Perlunya Optimalisasi Peran Pemda demi Keberlanjutan Program JKN

Perlu optimalisasi peran pemerintah daerah (Pemda) demi keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dukungan itu, antara lain berbentuk alokasi anggaran, pembangunan infrastruktur dan peraturan daerah (perda) dan kepesertaan JKN.

"Dalam Undang-Undang (UU) No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ditegaskan kewajiban Pemda mengalokasikan 10 persen dari APBD untuk sektor kesehatan," kata Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Bayu Wahyudi dalam Temu Koordinasi BPJS Kesehatan dengan Pemda Provinsi/Kabupaten/Kota, di Jakarta, Kamis (18/05).

Alokasi anggaran 10 persen dari APBD, lanjut Bayu, untuk kegiatan yang bersifat promosi kesehatan, dan pemenuhan fasilitas kesehatan termasuk didalamnya kelengkapan dokternya. "Kesiapan ini penting saat program JKN berlaku secara universal coverage bagi seluruh penduduk Indonesia pada 1 Januari 2019," tuturnya.

Bayu memaparkan, perkembangan program Jamkesda yang kini terintergrasi dengan program JKN. Data per 1 Mei 2017, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, ada 491 kabupaten/kota yang memiliki Jamkesda dan 23 kabupaten/kota belum punya.

"Dari angka itu, tercatat 453 Pemda sudah mengintegrasikan program Jamkesda-nya ke JKN, dengan jumlah peserta secara keseluruhan sebesar 16.942.664 orang," kata Bayu.

Pada kesempatan yang sama, Bayu juga menjelaskan pada 2016, sejumlah Pemda masih memiliki hutang iuran JKN ke BPJS Kesehatan sebesar 14 persen. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7 persen merupakan hutang iuran pada program Jamkeda.

"Jika masalah hutang tidak diselesaikan segera, dikhawatirkan kondisi ini akan mempengaruhi kestabilan program JKN , baik jangka pendek maupun jangka panjang," tuturnya.

Karena itu, Bayu mengimbau, pada Pemda yang masih berhutang iuran agar segera 9menyelesaikan urusannya tersebut. Selain juga membayar iuran JKN yang saat ini berjalan secara tepat waktu sesuai ketentuan yang berlaku.

"Kepatuhan dalam membayar iuran juga penting demi keberlanjutan program JKN," kata Bayu menegaskan.

Selain itu, Pemda juga diminta untuk memperluas akses pendaftaran bagi masyarakat yang belum menjadi peserta JKN. Pemda DKI Jakarta bahkan telah memiliki loket pendaftaran BPJS Kesehatan di setiap kantor kelurahan.

"Pemda perlu memberi kemudahan bagi masyarakat yang ingin mendaftar sebagai peserta JKN. Terbukanya akses pendaftaran peserta seluas-luasnya akan mempercepat tercapainya universal health coverage," ujarnya.

Disebutkan, hingga 12 Mei 2017, jumlah peserta JKN sebesar 177.400.222 jiwa. Jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) ada 20.772 unit, yang terdiri dari 9.825 Puskesmas, 4.502 dokter praktik perorangan, 5.286 klinik pratama, 15 RS tipe D pratama, dan 1.144 dokter gigi praktik perorangan.

BPJS Kesehatan juga telah bermitra dengan 5.344 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) yang di dalamnya mencakup 2.137 RS dan klinik utama, 2.219 apotek, dan 988 optik. (TW)

 

DJSN : Pemerintah Harus Dorong RS Swasta Bergabung dalam Program JKN

Pemerintah perlu mendorong lebih banyak lagi rumah sakit swasta untuk bergabung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Mengingat, keluhan terbesar saat ini terkait dengan akses dan kualitas layanan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL).

"Jika hanya mengandalkan uang pemerintah, kebutuhan masyarakat akan rumah sakit baru di berbagai daerah akan sulit dipenuhi," kata Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Sigit Prio Utomo disela Pertemuan Nasional Manajemen Rumah Sakit di Jakarta, Kamis (18/5).

Pertemuan nasional ini dihadiri sejumlah manajemen rumah sakit pemerintah dan swasta, asosiasi fasilitas kesehatan rujukan seperti Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Swasta Indonesia), asosiasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dewan Pertimbangan Medis, Dewan Pertimbangan Klinik, serta Tim Kendali Mutu dan Biaya.

Karena itu, Sigit menambahkan, pemerintah harus mengajak rumah sakit swasta untuk bisa bergabung dalam program JKN. Sehingga pemerintah tak perlu direpotkan lagi dengan pembangunan rumah sakit baru.

"Apa yang jadi keberatan rumah sakit swasta untuk tergabung dalam JKN, itulah yang harus dicarikan solusinya. Padahal, program JKN semesta (universal coverage) pada 2019 sudah di depan mata," ujar Sigit menegaskan.

Sebelumnya Direktur Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Maya Armiarny Rusady menyebutkan salah satu urgensi selama 4 tahun pelaksananan program JKN adalah pembenahan kualitas pelayanan di rumah sakit atau FKRTL.

"Kualitas pelayanan rumah sakit yang dikeluhkan, antara lain pembebanan iur biaya di luar ketentuan, ketiadaan sistem antrian pelayanan yang pasti dan transparan, kuota kamar rawat inap, serta ketersediaan obat," ucap Maya.

Karena itu, lanjut Maya, melalui pertemuan tahunan manajemen rumah sakit ini diharapkan rumah sakit mitra kerja BPJS Kesehatan dapat mengambil inisiatif untuk proses perubahan menuju standar pelayanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Keberhasilan program JKN tak lepas dari dukungan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan selaku mitra BPJS Kesehatan. Karena itu, perlu terus ditingkatkan peran dan fungsinya dalam memberikan pelayanan, tentunya dengan kendali mutu agar program dapat berkelanjutan," kata Maya.

Tercatat, hingga akhir tahun 2016 total pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh peserta BPJS Kesehatan mencapai 192,9 juta kunjungan/kasus. Dari jumlah itu, sebanyak134,9 juta kunjungan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas, Dokter Praktik Perorangan, dan Klinik Pratama/Swasta).

"Sisanya sebesar 50,4 juta kunjungan masuk dalam kategori Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (Poliklinik/RS) dan 7,6 juta kasus Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RS)," tuturnya.

Ditambahkan, 1 Mei 2017, jumlah peserta JKN per 1 Mei 2017 mencapai 176.738.998 jiwa. BPJS Kesehatan bekerja ama dengan 20.775 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (puskesmas, klinik Pratama, dokter prakter perorangan, dan lain-lain).

"Selain itu masih ada 5.257 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan, yang terdiri dari 2.128 rumah sakit, serta 3.192 faskes penunjang seperti apotik dan optik, yang tersebar di seluruh Indonesia," kata Maya menandaskan.

Sementara itu Dirjen Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Bambang Wibowo mengemukakan, selain pengobatan (kuratif) pemerintah terus menggalakkan kegiatan yang bersifat promotif dan preventif. Selain masyarakat menjadi produktif karena bertubuh sehat, kegiatan itu dapat menekan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pemerintah.

"Jika masyarakat Indonesia lebih sehat maka biaya kuratif akan lebih kecil," kata Bambang Wibowo menandaskan. (TW)

Badan Usaha Kini Bisa Urus Izin Sekaligus Kepesertaan Program Jaminan Sosial

18mei bBadan usaha baru kini bisa mengurus perizinan dokumen, sekaligus program jaminan sosial baik pada kepesertaan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Mekanisme layanan satu pintu itu dilakukan guna memangkas prosedur registrasi agar lebih praktis dan cepat.

"Sistem baru ini diharapkan dapat mendukung program pemerintah Ease of Doing Business (EODB) atau kemudahan berusaha di Indonesia," kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris usai penandatangan kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, di Jakarta, Selasa (16/5).

Hadir dalam kesempatan itu Dirut BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto.

Dijelaskan, layanan satu pintu semacam itu akan terkoneksi dengan Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) di Jakarta dan Badan Koordinasi Pelayanan dan Penanaman Modal (BKPPM) di Surabaya, dan Kantor Pelayanan Pajak yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Melalui layanan satu pintu ini, badan usaha baru saat mengurus dokumen Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Tanda Daftar Perusahaan (TDP) pada BPTSP/BKPPM, maka secara otomatis akan terdaftar dalam Program Jaminan Sosial melalui Formulir Pendaftaran Bersama (FPB) dan Aplikasi Pendaftaran Terpadu (APT)," tuturnya.

Aplikasi itu, ditambahkan Fachmi, memberi kemudahan bagi badan usaha untuk mendaftarkan perusahaan dan pekerjanya ke BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, pada saat melakukan pengurusan izin usaha di BPTSP.

Badan usaha baru yang dimaksud adalah badan usaha yang sedang memproses pengurusan perizinan badan usaha. Bisa juga badan usaha yang sudah memiliki perizinan badan usaha, namun belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Untuk mengurus dokumen perizinan tersebut, badan usaha baru dapat menggunakan aplikasi online pelayanan publik atau datang langsung ke titik pelayanan publik setempat.

“BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan juga menawarkan kemudahan tak hanya pada pendaftaran, tetapi juga penagihan, pembayaran serta pelaporan iuran, khususnya bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU)," katanya.

Bagi BPJS Kesehatan komitmen itu menjadi salah satu fokus utama. Selain merancang berbagai rencana strategis pelayanan lain untuk mendukung cakupan kepesertaan dan kepuasan peserta.

Hal senada dikemukakan Dirut BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto. Kemudahan tersebut diharapkan berpengaruh pada kepatuhan badan usaha atas regulasi yang ada bagi tenaga kerja di Tanah Air. Sehingga program Jaminan Sosial bisa berjalan efektif, efesien dan terkoordinasi.

Ditanya soal target kepesertaan baru, Agus menyebutkan 25,2 juta pekerja baru sudah terdaftar dalam program Jaminan Sosial. Dengan demikian, hak-hak mereka sebagai pekerja terlindungi. Termasuk jaminan kesehatan bagi pekerja dan keluarganya. (TW)

Menteri Kesehatan: Sepertiga Penduduk Indonesia Perokok

Lebih dari sepertiga atau 36,3 persen penduduk Indonesia saat ini menjadi perokok. “Bahkan 20 persen remaja usia 13-15 tahun adalah perokok,” kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek saat membuka Indonesian Conference on Tobacco or Health di Balai Kartini, Jakarta, Senin, 15 Mei 2017.

Hal yang lebih mencengangkan, kata Nila, saat ini, remaja laki-laki yang merokok kian meningkat. Data pada tahun lalu memperlihatkan peningkatan jumlah perokok remaja laki-laki mencapai 58,8 persen. “Kebiasaan merokok di Indonesia telah membunuh setidaknya 235 ribu jiwa setiap tahun,” ujarnya.

Nila menuturkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok tertinggi ketiga dunia setelah Cina dan India. Prevalensi perokok laki-laki dewasa, kata dia, saat ini bahkan paling tinggi di dunia. “Akibatnya, Jaminan Kesehatan Nasional harus menanggung beban dari penyakit tidak menular (PTM) ini paling tinggi,” ucapnya.

Menurut Nila, kerja keras untuk mencegah peningkatan perokok pemula bukan semata tanggung jawab pemerintah, tapi juga lintas sektor, di antaranya melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kantor Kepala Staf Kepresidenan, dan Kementerian Keuangan.

Adapun Kementerian Kesehatan, Nila melanjutkan, telah melakukan beberapa program pengendalian tembakau, antara lain kawasan tanpa rokok dan klinik berhenti merokok bebas biaya. “Saat Indonesia mengalami bonus demografi, kita memerlukan generasi yang sehat dan produktif,” katanya.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ridwan Thaha menuturkan biaya yang ditanggung akibat konsumsi tembakau saat ini sangat tinggi. “Pada 2013 saja, beban yang ditanggung Rp 378 triliun,” tuturnya.

https://nasional.tempo.co/

 

Daftar Kepesertaan JKN Kini Bisa Lewat Telepon

16mei kkiMasyarakat kini bisa mendaftar kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), hanya lewat telepon, yaitu melalui BPJS Kesehatan Care Center 1500-400. Semua proses pendaftaran hingga pengantaran kartu tidak dipungut bayaran.

"Namun program ini baru berlaku untuk peserta mandiri," kata Direktur Direktur Kepesertaan dan Pemasaran, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Andayani Budi Lestari saat berkunjung ke BPJS Care Center di Jakarta, Senin (15/5).

Hadir dalam kesempatan itu, Kepala Grup Kepesertaan dan UPMP4 BPJS Kesehatan, Heriyanto, Direktur Bussiness Process Management (BPM) dan Global Service Infomedia, Andang Ashari dan General Manager Operation Enterprise Infomedia, Donny Sulistian.

Andayani menjelaskan, proses pendaftaran melalui call center milik BPJS Kesehatan itu telah diujicobakan selama 3 bulan, yakni sejak awal Maret 2017. Dengan demikian, masyarakat tak perlu antri di kantor cabang BPJS Kesehatan untuk menjadi peserta baru atau perubahan data peserta.

"Jadi call center ini tak hanya melayani pertanyaan dan pengaduan masyarakat serta bertanya pada dokter seperti biasanya, tetapi juga bisa untuk mendaftar maupun perubahan data peserta," ujarnya.

Andayani menyebutkan, calon peserta yang akan mendaftar hanya perlu menyebut nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga, kelas perawatan dan nama fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang dipilih, email dan nomor telepon. Selain alamat rumah untuk pengiriman kartu.

"Pendaftaran kepesertaan ini tak hanya untuk diri sendiri, tetapi bisa juga untuk keluarga, kerabat atau tetangga yang akan ditolong," ucapnya.

Andayani menambahkan, setelah agent Care Center menyatakan pendaftaran via telepon selesai, maka nomor Virtual Account (VA) akan dikirim ke nomor ponsel atau email calon peserta. Setelah itu, peserta diminta membayar iuran pertama paling lama 30 hari setelah VA diterbitkan.

"Peserta yang mendaftar via Care Center wajib melakukan pembayaran pertama ke bank, selanjutnya dilakukan dengan mekanisme autodebet. Jadi tak perlu repot ke bank setiap bulan untuk membayar iurannya," katanya.

BPJS Kesehatan sebelumnya juga mengembangkan pendaftaran melalui Sistem Dropbox di Kantor Cabang BPJS Kesehatan, Kantor Kelurahan, dan Kantor Kecamatan serta Pendaftaran melalui PPOB/mitra kerja BPJS Kesehatan.

Pendaftaran melalui mitra kerja dilakukan dengan membuka Point of Service di pusat perbelanjaan seperti mall. Saat ini, BPJS Kesehatan bekerja sama dengan PT Lippo Karawaci dan tidak menutup kemungkinan kerja sama dengan institusi lainnya.

Disebutkan, per 5 Mei 2017, jumlah peserta JKN mencapai 176.982.157 jiwa. BPJS Kesehatan bekerja sama dengan lebih dari 20 ribu FKTP yang terdiri atas 9.825 puskesmas, 5.279 klinik pratama, 4.504 dokter prakter perorangan, 1.143 dokter gigi praktik perorangan, dan 15 RS tipe D pratama.

Selain itu, BPJS Kesehatan juta telah bermitra dengan 5.337 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) yang mencakup 2.135 rumah sakit (termasuk di dalamnya klinik utama), 2.216 apotek, dan 986 optik yang tersebar di seluruh Indonesia. (TW)

Perlunya Revisi Iklan Rokok, Guna Tekan Angka Perokok Muda

Epidemi konsumsi rokok di Indonesia belakangan ini telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Lebih dari sepertiga atau 36,3 persen penduduk Indonesia dikategorikan sebagai perokok. Dengan usia termuda 5-14 tahun sebesar 0,21 persen.

"Meski angkanya sangat kecil, data perokok usia sangat muda itu tak bisa diabaikan," kata Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Dedi Kuswenda di Jakarta, Jumat (12/5) terkait peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 21 Mei 2017.

Perokok remaja usia 13-15 tahun, disebutkan, ada 20 persen. Dari jumlah itu, 41 persen diantaranya remaja laki-laki dan 3,5 persen remaja perempuan. "Remaja tergiur merokok karena melihat iklan di media massa dan televisi. Untuk itu, perlu adanya revisi terkait dengan peraturan iklan rokok," ucapnya.

Kondisi ini, lanjut Dedi Kuswenda, membuat badan kesehatan dunia WHO menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok tertinggi ketiga di dunia, setelah China dan India. Prevalensi perokok laki-laki dewasa di Indonesia, bahkan menduduki paling tinggi didunia sebesar 68,8 persen.

Hal senada dikemukakan Ketua Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Sumarjati Arjoso. Masalah rokok harus mendapat perhatian serius karena dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

"Rokok merupakan faktor risiko utama Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti kanker, jantung dan pembuluh darah serta penyakit paru obstruktif kronis," ujar mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) itu.

Ditambahkan, kebiasaan merokok di Indonesia telah membunuh setidaknya 235 ribu jiwa setiap tahunnya. Selain juga biaya pengobatan yang cukup besar. Pada 2014, disebutkan ada 4,8 juta kasus penyakit jantung dengan dana klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar Rp8,1 triliun dan 894 ribu kasus penyakit kanker (Rp2 triliun).

"Pada 2015, jumlah kasus menurun menjadi 3,9 juta kasus penyakit jantung dengan klaim BPJS Kesehatan Rp5,4 triliun dan 724 ribu kasus kanker dengan klaim Rp1,3 triliun," katanya.

Atas dasar itu, menurut Sumarjati Arjoso, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa PTM sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain menurunkan kualitas generasi muda yang menghambat laju pembangunan bangsa.

"Masuknya isu pengendalian tembakau dan penanggulangan PTM ke dalam indikator pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) seharusnya menjadi program tersebut menjadi prioritas pembangunan," kata Sumarjati menandaskan. (TW)

Bank Mandiri Siapkan Dana Talangan untuk Tagihan Faskes Mitra BPJS Kesehatan

4meiBank Mandiri akan menyiapkan dana talangan untuk membayar tagihan bagi fasilitas kesehatan (faskes) mitra Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Namun, dana talangan tersebut hanya untuk tagihan yang telah diakseptasi BPJS Kesehatan.

"Diharapkan, dana talangan ini bisa membantu faskes dalam mengelola cash flow sehingga pelayanan tetap terjaga," kata Direktor of Government and Institutional Bank Mandiri, Kartini Sally usai penandatangan kerja sama dengan Direktur Kepesertaan dan Pemasaran BPJS Kesehatan, Andayani Budi Lestari, di Jakarta, Rabu (3/5).

Hadir dalam kesempatan itu, Direktor of Digital Banking and Technology Bank Mandiri, Rico Usthavia Frans.

Untuk itu, lanjut Kartini, akan dilakukan integrasi antara sistem monitoring klaim BPJS Kesehatan, sistem supply chain management Bank Mandiri dan sistem keuangan mitra BPJS Kesehatan. Dengan demikian, proses pendataan dapat dilakukan dengan baik.

Saat ini tercatat ada 24.631 lembaga penyedia layanan kesehatan yang menjadi mitra BPJS Kesehatan, seperti rumah sakit, Puskesmas, klinik dokter keluarga, apotik dan lain-lainnya.

Pada kesempatan yang sama, BPJS Kesehatan juga menjalin kerja sama dengan 20 mitra Bank Mandiri tentang pemasaran bersama untuk perluasan kepesertaan BPJS Kesehatan serta layanan perbankan.

Ke-20 mitra Bank Mandiri itu, disebutkan, Bank
BCA, Bank Permata, Bank CIMB Niaga, Bank OCBC NISP, Bank Nagari, Panin Bank, Bank Mandiri Syariah, Bank Jateng, Bank Jambi, Bank Kaltim, Bank Lampung, Bank Maluku Utara, Bank Banten, Bank Bengkulu, Bank Sultra, Bank BTPN, Alfamart, Tokopedia, Superindo, dan Apotek K24.

Seperti dikemukakan Direktur Kepesertaan dan Pemasaran BPJS Kesehatan, Andayani menuturkan, pihaknya terus memperluas jalur pembayaran iuran pesertanya melalui sistem Payment Point Online Banking (PPOB).
Tercatat ada 422.700 channel pembayaran PPOB, yang terdiri atas modern outlet, traditional outlet, maupun perbankan.

"Rata-rata transaksi pembayaran iuran BPJS Kesehatan per bulan mencapai 5,8 juta transaksi pembayaran, yang mana 30 persen-nya bersumber dari PPOB. Total iuran peserta JKN yang terkumpul lewat PPOB mencapai Rp3.190 triliun.

"Khusus Bank Mandiri, hingga akhir Maret 2017, frekuensi pembayaran iuran JKN melalui Bank Mandiri rata-rata 5.371 ribu transaksi per bulan," ujarnya.

Penandatanganan kerja sama juga menyangkut pemanfaatan produk uang elektronik Mandiri e-Cash, guna memfasilitasi kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam mengumpulkan iuran dari masyarakat. Dengan demikian membayar iuran BPJS Kesehatan jadi lebih mudah. (TW)

 

IDI Luncurkan Buku Putih Tolak Prodi DLP

28apr 3Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia meluncurkan buku putih, yang berisi sejumlah alasan ilmiah dibalik penolakan program studi (prodi) dokter layanan primer (DLP). Buku tersebut akan diberikan ke pemerintah sebagai bahan masukan.

"Kami berharap pemerintah meninjau ulang keberadaan prodi DLP, agar tak ada anggaran yang terbuang sia-sia," kata Ketua Umum, Prof Ilham Oetama Marsis dalam siaran pers, di Jakarta, Jumat (28/4).

Dalam buku tersebut, Prof Marsis memaparkan sejumlah fakta ilmiah dibalik penolakan IDI atas ide pembentukan prodi DLP. Misalkan, asumsi yang menyebut tingginya rujukan di rumah bisa diatasi melalui program DLP ternyata tidak didukung oleh data.

"Jika merujuk pada data nasional rujukan peserta BPJS Kesehatan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) baik pada 2015 maupun 2016 angkanya masih 12 persen. Masih dibawah rasio patokan BPJS sebesar 15 persen," tuturnya.

Menurut Prof Marsis, rujukan tertinggi yang terjadi di daerah tertentu lebih disebabkan faktor kurangnya sarana dan prasarana. Selain juga karena masih rendahnya kapitasi, dibanding biaya pelayanan. Akibatnya, pasien banyak yang beralih status pembayarannya menjadi "fee for service" atas permintaan sendiri.

Terkait defisit anggaran BPJS Kesehatan dalam dua tahun terakhir, Prof Marsis menyebut, hal itu lebih disebabkan penetapan nilai fundamental premi yang tidak sesuai dengan nilai keekonomiannya. Selain beban biaya atas penyakit katastropik yang menguras 30 persen dari total anggaran BPJS Kesehatan.

"Penyakit katastropik timbul karena upaya kesehatan masyarakat yang belum berjalan, bukan akibat ketidakmampuan dokter di FKTP," ucap Prof Marsis menegaskan.

Tak hanya menolak, PB IDI menawarkan solusi yang bisa dilakukan pemerintah terkait masalah yang ada. Antara lain, perlunya penambahan kompetensi pada dokter umum yang dilakukan melalui modul terstruktur seperti program pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) seperti dilakukan selama ini.

"Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan diri pada perbaikan fakultas kedokteran, terutama mereka yang akreditasinya masih B dan C. Hal itu lebih hemat, ketimbang pemerintah menggunakan tenaga lulusan ahli kesehatan masyarakat untuk memperkuat fungsi promotif dan preventif.

“Pemerintah perlu memperbanyak kerja sama dengan klinik dan dokter pribadi swasta. Agar fasilitas kesehatan yang tersedia semakin banyak, sehingga antrian saat berobat semakin pendek," katanya.

Selain itu IDI juga mengusulkan reformasi pendidikan kedokteran melalui subsidi biaya pendidikan, rekrutmen calon dokter, proses pendidikan yang membuat dokter terbiasa bekerja di pedesaan. Perlu ditetapkan seberapa lama pendidikan dokter agar lebih efisien, bukan malag memperpanjang masa pendidikan.

"IDI juga mengusulkan agar pemerintah memperbaiki sarana dan prasarana FKTP milik pemerintah danmenaikkan biaya kapitasi sehingga kualitas pelayanan menjadi lebih baik," ujar Prof Marsis.

Bagi perguruan tinggi yang ingin mengembangkan karir dokter lebih baik, menurut Prof Marsis, sebaiknya mengembangkan program spesialis kedokteran keluarga.

Ditambahkan, PB IDI akan mengajukan revisi UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, agar masalah ketidakharmonisan ini bisa diselesaikan. "Saat ini revisi atas UU tersebut telah masuk dalam Prolegnas 2015-2019 sebagai usulan dari DPR RI," kata Prof Marsis menandaskan. (TW)