepuasan konsumen yang mana semua komponen ini dipengaruhi oleh kebijakan kesehatan (Aday, Andersen, & Fleming, 1980; Whitehead, 1992). Akses pelayanan kesehatan dikatakan mencapai ekuitas jika pelayanan kesehatan terdistribusi menurut geografi, sosial ekonomi dan kebutuhan masyarakat, sebaliknya jika pelayanan kesehatan belum terdistribusi dengan baik menurut geografi, sosial ekonomi dan kebutuhan masyarakat, dapat disebut sebagai akses pelayanan inekuitas. Upaya perbaikan dari sisi supply dan demand perlu terus diupayakan agar masalah ekuitas terhadap akses pelayanan kesehatan dapat teratasi.

 

b. Teori Program

Dalam rangka mendukung outcome JKN seperti kepuasan peserta JKN-KIS, tenaga kesehatan, dan fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan maka teori program yang akan digunakan adalah teori mutu dan kepuasan provider serta teori kepuasan pelanggan/ klien.

Mutu

The Victorian Government Department of Human Services, Melbourne, Victoria (2008) dalam buku A guide to using data for health care quality improvement mendefinisikan mutu sebagai kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan layanan maupun produk perawatan kesehatan sesuai dengan yang diinginkan. Ada Sembilan (9) dimensi mutu dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan, yaitu: efektif, sesuai, aman, efisien, responsif, dapat diakses, kontinyu, mampu, dan berkelanjutan. Beda halnya dengan buku quality of care oleh WHO tahun 2006 bahwa ada enam (6) dimensi mutu dalam pelayanan kesehatan yaitu: efektif, efisien, dapat diakses, dapat diterima/berfokus pada pasien, adil, dan aman.

Tabel 1. Enam Dimensi/Area Mutu (World Health Organisation,2006)

Dimensi Mutu

Penjelasan

Efisien

Memaksimalkan penggunaan sumber daya dan menghindari pemborosan

Efektif

Perawatan kesehatan berbasis bukti dan menghasilkan hasil kesehatan yang lebih baik sesuai kebutuhan

Dapat diakses

Perawatan kesehatan yang tepat waktu, masuk akal secara geografis, dan disediakan dalam setting dimana keterampilan dan sumber daya sesuai dengan kebutuhan medis

Dapat diterima

Perawatan kesehatan yang mempertimbangkan preferensi dan aspirasi pengguna layanan perorangan dan budaya komunitas mereka

Adil

Perawatan kesehatan yang tidak berbeda kualitasnya karena karakteristik pribadi seperti jenis kelamin, ras, etnisitas, lokasi geografis, atau status sosial ekonomi

Aman

Layanan kesehatan yang meminimalkan risiko dan kerugian bagi pengguna jasa

 

Sumber. Aboriginal Health & Medical Research Council of New South Wales A literature review about indicators and their uses (2013)

Mainz (2003) dalam Aboriginal Health & Medical Research Council mengklaim bahwa mengukur dan memantau mutu pelayanan kesehatan tidak mungkin tanpa indikator. Pendekatan menggunakan indicator mempercepat dan menghemat biaya daripada metode lain seperti peer-review.

Indikator

Indikator merupakan ukuran dari hasil yang diberikan oleh tenaga profesional berdasarkan bukti ilmiah ataupun consensus dalam rangka menilai kualitas pelayanan kesehatan sehingga akan dihasilkan perubahan pelayanan jika pelayanan yang didapatkan sesuai dengan bukti ilmiah. Pengukuran indikator dilakukan untuk mengetahui cara kerja sistem (understanding) dan bagaimana cara meningkatkannya (improved), monitoring kinerja sistem (performance system), dan tranparansi (accountability) (Pencheon. 2008)

Pengukuran indikator dilakukan untuk: 1) mengukur dan membandingkan kinerja terhadap target yang ditetapkan (benchmarking); 2) mendukung proses akuntabilitas, regulasi dan akreditasi; 3) menetapkan prioritas layanan atau sistem; 4) mendukung inisiatif peningkatan kualitas, dan untuk mendukung pilihan pasien penyedia layanan; dan 5) performance assessment and quality improvement. Indikator dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, antara lain:

  1. Clinical indikator: Indikator klinis merupakan gambaran kualitas layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien, apakah kualitas layanan yang diberikan memenuhi kebutuhan pasien dan sesuai dengan evidence terbaik. Selain untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan, indikator klinis juga digunakan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan. Hasil pengukuran indikator klinis dianalisa sehingga akan muncul hasil sebagai dasar untuk melakukan rencana kegiatan. Terdiri dari indikator structure, process, dan outcome.
  2. Structure, Process and Outcome Indikators (Donabedian. 2005): Donabedian membagi indikator menjadi 3 yaitu indikator struktur atau input, proses, dan output.

Tabel 2.2 Jenis Indikator

Jenis
Indikator

Penjelasan

Struktur

materi dan sumber daya manusia yang ada, misal pelatihan

Proses

apa yang dilakukan dalam memberi dan menerima perawatan, digunakan untuk menilai dan meningkatkan kualitas asuhan, misal proporsi pasien yang diobati sesuai pedoman klinis

Outcome

mengukur efek perawatan terhadap status kesehatan pasien dan populasi, misal hasil tekanan darah untuk penderita Hipertensi, angka kepuasan, kematian

Mainz (2003) dalam Aboriginal Health & Medical Research Council

Kepuasan

Penerapan jaminan mutu pelayanan kesehatan, maka kepuasan pasien akan menjadi bagian yang terintegrasi dan menyeluruh dari kegiatan jaminan mutu layanan kesehatan. Dengan kata lain bahwa pengukuran tingkat kepuasan pasien harus menjadi kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari pengukuran mutu pelayanan kesehatan (Pohan, 2007). Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkan dengan apa yang diharapkan. Lebih lanjut Pohan juga menyatakan bahwa kepuasan pasien dapat diukur dengan indikator sebagai berikut :

  1. Kepuasan terhadap akses pelayanan kesehatan, hal ini terkait dengan sikap dan pengetahuan tentang sejauh mana layanan kesehatan tersedia pada waktu dan tempat saat dibutuhkan, kemudahan memperoleh layanan kesehatan, baik dalam keadaan biasa atau dalam keadaan gawat darurat serta sejauh mana pasien mengerti bagaimana sistem layanan kesehatan bekerja dantersedianya layanan keseahatan.
  2. Kepuasan terhadap mutu pelayanan kesehatan yang dinyatakan melalui sikap terhadap kompetensi teknis tenaga kesehatan, serta perubahan kesehatan yang dirasakan pasien dari hasil pelayanan kesehatan.
  3. Kepuasan terhadap proses pelayanan kesehatan, termasuk hubungan antar manusia yang ditentukan dengan melakukan pengukuran sejauh mana ketersediaan layananan di layanan kesehatan menurut pasien, perhatian dan kepedulian tenaga kesehatan, tingkat kepercayaan dan keyakinan kepada tenaga kesehatan, tingkat pengertian tenaga kesehatan tentang diagnosis pasien.
  4. Kepuasan terhadap sistem layanan kesehatan ditentukan dengan fasilitas fisik dan lingkungan layanan kesehatan, lingkup dan sifat keuntungan dari layanan kesehatan yang ditawarkan, sistem perjanjian termasuk waktu tunggu, sikap mau menolong, maupun pemecahan masalah.

Program/ kebijakan yang akan dievaluasi diantaranya : kebijakan paket manfaat, standar prosedur klinis, standar tarif pelayanan kesehatan, sistem penanganan pengaduan peserta, kebijakan kompensasi, kebijakan iur biaya, dan kebijakan lain yang terkait. Oleh karena itu, logika programnya yaitu optimalisasi prosedur klinis dan standar tarif yang sesuai harga keekonomian diharapkan dapat meningkatkan mutu layanan provider dan meningkatkan kepuasan peserta JKN-KIS

 

a. Dasar / pertimbangan melakukan evaluasi

Tahun 2018 merupakan tahun kelima pelaksanaan JKN yang dimulai pada tahun 2014. Target pencapaian sasaran dalam Peta Jalan JKN adalah tahun 2019. Dalam rangka pencapaian sasaran dalam Peta Jalan JKN perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan JKN. Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak hanya menjadi tugas utama Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, namun merupakan menjadi bagian tugas Kementerian dan Lembaga lain serta Pemerintah Daerah. BPJS menetapkan salah satu visinya berupa terciptanya kelembagaan BPJS Kesehatan yang handal, unggul dan terpercaya. Visi ini diturunkan menjadi beberapa sasaran yang terdapat dalam peta jalan JKN yaitu sasaran 1 (BPJS beroperasi dengan baik), sasaran 5 (Semua peraturan telah disesuaikan secara berkala untuk memastikan menjamin kualitas yang memadai dan dengan harga keekonomian yang layak) dan sasaran 8 (BPJS dikelola secara terbuka, efisien dan akuntabel). Sehingga sangat penting bahwa fokus evaluasi ini adalah tata kelola BPJS Kesehatan, serta hubungan – hubungan BPJS Kesehatan dengan lembaga atau kementerian baik itu ditingkat Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota yang dijalankan dengan prinsip tata kelola yang baik.

a. Dasar/pertimbangan melakukan evaluasi

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat ini telah memasuki tahun kelima pelaksanaannya. Berbagai permasalahan teknis yang terjadi secara berangsur-angsur mendapatkan penanganan dengan diimplementasikannya beberapa kebijakan atau program secara berkesinambungan. Cakupan peserta hingga 1 April 2018 sudah mencapai sekitar 195,2 juta jiwa, artinya jumlah masyarakat yang telah mengikuti Program JKN-KIS hampir mencapai 71,99% dari jumlah penduduk Indonesia (BPJS Kesehatan, 2018). Sementara itu, RKAT BPJS Kesehatan di tahun 2018 mentargetkan 197,3 juta penduduk atau sekitar 76,62% menjadi peserta JKN (Mundiharno, 2018).

Selain itu, keluasan akses fasilitas kesehatan juga menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Hingga 31 Desember 2017, BPJS Kesehatan sudah bekerja sama dengan 21.763 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan 2.292 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) serta 2.937 fasilitas kesehatan penunjang seperti Apotik dan Optik di seluruh Indonesia. Ditinjau dari aspek utilisasi layanan kesehatan, laporan bulanan BPJS Kesehatan sampai dengan Desember 2017 menyebutkan sekitar 219,6 juta peserta mengakses layanan kesehatan, yang terdiri atas 66,7% pemanfaatan di FKTP, 29,3% di poliklinik rawat jalan FKRTL, dan 4 % rawat inap FKRTL (BPJS Kesehatan, 2018).

Namun, berdasarkan hasil pertemuan review peta jalan JKN tahun 2018 isu kepesertaan masih menghadapi permasalahan. Meskipun hingga tahun 2018 dari sebanyak 514 kabupaten/ kota, terdapat sekitar 482 kabupaten/ kota yang sudah mengintegrasikan Jamkesda dan JKN (Sutarjo, 2018), dilporkan bahwa integrasi Jamkesda masih selektif dan dipengaruhi komitmen politik. Rekrutmen peserta badan usaha terutama segmen mikro, kecil, dan menengah juga dilaporkan belum tercapai. Selain itu, distribusi peserta terutama di FKTP swasta dinilai juga belum merata.

Permasalahan lain yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah ketersediaan paket manfaat dan kesiapan sisi supply yang adil dan merata untuk setiap lapisan masyarakat. Dilaporkan bahwa hingga saat ini, masih terdapat sekitar 5 provinsi yang fasilitas pelayanan kesehatannya dinyatakan kekurangan tempat tidur (BPJS Kesehatan, 2018). Sementara itu, penetapan dan standarisasi kelas perawatan juga dinyatakan masih perlu dilakukan perbaikan, sehingga ke depan (tahun 2019 dan seterusnya) paket manfaat jaminan kesehatan diupayakan sama untuk semua peserta, baik manfaat medis maupun non medis (kelas perawatan) baik peserta PBI dan Non PBI (Mundiharno, 2018).

a. Dasar/pertimbangan melakukan evaluasi

Belum adanya kejelasan terkait “kebutuhan dasar kesehatan” dalam paket manfaat program JKN, masih terjadinya tantangan dalam standarisasi pelayanan kesehatan, dan tantangan dalam akreditasi fasilitas kesehatan merupakan beberapa hal yang disinggung di dalam pertemuan hasil review peta jalan JKN. Selain hal itu, masih tingginya iur biaya dan keluhan terkait layanan, serta adanya potensi fraud yang terindikasi dikarenakan ketidakcukupan tarif kapitasi dan INA-CBG’s turut menjadi bagian diskusi yang dikhawatirkan akan menghambat tercapainya sasaran pokok peta jalan JKN 2012-2019. Oleh karena itu, sub kajian ini dilakukan untuk mengevaluasi kebijakan JKN yang khusus terkait mutu dan kepuasan provider serta kepuasan peserta JKN. Implikasi kebijakan yang diharapkan yaitu dapat mendukung tercapainya kepuasan peserta, baik dalam pelayanan di BPJS Kesehatan maupun dalam pelayanan di fasilitas kesehatan yang dikontrak oleh BPJS Kesehatan; serta untuk mendukung kepuasan tenaga dan fasilitas kesehatan (termasuk kepuasan atas pembayaran yang layak dari BPJS Kesehatan).

Fasilitas kesehatan primer memiliki fungsi gatekeeper dan menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan dalam program JKN. Sistem pembayaran kapitasi merupakan salah satu model pembayaran pelayanan primer dan saat ini menjadi salah satu sumber dana terbesar yang diterima FKTP. Walaupun demikian, kapitasi masih menyebabkan kurangnya kunjungan/ kontak layanan primer, minim kunjungan spesialis dan diagnostik serta pelayanan kuratif namun tinggi rujukan ke rumah sakit dan peresepan berulang Gosden et al (2004). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Zukevas (2004) yang menunjukkan bahwa kapitasi kurang berdampak pada peningkatan mutu dan akses. Hal ini disebabkan karena pembayaran kapitasi yang terbatas sehingga hanya memperhitungkan pelayanan yang diberikan oleh klinisi namun tidak memperhitungkan mutu layanannya. Berdasarkan studi literature yang tersedia, maka penting untuk dilakukan penelitian evaluasi kebijakan kapitasi berbasis kompetensi untuk menilai mutu dan kepuasan peserta JKN serta provider BPJS Kesehatan dengan menggunakan metode realist evaluation.