World Health Organization Berencana Mengklasifikasikan Adiksi Video Game Sebagai Penyakit Mental

Harus ada sejumlah syarat yang terpenuhi sebelum seseorang dapat didiagnosis
World Health Orgazination atau yang juga dikenal dengan WHO berencana untuk menambahkan adiksi video game (gaming disorder) ke dalam International Classification of Disease pada tahun depan. Gaming disorder sendiri akan diklasifikasikan sebagai penyakit mental.

Meski demikian, bukan berarti setiap orang yang bermain banyak game secara otomatis dianggap memiliki kelainan mental. Karena menurut draft WHO untuk ICD 2018, harus ada sejumlah syarat yang terpenuhi.

Di antaranya yaitu ketidakmampuan untuk mengontrol waktu bermain game, lebih menutamakan game ketimbang kegiatan lainnya, serta bermain game terus menerus meskipun menyebabkan dampak negatif. Kebiasaan-kebiasaan tadi juga menyebabkan gangguan terhadap hubungan sosial dan aktivitas lainnya seperti pekerjaan atau pendidikan.

Dalam draft tadi juga dituliskan:

“umumnya setidaknya (diperlukan) bukti selama 12 bulan untuk memberikan diagnosis, tetapi waktu yang diperlukan mungkin lebih singkat jika semua syarat diagnosis terpenuhi dan gejala (sudah) parah.”

Meski menimbulkan dampak negatif, terdapat juga studi yang mengatakan bahwa bermain game dapat memberikan dampak positif. Misalnya menunjukkan tingkat kecerdasan seseorang.

https://gamebrott.com/

 

Pemerintah Didorong Produksi Vaksin Sendiri

Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) meminta pemerintah untuk segera mendorong badan-badan usaha milik negara (BUMN) dan daerah (BUMD) untuk memproduksi berbagai serum vaksin termasuk serum anti Difteri.

Selama ini serum dan vaksin yang digunakan untuk vaksinasi lebih banyak impor dari berbagai negara, yang kehalalannya masih diragukan. Selain itu, jika masih mengandalkan impor, hal ini dinilai sangat membahayakan kesehatan masyarakat dan ketahanan bangsa.

“Salah satu penyebab munculnya penyakit difteri adalah belum tuntasnya status halal program imunisasi. Pemerintah perlu memastikan kepada industri farmasi agar melakukan sertifikasi halal produk serun dan vaksin," ujar Ketua ILUNI UI yang membidangi masalah kesehatan masyarakat, Wahyu Sulistiadi Mars dikutip dari keterangan resminya, Senin 18 Desember 2017.

Menurut dia solusi lainnya yang tidak kalah penting adalah mengalokasi dana yang lebih besar untuk kesehatan masyarakat. Sehingga langkah-langkah antisipasi bisa dilakukan.

"Sudah saatnya sektor kesehatan masyarakat diberikan anggaran yang memadai untuk menginvestasi manusia sehat Indonesia dengan mencegah penyakit,”kata Wahyu.

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini menilai, penyebab lain semakin meluasnya wabah difteri ini adalah karena masyarakat juga panik menghadapi penyakit ini. Apalagi, secara sepihak Badan Penyelanggara Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan) menyatakan tidak menanggung biaya perawatan dan penyembuhan anggota masyarakat yang terkena wabah penyakit ini.

"Salah satu solusi agar wabah penyakit ini tidak meluas, masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi sekaligus menghentikannya tidak usah panik. Karena itu, ketika BPJS Kesehatan menyatakan tidak menanggung biaya pengobatan dan perawatannya, maka Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat harus segera mengambil alih biaya pengobatan dan perawatan anggota masyarakat yang menjadi korban dari wabah penyakit ini
Bio Teroris Dahsyat," tambahnya.

Lebih lanjut, Wahyu menyebutkan, penyakit infeksi yang dikomando bakteri Corynebacterium Diptheriae itu bisa menyebabkan kematian pada umat manusia yang mengidapnya. Penyakit ini bisa menjadi bio teroris yang lebih dahsyat dari teroris yang selama ini dikenal.

“Penyakit Difteri ini dalam jangka waktu lama sudah tidak muncul. bahkan hampir dikatakan musnah dari permukaan bumi Indonesia. Akan tetapi ketika bangsa ini tidak lagi mempedulikan kesehatan masyarakatnya, penyakit Difteri ini bisa menghimpun dan menyerang begitu cepat anggota masyarakat kita," ungkapnya.

Hingga akhir November 2017 menurut Kementerian Kesehatan terdapat 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi terdapat kasus difteri. Secara keseluruhan telah terjadi 622 kasus wabah Difteri.

"32 orang yang menderita Difteri diantaranya meninggal dunia,” papar Wahyu.

http://www.viva.co.id

 

Indeks Kesehatan Indonesia Masih Sangat Rendah

Penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di beberapa provinsi membuat penyakit tersebut resmi dianggap ancaman besar hingga pengujung 2017. Yang menyedihkan, salah satu penyebab tingginya penyebaran difteri akibat sebagian warga menolak melakukan vaksinasi.

Antara melaporkan sekitar 66 persen penduduk Indonesia yang terserang difteri ternyata tidak mengalami imunisasi. Selain itu, meski sudah pernah dilakukan vaksinasi, untuk mencegah difteri tidak hanya cukup sekali vaksinasi, namun harus dilakukan lagi setelah 10 tahun. Vaksin difteri juga diklaim dapat mencegah wabah ini hingga 95 persen.

Selain wabah difteri atau campak, Indonesia juga sedang menghadapi berbagai epidemi, seperti epidemi malaria. Dalam laporan A Baseline Analysis from the Global Burden of Disease Study 2015 memaparkan bahwa malaria, tuberkolosis dan HIV mendapat nilai rendah yang artinya Indonesia harus berjuang keras melawan penyakit tersebut.

Selain negara berkembang, negara-negara yang punya masalah dengan penanganan penyakit biasanya adalah negara yang didera perang. Yaman, misalnya, negara tersebut berada di posisi terendah lantaran diserang Kolera dan hancurnya berbagai infrastruktur kesehatan akibat perang. Amerika Latin juga berjuang melawan virus zika. Sedangkan Myanmar beberapa bulan lalu diserang flu babi.

Di tengah berbagai serangan virus dan bakteri, sayangnya setengah populasi dunia tidak dapat memperoleh layanan kesehatan yang memadai menurut laporan Bank Dunia dan WHO. Situasi itulah yang menempatkan sejumlah negara di posisi rendah dalam indeks kesehatan yang rendah.

Indonesia rupanya juga berada dalam posisi yang buruk. Dalam indeks kesehatan global terakhir, Indonesia berada di posis ke 101 dari 149 negara menurut laporan The Legatum Prosperity Index 2017.

Indeks ini didasarkan pada kesehatan fisik, mental, infrastruktur kesehatan dan perawatan guna pencegahan berbagai wabah atau penyakit. Dibandingkan Singapura, misalnya, posisi Indonesia sangatlah jauh. Negara maju yang hanya seluas DKI Jakarta dengan penduduk sekitar 5 juta jiwa ini menjadi negara dengan indeks kesehatan terbaik nomor dua di dunia.

Singapura berada di bawah Luksemburg yang menjadi negara dengan indeks kesehatan terbaik di dunia. Lima negara teratas memang dipegang negara-negara maju termasuk Jepang, Swiss dan Austria. Negara-negara maju memang memiliki layanan kesehatan yang baik yang ditunjang infrastruktur memadai.

Negara-negara dunia ketiga, khususnya dari Afrika, yang sangat minim dalam layanan kesehatan yang memadai seperti Chad, Afrika Tengah, Guinea dan Liberia menempati posisi terbawah sebagai negara dengan indeks kesehatan berburuk di dunia.

Dibandingkan negara ASEAN lainnya pun posisi Indonesia masih keteteran. Thailand menempati posisi 35. Sedang Malaysia menempel Thailand di posisi 38. Indonesia bahkan kalah dari Vietnam yang berada di posisi 69 atau Laos di posisi 94.

Malaysia bahkan punya pencapain lain yang sangat menarik. Dalam 10 tahun terakhir pemerintah setempat gencar melakukan perbaikan sistem kesehatan dengan biaya murah. Tidak heran jika
berbagai layanan kesehatan seperti rumah sakit di Malaysia pun mendapat akreditasi tinggi.

Situasi itulah yang membuat Malaysia bahkan berani membangun wisata medis bagi turis atau pasien luar negeri. Hal itu terjadi karena layanan kesehatan di negara ini dinilai cukup memadai dan juga memiliki harga yang relatif terjangkau.

Pada 2011, misalnya, sekitar 643 ribu turis asing datang mengunjungi Malaysia untuk memperoleh layanan kesehatan. Jumlah itu semakin melonjak pada 2016 yang bahkan mencapai 921 ribu.

Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah pada sektor kesehatan. Misalnya, dari segi pencegahan, masih banyak warga yang kurang sadar melakukan imunisasi. Termasuk kesadaran menjaga lingkungan agar terhindar dari berbagai penyakit.

Hingga kini, 120 juta warga masih hidup dalam lingkungan dengan sanitasi yang buruk. Setiap tahun bencana asap mengancam saluran pernafasan warga di Sumatera dan Kalimantan. Mutu air sungai di Indonesia termasuk buruk karena 52 sungai berstatus tercemar berat.

Dari sisi pemerintah, sejak awal 2017, pemerintah berjanji meningkatkan layanan kesehatan dengan merilis Epidemiology Operation Center (EOC). Sistem itu akan memantau penyakit yang muncul di seluruh Indonesia selama 24 jam. Namun upaya ini ternyata belum mampu mencegah dua kematian karena difteri di Jakarta.

Sedangkan dari sisi pengobatan dan infrastruktur kesehatan, masih banyak wilayah terpencil di yang masih sulit untuk mengakses layanan medis. Bahkan wilayah yang sudah memiliki layanan medis lengkap pun, belum tentu mendapatkan layanan kesehatan karena biaya yang mahal. Meski kini pemerintah sudah menerapkan kartu Indonesia Sehat, termasuk adanya BPJS, namun rupanya hal itu belum cukup mengangkat indeks kesehatan Indonesia di tingkat global.

https://tirto.id/

 

Cakupan Kesehatan Semesta

UNIVERSAL Health Coverage (UHC) atau cakupan kesehatan semesta, merupakan target Pemerintah Indonesia untuk mencakup seluruh penduduk Indonesia dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menurut Peta Jalan Kesehatan Nasional, UHC ditargetkan tahun 2019 atau satu tahun dari sekarang. Kepesertaan JKN sendiri sampai 1 November 2017 tercatat mencapai 183.579.086. Jika pada saat yang sama penduduk Indonesia ada 260 juta penduduk, maka masih lebih dari 75 juta penduduk Indonesia yang karena berbagai alasan belum menjadi anggota.

Berbagai kendala sudah banyak dikemukan di media. Mulai dari besaran iuran, kesulitan BPJS-Kesehatan dalam mendorong kepesertaan pekerja sektor informal dan kelompok muda, fasilitas kesehatan yang belum merata (sehingga peserta kesulitan mengakses pelayanan kesehatan). Hingga pelayanan kesehatan yang belum sesuai harapan membuat sebagian masyarakat memilih tidak menjadi peserta JKN. Akan tetapi jika diperhatikan lebih lanjut kendala ini - terutama keengganan sebagian masyarakat untuk menjadi peserta - salah satunya dapat dipahami dari kondisi sosio-historis masyarakat.

Sakit itu Takdir

Satu anekdot yang sering kita dengar menyebutkan jika keengganan sebagian masyarakat Indonesia menjadi peserta JKN dikarenakan kepercayaan yang sangat dalam bahwa sakit sudah ditakdirkan Tuhan. Meskipun anekdot ini tidak sepenuhnya benar akan tetapi sifat fatalis masyarakat ada kalanya mempengaruhi pengambilan keputusan. Perencanaan terhadap sesuatu yang belum pasti dianggap nggege mangsa dan salahsalah menjadi sebuah ‘doa’ meminta diberi sakit. Kondisi inilah - salah satu faktor - yang menyebabkan sebagian masyarakat baru mendaftar menjadi peserta ketika dirinya atau ada anggota keluarga yang sakit.

Dalam beberapa kajian yang dilakukan KPMAK sikap fatalis memang bisa dirasakan tapi tidak terlihat dominan. Pada umumnya masyarakat, terutama di perkotaan, sudah memahami pentingnya jaminan kesehatan. Akan tetapi keputusan untuk menjadi peserta tidak selalu berbanding lurus dengan pemahaman masyarakat tersebut. Ada berbagai faktor selain pemahaman terhadap jaminan yang mempengaruhi masyarakat untuk menjadi anggota. Faktor usia misalnya, sebagian masyarakat memilih untuk tidak menjadi peserta karena merasa sehat dan masih muda. Sehingga untuk saat ini belum merasa memerlukan jaminan kesehatan. Sebagian yang lain beralasan pengalaman teman, tetangga, atau saudara yang kurang baik membuat mereka enggan untuk mendaftar. Sedangkan di pedesaan faktor kurangnya pemahaman terhadap pentingnya jaminan kesehatan, cara mendaftar, dan tempat mendaftar masih sangat kurang.

Peningkatan Kepesertaan

Untuk mewujudkan cakupan kesehatan semesta, BPJS Kesehatan sebagai lembaga penyelenggara Jaminan Kesehatan tidak bisa bekerja sendiri. Dalam hal peningkatan pemahaman masyarakat di daerah pedesaan, BPJS-Kesehatan perlu melibatkan pemerintah daerah termasuk dalam hal ini pemerintah desa, lembaga adat, keagamaan, dan sejenisnya. Selain itu isi program sosialisasi harus fokus pada hak, kewajiban, manfaat dan prosedur dengan menyesuaikan kondisi sosial budaya setempat. Tidak lagi sekadar memperkenalkan BPJS-Kesehatan.

Khusus untuk kelompok usia muda, BPJS-Kesehatan perlu mangadopsi strategi pemasaran asuransi komersial untuk menarik minat kelompok ini, misalnya dengan mengintensifkan sesi konsultasi tatap muka. Meskipun informasi JKN bisa diakses di internet akan tetapi interaksi secara langsung sangat diperlukan. Karena masing-masing individu mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda.

Satu catatan dari kajian yang dilakukan KPMAK adalah efektifnya gethok tular dalam menyampaikan informasi di masyarakat. Pelayanan yang kurang menyenangkan di rumah sakit dengan cepat menyebar dan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap program JKN. Untuk itu penguatan kompetensi dokter - tidak hanya dalam aspek klinis tapi juga teknik berkomunikasi - baik di puskesmas maupun rumah sakit sangat diperlukan selain pemenuhan kebutuhan sarana prasarana dan obat-obatan. Tanpa adanya usaha yang extra ordinary tampaknya cakupan kesehatan semesta hanya sebatas angan-angan saja.

http://krjogja.com/

 

Babak Baru Kesehatan Tradisional Indonesia

Jakarta, Gatra.Com - 15 Organisasi kesehatan tradisional Indonesia mendeklarasikan pendirian Perkumpulan Induk Organisasi Kesehatan Tradisional Indonesia (PIKTI). Babak baru pengembangan kesehatan tradisional.

Wadah organisasi yang baru terbentuk ini telah menunjuk Dr. dr. Ekawahyu Kasih sebagai Ketua Umum PIKTI yang terpilih secara aklamasi. Menurutnya, organisasi baru ini bertujuan menyokong Kementerian Kesehatan khususnya Direktorat Kesehatan Tradisional Indonesia dalam mengembangkan kesehatan tradisioal baik empiris maupun komplementer.

Mulai dari upaya pencegahan, pengobatan, rehabilitasi yang membutuhkan biaya negara yang sangat besar untuk menjamin kesehatan masyarakat di Indonesia.

"PIKTI bertekad untuk menjadi mitra Kementerian Kesehatan dalam memberikan masukan dan saran yang konstruktif agar seluruh kebijakan dan regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah yang berkaitan dengan kesehatan tradisional Indonesia dapat menyelesaikan setiap akar permasalahan yang sebenarnya," jelasnya.

Untuk itu, ia mengajak seluruh organisasi kesehatan tradisional Indonesia yang belum menjadi anggota PIKTI untuk dapat bergabung menjadi anggota PIKTI sebagai upaya menyatukan seluruh potensi sumber daya tradisional Indonesia dalam rangka menghadapi berbagai tantangan baik ditingkat Nasional, Regional maupun Internasional.

"Organisasi PIKTI juga mendorong berdirinya Perguruan Tinggi dengan program studi Kesehatan Tradisional Indonesia untuk menambah kuantitas dan kualitas pelaku kesehatan tradisional Indonesia,"katanya.

Organisasi pendiri PIKTI :

  1. Perkumpulan Terapis Kesehatan Holistik Indonesia
  2. Perkumpulan Para Pemijat Penyehatan Indonesia
  3. Perkumpulan Praktisi Ilmu Kesehatan Ruang Tubuh Indonesia
  4. Andalan Penyembuh Alternatif Indonesia
  5. Perkumpulan Asosiasi Spa Terapis Indonesia
  6. Persaudaraan Pelaku & Pemerhati Pijat Refleksi Indonesia
  7. Persaudaraan Pelaku dan Pemerhati Akunpuntur Indonesia
  8. Perkumpulan Tuina Indonesia
  9. Pekumpulan Naturpatis Indonesia
  10. Asosiasi Pengobatan Tradisional Ramuan Indonesia
  11. Asosiasi Medikal Hipnoterapi Indonesia
  12. LSK – Pijat Akupresur Indonesia
  13. LSK – Sinshe TCM Indonesia / STAB Nalanda
  14. Yayasan Keluarga 70
  15. LSK Pijat Tradisional Indonesia

 

sumber:  https://www.gatra.com/

 

Menkes: Total Pembelian Obat e-Katalog 2017 Capai Rp 18 Triliun

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Farid Moeloek menyatakan bahwa transaksi pengadaan obat lewat sistem elektronik katalog atau e-katalog pada tahun 2017 sebesar Rp18 triliun.

"Pembelian e-katalog sudah tembus Rp18 triliun," kata Nila di Bekasi, Kamis (23/11/2017).

Menurut Menkes, transaksi e-katalog adalah sistem yang bagus karena terbuka untuk umum. Ia pun menyatakan jenis obat yang laris melalui sistem itu adalah obat generik karena harganya yang lebih murah dari obat paten.

Ia juga yakin pemakai layanan transaksi e-katalog akan meluas karena Indonesia merupakan populasi penduduk yang tergolong besar.

“Untuk farmasi kita mendorong dapat mandiri dan membuat obat-obatan yang layak dipakai masyarakat. Obat generik pun memiliki kasiat yang sama dengan obat paten," kata Nila.

Ia juga mendorong agar pelaksanaan Pengadaan Obat Dengan Prosedur e-Purchasing Berdasarkan e-katalog dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan transparansi dalam proses pengadaan obat.

Selain itu, Nila juga menyatakan bahwa sistem itu bisa mengurangi adanya potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di kalangan profesi kedokteran maupun manajemen rumah sakit.

"Suplier saat ini sedang kita dorong lewat e-katalog berikut pencantuman harganya, sehingga lebih banyak obat generik dengan harga lebih murah," katanya.

Ia juga menyatakan bahwa sistem itu bisa menutup celah oknum dokter yang sebelumnya bisa 'memainkan' harga pasaran obat karena harga yang tercantum dalam e-katalog bisa diakses masyarakat luas dan terawasi.

"Dokter sudah tidak mungkin lagi melakukan gratifikasi. Sistem ini bagus karena rumah sakit dapat memantau fluktuasi harga pasaran yang terbuka secara umum," kata Menkes Nila.

https://tirto.id/

 

Hari Kesehatan Nasional Berbuah Rekor Dunia

Jakarta Memperingati Hari Kesehatan Nasional 2017, Kementerian Kesehatan RI melakukan berbagai kegiatan diantaranya dengan senam peregangan yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia.

Dari aktivitas itu, bukan hanya tercatat di rekor meraih rekor dunia sebagai senam peregangan dengan jumlah peserta terbanyak yakni mencapai lebih dari 120 ribu orang.

Awalnya senam peregangan ini diajukan untuk rekor di Indonesia saja. Namun, Direktur Rekor MURI, Jaya Suprana menolak hal tersebut.

“Senam hari ini diajukan sebagai rekor Indonesia, tapi setelah saya melihat apa yang terjadi di sini, ini bukan rekor Indonesia tapi rekor dunia. Belum pernah terjadi dimanapun. Jadi, kalian semua adalah pencipta rekor dunia,” kata Suprana saat memberikan kata sambutan ke para peserta senam peregangan di kawasan Bundaran HI, Minggu (12/11/2017).

Piagam penghargaan diberikan kepada Menteri Kesehatan RI, Nila Moeloek didampingi oleh pejabat tinggi Kementerian Kesehatan.

Kegiatan ini diikuti oleh berbagai kementerian atau lembaga lain seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Lembaga Administrasi Negara, hingga Badan Intelijen Negara, beberapa perwakilan duta besar Negara tetangga.

Senam peregangan merupakan salah satu aktivitas fisik yang masuk dalam fokus program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) 2017. Dua fokus Germas lainnya adalah makan buah, sayur, ikan, serta cek kesehatan secara berkala.

Senam ini dipilih sebagai salah satu cara meningkatkan aktivitas fisik masyarakat yang kini cenderung banyak duduk. Menteri Kesehatan RI, Nila Moeloek mengatakan senam peregangan tidak hanya berhenti di sini melainkan menjadi aktivitas rutin yang harus dilakukan setiap hari.

“Senam peregangan ini dilakukan tiga menit sehari dua kali. Kami menghimbau di seluruh kementerian atau lembaga, perkantoran pemerintah maupun swasta kita kebanyakan duduk di kantor, lakukan senam peregangan dua kali sehari setiap jam 10 dan jam 14,” imbuh Nila.

Selain itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang ikut hadir dalam acara itu mengaskan agar masyarkat membiasakan hidup sehat. Beragam cara bisa dilakukan agar bisa tetap sehat, seperti dengan banyak bergerak, olahraga, dan makan sehat. Serta tidur cukup dan rutin memeriksakan kesehatan (deteksi dini).

Cara untuk menjaga kesehatan ternyata ada yang bisa dilakukan dengan murah dan tak perlu mengeluarkan uang.

“Obat penting, tapi berolahraga merupakan kebiasaan sehat. Tidak merokok, merupakan upaya kesehatan yang murah,” ujar Jusuf Kalla.

http://news.liputan6.com/

 

Penduduk Indonesia Berisiko Tinggi Terkena Katarak

Katarak atau kekeruhan lensa mata merupakan proses degeneratif yang pada umumnya karena faktor usia dan sampai saat ini merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak di Indonesia maupun dunia.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dikeluarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, prevalansi katarak adalah 0,1% per tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang penderita katarak baru.

Penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah subtropis. Sekitar 16%-22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55 tahun.

Sebagai rangkaian peringatan World Sight Day (WSD) atau Hari Penglihatan Sedunia yang peringatannya jatuh pada Kamis kedua pada Oktober dengan tema Make Vision Count , JEC menyelenggarakan Bakti Katarak di JEC @Kedoya.

“Bakti Katarak merupakan bentuk kontribusi JEC dalam rangka mengurangi jumlah penderita katarak. Hal ini juga sejalan dengan komitmen JEC mendukung program pemerintah Bebas Buta Katarak 2020,” kata Dr Setiyo Budi Riyanto SpM, Ketua Service Katarak dan Bedah Refraktif JEC dan Direktur Utama JEC @Menteng.

Dalam seluruh tindakan operasi katarak, JEC menerapkan standar baku tanpa melihat latar belakang pasien. Dukungan pengalaman dan pengetahuan tenaga medis dalam bidang kesehatan mata modern serta dukungan fasilitas layanan medik dan nonmedik terkini menjadi faktor kesuksesan pelaksanaan operasi.

Untuk setiap kegiatan Bakti Katarak, JEC menjalin kerja sama dengan Perhimpunan Dokter Mata Se- Indonesia (Perdami) dan Gerakan Matahati. “Sebagai upaya menghadirkan layanan terdepan kepada pasien, kami secara konsisten terus menerapkan teknologi mutakhir dan mengembangkan kualitas teknologi operasi mata serta dukungan fasilitas, tim medis dan nonmedis yang kompeten di bidangnya,” papar dr Budi.

Untuk diketahui, setiap tahunnya angka katarak di Indonesia terus mengalami peningkatan, di mana diperkirakan 280.000 angka katarak terus bertambah setiap tahunnya. Sementara penduduk dengan usia 50 tahun ke atas merupakan usia yang paling berisiko terkena katarak.

Namun, ada kondisi tertentu yang dapat menyebabkan katarak terjadi di usia 40 tahun. Umumnya akibat penyakit diabetes melitus. Gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan komplikasi pada penglihatan.

Selain diabetes, adanya trauma di bola mata juga bisa memicu katarak usia muda, meski angka kejadiannya masih kecil. Sejak awal berdirinya, JEC secara konsisten menyelenggarakan kegiatan operasi katarak gratis. Sepanjang 2017, sekitar 200 penderita katarak dari masyarakat kurang mampu telah menjalani operasi.

Sebagai tindakan edukasi dan pencegahan, JEC juga melakukan beberapa kegiatan penyuluhan dan seminar bekerja sama dengan lembaga atau institusi guna memberikan pemahaman tentang pentingnya kesehatan mata dan mengimbau secara rutin melakukan pemeriksaan.

“Dengan mengikuti penyuluhan dan seminar yang diselenggarakan JEC, kami berharap dapat membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya kesehatan mata,” kata dr Muhammad Yoserizal SpM, ketua panitia Bakti Katarak. (Sri Noviarni)

https://lifestyle.sindonews.com/