Menkes Dinilai Berhasil Selenggarakan Kesehatan Haji

Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, menerima dua penghargaan penyelenggaraan kesehatan ibadah haji dari Kementerian Kesehatan Arab Saudi atas keberhasilan penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia 2017 atau 1438 Hijriah.

“Saya menyambut gembira dan terima kasih kepada PPIH Bidang Kesehatan Arab Saudi dan Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) atas penghargaan dari Kementerian Kesehatan Arab Saudi atas kegiatan pembinaan pelayanan dan perlindungan kesehatan jemaah haji Indonesia,” kata Menkes dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Kamis (2/11).

Penghargaan yang diterima Menkes ialah “Health Awareness Ambassador Program in Hajj Season 1438 H for Indonesia Hajj Medical Mission 2017” yang sebelumnya telah diberikan oleh Kepala Program Kesadaran Kesehatan dalam Haji, Muneera Khaled Balahmar, kepada dr Etik Retno Wiyati di Gedung KKHI Mekah pada akhir September lalu.

Penghargaan yang kedua ialah penghargaan atas keberhasilan Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Mekah dalam mendukung Program Kesehatan Haji tahun 1438 Hijriah yang sebelumnya diberikan Dirjen Pelayanan Kesehatan Daerah Mekah, Musthafa bin Jamil Baljun, kepada Melzan selaku Kepala Seksi KKHI Mekah di Auditorium RS Wiladah, Mekah, pada 26 September 2017.

Penghargaan ini diterima Indonesia mengingat sejumlah keberhasilan program penanganan kesehatan jemaah haji oleh KKHI, antara lain kegiatan promotif preventif oleh Tim Promotif Preventif, pelayanan kuratif di KKHI, dan pelayanan gerak cepat di lapangan. cit/E-3

http://www.koran-jakarta.com

Puan pastikan penanganan kekerdilan juga entaskan kemiskinan

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani memastikan penanganan masalah kekerdilan pada anak atau "stunting" juga akan mengentaskan kemiskinan di desa-desa.

"Jika sudah ditetapkan mana saja desa di kabupaten itu, dengan program-program yang sudah dimiliki oleh kementerian-lembaga negara tadi, bukan tidak mungkin kalau program intervensi penangan stunting ini dapat menjadi program pengentasan kemiskinan di desa-desa," kata Puan dalam rapat koordinasi tingkat menteri tentang penanganan kekerdilan di kantor Kemenko PMK Jakarta, Rabu.

Menurut Puan, pembangunan sarana sanitasi, embung desa, sarana air bersih, PAUD, Polindes dan sebagainya dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk melakukan pencegahan tetapi juga dapat mulai membudayakan gerakan hidup bersih dan sehat.

Program intervensi penanganan kekerdilan pada anak menyasar delapan kabupaten untuk tahun 2017.

Sementara itu, program intervensi penanganan kekerdilan di tahun 2018 akan menyasar 100 kabupaten-kota.

"Pada dasarnya semua kementerian dan lembaga sudah punya program intervensi penanganan stunting. Yang terpenting sekarang adalah kita harus menentukan dengan jelas mana saja desa yang menjadi lokasi sasaran program intervensi ini," tutur Menko PMK.

Desa yang akan ditentukan menjadi sasaran program intervensi adalah desa yang punya angka kekerdilan tinggi dan kekurangan sarana sanitasi, air bersih serta fasilitas layanan kesehatan.

Prevalensi anak yang mengalami kekerdilan di Indonesia tercatat 27,5 persen pada 2016. Angka tersebut telah mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya dan lebih rendah dari target penurunan stunting yang sebesar 28 persen.

"Meskipun menurun, stunting tetap jadi masalah serius bagi kita," tegas Menko PMK. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan angka prevalensi kekerdilan maksimal 20 persen.

http://www.antaranews.com/

 

Mugabe, pemimpin kontroversial Zimbabwe jadi duta badan kesehatan PBB

WHO, badan kesehatan dunia PBB, menunjuk Presiden Robert Mugabe dari Zimbabwe sebagai 'duta' lembaga itu untuk membantu mengatasi penyakit tidak menular.

Pimpinan WHO yang baru Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus memuji Zimbabwe atas komitmennya terhadap kesehatan masyarakat.

Namun para pengamat mengatakan bahwa di masa pemerintahan Mugabe yang sudah berlangsung selama 37 tahun, layanan kesehatan Zimbabwe justru memburuk.

Disebutkan, pemerintah sering tidak membayar gaji para staf dinas kesehatan, sementara pasokan obat-obatan pun sering mengalami kelangkaan.

Dr Tedros, warga Etiopia, adalah orang Afrika pertama yang memimpin WHO.
Dia terpilih dengan mandat untuk menangani politisasi yang dirasakan di dalam organisasi PBB tersebut.
Pada Juni lalu, Dr Tedros menggantikan Margaret Chan, yang telah 10 tahun memimpin WHO.

Keputusan kontroversial

Imogen Foulkes, BBC News, Jenewa

Penunjukan Robert Mugabe yang berusia 93 tahun ini menimbulkan keheranan di antara banyak negara anggota WHO dan para donor.
Status sebagai duta WHO memang sekadar merupakan status yang sangat simbolis. Namun simbolisme memberikan status itu kepada orang yang kepemimpinannya di Zimbabwe, menurut para pengamat, penuh dengan catatan pelanggaran hak asasi manusia berat, seentara layanan kesehatan negeri itu juga merosot, akan sangat tidak populer.

http://www.bbc.com/

 

Peneliti: 62 Ribu Warga Indonesia Tewas Akibat Polusi Udara

Jakarta - Jika diibaratkan, Indonesia seperti berada di sebuah persimpangan yang penuh dilematika. Ditakdirkan dengan kekayaan alam yang melimpah namun begitu sulit untuk diolah. Punya banyak sumber daya mineral ternyata tak menjadikan Indonesia tampak 100 persen sejahtera.

Ada begitu banyak ancaman yang mengintai apabila seluruh kekayaan alam itu dikeruk secara rakus tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan kesehatan.

Saat ini, pasokan listrik di Indonesia sangat bergantung dari jumlah batu bara yang terkandung di dalam perut bumi. Tanpa memikirkan keseimbangan lingkungan, Tanah Air terus memanfaatkan energi dari satu sumber saja.

Jika ditelaah lebih dalam, pemakaian batu bara sebagai pemasok listrik akan menimbulkan gas buangan yang dapat memperparah kondisi udara.

Pencemaran udara -- khususnya partikel PM 2,5 dan PM 10 -- akibat pemanfaatan batu bara sebagai sumber tenaga listrik akan semakin parah apabila pemerintah terus mengutamakan PLTU Batu Bara sebagai sumber energi utama.

Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2016 lebih dari 80 persen negara di dunia memiliki tingkat pencemaran udara yang melebihi ambang batas.

Sebuah analisis terbaru dari International Energy Agency (IEA) tahun 2016 bahkan memperkirakan, polusi udara bertanggung jawab atas kematian dini 60 ribu orang di Indonesia.

Isu lingkungan beserta dampaknya dipandang kian gawat dan memprihatinkan. Untuk itu, sebuah acara bertajuk Addressing Indonesia's Air Pollution Through Energy Policy Change diadakan guna menginformasi masyarakat seputar ancaman yang akan kita hadapi di masa depan.

Selain itu, acara ini juga bermaksud untuk mengajak semua warga Indonesia untuk beralih menggunakan energi terbarukan yang jauh lebih ramah lingkungan dan tak menimbulkan kerusakan alam sama sekali. Karena Indonesia tak boleh hanya bergantung pada satu sumber daya saja.

Acara yang diselenggarakan oleh beberapa badan seperti International Institute for Sustainable Development (IISD), Global Subsidies Initiative (GSI), dan Centre for Energy Research Asia (CERA) ini menghadirkan beberapa peneliti, pakar, pegiat lingkungan dan pihak internasional yang resah akan kondisi dunia saat ini, termasuk Indonesia.

Dalam pemaparannya Peneliti Senior IISD Philip Gass menyebut, ada mitos yang harus dihapuskan dari pemikiran masyarakat dunia terutama pemangku kebijakan di Indonesia yang mengatakan bahwa energi terbarukan adalah sebuah opsi yang 'mahal'.

"Jika kita telaah bersama, jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk penyediaan fasilitas dan sistem energi terbarukan memang lebih mahal dibanding penggunaan energi fosil (batu bara). Tetapi hitung-hitungan kami mengungkap fakta lain. Untuk penyediaan pasokan listrik lewat energi terbarukan akan membutuhkan biaya sebesar 11 sen per kwh," ujar Philip Gass saat menjelaskan persentasinya kepada media yang hadir di Rework Kuningan Jakarta, Rabu (18/10/2017) siang.

"Beda halnya dengan biaya yang dikeluarkan untuk pasokan listrik lewat energi fosil, hanya membutuhkan 4 cent per kwh," tambahnya.

Namun, jumlah yang dikeluarkan untuk efek pencemaran lingkungan akan jauh lebih besar. Pemerintah harus mempertimbangkan efek rumah kaca, pembuangan emisi gas yang dikeluarkan akan membutuhkan biaya yang menyamai pasokan listrik lewat energi terbarukan.

"Jumlahnya akan sama saja, 11 sen per kwh, ditambah dengan ancaman lingkungan dan kesehatan warga Indonesia akibat pencemaran udara tersebut," pungkas Philip.

Selain itu, manusia tak bisa selalu bergantung pada pemanfaatan energi fosil. Kekayaan mineral yang ada di perut bumi ada batasannya. Beda dengan energi terbarukan yang memanfaatkan energi matahari, angin, air, ombak dan lainnya yang tak akan pernah habis.

Jika, pasokan batu bara sudah menipis dan langka tentu hal ini akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Secara otomatis harga listrik akan naik dan membuat masyarakat tercekik dengan nominal uang yang harus dibayar untuk menggunakan listrik.

62 Ribu Warga Indonesia Meninggal Akibat Pencemaran Udara

International Institute for Sustainable Development (IISD) punya angka seputar biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk pasokan listrik menggunakan energi fosil di tahun 2015.

Dari total biaya dan efek kerugian lingkungan serta kesehatan, tiap tahunnya pemerintah Indonesia menghabiskan uang sekitar US$ 644 juta atau setara dengan Rp 8,5 triliun.

Sedangkan pembiayaan pasokan listrik lewat energi terbarukan -- tanpa menanggung biaya kerugian kerusakan alam dan kesehatan -- tiap tahunnya menghabiskan US$ 133 juta atau setara dengan Rp 1,8 triliun.

"Rp 8,5 triliun adalah angka yang begitu besar. Lebih baik biaya sebanyak itu digunakan untuk hal yang lebih berguna," ujar Philip.

"Bayangkan saja, dengan uang sebanyak itu setara dengan jumlah rata-rata pendapatan bagi 3,3 juta orang Indonesia dan dapat menyekolahkan sekitar 485 ribu siswa jurusan hukum di Universitas Gajah Mada untuk satu semester. Dan apabila Rp 8,5 triliun dibagikan kepada seluruh orang Indonesia, maka setiap warga akan menerima uang sebesar Rp 33 ribu," paparnya.

Bicara soal efek kesehatan, IISD sendiri tahun 2012 mencatat ada sekitar 62 ribu masyarakat Indonesia yang tewas akibat polusi udara -- meski tak semua akibat efek pemanfaatan batu bara.

Apabila dipersempit, total warga Indonesia yang meninggal akibat efek pengolahan batu bara sebanyak 6500 orang untuk tahun 2015.

Jadi kesimpulannya, apabila hanya melihat biaya produksi saja tentu pemanfaatan energi fosil untuk listrik jauh lebih murah. Tetapi ada banyak efek yang harus kita pertimbangkan untuk kelangsungan hidup.

Denmark dan Swedia Kampanyekan Energi Terbarukan Dunia

Dalam kesempatan tersebut hadir pula Head of Develompent Kedutaan Besar Denmark untuk Indonesia, Kurt Morck Jensen dan Head of Unit Swedish Energy Agency, Paul Westin.

Sebagai dua negara di Kawasan Nordik yang terlebih dahulu menerapkan sistem energi terbarukan, kedua perwakilan kedubes itu membagi pengalaman yang tak mudah bagi negaranya ketika ingin menerapkan sistem serupa.

"Ada beberapa alasan mengapa Denmark mengajak pemerintah Indonesia untuk beralih pada energi terbarukan. Salah satunya agar anak cucu di Tanah Air dapat hidup dengan aman dan tentram di bumi yang kita pijak saat ini," ujar Jensen.

"Pada tahun 1973, terjadi krisis energi di dunia. Untuk itu negara kami menyadari bahwa minyak bumi dan batu bara bukan satu-satunya alternatif. Ada begitu banyak energi yang disediakan untuk alam. Maka dari itu kami memulai hal tersebut," tambahnya.

Jensen juga mengatakan, sejak 35 tahun yang lalu Denmark memulai pemanfaatan energi terbarukan. Salah satu energi utama yang dimanfaatkan oleh Denmark adalah 'angin'.

"Dapat kami jelaskan, perjalanan hingga titik ini tidaklah mudah. Ada banyak krikil penghalang. Diskusi juga begitu alot. Pasalnya, perencanaan penerapan energi terbarukan tak hanya berbicara seputar ilmu pengetahuan belaka, melainkan cara kita berbicara di ranah politik dan parlemen. Ada beberapa regulasi yang harus kami hadapi sebelumnya," jelas Jensen.

"Atas perhatian kami, pemerintah Denmark sudah bekerja sama dengan pihak Indonesia melalui dirjen energi terbarukan yang terbentuk sejak tahun 2013. Kala itu, kami memberikan hibah bantuan dan kini sudah beranjak pada ranah strategis kolaborasi," tambahnya.

Sama halnya dengan Denmark, pihak Swedia pun mendukung penuh apabila Indonesia akan serius untuk beralih ke energi terbarukan.

"Kami tak pernah melarang Indonesia menggunakan hasil kekayaan alamnya seperti batu bara. Tetapi ingat, dalam konteks masa depan, sepatutnya Indonesia tak boleh bergantung pada satu sumber energi saja. Kalian harus bergerak dan tak boleh berdiam diri," ujar Paul Westin.

"Saat terjadi krisis energi akibat penambangan batu bara, kandungan sulfur pada tanah begitu tinggi. Terjadi kerusakan pada hutan, bahkan bangunan-bangunan rumah seketika anjlok," jelasnya.

Pemerintah Denmark dan Swedia Kenakan Pajak Polusi (Green Tax)

Meski begitu, Denmark dan Swedia memahami tentang perbedaan antara masyarakat di negaranya dan Indonesia. Bagi mereka harus ada pemahaman yang diberikan kepada masyarakat luas -- terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

"Tentu banyak orang yang masih awam dengan pengenalan sumber energi terbarukan. Namun, lewat sini masyarakat harus tahu bahwa penggunaan energi fosil sangat merugi. Uang yang dikeluarkan sebaiknya digunakan untuk pendidikan gratis dan biaya berobat. Tentu hal ini akan jauh lebih bermanfaat," ujar Paul.

"Di Swedia sendiri, masyarakat akan disadarkan dengan bahaya emisi gas. Setiap orang akan dikenakan pajak apabila membuang emisi gas dan hal itu dikenal dengan Green Tax atau pajak polusi. Setiap orang akan dikenakan biaya sekitar US$ 100 atau setara dengan Rp 1,3 juta per ton gas emisi," tambah Paul.

Jensen menanggapi hal ini dalam konteks lain. Bagi dirinya, apabila kebijakan seperti ini diterapkan dalam birokrasi akan jauh lebih memberi efek.

"Masing-masing kandidat dalam pemilihan umum bahkan mengkampanyekan hidup sehat dengan program kenaikan biaya Green Tax. Jadi, lingkungan yang sehat sudah menjadi gaya hidup," ujar Jensen.

sumber http://global.liputan6.com/

Tenaga Kesehatan Wajib Punya STR

TARAKAN – Tenaga kesehatan di Bumi Paguntaka harus memiliki sertifikasi profesi, sebagai jaminan mutu dan standarisasi komepetensi pada program Diploma III Kebidanan, Diploma III Keperawatan dan Profesi Ners yang akan bekerja di intansi kesehatan.

Uji kompentensi (UK) yang harus diikuti mahasiswa kesehatan, terlebih dulu disetiap kampusnya sudah memiliki izin penyelenggaraan dari Kemenristekdikti yang masih berlaku.

“Adapun kriterianya yakni lulusan setelah 1 Agustus 2013 sudah memiliki ijazah dari perguruan tinggi. Namun belum memiliki sertifikat kompetensi atau sertifikat profesi maka harus segera ikuti uji kompetensi,” ujar Adil Candra selaku pengawas pusat, yang berasal dari Politeknik Kesehatan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Adil sapaan akrabnya mengungkapkan, UK ini merupakan salah satu syarat lulusan dari DIII keperawatan, yang apabila dia sudah diwisuda maka harus mengikuti UK. Hal tersebut berlaku bagi lulusan yang lulus pada 1 Agustus 2013 hingga seterusnya, dan untuk lulusan di bawah 1 Agustus 2013 tidak perlu mengikuti UK tersebut.

“Karena yang lulus sebelum 1 Agustus sudah diputihkan, dan tidak mengikuti UK, mereka dapat mengajukan Surat Tanda Registrasi (STR) yang diajukan oleh institusi pendidikan ke dinas kesehatan provinsi melalui Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP),” papar Adil.

Nantinya, dari MTKP kemudian dikirim ke Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI)dan kemudian barulah kemudian STR dikeluarkan. “Guna STR ini adalah untuk bekerja untuk menyatakan bahwa lulusan itu sudah kompeten di bidang keilmuan dan keperawatan,” ujarnya.

Bagi lulusan yang wajib memiliki STR haru lulus UK terlebih dulu, walau berapa kali mengikuti dan masih dinyatakan belum lulus, maka tetap harus mengikuti hingga, dinyatakan lulus dan bisa mendapatkan STR.

Setelah lulus UK, institusi akan mengeluarkan Sertifikat Kompetensi (Serkom) yang ditandatangani oleh ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pusat dengan pimpinan di mana tempat dia berkuliah.

“Seperti misalnya kalau di UBT bisa kaprodi atau rektor langsung. Intinya UK ini adalah untuk masa depan perawat tersebut,” tuturnya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UBT, Sulidah menegaskan, mengenai kepentingan lulusan keperawatan untuk memiliki UK sebagai lisensi sebelum bekerja.

“Untuk bidang keperawatan itu wajib untuk mengikuti UK ini sebelum dia bekerja. Jadi semacam surat izin profesi saat ingin menjadi tenaga kesehatan,” kata Sulidah.

Sulidah melanjutkan, bagi lulusan yang sudah pernah mengikuti UK tetapi masih belum lulus, maka wajib ikut hingga dinyatakan lulus. Sepengetahuannya ada lulusan ilmu kesehatan yang telah mengikuti UK hingga lima kali.

“Ya memang kewajibannya begitu, harus sampai lulus UK baru bisa bekerja dan punya STR,” imbuhnya.

Sulidah menambahkan, untuk mengupayakan agar seluruh mahasiswa didikan UBT lulus, yang pertama pihaknya mewajibkan dosen di Fikes untuk membuat soal kompetensi baik untuk Ujian Tengah Smester (UTS) maupun Ujian Akhir Smester (UAS).

“Harapannya agar mahasiswa semakin terlatih untuk mengerjakan UK karena terbiasa mengerjakannya,” jelas Sulidah.

Kemudian yang kedua, pihakya juga melakukan try out lokal yang soalnya dibuat oleh dosen yang telah terlatih diminta untuk membuat soal. Dan kemudian dari soal tersebut diseleksi lagi mana yang dianggap paling baik untuk digunakan pada try out UK.

“Ada 180 soal yang harus diselesaikan dalam 180 menit, artinya mereka harus mengerjakan satu menit untuk satu soal,” pungkasnya.(asf/nri)

http://kaltara.prokal.co/read/news/14545-tenaga-kesehatan-wajib-punya-str.html

 

Apa Kata Undang-undang Kesehatan Kita tentang Kasus Bayi Debora?

Cerita pilu bayi Debora tidak hanya membuat mata publik tertuju pada Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres saja, tetapi juga mekanisme dan peraturan pelayanan kesehatan publik.

Kasus ini juga menjadi perhatian Marius Widjajarta selaku Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPPKI).

Diwawancarai oleh Kompas.com melalui telepon pada hari Rabu (13/9/2017), Marius berkata bahwa rumah sakit harus memperhatikan kondisi dan situasi sebelum menolak merawat pasien.

“Kalau yang namanya gawat darurat, sama sekali tidak boleh menolak. Jadi, dokter pun boleh menolak pasien selama keadaan tidak gawat darurat, misalnya tidak kooperatif, tetapi kalau yang namanya gawat darurat, itu sama sekali tidak boleh,” ujarnya.

Hal ini, kata Marius, sudah diatur dalam Undang-undang Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 32 dan Undang-undang Praktik Kedokteran.

Uang muka

Dalam kasus bayi Debora, Marius berkata bahwa kesalahan RS Mitra Keluarga Kalideres adalah meminta uang muka ketika kondisi gawat darurat belum usai.

Pada awalnya, dokter telah memberikan penanganan pertama kepada bayi Debora tanpa uang muka. Namun, setelah itu Debora perlu distabilkan di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

“Jadi, dokter membuat surat agar (Debora) dirawat di PICU. Setelah itu, dokter sudah tidak bertanggung jawab. Itu sudah urusan administrasi dan kebijakan manajemen,” katanya.

Di sinilah, proses tawar menawar antara orangtua Debora dengan pihak rumah sakit terjadi. Namun, karena uang yang dimiliki oleh orangtua Debora tidak mencukupi, RS Mitra Keluarga Kalideres pun menolak.

“Dengan begitu, berarti manajemen rumah sakit (Mitra Keluarga Kalideres) ini meminta uang, padahal pasiennya dalam kondisi gawat darurat dan mengarah untuk distabilkan,” ujar Marius.

Dia melanjutkan, di sinilah kesalahan dari rumah sakit. Karena dalam peraturan (UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 32) kan disebutkan bahwa tidak boleh meminta uang muka dalam keadaan gawat darurat.

Standar layanan kesehatan nasional

Peraturan yang menyatakan bahwa rumah sakit tidak boleh meminta uang muka dalam keadaan gawat darurat sebenarnya sudah lama ditetapkan di dunia internasional.

Pada bulan Januari 2002, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan Patient Safety (keamanan pasien) karena mereka melihat bahwa layanan kesehatan telah bergeser dari amal menjadi komersial. Deklarasi tersebut dihadiri oleh 191 negara, termasuk Indonesia.

Dalam deklarasi tersebut, WHO menegaskan mengenai perlunya standar layanan kesehatan nasional, sesuatu yang hingga kini belum ada di Indonesia. “Padahal, WHO berkata bahwa kalau yang namanya pedoman itu tidak wajib. Yang wajib adalah standar,” kata Marius.

Direktur YPPKI ini kemudian menjelaskan bagaimana standar layanan kesehatan nasional dibuat. Dia berkata bahwa Kementerian Kesehatan seharusnya melakukan pembicaraan dengan pihak-pihak terkait yang memberikan layanan kesehatan, misalnya dokter, perawat, bidan, dan rumah sakit.

“Setelah itu ketok palu, keluarlah standar layanan kesehatan nasional. Ketok palu lagi, keluarlah clinical pathway,” katanya.

Dari situ, Kementerian Kesehatan masih perlu mengadakan pembicaraan lagi dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan unit cost atau biaya.

Bila kesepakatan diambil bersama, Marius memperkirakan bahwa tidak akan ada lagi protes atau pihak yang merasa dipersulit. “Tapi sampai detik ini, layanan kesehatan nasional jauh dari yang namanya Patient Safety,” katanya.

(Baca juga: Tak Dapat Pelayanan Medis Saat Gawat Darurat, Warga Bisa Hubungi Layanan Ini)

Diatur dalam undang-undang

Meskipun belum memiliki standar, penyediaan layanan kesehatan nasional sebenarnya telah diatur dalam berbagai macam undang-undang.

Marius memberi beberapa contoh. Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 H menyebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, sedangkan pasal 34 menyebutkan bahwa fakir misikin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Selain itu, Anda juga bisa melihat UU nomor 36 tahun 2009 pasal 32 yang menegaskan bahwa layanan kesehatan harus diberikan dalam keadaan darurat tanpa meminta uang muka, dan UU no 44 tahun 2009 bab VIII pasal 29C yang menyebutkan bahwa layanan gawat darurat harus diberikan sesuai dengan kemampuan pelayananannya.

“Jadi, kalau semua dilaksanakan dengan baik dan benar, maka pelayanan kesehatan (Indonesia) akan berdasarkan Patient Safety. Dengan begitu, artinya pasien selamat,” kata Marius.

“Kalau masalah mati hidup kan urusan yang di atas, tapi kan (layanan) sudah maksimal untuk menyelamatkan pasien,” katanya lagi.

http://sains.kompas.com/

 

Prevalensi Anemia di Asia Masih Tinggi

Jakarta: Anemia Defisiensi Besi (ADB) telah bertahun-tahun menjadi penyebab utama disabilitas pada anak-anak dan remaja. ADB juga dapat menyebabkan penurunan kinerja, gangguan fungsi kognitif, dan kelelahan jangka panjang.

Anemia masih menjadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat global dengan jumlah penderita yang mencapai hingga 2,3 miliar-diperkirakan 50 persennya disebabkan oleh ADB.

Asia Tenggara dan Afrika terus tercatat memiliki prevalensi anemia tertinggi – terhitung 85 persen dari para penderita anemia adalah para wanita dan anak-anak.

Dalam simposium ilmiah Anemia Convention 2017 pertama mengenai anemia yang dipelopori oleh Merck, perusahaan kesehatan global dihadiri oleh lebih dari 100 peserta termasuk salah satunya Indonesia membahas anemia terutama setelah penyakit ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling meresahkan di Asia.

Faktanya, The Health World Assembly telah menerapkan sebuah rencana implementasi yang komprehensif untuk mencapai enam target nutrisi global dengan satu tujuan spesifik, yakni untuk mengurangi 50 persen tingkat anemia pada wanita usia subur pada tahun 2025.

Prof. Zulfiqar Ahmed Bhutta, Ketua Kesehatan Anak Global (Global Child Health) dari Hospital for Sick Children, Toronto serta Direktur Pendiri Pusat Keunggulan Kesehatan Perempuan dan Anak di Universitas Aga Khan yang juga seorang pembicara dalam Anemia Convention, menekankan statistik yang mengejutkan tentang anemia dan prevalensinya di Asia.

"Ketika Anda melihat peta pola distribusi anemia pada bayi dan anak-anak dari perkiraan terbaru yang kami miliki, cukup terlihat jelas bahwa sebagian besar wilayah di dunia yang terkena dampak Anemia adalah tempat tinggal kita sendiri – Asia Selatan, Asia Tengah Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika," jelas Prof. Bhutta.

"Secara numerik, jika Anda melihat data wanita usia subur antara 15 dan 49 tahun, angkanya sedikit lebih dramatis. Di Asia Tenggara, ada 202 juta wanita yang terkena anemia sedangkan di Pasifik Barat, ada sekitar 100 juta jiwa."

Ia melanjutkan lagi bahwa 41,8 persen ibu hamil dan kurang lebih 600 juta anak sekolah dasar dan anak usia sekolah di seluruh dunia adalah penderita anemia, dimana hampir 60 persen kasus ibu hamil dan sekitar 50 persen dari kasus anak-anak disebabkan oleh kurangnya zat besi.

Mengutip The Institute for Health Metrics and Evaluation (Universitas Washington): The Global Burden of Diseases, Injuries and Risk Factors 2010 Study, Prof. Bhutta menunjukkan bahwa pada tingkatan global di antara tahun 1990 dan 2010, beban yang dimiliki dunia terkait anemia defisiensi besi dan yang berkaitan dengan faktor gizi tetap besar.

Kekurangan zat besi adalah kekurangan nutrisi yang paling umum terjadi di seluruh dunia dengan kurang lebih 4-5 miliar penderita. Seperti dinyatakan oleh WHO, "ini merupakan kondisi kesehatan masyarakat dari proporsi epidemik."

Data tren anemia global juga menunjukkan bahwa diantara tahun 1995 dan 2013, tidak ada perubahan dramatis pada statistik anemia meskipun terdapat berbagai intervensi. Hal ini terlihat disebabkan oleh anemia karena gangguan besi.

Anemia Convention menyatakan bahwa baik defisiensi zat besi (DB) maupun anemia defisiensi besi (ADB) merupakan tantangan besar di Asia.

"Efek jangka panjang dari kekurangan zat besi dengan atau tanpa anemia pada anak-anak dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan, kekebalan tubuh serta perkembangan otak dimana fungsi kognitif menurun sesuai dengan derajat anemia."

"Semua ini tentunya tergantung dari tingkat anemia yang dideritanya. Anemia dapat disembuhkan, tetapi dampaknya tidak dapat dirubah lagi," tegas Dr. Murti Andriastuti Sp.A(K), salah satu pembicara konvensi dan Ketua Satuan Tugas Anemia Defisiensi Besi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

“Saya pikir masalah ini sangat relevan karena negara-negara di Asia berhadapan dengan masalah Anemia, tetapi belum dijadikan prioritas. Sepertinya para dokter lebih berkonsentrasi pada penyakit menular dan degeneratif lainnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengingatkan secara konsisten bahwa anemia adalah masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius," papar Dr. Yoska Yasahardja, Medical Manager di Merck Group Indonesia.

http://rona.metrotvnews.com

 

 

DOKTER SPESIALIS, Menkes: Tenaga Medis Masih Terpusat di Jawa

DEPOK- Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2015, jumlah tenaga medis terbanyak masih terpusat di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang mencapai 32,8% dari total tenaga medis sebanyak 647.170 orang.

“Dengan bonus demografinya, Indonesia masih membutuhkan tenaga kesehatan cukup besar. Tetapi, faktanya distribusi tenaga kesehatan masih tidak merata dan terpusat di Pulau Jawa,” kata Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, saat memberikan kuliah umum dalam acara Kegiatan Mahasiswa Baru Universitas Indonesia, Senin (31/7).

Untuk memfasilitasi hal tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyelenggarakan Program Nusantara Sehat sejak 2014. Target utama program ini adalah puskesmas yang berlokasi di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK) di seluruh Inddonesia.

Untuk tahun ini, Kemenkes menerjunkan sekitar 1.422 orang dalam 251 tim yang ditempatkan di 28 provinsi dan 91 kabupaten/kota. Adapun, tenaga kesehatan yang dipilih bervariasi mulai dokter umum, spesialis, perawat, hingga tenaga laboratorium.

“Kami juga mengirimkan tenaga tambahan sebanyak 371 tenaga tambahan yang ditempatkan di 60 puskesmas selama dua tahun. Tenaga kesehatan yang dipilih telah melalui proses seleksi terlebih dahulu untuk melihat kesiapan baik secara fisik maupun mental karena mereka ditempatkan wilayah DTPK dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK).

http://industri.bisnis.com/