Alih Program ke BPJS Tenaker, Asabri Desak Revisi UU SJSN

PT Asabri (Persero) mendesak pemerintah untuk merevisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), menyusul ketentuan wajib agar perusahaan mengalihkan programnya ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

"Kami akan membuat saran untuk revisi, karena tidak mungkin (peralihan program). Kami diskusi dulu, maunya bagaimana dan kekhususan masing-masing seperti apa? Kami kan belum pernah duduk bersama," ujar Direktur Utama Asabri Sonny Widjaja, Selasa (30/3).

Menurut Sonny, ada beberapa hal yang menjadi kendala peralihan program Asabri ke BPJS Tenaker. Bentuk usaha Asabri yang berbeda dengan pemberi jaminan sosial lain. Misalnya, Asabri hanya memberikan asuransi bagi TNI, Polri, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Pertahanan.

"Asabri itu unik. Kalau kami masuk ke sana (BPJS Tenaker), mau ditaruh dimana penghargaan kepada prajurit dan polisi yang menghadapi musuh? Ini tidak bisa. Tidak nyambung," katanya.

Bahkan, ia menyebut negara-negara lain pun, seperti Malaysia, memberikan penugasan khusus jaminan sosial bagi prajurit yang dikelola oleh institusi yang berbeda.

Hal lainnya, sambung Sonny, seharusnya UU SJSN tidak menganggu kinerja masing-masing perusahaan. Apabila BPJS Tenaker ingin menambah jumlah pesertanya, seharusnya tidak diambil dengan peralihan program milik Asabri.

"Kenapa tidak BPJS Tenaker itu mengambil (potensi) tenaga kerja yang sekarang masih ada sekitar 20 juta yang belum masuk ke sana. Kenapa memikirkan Asabri yang sudah settle (tetap)," imbuh dia.

Namun begitu, ia melihat kerja sama antara Asabri dan BPJS Ketenagakerjaan tetap bisa terjalin melalui sinergi program tertentu. Hanya saja, ia belum bisa memberi contoh kerja sama tersebut.

Berdasarkan UU SJSN dikatakan bahwa Asabri harus menyelesaikan pengalihan program milik Asabri pribadi dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029 mendatang.

Tak hanya Asabri, UU juga memerintahkan hal yang sama kepada PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) atau Taspen paling lambat 2029 mendatang. (bir)

sumber; https://www.cnnindonesia.com/

 

Modus rumah sakit bebani peserta BPJS

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak lepas dari masalah. Selain adanya defisit keuangan, pelaksanaan jaminan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan juga banyak menemui kritik.

Salah satu keluhan berasal dari masih adanya pungutan tambahan yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan, baik klinik maupun rumah sakit mitra BPJS Kesehatan. Kasus tersebut menjadi temuan BPJS Watch. Pungutan itu menjadi indikasi adanya kecurangan yang dilakukan rumah sakit dan klinik.

Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, kecurangan dilakukan dengan berbagai modus. Selain memungut biaya tambahan yang tidak seharusnya, peserta BPJS Kesehatan juga sering harus membayar biaya administrasi yang tidak perlu. Ada juga RS dan klinik yang mengizinkan pulang pasien sebelum sembuh. "Ada juga pasien yang kena beban pembelian obat terpisah," katanya kepada KONTAN, Rabu (7/3).

Dugaan kecurangan teranyar, kata Timboel, ditemukan BPJS Watch dalam pelayanan peserta BPJS di Tangerang Banten. Menurutnya ada pasien BPJS Kesehatan yang berobat ke klinik dan dikenakan tindakan nebulizer atau penguapan, dikenakan biaya Rp 90.000. Padahal seharusnya layanan dan tindakan medis tersebut tidak perlu lagi dibayar pasien karena sudah ditanggung BPJS Kesehatan.

"Temuan itu kami advokasi dengan meminta pejabat BPJS Kesehatan pusat membantu, dan ternyata benar biaya ditutupi dan uang yang sudah dibayarkan oleh pasien dikembalikan," katanya.

Menurut Timboel, kecurangan yang dilakukan rumah sakit dan klinik disebabkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat tentang program JKN. Hal itu membuat masyarakat tidak tahu haknya sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Selain itu, kecurangan juga disebabkan terbitnya Permenkes No. 4 tahun 2017 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Timboel bilang, peraturan tersebut membuka celah bagi rumah sakit memungut biaya tambahan bagi pasien yang kelas rawat inapnya naik dengan alasan kamar penuh.

Padahal merujuk Permenkes 28/2014, ketika ruang perawatan penuh, pasien bisa naik kelas tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat bilang, jika pasien dibebani iuran di luar ketentuan maka bisa diadukan ke BPJS Kesehatan. "Bila laporan terbukti, BPJS Kesehatan tidak segan memberikan teguran dan sanksi memutus kerjasama dengan mereka," katanya.

sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/modus-rumah-sakit-bebani-peserta-bpjs

 

Dokter Tolak Kenaikan Gaji: Kiat Sukses Kanada Jaga Kesehatan Warga

Tuntutan naik gaji dari kelompok pekerja itu normal. Tapi jika menolak? Anomali tersebut benar-benar terjadi di Kanada. Lebih dari ratusan mahasiswa kedokteran di Provinsi Quebec yang menamakan diri Médecins Québécois Pour le Régime Public (MQRP) menandatangani surat terbuka untuk menolak kenaikan upah tahunan.

“Kami, dokter Quebec yang percaya bahwa dalam sebuah sistem publik yang kuat, menolak peningkatan gaji yang dinegosiasikan oleh federasi medis kami,” demikian isi surat yang dipublikasikan melalui website resmi MQRP pada 25 Februari 2018, sebagaimana dikutip dari The Globe and Mail.

Kenaikan gaji itu akan diterima oleh total 20.000-an spesialis medis dan praktisi umum di provinsi terbesar di Kanada itu. Besarannya antara 1,4 persen hingga 1,8 persen per tahun selama delapan tahun ke depan. Federasi petugas medis yang membuat pemerintah mau menaikkan anggarannya untuk upah dokter menyatakan kesepakatan itu adil, namun dokter-dokter di Quebec berseberangan pendapat.

MQRP mengkritik kenaikan gaji di tengah pemotongan drastis anggaran untuk layanan pasien dalalm beberapa tahun terakhir dan sentralisasi kekuasaan di Kementerian Kesehatan. Mereka juga menyoroti gaji dan kondisi kerja yang layak dari pekerja medis non-dokter di Kanada. Profesinya meliputi perawat, petugas klinik, dan lain sebagainya.

Penandatangan melonjak dari angka 200-an menjadi lebih dari 700 dalam kurun waktu satu minggu. Isabelle Leblanc, pemimpin kelompok yang melahirkan surat terbuka itu, mengatakan bahwa sikap para koleganya diambil berdasarkan solidaritas. Pasalnya sejak beberapa bulan terakhir para perawat Quebec sedang mendorong pemerintah untuk mengatasi kekurangan perawat yang membuat perawat aktif kelebihan jam kerja.

Kelebihan jam kerja berpengaruh terhadap kualitas beraktivitas, dan ini bisa berdampak buruk bagi pasien. “Kami pikir (penolakan kenaikan gaji) ini akan membantu lebih banyak pasien jika uang yang banyak itu dialihkan ke sistem pelayanan, bukan ke kantong para dokter,” jelas Isabelle.

Total anggaran untuk kenaikan upah dokter Quebec sedianya akan naik dari $4,7 miliar menjadi $5,4 miliar. Pada 2016 gaji rata-rata untuk dokter di Quebec sebesar $403 ribu per tahun. Gaji tertinggi dipegang oleh radiolog dengan gaji mencapai $700 ribu per tahun. Gaji perawat lebih rendah dibanding keduanya, namun intensitas kerjanya kerap lebih tinggi.

Pada Januari, isu ini diviralkan seorang perawat Quebec bernama Emilie Richard melalui akun Facebook-nya. Ia mengunggah foto diri dengan mata sembab dan keterangan yang menjelaskan dirinya sangat kelelahan usai lembur semalaman. Richard harus mengurus lebih dari 70 pasien di satu lantai di rumah sakit tempat ia bekerja. Ia dilanda stres yang menyebabkan kram hingga membuatnya susah tidur. Unggahan tersebut mendapat 42 ribu tanggapan dan dibagikan hampir 58 ribu kali.

Perjuangan federasi perawat Quebec pernah membuahkan pertemuan dengan Menteri Kesehatan provinsi pada akhir Februari kemarin. Sayangnya tak menghasilkan kesepakatan yang menggembirakan. Ketuanya federasi Nancy Bedard berkata pada Global News bahwa kawan-kawannya sudah tak tahan dengan kondisi kerja yang menyiksa. Terlebih lagi, pada akhirnya para pasien tak akan mendapatkan perawatan yang maksimal.
Medicare untuk Semua
Jika negara-negara lain punya stereotip yang buruk, Kanada adalah pengecualian. Masyarakat Kanada sering dipandang sebagai rombongan orang-orang paling baik hati sedunia. Sikap MQRP tak hanya menegaskan stereotip ini, namun juga menunjukkan betapa seriusnya Kanada dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi warganya.

Sineas Michael Moore pernah membuat film dokumenter Sicko (2007) yang secara pedas mengkritik sistem pelayanan kesehatan di Amerika Serikat yang terlampau liberal hingga kerap mengorbankan pasien. Ia mencontohkan Kanada—selain Perancis dan Kuba—yang mampu bertindak sebaliknya. Kanada mengaplikasikan sebuah sistem pelayanan kesehatan yang bersifat universal, dan kini menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Sistem pelayanan kesehatan Kanada bernama Medicare, kependekan dari Medical Care Act, yang disahkan melalui Undang-Undang Kesehatan Kanada pada 1984. Prinsip universalitas membuat semua orang berhak menerima pelayanan medis yang dibutuhkan, demikian menurut website resmi pemerintah Kanada.

Ada 13 provinsi dan teritorial yang mengelola program Medicare-nya sendiri-sendiri—dengan sedikit perbedaan, misalnya dalam hal perawatan gigi atau obat yang diterima pasien. Mayoritas pelayanannya bersifat gratis alias ditanggung negara. Pemerintah Kanada menghabiskan dana yang besar untuk menjalankan Medicare. Dana itu mereka dapat dari pemberlakuan pajak progresif kepada warga Kanada dan kerja sama dengan pihak swasta.

Dalam catatan Commonwealth Fund, 30 persen pengeluaran pemerintah untuk Medicare didapatkan dari sektor swasta. Sementara dalam riset Carlos Quinonez dan Paul Grootendorst di tahun 2011 menyatakan hampir seluruh pengeluaran pemerintah Kanada untuk pelayanan perawatan gigi berasal dari pemasukan non-pemerintahan.

Sejumlah legislator Kanada telah lama berjuang agar ada peningkatan anggaran untuk membiayai program pelayanan kesehatan nasional—yang sebetulnya sudah tergolong tinggi dibandingkan negara lain. Harapannya, peningkatan anggaran bisa dipakai untuk menutupi biaya layanan-layanan lain. Sayangnya perjuangan ini belum mencapai hasil yang diharapkan.

Menurut laporan Washington Post, pada 2009 pemerintah Kanada menghabiskan 11,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk menjalankan Medicare. Persentase ini tergolong salah satu yang tertinggi di antara anggaran kesehatan negara-negara Barat lain, apalagi jika disandingkan dengan anggaran di negara-negara ekonomi menengah-bawah.

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD rajin memuji hasil Medicare, terutama dalam perbandingan dengan negara lain. Dalam riset OECD yang dirilis tahun 2011 silam, Kanada meraih prestasi bagus dalam kesembuhan pasien penderita kanker payudara dan kanker kolorektal.

“Kanada juga melakukan pekerjaan yang baik dalam perawatan penyakit primer, sehingga mencegah rumah sakit mengeluarkan biaya mahal untuk mengatasi kondisi kronis seperti asma dan diabetes yang tak terkontrol,” catat OECD.

Tahun lalu Global Burden of Disease merilis hasil risetnya di jurnal The Lancet. Mereka melakukan analisis terhadap akses dan kualitas pelayanan kesehatan dari 195 negara dalam periode tahun 1990-2015. Variabel utamanya pada 32 penyakit yang seharusnya bisa dicegah atau disembuhkan, antara lain kanker testikular, kanker kulit, diabetes, penyakit jantung, tuberkulosis, tetanus, gangguan maternal dan neonatal, dan sebagainya.

Kanada mendapat skor yang baik, yakni 88, dan menempati urutan ke-17 bersama Belgia, Perancis, Austria, dan Irlandia. Kanada berhasil dalam mencegah kematian akibat penyakit radang usus buntu, tuberkulosis, dan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Prestasi negara dengan lambang daun maple merah itu melampaui tentangganya, AS, yang merosot di urutan ke-35.

Melalui Medicare, Kanada juga mendapat reputasi membanggakan lain. Misalnya berada di urutan ke-16 dalam daftar negara dengan sistem kesehatan terbaik versi Legatum Institute (2016), urutan ke-20 negara terbaik untuk menjadi ibu versi Save the Children (2015), urutan ke-12 negara tersehat untuk tinggal pendatang versi InterNations (2017), dan urutan ke-12 di indeks harapan hidup versi WHO (2015) dengan rata-rata 82,2 tahun.

Medicare bukan sistem tanpa cela. Selama ini salah satu kritikan terbesar kepada Medicare adalah waktu tunggu pasien untuk mendapatkan perawatan masih lebih lama dibanding negara lain. Kembali ke riset Commonwealth Fund, pada 2010 ditemukan bahwa 59 persen pasien Medicare harus menunggu hingga lebih dari empat minggu untuk bisa bertemu dengan dokter spesialis.

Pemerintah Kanada tahu jika persoalan tersebut tergolong klasik. Sejak 2005 pemerintah di ke-13 provinsi dan teritorial mulai membuat beragam kebijakan baru untuk memangkas waktu tunggu. Commonwealth Fund mencatat kebijakan-kebijakan baru berhasil mempersingkat waktu tunggu bagi pasien pergantian sendi, masalah penglihatan, operasi jantung, dan pemindaian area tubuh.

Kebijakan Medicare tentu tak terlepas dari kondisi politik di tingkat elite pusat maupun daerah. Jika sudah dirasa mengkhawatirkan, sebagaimana perjuangan para perawat Quebec dalam beberapa bulan terakhir, para pekerja medis Kanada tak segan-segan menekan pemerintah mulai dari bentuk petisi hingga aksi demonstrasi. Muaranya tak jauh-jauh dari pelayanan kesehatan terbaik yang ingin diberikan pada seluruh warga Kanada.

sumber: https://xyz.tirto.id/

 

 

Kemenkes Fokus Eliminasi TBC, Penurunan Stunting serta Peningkatan Cakupan dan Mutu Imunisasi pada 2019!

MENJADI persoalan sekarang ketika dunia semakin canggih akan teknologi, tapi kualitas kesehatan manusianya masih belum mencapai titik baik. Indonesia sendiri masih banyak menyimpan manusia dengan kualitas kesehatan buruk dan tidak bisa dipungkiri, mereka belum bisa mendapatkan akses kesehatan tersebut.

Pemerintah pusat terus berupaya untuk menciptakan kesejahteraan hidup manusia secara menyeluruh. Hidup yang sehat tentunya menjadi impian semua manusia dan untuk mencapai tujuan tersebut, tentunya banyak pihak yang harus membantu.

Nah, bicara mengenai kesehatan menyeluruh, Indonesia pada awal Januari 2019 akan mencanangkan Universal Health Coverage (UHC). UHC ini sendiri merupakan kondisi di mana setiap orang dapat menerima kebutuhan dasarnya berupa layanan kesehatan. Mulai dari upaya promotif, preventif, dan kuratif, serta rehabilitatif.

Tentunya dengan tercapainya konsep besar tersebut, status kesehatan masyarakat Indonesia bisa mencapai titik lebih baik tanpa adanya kekhawatiran kesulitan finansial dalam mengaksesnya. Dalam mewujudkan mimpi ini, tidak bisa kemudian Anda mengandalkan 100% pada pemerintah pusat. Anda sendiri juga bisa menjadi penentu mimpi besar ini dengan menjalani hidup yang lebih sehat.

Lebih lanjut lagi, dalam UHC ini, Pemerintah pusat dala hal ini Kementerian Kesehatan RI lebih berfokus pada 3 hal. Pertama adalah eliminasi TBC yang mana sampai sekarang angkanya masih tinggi. Kedua adalah penurunan stunting, dan yang terakhir adalah peningkatan cakupan dan mutu imunisasi.

"Pemilihan tiga topik prioritas ini dilatarbelakangi berbagai persoalan kesehatan terutama mempertimbangkan potensi kasus jika tidak diantisipasi guna menghindari terjadinya risiko peningkatan atau penyebaran ke tempat lain," ungkap Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek, saat memberikan sambutan di Rakerkesnas 2018 di ICE BSD, Tangerang, Selasa (6/3/2018).

Perlu diketahui juga bahwa upaya menciptakan UHC yang berkualitas ini juga tentunya tidak terlepas dari tantangan. Bukan sekadar melihat angka cakupan kepesertaan jaminan kesehatan nasional (JKN) melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang terus mengalami peningkatan, tetapi ada hal lain yang bisa saja menghambat tercapainya tujuan ini.

Untuk informasi, akhir 2014 tercatat sudah ada 133,4 juta peserta JKN dan angka ini terus meningkat sampai 1 Februari 2018 sudah mencapai 192.029.645 jiwa. Angka ini pastinya akan terus meningkat dan dengan begitu cangkupan pemenuhan hak hidup sehat setiap warga negara bisa terpenuhi.

"Peningkatan angka ini tentu perlu diimbangi dengan kecukupan jumlah dan distribusi fasilitas pelayanan kesehatan baik di tingkat primer maupun rujukan. Karena itu, penguatan fasyankes menjadi salah satu komitmen utama untuk mejaga kualitas pelayanan kesehatan masyarakat," tambah Menkes.

Sementara itu, mesti diperhatikan juga masalah demografi. Sebab, belasan tahun mendatang diprediksi jumlah penduduk usia produktif menjadi sangat besar. Ini menjadi kesempatan emas untuk memperbaiki statsu kesehatan masyarakat.

Lebih lanjut, utamanya adalah memperispkan generasi masa depan yang akan lahir agar status kesehatan mereka baik dan tumbuh kembangnya bisa terpantau dengan baik. Yang terpenting, mereka terbebas dari masalah penyakit infeksi yang membahayakan atau mengancam nyawa.

https://lifestyle.okezone.com/

 

 

Indonesia Prioritaskan Diplomasi Ekonomi Bidang Kesehatan

Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian A. Ruddyard mengatakan diplomasi ekonomi menjadi salah satu prioritas nasional untuk periode 2014-2019.

Beberapa bidang menjadi fokus utama diplomasi ekonomi Indonesia, yaitu perdagangan, investasi, pariwisata, kerja sama pembangunan, serta penempatan tenaga kerja terampil.

"Bidang kesehatan termasuk salah satu yang potensial untuk terus didorong melalui diplomasi ekonomi,"kata Febrian dalam keterangan resminya, Jumat pekan lalu.

Selain dalam kerangka pemasaran produk kesehatan, diplomasi ekonomi di bidang kesehatan juga dapat digunakan dalam kerangka Kerja Sama Selatan–Selatan dan Triangular, serta penempatan tenaga kerja terampil di bidang kesehatan.

Febrian menyebutkan salah satu forum yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat diplomasi ekonomi di bidang kesehatan adalah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang anggotanya mayoritas berada di kawasan Afrika dan Timur Tengah.

Pada pertemuan para Menteri Kesehatan OKI di Jeddah, Desember 2017, Indonesia diputuskan sebagai Co-Lead Country Coordinator untuk medicines, vaccines and medical technologies.

"OKI juga menyepakati Indonesia untuk menjadi tuan rumah OIC Centre of Excellence on Vaccines and Biotechnology Products," ungkap Febrian

Direktur Utama Bio Farma, M. Rahman Rustan mengatakan saat ini Bio Farma terus membuka pasar baru di negara-negara OKI, khususnya potensi dalam mendukung Indonesia sebagai Center of Excellence (CoE).

"Dukungan Pemerintah Indonesia dalam marketing diplomacy yang dilakukan oleh Bio Farma dalam membuka pasar negara-negara OKI, karena G to G akan lebih diperhitungkan," pungkasnya.

sumber: https://www.wartaekonomi.co.id/

 

OKI sasaran diplomasi ekonomi bidang kesehatan Indonesia

Jakarta (ANTARA News) - Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara adalah salah satu kekuatan ekonomi global yang menyodorkan berbagai peluang ekonomi yang perlu dimanfaatkan Indonesia.

"Dengan total pendapatan domestik bruto sekitar 6.5 triliun dolar AS pada 2016, OKI maka hal itu sangat potensial bagi diplomasi ekonomi bidang kesehatan," tegas Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemlu saat Febrian Ruddyard membuka diskusi panel "Optimalisasi OKI untuk Peningkatan Diplomasi Ekonomi bidang Kesehatan" yang diselenggarakan Kemlu di Jakarta,Kamis.

Sejalan dengan pandangan itu, Dirjen Febrian mendorong pelaku usaha dan segenap unsur pemerintah untuk bersama merumuskan strategi yang tepat dalam memanfaatkan potensi ekonomi negara anggota OKI.

Penyelenggaraan diskusi panel menerima tanggapan positif dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan OKI. Asisten Utusan Khusus bidang Hubungan Infrastruktur dan Investasi, dalam pernyataannya yang dibacakan oleh Asisten Utusan Khusus bidang Hubungan Investasi dan Infrastruktur,Aditya Perdana menegaskan bahwa industri kesehatan yang baik akan menghasilkan kualitas generasi yang lebih baik.

Dengan demikian, industri kesehatan harus didukung seluruh pihak terkait, agar Indonesia dapat menjadi influential player baik di dalam maupun di luar negeri.

Diskusi membahas tiga tema yaitu pemasaran vaksin, obat, dan alat kesehatan; penempatan TKI kesehatan; dan kerja sama Selatan-Selatan bidang kesehatan. Sejumlah narasumber menyampaikan pandangan yaitu Dirut PT. Bio Farma, Rahman Roestan; Sekjen Asosiasi Produsen Alat Kesehatan, Ardia Karnugroho; Ketua bidang Industri GP Farmasi, Roy Lembong; Direktur Kerja Sama Luar Negeri BNP2TKI, Freddy Panggabean; Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Kemenkes, Acep Somantri; dan Kepala Biro Kerja Sama BPOM, Diana Soetikno.

Selain nara sumber tersebut, diskusi juga menghadirkan tiga orang penanggap, yaitu Aditya Perdana, Asisten Utusan Khusus Presiden RI; Di rektur Timur Tengah Kemlu Sunarko, dari Direktorat AfrikaFirdaus Dahlan dan Etty Wulandari dari Kerja Sama Teknik Kemlu.

Para narasumber sepakat untuk bersama-sama memperjuangkan kepentingan ekonomi nasional di forum OKI, terutama karena Indonesia memiliki potensi besar. Sebagai contoh, hanya dua anggota OKI yang industri vaksin-nya diakui WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), yaitu Indonesia dan Iran. Indonesia juga ditetapkan OKI sebagai Lead Country Coordinator Group untuk kerja sama obat-obatan, vaksin dan teknologi medis; dan sebagai centre of excellence untuk pengembangan vaksin dan bio-teknologi.

Diskusi juga mencatat tantangan pengembangan industri kesehatan tetap ada. Sebagai contoh, pasar alat kesehatan nasional yang masih didominasi produk impor. Namun demikian, peluang pasar di luar negeri tetap perlu dipertimbangkan, terutama di negara atau kawasan di mana Indonesia memiliki citra baik.

Indonesia adalah negara dengan jejak politik yang baik di OKI, berkat keterlibatan dalam berbagai isu penting, seperti Palestina dan Rohingya.

"Namun demikian, citra politik yang baik itu harus dapat ditransformasikan ke dalam aspek yang lebih luas, bidang ekonomi misalnya. Dunia usaha nasional perlu menjadikan citra positif Indonesia sebagai modal dalam pemasaran merek," demikian Dirjen Febrian.

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani

sumber: https://www.antaranews.com/berita/689994/oki-sasaran-diplomasi-ekonomi-bidang-kesehatan-indonesia 

 

 

PT Pharos: Albothyl dalam Proses Penarikan di Seluruh Wilayah Indonesia

JAKARTA — PT Pharos Indonesia selaku produsen Albothyl saat ini sedang melakukan proses penarikan Albothyl melalui jalur distributor dari seluruh wilayah Indonesia.

“Saat ini perusahaan tengah melakukan proses penarikan Albothyl melalui jalur distributor dari seluruh wilayah Indonesia,” ungkap Direktur Komunikasi Perusahaan PT Pharos Indonesia, Ida Nurtika dalam keterangan resmi, Rabu (21/2/2018).

Langkah tersebut diambil untuk menindaklanjuti rilis dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) lada Kamis (15/2/2018) lalu yang membekukan izin edar Albothyl yang selama ini biasa digunakan sebagai antiseptik dan obat sariawan itu.

BPOM juga telah menginstruksikan PT Pharos Indonesia untuk menarik obat dari peredaran selambat-lambatnya satu bulan sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Pembekuan Izin Edar.

Dalam edaran resminya, BPOM menyebut produk Albothyl adalah obat bebas terbatas berupa cairan obat luar yang mengandung policresulen konsentrat dan digunakan hemostatik dan antiseptik saat pembedahan, serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, tenggorokan (THT), sariawan, gigi, dan vaginal (ginekologi).

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, BPOM sudah menerima 38 laporan dari profesional kesehatan yang menerima pasien dengan keluhan efek samping obat Albothyl untuk pengobatan sariawan, yaitu sariawan semakin membesar dan berlubang hingga menyebabkan infeksi.

BPOM, ahli farmakologi dari universitas dan klinisi dari asosiasi profesi terkait telah melakukan pengkajian aspek keamanan obat yang mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat.

Kajian itu memutuskan policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat tidak boleh digunakan sebagai hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit, THT, sariawan dan gigi.

Untuk itu, PT Pharos Indonesia juga bekerjasama dengan institusi pendidikan dokter gigi dan lembaga profesi dokter gigi dan mulut, akan melakukan uji pre-klinis dan klinis penggunaan Albothyl pada pasien di Indonesia.

“Tujuan dari uji pre-klinis dan klinis ini sebagai langkah awal bagi upaya perbaikan indikasi sebagaimana diamanatkan oleh BPOM,” tukas Ida.

sumber http://www.tribunnews.com/

 

Mengapa riset kesehatan jarang mempengaruhi kebijakan di Indonesia

Ada keterputusan antara penelitian-penelitian yang dilakukan para peneliti kesehatan di Indonesia dan asupan hasil penelitian bagi perbaikan kebijakan kesehatan yang diinginkan pemerintah (perencana dan manajemen program) di negeri ini.

Dengan populasi lebih dari seperempat miliar jiwa, Indonesia menghadapi berbagai masalah kesehatan yang begitu banyak.

Di Papua, provinsi paling timur di Indonesia, beberapa laporan terbaru menyebutkan setidaknya 61 anak mati karena malnutrisi dan penyakit campak. Pemerintah sampai harus mengirim tenaga medis dan militer untuk menangani krisis kesehatan di area terpencil tersebut.

Di saat yang sama, Indonesia juga masih berjuang menghadapi tingginya tingkat kematian ibu dan bayi seputar masa kehamilan dan kelahiran. Indonesia gagal memenuhi sasaran Millennium Development Goal (MDG) mengurangi tiga per empat rasio kematian ibu, karena sampai 2015 masih ada 305 kematian dari 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, tingkat kematian bayi baru lahir adalah 14 per 1000 kelahiran hidup.

Dalam Rencana Strategis lima tahun untuk kesehatan, pemerintah berencana mempercepat tanggapan sistem kesehatan di negara ini dan upaya penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir.

Untuk memenuhi sasaran-sasaran ini, pemerintah seharusnya merumuskan kebijakan berdasarkan bukti yang dikumpulkan dari berbagai hasil penelitian. Kementerian Kesehatan memberikan tugas khusus peningkatan penggunaan hasil penelitian sebagai bukti ini kepada unit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan.

Tapi riset saya menunjukkan bahwa para peneliti Badan Penelitian Kesehatan tetap melakukan penelitian dengan topik di luar permasalahan utama pemegang program di Kementerian Kesehatan untuk periode yang sama.

Kurangnya keterlibatan
Saat ini, manajer program dan pembuat kebijakan di Kementerian Kesehatan tidak bergantung kepada peneliti. Mereka juga tidak bersandar pada temuan penelitian untuk dapat mendukung keputusan atau kebijakan yang dibuat.

Para peneliti Balitbangkes dihimbau agar menyiapkan lebih banyak penelitian kesehatan berbasis bukti agar bisa digunakan oleh pengambil keputusan dalam proses pembuatan kebijakan. Tapi sebuah telaah oleh konsultan eksternal pada 2017 menemukan hampir semua dari 30 proposal penelitian yang diajukan para peneliti Balitbangkes untuk pendanaan tahun 2018 dan 2019 ternyata tidak terkait program-program yang ada di Kementerian Kesehatan.

Kementerian Kesehatan sangat jarang menggunakan hasil temuan dari sekitar 1.300 penelitian yang dilaporkan Balitbangkes dalam periode 2011-2015. Kebanyakan hasil penelitian tersebut hanya disimpan di rak-rak perpustakaan.

Tinjauan cepat dari makalah-makalah yang dipublikasi jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (2013-2017) menunjukkan bahwa topik-topik penelitian memang dipilih tanpa upaya untuk mengaitkan dengan program-program utama Kementerian Kesehatan.

Demikian pula dengan peneliti kesehatan di luar Balitbangkes. Jumlah peneliti di komunitas akademik yang terlibat diskusi perumusan kebijakan kesehatan sangat terbatas. Para peneliti akademik tidak merasa perlu melakukan penelitian yang hasil temuannya dapat menjadi bukti perlunya perubahan kebijakan atau kebijakan baru.

Kondisi ini juga disebabkan oleh aturan akademik penelitian di universitas yang membatasi ruang lingkup penelitian sebatas menemukan kerangka konsep baru berdasarkan kerangka-kerangka teori yang sudah ada, memetakan beberapa cara pengambilan keputusan pada tingkat daerah atau pusat, atau menguji asumsi-asumsi konvensional yang sudah dikenal di ilmu kesehatan masyarakat.

Apa yang perlu diubah
Jelas pada saat ini bahwa kedua pihak yakni para peneliti dan pembuat kebijakan atau manajer program tidak merasa nyaman untuk bekerja sama, karena memang belum memahami cara menerapkan konsep penelitian ‘evidence-based’.

Sangat disarankan untuk mencoba Penelitian Operasional (Operations Research, OR), suatu metode penelitian analitis yang mensyaratkan kedua pihak harus bekerja sama, para peneliti dan pembuat kebijakan atau manajer program dalam pelaksanaannya. Penelitian Operasional sangat praktis. Kuncinya adalah menggunakan ukuran sukses program yang ditentukan manajer program atau perencana kesehatan sebagai hasil yang diharapkan (variabel tergantung) dan faktor-faktor sosio-demografi, pelatihan, dan lainnya sebagai faktor yang memengaruhi hasil yang diharapkan tersebut.

Contoh, Kementerian Kesehatan memiliki program Nusantara Sehat, yang mendistribusikan sekitar 6.300 praktisi kesehatan ke daerah-daerah terpencil dan perbatasan atau pulau-pulau di luar Jawa Bali. Termasuk untuk meningkatkan layanan kesehatan di daerah jauh seperti Papua.

Program ini belum memiliki sistem monitoring yang memadai. Karena itu, Kementerian Kesehatan dapat meminta para peneliti dari Balitbangkes untuk memantau seberapa baik program ini berjalan dan faktor-faktor apa saja yang terkait dengan pencapaian target Nusantara Sehat dengan menggunakan metode OR.

Pembuat kebijakan seharusnya bisa berkomunikasi lebih baik tentang informasi (asupan) yang dibutuhkan untuk menyusun rencana atau kebijakan kepada para peneliti. Dan para peneliti seharusnya memiliki kesadaran yang lebih tinggi akan jenis program dan ukuran program yang menjadi prioritas utama pemerintah.

Pembuat kebijakan dan manajer program perlu lebih banyak terlibat dalam perumusan kerangka konsep dan pelaksanaan penelitian. Mereka seharusnya membagi informasi ke para peneliti mengenai tujuan program, prioritas dan ukuran sukses atau sasaran tahunan program. Jika mereka ingin para peneliti melakukan penelitian dengan topik dan bukti hasil yang diinginkan program.

http://theconversation.com/