Kenali Gejalanya, Setiap Tahun 86 Juta orang Bunuh Diri Akibat Depresi

7aprDirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan, Muhammad Subuh mengingatkan keluarga Indonesia untuk mengenali gejala depresi. Karena data badan kesehatan dunia WHO menyebutkan, ada sekitar 86 juta orang di Asia Tenggara menderita depresi yang mengarah pada upaya bunuh diri.

"Depresi terjadi pada siapa saja. Karena itu penting tahu gejalanya, sebelum segalanya menjadi terlambat," kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Mohammad Subuh, di Jakarta, Kamis (6/4) terkait dengan peringatan Hari Kesehatan Sedunia pada 7 April mendatang.

Hadir dalam kesempatan itu, Perwakilan WHO Indonesia, Jihane Tawilah dan Wakil Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), Diah Setia Utami.

Selain itu, lanjut Subuh, ada korelasi yang kuat pula antara penyakit mental seperti depresi dengan penyakit fisik seperti jantung, stroke atau diabetes. Untuk itu pentingnya menjaga kesehatan mental agar terhindar dari penyakit fisik.

Subuh menjelaskan, peringatan Hari Kesehatan Dunia tahun ini fokus pada depresi karena masalah kesehatan jiwa dan penyalahgunaan zat adiktif menjadi salah satu penyebab terbesar beban regional dan global penyakit.

Laporan WHO's Global Health Estimates 2015, bahkan menyebutkan bunuh diri akibat depresi merupakan penyebab kematian kedua terbanyak pada usia 15-29 tahun di Asia Tenggara. Penyebab pertama adalah kematian akibat kecelakaan di jalan raya.

"Karena itu, WHO mengimbau individu, kelompok masyarakat dan negara untuk bicara lebih terbuka tentang depresi. Karena sebenarnya depresi bisa disembuhkan dengan mudah," ujar Subuh.

Ia menyebutkan sejumlah gejala depresi yang kerap muncul dalam bentuk gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, perasaan bersalah dan tak berguna, lelah dan tak ingin melakukan apapun. Tanda lainnya adalah mudah marah, keresahan fisik, penggunaan zat terlarang, penurunan konsentrasi dan pemikiran ingin bunuh diri.

"Jika menemukan gejala semacam itu pada anggota keluarga, segera bawa ke dokter untuk diobati sebelum segalanya menjadi terlambat," ucap Subuh menegaskan.

Sementara itu, perwakilan WHO Indonesia Jihane Tawilah menghargai upaya yang dilakukan negara-negara seperti Indonesia, Bangladesh, Bhutan, Maladewa dan Srilanka karena telah mengalokasikan anggaran untuk penanganan kesehatan jiwa dalam beberapa tahun ini.

"Bahkan India kini punya aturan baru yang tidak menjadikan bunuh diri sebagai tindakan kriminal dan berusaha menyediakan layanan kesehatan untuk mereka yang mengalami gangguan kesehatan jiwa," ucapnya.

Untuk itu, Jihane menambahkan, tenaga kesehatan di setiap tingkatan dapat dilatih untuk mendeteksi tanda dan gejala depresi. Fasilitas kesehatan komunitas dianjurkan untuk terintegrasi dengan jejaring nasional.

"Selain juga meningkatkan alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan mental. Mengingat saat ini anggarannya kurang dari 1 persen dari total pengeluaran di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah," kata Jihane menandaskan. (TW)

Bengkaknya Beban Kesehatan

Jaminan kesehatan yang diimplementasikan pemerintah terus mengalami defisit dan semakin sulit dikendalikan. Data menyebutkan bahwa defisit jaminan kesehatan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Tahun 2014, defisit mencapai Rp3,3 triliun, tahun 2015 defisit meningkat menjadi Rp6,7 triliun, dan tahun 2016 membengkak hingga hampir mencapai Rp10 triliun. Bengkaknya defisit yang terjadi seakan menggambarkan tidak adanya upaya perbaikan sistem. Bukan tidak mungkin defisit terus melebar dan menjadi beban negara di belakang hari.

Bukan tanpa alasan pemerintah memaksakan penerapan jaminan kesehatan nasional. Indikator kualitas individu salah satunya dapat dilihat dari sisi kesehatan dimana indikator kesehatan dasar Indonesia masih tergolong rendah. Singkatna, angka kematian Ibu dan bayi dianggap masih tinggi dibandingkan target yang diharapkan. Selain itu, pengeluaran kesehatan Indonesia yang masih dibawah rekomendasi World Health Organisation (WHO) juga dapat dijadikan indikator rendahnya kepedulian terhadap kesehatan. Data WHO merekomendasikan angka 5% dari PDB untuk pengeluaran kesehatan.

Dilematis jaminan kesehatan nasional pada dasarnya sudah tercium sejak awal. Ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan hingga saat ini masih banyak menemui kendala. Ketersediaan jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan menjadi penyebab utamanya. Mendorong ketersediaan fasilitas penunjang bukanlah persoalan yang mudah. Penyediaan dana dan waktu penyediaan fasilitas menjadi dasar argumentasi yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Banyaknya prioritas yang harus dijalankan, pemerintah harus mempunyai jalan lain selain menggunaan pendanaan dari APBN.

Dorongan jaminan kesehatan nasional ternyata tidak serta merta menyelesaikan permasalahan bangsa ini menjadi lebih baik. Adanya jaminan kesehatan justru semakin memompa permintaan masyarakat menjadi lebih besar dan sulit untuk ditarik kembali. Kesadaran masyarakat bangsa ini yang masih kurang memunculkan anggapan bahwa jaminan kesehatan yang ada akan menyelesaikan segala persoalan kesehatan yang mereka hadapi. Sebagai masyarakat mereka berhak untuk menggunakan fasilitas yang disediakan pemerintah tanpa adanya perbedaan untuk segera ditangani.

Permasalahan yang ditemui antara lain ketika pembuatan asumsi yang sangatlah sederhana. Terlebih, proyeksi yang digunakan terbilang linier. Padahal kenyataan yang terjadi justru tidak sesederhana seperti membuat asumsi. Indonesia sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbesar dan masih memiliki peluang untuk tumbuh diharapkan menjadi kunci pengembangan model jaminan kesehatan. Harapannya dapat berimplikasi pada kesejahteraan yang meningkat dan akhirnya membuat tingkat kesehatan di masyarakat ikut membaik. Faktanya yang terjadi justru sebaliknya.

Tugas besar pemerintah saat ini adalah menekan defisit yang terjadi. Dari sisi permintaan, perluasan jumlah keikutsertaan jaminan nasional dan menaikkan iuran asuransi merupakan pilihan bijak yang bertujuan untuk meningkatkan pemasukan. Sedangkan dari sisi ketersediaan, perbaikan dan pengetatan sistem pelayanan asuransi mesti dilakukan sehingga mampu menekan pengeluaran yang ada. Terakhir, mengubah pendekatan jaminan kesehatan dengan tidak lagi berfokus pada pendekatan kuratif dan rehabilitatif, melainkan mengedepankan pendekatan promotif dan preventif.

Oleh: Ambara Purusottama, School of Business and Economic, Universitas Prasetiya Mulya

http://www.neraca.co.id/

Layanan Kesehatan Primer Diperkuat

Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, Kementerian Kesehatan saat ini fokus melakukan penguatan dalam pelayanan kesehatan primer. Pembentukan Dokter Layanan Primer (DLP) merupakan salah satu bentuk upaya penguatan pelayanan tersebut.

Menteri Kesehatan, Nila F Moleok, mengatakan Dokter Layanan Primer dibentuk untuk meningkatkan kompetensi dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Selain itu juga memperbaiki layanan kesehatan masyarakat di layanan primer dan mengurangi jumlah rujukan ke rumah sakit.

“Layanan kesehatan primer harus diperkuat, termasuk kompetensi dokter di layanan tingkat pertama ini,” kata dia dalam Seminar Internasional Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia, di Yogyakarta, Senin (3/4).

Nila menyebutkan dengan penguatan di layanan kesehatan primer, dokter di layanan ini diharapkan dapat menangani pasien sehingga tidak perlu memberikan rujukan ke rumah sakit maupun dokter spesialis. Selain pengobatan, dokter di layanan primer juga dapat melakukan upaya pencegahan dan promosi kesehatan.

“Misalnya, sakit mata atau belekan tidak harus ke dokter mata, bisa diobati di dokter layanan primer atau puskesmas. Kalau bisa menahan rujukan, sistem rujukan harus ditegakkan untuk JKN” terangnya.

Karena itu, Nila menekankan pentingnya penguatan dokter layanan primer, termasuk melalui DLP. Pendidikan DLP telah dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Prodi ini dibentuk untuk mempersiapkan pendidikan lanjutan yang sesuai bagi dokter yang bekerja di layanan primer. Rencananya, lama pendidikan DLP di Indonesia berkisar dua tahun.

“Dokter yang telah praktik 5–10 tahun pembelajaran masa lampu juga dihitung sehingga akan menjalani studi enam bulan saja karena sudah berpengalaman dan hanya akan menilai kompetensinya menjadi DLP,” urainya.

Masih Tertinggal

Sementara itu, Sekretaris Pokja Nasional Dokter Layanan Primer, Mora Claramita, menyebutkan penguatan pelayanan kesehatanan primer di Indonesia masih jauh tertinggal. Selama ini, Indonesia masih fokus dalam meningkatkan layanan kesehatan sekunder (rumah sakit) yang banyak menghabiskan anggaran kesehatan nasional dan berimbas pada banyaknya masyarakat berobat ke rumah sakit.

“Angka rujukan masih terbalik antara layanan primer dan sekunder. Kalau di dunia internasional, rata-rata angka rujukan layanan sekunder hanya 5–10 persen, sedangkan Indonesia rujukan lebih dari 80 persen,” paparnya.

Menurutnya, hal tersebut disebabkan kurangnya akses kesehatan akibat kondisi geografis Indonesia. Selain itu, persoalan minimnya fasilitas kesehatan, kompetensi dokter, dan tenaga kesehatan di layanan primer, serta kualitas penyedia layanan kesehatan.

“Karenanya, fasilitas kesehatan di layanan primer seperti puskesmas, klinik dokter mandiri, dan klinik pratama harus ditingkatkan, tidak hanya dokter, tapi juga tenaga kesehatan lain,” pungkasnya. YK/E-3

Ribuan korban tragedi 1965 tak punya akses layanan kesehatan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membahas kondisi pemenuhan hak atas kesehatan di Indonesia dengan Pelapor Khusus Hak atas Kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dainius Puras, Jumat (24/3).

Isu dipaparkan dalam pertemuan yang turut dihadiri Ketua dan Komisioner Komnas Perempuan dan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait hak atas kesehatan terhadap kelompok rentan dan terpinggirkan.

Menurut Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, salah satu lubang dalam dalam pemenuhan hak itu berkenaan dengan belum terpenuhinya akses kesehatan terhadap korban tragedi 1965.

Dilansir CNNIndonesia.com, Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengidentifikasi setidaknya ada 1.623 korban pelanggaran HAM berat dalam tragedi 1965 dan Mei 1998 tidak mendapatkan akses kesehatan dengan baik.

"Kebanyakan dari mereka adalah lansia, memiliki kondisi kesehatan dan kualitas hidup yang buruk," demikian catatan resmi dua lembaga tersebut dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (29/3).

Satu masalah mengganjal bagi para korban adalah trauma berkepanjangan. Akses pelayanan kesehatan dipandang penting bagi mereka demi menggerus guncangan tersebut.

Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."

Kemudian, Undang-Undang No.36/2009 tentang Kesehatan pun dalam Pasal 138 ayat 1 dan 2 mengatur berharganya "pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia" dan kewajiban "pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis."

Namun, dalam berita lain yang ditulis CNNIndonesia.com, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan tahun 1965-1966 (YPKP 65) mengoreksi data Komnas HAM.

YPKP 65 menyatakan korban pelanggaran HAM pada 1965 yang belum menerima hak kesehatan sekitar 3.000 orang.

"Yang belum sekitar 3.000-an. Yang sudah mendapat perlindungan dan pelayanan kesehatan sekitar 1.600-an," ujar Bedjo Untung, Ketua YPKP 65, Rabu (29/3).

Korban terbanyak belum menerima pelayanan berada di Sumatera Barat, lalu menyusul Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

"Di Sumatera Barat itu seperti Pariaman dan Padang Panjang banyak sekali. Kalau di Jawa Tengah paling banyak di daerah Pekalongan, Pemalang, dan Pati," kata Bedjo.

Akan hal rentang usia, kisarannya 60-90 tahun.

Salah satu sosok dalam kategori demikian adalah Bronto

Di masa lalu, ia pernah menjadi anggota Brigade Infanteri VI Surakarta, Jawa Tengah. Bronto, seperti ditulis Rappler.com, diringkus karena mendukung Presiden Sukarno dan dituding simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketika Rappler.com menuliskan kisahnya pada 1 Oktober 2015, Bronto dilukiskan sudah terbaring sakit selama sebulan. Namun, di tengah kondisi tersebut, dia tak menerima bantuan layanan kesehatan.

Langkah berbeda pihak berwenang pernah diambil Rusdy Mastura, Wali Kota Palu dengan masa jabatan 2005 hingga 2015.

Laman Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 mewartakan bahwa pejabat daerah itu memungkinkan korban kasus pembunuhan massal Tragedi 1965 untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis bagi korban--selain menyerahkan beasiswa atau memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak dan para cucu korban.

Kebijakan demikian terlontar setelah ia lebih dulu meminta maaf kepada para korban pada Maret 2012.

"Saya minta maaf atas nama Pemerintah Kota Palu kepada seluruh korban peristiwa 1965 di Kota Palu dan di Sulawesi Tengah," ucapnya kala itu sembari mengakui bahwa dirinya besar dengan didikan bapaknya yang aktivis Masyumi --rival politik PKI, organisasi yang dilekatkan dengan peristiwa 1965.

https://beritagar.id/

 

Program Ketuk Pintu TB Kemkes Raih Penghargaan MURI

3aprProgram Ketuk Pintu untuk menemukan kasus tuberkolusis (TB) yang digagas Kementerian Kesehatan (Kemkes) meraih penghargaan Museum Rekor Indonesia (MuRI). Program tersebut dinilai memiliki kegiatan ketuk pintu terbanyak hingga mencapai 500 ribu rumah.

"Lewat penghargaan MuRI, saya ingin program ketok pintu dapat terus digalakkan. Agar makin banyak penduduk dengan TB bisa diobati dengan tepat," kata Menteri Kesehatan, Nila FA Moeloek usai menerima penghargaan dari Ketua Umum MuRI, Jaya Suprana dalam puncak peringatan Hari TB Dunia, di Jakarta, Sabtu (1/4).

Menkes menjelaskan, program Ketuk Pintu TB yang dicanangkan Presiden Jusuf Kalla pada 2015 lalu dilakukan untuk menemukan penderita TB secara lebih detil. Karena dilakukan dengan cara mengetuk rumah warga satu per satu.

"Ketuk pintu merupakan salah satu cara aktif menemukan kasus TB di masyarakat," ujarnya.

Terkait penghargaan MuRI, lanjut Menkes, kegiatan Ketuk Pintu dilaksanakan serentak di 34 Provinsi pada 6-20 Maret 2017 oleh para kader kesehatan dibantu lembaga swadaya masyarakat (LSM), tenaga kesehatan dan organisasi masyarakat. Tercatat ada 565.798 rumah warga yang berhasil diketuk.

"Dari ketuk pintu itu, dari 1.590.529 orang yang ditemui ada 91.049 orang yang diduga TB. Setelah diskrining lebih ada 4.950 orang yang terkonfirmasi TB," ujar Nila Moeloek.

Capaian itu telah memecahkan rekor ketuk pintu yang ditargetkan MuRI sebanyak 500.000 rumah. Hasil itu juga menggambarkan bahwa insidens TB dari populasi Ketuk Pintu sebesar 331/100 ribu penduduk.

"Bila dibandingkan dengan data WHO Global Report 2016 sebesar 395/100 ribu, maka pendekatan yang dipergunakan dengan Ketuk Pintu sangat efektif untuk capaian Case Detection Rate (CDR) di atas 70 persen," tuturnya.

Menkes menegaskan, pengobatan TB hingga tuntas menjadi penting karena jika pasien sudah resisten terhadap obat yang ada, proses penyembuhannya akan semakin sulit. Jika demikian, hal itu akan menghambat program eliminasi TB di Indonesia.

"Pengobatan TB resisten obat memakan waktu lama, menimbulkan berbagai efek samping, serta memerlukan biaya yang berlipat ganda dibanding pengobatan TB sensitif obat," ujarnya.

Selain itu, lanjut Menkes, beban sosial ekonomi pasien, keluarga, masyarakat dan negara juga meningkat bila jumlah pasien kebal obat TB semakin banyak. "Kami berharap rata-rata keberhasilan pengobatan TB yang selama ini sudah 90 persen dapat ditingkatkan. Sehingga rantai penularan TB terputus," katanya.

Pada kesempatan yang sama diluncurkan aplikasi Wajib Notifikasi TB (WiFi TB) untuk para dokter praktik mandiri dan klinik pratama. Lewat aplikasi itu, para dokter akan menyampaikan notifikasi kepada dinas kesehatan setempat.

"Aplikasi ini diharapkan menjadi terobosan dalam sistem pelaporan kasus TB," kata Menkes seraya menambahkan aplikasi tersebut bisa diunduh dari application store yang ada di smartphone. (TW)

80 Juta Penduduk Indonesia Tinggal di Wilayah Endemis Malaria

Ternyata masih ada 264 dari 511 kabupaten/kota di Indonesia yang hingga kini belum bebas dari malaria. Jumlah penduduk berisiko tinggi diperkirakan mencapai 80 juta orang.

"Untuk kategori endemis tinggi ada di semua kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kementerian Kesehatan, Vensya Sitohang di Jakarta, Jumat (31/3).

Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Komisi Ahli Diagnosis dan Pengendalian Malaria, Inge Sutanto.

Dijelaskan, upaya penanganan malaria dilakukan dengan membagi dalam 3 kategori yaitu wilayah endemis rendah, sedang dan tinggi. Kendati demikian, pemda dengan kategori endemis rendah tidak boleh lengah.

"Jika tidak dilakukan upaya pencegahan, bukan tak mungkin statusnya meningkat menjadi endemis sedang dan tinggi. Untuk itu, pentingnya pemda mengalokasikan anggaran yang cukup untuk itu," ujarnya.

Ditambahkan, pemerintah sendiri menargetkan Indonesia bebas malaria pada 2030. Upaya pencegahan dan pengendalian malaria telah masuk dalam program prioritas nasional dan rencana strategis (renstra) Kementerian Kesehatan.

Selain itu, Vensya juga mengingatkan, para petualang yang akan melancong ke wilayah timur Indonesia diingatkan untuk waspada terhadap malaria. Karena hasil surveilans menunjukkan ada 2.334 pelaku perjalanan menderita malaria saat kembali ke tempat asal.

Jika berada di wilayah endemis malaria, Vensya mengingatkan, menggunakan baju lengkap tertutup. Jika tidak, bisa mengunakan lotion anti nyamuk agar terhindar dari gigitan nyamuk.

"Saat tidur pun harus mengunakan kelambu. Memang butuh usaha ekstra jika kita ingin terhindar dari malaria," ucapnya.

Vensya menyebutkan sejumlah gejala yang patut dicurigai sebagai pengidap malaria, antara lain, demam, mual, lesu, berkeringat, menggigil, muntah, diare dan badan kuning. Karena gejalanya mirip dengan penyakit lain, penderita harus menjalani tes laboratorium terlebih dulu.

"Saat memberi obat, harus dipastikan penderita benar-benar mengidap malaria. Karena pengobatan yang diberikan tergolong radikal dengan membunuh semua stadium parasit yang ada dalam tubuh manusia," tuturnya. (TW)

Pemda akan Dilibatkan Atasi Defisit Anggaran JKN

Pemerintah menyiapkan 27 skenario yang akan dipergunakan untuk mengendalikan defisit anggaran program jaminan kesehatan nasional (JKN), yang tahun lalu mencapai Rp6,7 triliun. Namun ditegaskan, tak ada opsi untuk kenaikan iuran.

"Tak ada opsi menaikkan iuran. Kami tidak ingin membebani masyarakat," kata Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani usai rapat koordinasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (JIS), di Jakarta, Kamis (30/3).

Hadir dalam kesempatan Kepala Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Soemantri Brodjonegoro, Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, Menteri Kesehatan (Menkes), Nila Moeloek dan Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris.

Puan menjelaskan, dari 27 skenario itu nantinya akan diputuskan satu opsi yang paling tepat dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Namun, pembahasan tahap awal kesepakatan mengarah pada penguatan peran pemda, terutama soal iur biaya (cost sharing).

"Kita akan hitung lagi aktuaria yang ideal sebesar apa. Namun, yang pasti kita minta keterlibatan pemda dalam iur biaya," kata Puan menegaskan.

Seperti diberikan sebelumnya, program JKN dalam 3 tahun pelaksananannya terus mengalami defisit anggaran. Pada akhir 2014, terjadi defisit sebesar Rp3,3 triliun, pada 2015 defisit bertambah Rp 5,7 triliun dan pada akhir 2016 lalu defisit anggaran membengkak jadi Rp6,7 triliun.

"Untuk itu, pemerintah mempersiapkan 27 skenario demi perbaikan pembiayaan JKN. Kebijakan itu nantinya akan didukung dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) yang baru atau revisi peraturan perundang-undangan," tuturnya.

Perbaikan program JKN, menurut Puan, menjadi sangat penting. Karena dua tahun kedepan, program JKN akan memasuki universal coverage (cakupan semesta) bagi rakyat Indonesia. Artinya, program JKN akan menangani kesehatan sekitar 268 juta orang.

"Dari jumlah itu, akan ada 107,2 juta peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya ditanggung pemerintah. Sedangkan peserta non PBI ada sekitar 147,6 juta orang. Semua itu harus ditangani dengan baik," ucapnya.

Untuk itu, lanjut Puan, pihaknya akan menghitung ulang antara lain jumlah penerimaan dana jaminan kesehatan nasional dari masyarakat, mulai dari besaran iuran, kolektabilitas iuran hingga bauran kepesertaan. Sementara dari pengeluaran akan dihitung besaran tarif, providers payment mechanism, kendali biaya dan efisiensi operasional.

Sementara itu Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris menjelaskan, ada 2 metode intervensi yang bisa dilakukan baik melalui kebijakan maupun finansial. Intervensi kebijakan bisa dikontrol lewat cost sharing.

"Sedangkan intervensi keuangan dilakukan pada revisi iuran yang dihitung ulang sesuai dengan hitungan akturia," katanya.

Ditambahkan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan iuran bagi PBI sebesar Rp36 ribu yang diputuskan sebesar Rp23 ribu. Ada defisit sebesar Rp13 ribu. Untuk pekerja mandiri diusulkan kelas 3 sebesar Rp53 ribu, tetapi diputuskan sebesar Rp25.500, kelas 2 sebesar Rp63 ribu diputuskan Rp51 ribu dan terjadi minus Rp12 ribu. Hanya kelas 1 yang sesuai.

"Ke-27 opsi itu akan dibahas secara detil dan cermat dalam 1 bulan ini. Opsi mana yang akan dipilih baru akan diputuskan bulan depan," kata Fachmi menandaskan. (TW)

Setiap Tahun Pemerintah Kucurkan Dana 400 Miliar untuk Penanggulangan TB

24marPemerintah setiap tahun mengucurkan dana hingga Rp400 miliar untuk penanggulangan tuberkulosis (TB) di Indonesia. Program eliminasi berjalan lambat, mengingat ada sekitar 300 ribu kasus TB baru ditemukan setiap tahunnya.

"Kasus TB baru akan terus ditemukan di Indonesia selama ada permukiman padat dan kumuh. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama lintas sektor dalam penanganan TB," kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, Mohammad Subuh, di Jakarta, Kamis (24/3).

Ia menyebutkan lingkungan yang berpotensi menularkan kuman TB yaitu penjara yang padat penghuninya, pesantren, pabrik hingga perumahan kumuh. Apalagi, jika kondisi ruangan di lingkungan berpotensi itu memiliki sirkulasi udara yang buruk.

"Kuman TB akan cepat menulari semua orang yang ada di ruangan tersebut. Itu sebabkan kami rutin menggelar deteksi dini ke lingkungan berpotensi seperti penjara, pesantren, pabrik dan rumah padat penduduk," ujarnya.

Subuh mengemukakan, penderita TB yang ditemukan akan diberi pengobatan hingga sembuh tanpa dipungut biaya. Proses pengobatan dilakukan selama 2 tahun. "Jika patuh minum obat, tingkat kesembuhan mencapai 95 persen," ujarnya.

Namun, diakui Subuh, ada sebagian pasien tak patuh sehingga proses pengobatannya menjadi tidak tuntas. Hal itu berbahaya, karena pasien justru menjadi resisten terhadap obat TB atau disebut multidrug resistant (MDR).

Pasien MDR yang tak patuh minum obat, lanjut Subuh akan semakin berbahaya. Pasien harus mengonsumsi obat dalam jumlah lebih banyak, masih ditambah suntikan rutin selama 8 bulan. Tingkat kesembuhannya pun minim hanya 10-30 persen.

"Bila kasus MDR tidak ditangani dengan tuntas dapat berkembang menjadi XDR. Jika pasien MDR tingkat kesembuhannya 50-70 persen, pada pasien XDR sebesar 10-30 persen," ujarnya.

Ditambahkan, pengobatan TB masuk dalam program nasional yang terpisah dalam pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun, penderita TB diikutkan sebagai peserta JKN untuk kebutuhan pengobatan non-TB.

Ditanya soal persentase pasien TB yang tak tuntas, Subuh memperkirakan jumlahnya mencapai 10 persen. Mereka tak lagi melanjutkan pengobatan karena meninggal, pindah rumah, bosan minum obat dan kebal terhadap obat.

"Untuk itu, pada Juli 2017 mendatang kami akan uji coba obat untuk pasien MDR-TB terbaru. Obat baru tersebut hanya diminum selama 9 bulan, sementara obat sebelumnya 24 bulan. Pasien juga tak perlu tambahan obat suntik," katanya.

Namun, kata Subuh, obat MDR-TB terbaru itu masih terbilang mahal. Jika pengobatan sebelumnya membutuhkan dana Rp20 juta per pasien hingga sembuh, obat terbaru sebesar Rp30juta. "Jika ini berhasil, alokasi obat akan ditambah. Saat ini baru tersedia 100 paket," katanya.

Ia berharap dengan tersedianta obat TB baru akan menurunkan angka kesakitan TB di Indonesia lebih cepat. Sebelumnya, penurunan 1,6 juta kasus menjadi 1 juta kasus membutuhkan waktu selama 20 tahun.

"Proses penurunan berjalan lambat, karena selalu saja ada kasus baru muncul setiap tahunnya," ucap Subuh menandaskan. (TW)