Peran WHO dalam Membantu Pemerintah Indonesia

World Health Organization atau biasa disebut WHO adalah organisasi internasional yang didirikan pada tanggal 7 April 1948 yang bermarkas di Jenewa, Swiss. WHO adalah organisasi internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mempunyai tanggungjawab untuk memberikan arah dan kebijakan dalam penanganan kesehatan masyarakat dunia.

WHO terdiri atas Lembaga Perwakilan atau The World Health Assembly dan Badan Eksekutif atau Executive Board. Lembaga perwakilan beranggotakan 193 negara dan badan eksekutif WHO terdiri atas 34 orang yang dipilih setiap tiga tahun sekali.

Badan eksekutif terdiri dari orang-orang yang memiliki keahian khusus dalam bidang kesehatan, sedangkan lembaga perwakilan yang menentukan siapa yang akan menjadi Direktur Jenderal, merencanakan anggaran organisasi, dan membahas laporan badan eksekutif WHO.

WHO memiliki tujuan untuk mencapai kesehatan maksimal bagi seluruh masyarakat dunia, untuk mencapai tujuannya, WHO aktif melakukan tugas-tugas yang diantaranya sebagai berikut, bertugas menanggulangi kesehatan dengan cara membantu melakukan pembatasan terhadap penyakit-penyakit menular, memberikan bantuan kesehatan kepada negara-negara yang membutuhkan, membantu meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan ibu dan anak, serta mendorong dan membantu pelaksanaan penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan.

Menurut deklarasi WHO 1948, WHO memiliki fungsi yang di antaranya adalah sebagai berikut, bertindak, mengarahkan dan mengkoordinir kewenangan otoritas dalam upaya kesehatan internasional, membantu pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan, berkerjasama dengan badan-badan khusus lain jika perlu, untuk mencegah terjadinya kerugian nyata terkait dengan kesehatan masyarakat dunia, membantu perkembangan kesehatan mental, terutama yang mempengaruhi keselarasan hubungan antarmanusia, dan mempromosikan dan melakukan riset dalam bidang kesehatan.

Indonesia mempunyai tuntutan perubahan dalam tingkat global untuk memajukan ketatakelolaan yang baik di semua sektor, termasuk sektor kesehatan. Tuntutan ini tidak hanya dimiliki oleh Indonesia secara khusus, namun seluruh negara-negara dunia. WHO sebagai organisasi internasional juga dituntut untuk menerapkan mekanisme kerjasama yang mengedepankan transparansi, adil, dan setara.

Pada 23 Mei 1950, Indonesia resmi menjadi anggota WHO hingga saat ini. Dalam kurun waktu 68 tahun sejak Indonesia resmi menjadi anggota WHO, WHO banyak memberikan dukungan program kesehatan di Indonesia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas institusi maupun individu guna mendukung kebijakan kesehatan tingkat nasional maupun komitmen global.

Tidak hanya itu, WHO juga berperan dalam membantu pemerintah untuk mengatasi maraknya peredaran obat palsu melalui kerjasama dengan Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan makanan serta organisasi non-pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mengumpulkan data-data yang kemudian diserahkan dan dipergunakan oleh pemerintah Indonesia untuk membuat suatu kebijakan dalam bidang kesehatan berkaitan dengan obat palsu.

WHO juga mempunyai peran dalam mengatasi virus flu burung (H5N1) di Indonesia. Wabah flu burung (Avian influenza) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh burung tipe A strain virus influenza.

Penyakit ini mulai terindentifikasi sejak tahun 2003 di China dan Vietnam. Pada tahun 2005, flu burung mulai masuk ke wilayah indonesia dan mulai memakan korban dan dinyatakan 13 orang meninggal akibat menderita flu burung.

Dalam hal ini, WHO telah menyerahkan bantuan untuk Indonesia berupa 22 unit ambulans dan beasiswa bagi 48 mahasiswa untuk melakukan pelatihan field epidemoligy, WHO juga meminta pemerintah Indonesia menyerahkan sampel virus flu burung untuk dijadikan penelitian, serta memberi bantuan berupa 36 ribu box tamiflu. WHO juga membantu dalam meningkatkan pengawasan, manajemen terhadap serangan penyakit, dan menyiapkan rumah sakit.

sumber: https://kumparan.com/deyan-nugraha/peran-who-dalam-membantu-pemerintah-indonesia-pada-sektor-kesehatan

 

Penyakit Infeksi dan Degeneratif, Beban Ganda Dunia Kesehatan Indonesia

JAKARTA, (PR).- Pakar gizi Susianto Tseng menilai Indonesia sedang menghadapi beban ganda dalam bidang kesehatan yang harus ditindaklanjuti dengan langkah yang serius.

"Sekarang ini, baik disadari atau tidak, Indonesia dihadapkan pada masalah beban ganda di bidang kesehatan, yakni selain masalah penyakit infeksi yang belum tuntas ditangani, muncul masalah baru berupa penyakit degeneratif yang memerlukan biaya kesehatan yang lebih mahal," kata doktor lulusan UI yang banyak mendalami kajian terkait manfaat tempe itu di Jakarta, Selasa, 3 April 2018, seperti dilansir Kantor Berita Antara.

Ia menambahkan, kurangnya energi dan protein (KEP), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), dan gangguan akibat kurang iodium (GAKI) masih tetap menjadi masalah gizi buruk di Indonesia yang harus diselesaikan.

Sementara penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung, stroke, hipertensi,kanker, diabetes melitus, obesitas, osteoporosis juga menjadi masalah lain yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.

"Kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya berbagai penyakit dari hewan, seperti flu burung dan antraks," kata Susianto yang juga Sekjen Indonesia Vegetarian Society (IVS) itu.

Bahkan ia mencatat penyakit jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke, dan kanker yang selama ini menduduki tempat utama penyebab kematian di Amerika Serikat dan negara maju lainnya kini mulai menjadi ancaman yang sama di Indonesia.

Ia mengatakan, penyakit kardiovaskular yang pada awal mula merupakan penyebab kematian nomor 11 yaitu sebanyak 5,1 persen pada 1971, tetapi meningkat menjadi nomor 3 sebanyak 9,7 persen pada 1986.

Selanjutnya pada 1995 meningkat menjadi nomor 1 (18,9 persen) dan 26 persen pada 2001, terutama terjadi di kota-kota besar di Indonesia.

"Telah terjadi peningkatan jumlah penderita yang berusia muda yakni di bawah umur 45 tahun dari 7 persen pada 1985 meningkat menjadi 17 persen pada 1989," katanya.

Ia mengutip data Susenas (2003) dan Depkes (2005) yang mencatat bahwa masalah gizi lebih pada usia dewasa di Indonesia tergambar dari indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 sebanyak 21,0 persen (gemuk), IMT lebih dari 27 sebanyak 11,1 persen (obesitas), dan IMT lebih dari 30 sebanyak 3,9 persen.

"Peningkatan pola konsumsi makanan cepat saji (fast food) yang tinggi kolesterol, lemak jenuh, garam, namun rendah serat, dan minuman soft drink yang tinggi gula serta gaya hidup yang rendah aktivitas fisik pada masyarakat perkotaan meningkatkan prevalensi terjadinya gangguan penyakit-panyakit itu," katanya.

Perbanyak buah dan sayur
Oleh karena itu, ia menyarankan agar Pemerintah dan masyarakat di Indonesia mulai menggalakan pola makan sehat khususnya memperbanyak pangan berbasis nabati terutama di daerah perkotaan dengan mengonsumsi lebih banyak sayur dan buah.

"Upaya ini dapat dilakukan melalui program KIE (komunikasi, informasi, edukasi) untuk mencegah dan menanggulangi penyakit degeneratif yang sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia," kata Susianto.

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/

 

Ingin Tenaga Kesehatan Indonesia 'Kompak', Kemenristekdikti Adaptasi Sistem Pelayanan Kesehatan Inggris

JAKARTA -- Dalam upaya meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia terutama untuk konsentrasi tenaga kesehatan. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) serta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berkolaborasi dengan Kedutaan Besar (Kedubes) Inggris untuk mengadakan workshop dan seminar pendidikan kesehatan.

Seminar yang berlangsung pada 23-24 Maret 2018 di Fairmomt Hotel Jakarta ini mengusung tema praktif kolaboratif interpersonal untuk para tenaga kesehatan dan yang terkait dalam bidang pendidikan kesehatan. Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengatakan bahwa paradigma masyarakat Indonesia terlalu fokus pada satu bidang permasalahan.

"Paradigma masyarakat ini kan kalau sudah menangani orang sakit jantung ya jantungnya saja yang diurusi. Padahal, semua di dalam tubuh juga terkait itu," ungkapnya, Jumat (23/3/2018).

Ghufron menyatakan sangat penting bagi para tenaga kesehatan untuk berkolaborasi satu sama lain agar terjadi peningkatan pelayanan kesehatan di Indonesia dan pasien pun terlayani secara maksimal.

"Jadi, kita juga belajar dari sistem pelayanan kesehatan Inggris atau biasa disebut National Health Service. Sistem ini paling besar dan modern di dunia, jadi para tenaga kesehatan di sana bekerja sama satu dengan lainnya," lanjutnya.

Ghufron menambahkan akan ada banyak ide inovatif yang dapat diadaptasi Indonesia dalam bidang pendidikan antarprofesi dan praktek kolaboratif tenaga kesehatan. Pemerintah meyakini bahwa keahlian serta pengalaman kolaboratif tenaga kesehatan dari Inggris bisa menjadi contoh sebagai panduan model kolaboratif tenaga kesehatan di Indonesia.

Untuk melihat dan menguji hasil kolaborasi yang diharapakan tersebut, Kemenristekdikti dan Kemenkes sepakat untuk melakukan percobaan kolaborasi interpersonal di lima rumah sakit terpilih yakni rumah sakit Universitas Indonesia (UI), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), rumah sakit Universitas Gajah Mada (UGM), rumah sakit Universitas Airlangga (Unair), rumah sakit Universitas Padjajaran (Unpad), dan rumah sakit Universitas Hasanuddin (Unhas).

sumber: http://kabar24.bisnis.com/

 

Alih Program ke BPJS Tenaker, Asabri Desak Revisi UU SJSN

PT Asabri (Persero) mendesak pemerintah untuk merevisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), menyusul ketentuan wajib agar perusahaan mengalihkan programnya ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

"Kami akan membuat saran untuk revisi, karena tidak mungkin (peralihan program). Kami diskusi dulu, maunya bagaimana dan kekhususan masing-masing seperti apa? Kami kan belum pernah duduk bersama," ujar Direktur Utama Asabri Sonny Widjaja, Selasa (30/3).

Menurut Sonny, ada beberapa hal yang menjadi kendala peralihan program Asabri ke BPJS Tenaker. Bentuk usaha Asabri yang berbeda dengan pemberi jaminan sosial lain. Misalnya, Asabri hanya memberikan asuransi bagi TNI, Polri, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Pertahanan.

"Asabri itu unik. Kalau kami masuk ke sana (BPJS Tenaker), mau ditaruh dimana penghargaan kepada prajurit dan polisi yang menghadapi musuh? Ini tidak bisa. Tidak nyambung," katanya.

Bahkan, ia menyebut negara-negara lain pun, seperti Malaysia, memberikan penugasan khusus jaminan sosial bagi prajurit yang dikelola oleh institusi yang berbeda.

Hal lainnya, sambung Sonny, seharusnya UU SJSN tidak menganggu kinerja masing-masing perusahaan. Apabila BPJS Tenaker ingin menambah jumlah pesertanya, seharusnya tidak diambil dengan peralihan program milik Asabri.

"Kenapa tidak BPJS Tenaker itu mengambil (potensi) tenaga kerja yang sekarang masih ada sekitar 20 juta yang belum masuk ke sana. Kenapa memikirkan Asabri yang sudah settle (tetap)," imbuh dia.

Namun begitu, ia melihat kerja sama antara Asabri dan BPJS Ketenagakerjaan tetap bisa terjalin melalui sinergi program tertentu. Hanya saja, ia belum bisa memberi contoh kerja sama tersebut.

Berdasarkan UU SJSN dikatakan bahwa Asabri harus menyelesaikan pengalihan program milik Asabri pribadi dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029 mendatang.

Tak hanya Asabri, UU juga memerintahkan hal yang sama kepada PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) atau Taspen paling lambat 2029 mendatang. (bir)

sumber; https://www.cnnindonesia.com/

 

Modus rumah sakit bebani peserta BPJS

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak lepas dari masalah. Selain adanya defisit keuangan, pelaksanaan jaminan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan juga banyak menemui kritik.

Salah satu keluhan berasal dari masih adanya pungutan tambahan yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan, baik klinik maupun rumah sakit mitra BPJS Kesehatan. Kasus tersebut menjadi temuan BPJS Watch. Pungutan itu menjadi indikasi adanya kecurangan yang dilakukan rumah sakit dan klinik.

Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, kecurangan dilakukan dengan berbagai modus. Selain memungut biaya tambahan yang tidak seharusnya, peserta BPJS Kesehatan juga sering harus membayar biaya administrasi yang tidak perlu. Ada juga RS dan klinik yang mengizinkan pulang pasien sebelum sembuh. "Ada juga pasien yang kena beban pembelian obat terpisah," katanya kepada KONTAN, Rabu (7/3).

Dugaan kecurangan teranyar, kata Timboel, ditemukan BPJS Watch dalam pelayanan peserta BPJS di Tangerang Banten. Menurutnya ada pasien BPJS Kesehatan yang berobat ke klinik dan dikenakan tindakan nebulizer atau penguapan, dikenakan biaya Rp 90.000. Padahal seharusnya layanan dan tindakan medis tersebut tidak perlu lagi dibayar pasien karena sudah ditanggung BPJS Kesehatan.

"Temuan itu kami advokasi dengan meminta pejabat BPJS Kesehatan pusat membantu, dan ternyata benar biaya ditutupi dan uang yang sudah dibayarkan oleh pasien dikembalikan," katanya.

Menurut Timboel, kecurangan yang dilakukan rumah sakit dan klinik disebabkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat tentang program JKN. Hal itu membuat masyarakat tidak tahu haknya sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Selain itu, kecurangan juga disebabkan terbitnya Permenkes No. 4 tahun 2017 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Timboel bilang, peraturan tersebut membuka celah bagi rumah sakit memungut biaya tambahan bagi pasien yang kelas rawat inapnya naik dengan alasan kamar penuh.

Padahal merujuk Permenkes 28/2014, ketika ruang perawatan penuh, pasien bisa naik kelas tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat bilang, jika pasien dibebani iuran di luar ketentuan maka bisa diadukan ke BPJS Kesehatan. "Bila laporan terbukti, BPJS Kesehatan tidak segan memberikan teguran dan sanksi memutus kerjasama dengan mereka," katanya.

sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/modus-rumah-sakit-bebani-peserta-bpjs

 

Dokter Tolak Kenaikan Gaji: Kiat Sukses Kanada Jaga Kesehatan Warga

Tuntutan naik gaji dari kelompok pekerja itu normal. Tapi jika menolak? Anomali tersebut benar-benar terjadi di Kanada. Lebih dari ratusan mahasiswa kedokteran di Provinsi Quebec yang menamakan diri Médecins Québécois Pour le Régime Public (MQRP) menandatangani surat terbuka untuk menolak kenaikan upah tahunan.

“Kami, dokter Quebec yang percaya bahwa dalam sebuah sistem publik yang kuat, menolak peningkatan gaji yang dinegosiasikan oleh federasi medis kami,” demikian isi surat yang dipublikasikan melalui website resmi MQRP pada 25 Februari 2018, sebagaimana dikutip dari The Globe and Mail.

Kenaikan gaji itu akan diterima oleh total 20.000-an spesialis medis dan praktisi umum di provinsi terbesar di Kanada itu. Besarannya antara 1,4 persen hingga 1,8 persen per tahun selama delapan tahun ke depan. Federasi petugas medis yang membuat pemerintah mau menaikkan anggarannya untuk upah dokter menyatakan kesepakatan itu adil, namun dokter-dokter di Quebec berseberangan pendapat.

MQRP mengkritik kenaikan gaji di tengah pemotongan drastis anggaran untuk layanan pasien dalalm beberapa tahun terakhir dan sentralisasi kekuasaan di Kementerian Kesehatan. Mereka juga menyoroti gaji dan kondisi kerja yang layak dari pekerja medis non-dokter di Kanada. Profesinya meliputi perawat, petugas klinik, dan lain sebagainya.

Penandatangan melonjak dari angka 200-an menjadi lebih dari 700 dalam kurun waktu satu minggu. Isabelle Leblanc, pemimpin kelompok yang melahirkan surat terbuka itu, mengatakan bahwa sikap para koleganya diambil berdasarkan solidaritas. Pasalnya sejak beberapa bulan terakhir para perawat Quebec sedang mendorong pemerintah untuk mengatasi kekurangan perawat yang membuat perawat aktif kelebihan jam kerja.

Kelebihan jam kerja berpengaruh terhadap kualitas beraktivitas, dan ini bisa berdampak buruk bagi pasien. “Kami pikir (penolakan kenaikan gaji) ini akan membantu lebih banyak pasien jika uang yang banyak itu dialihkan ke sistem pelayanan, bukan ke kantong para dokter,” jelas Isabelle.

Total anggaran untuk kenaikan upah dokter Quebec sedianya akan naik dari $4,7 miliar menjadi $5,4 miliar. Pada 2016 gaji rata-rata untuk dokter di Quebec sebesar $403 ribu per tahun. Gaji tertinggi dipegang oleh radiolog dengan gaji mencapai $700 ribu per tahun. Gaji perawat lebih rendah dibanding keduanya, namun intensitas kerjanya kerap lebih tinggi.

Pada Januari, isu ini diviralkan seorang perawat Quebec bernama Emilie Richard melalui akun Facebook-nya. Ia mengunggah foto diri dengan mata sembab dan keterangan yang menjelaskan dirinya sangat kelelahan usai lembur semalaman. Richard harus mengurus lebih dari 70 pasien di satu lantai di rumah sakit tempat ia bekerja. Ia dilanda stres yang menyebabkan kram hingga membuatnya susah tidur. Unggahan tersebut mendapat 42 ribu tanggapan dan dibagikan hampir 58 ribu kali.

Perjuangan federasi perawat Quebec pernah membuahkan pertemuan dengan Menteri Kesehatan provinsi pada akhir Februari kemarin. Sayangnya tak menghasilkan kesepakatan yang menggembirakan. Ketuanya federasi Nancy Bedard berkata pada Global News bahwa kawan-kawannya sudah tak tahan dengan kondisi kerja yang menyiksa. Terlebih lagi, pada akhirnya para pasien tak akan mendapatkan perawatan yang maksimal.
Medicare untuk Semua
Jika negara-negara lain punya stereotip yang buruk, Kanada adalah pengecualian. Masyarakat Kanada sering dipandang sebagai rombongan orang-orang paling baik hati sedunia. Sikap MQRP tak hanya menegaskan stereotip ini, namun juga menunjukkan betapa seriusnya Kanada dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi warganya.

Sineas Michael Moore pernah membuat film dokumenter Sicko (2007) yang secara pedas mengkritik sistem pelayanan kesehatan di Amerika Serikat yang terlampau liberal hingga kerap mengorbankan pasien. Ia mencontohkan Kanada—selain Perancis dan Kuba—yang mampu bertindak sebaliknya. Kanada mengaplikasikan sebuah sistem pelayanan kesehatan yang bersifat universal, dan kini menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Sistem pelayanan kesehatan Kanada bernama Medicare, kependekan dari Medical Care Act, yang disahkan melalui Undang-Undang Kesehatan Kanada pada 1984. Prinsip universalitas membuat semua orang berhak menerima pelayanan medis yang dibutuhkan, demikian menurut website resmi pemerintah Kanada.

Ada 13 provinsi dan teritorial yang mengelola program Medicare-nya sendiri-sendiri—dengan sedikit perbedaan, misalnya dalam hal perawatan gigi atau obat yang diterima pasien. Mayoritas pelayanannya bersifat gratis alias ditanggung negara. Pemerintah Kanada menghabiskan dana yang besar untuk menjalankan Medicare. Dana itu mereka dapat dari pemberlakuan pajak progresif kepada warga Kanada dan kerja sama dengan pihak swasta.

Dalam catatan Commonwealth Fund, 30 persen pengeluaran pemerintah untuk Medicare didapatkan dari sektor swasta. Sementara dalam riset Carlos Quinonez dan Paul Grootendorst di tahun 2011 menyatakan hampir seluruh pengeluaran pemerintah Kanada untuk pelayanan perawatan gigi berasal dari pemasukan non-pemerintahan.

Sejumlah legislator Kanada telah lama berjuang agar ada peningkatan anggaran untuk membiayai program pelayanan kesehatan nasional—yang sebetulnya sudah tergolong tinggi dibandingkan negara lain. Harapannya, peningkatan anggaran bisa dipakai untuk menutupi biaya layanan-layanan lain. Sayangnya perjuangan ini belum mencapai hasil yang diharapkan.

Menurut laporan Washington Post, pada 2009 pemerintah Kanada menghabiskan 11,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk menjalankan Medicare. Persentase ini tergolong salah satu yang tertinggi di antara anggaran kesehatan negara-negara Barat lain, apalagi jika disandingkan dengan anggaran di negara-negara ekonomi menengah-bawah.

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD rajin memuji hasil Medicare, terutama dalam perbandingan dengan negara lain. Dalam riset OECD yang dirilis tahun 2011 silam, Kanada meraih prestasi bagus dalam kesembuhan pasien penderita kanker payudara dan kanker kolorektal.

“Kanada juga melakukan pekerjaan yang baik dalam perawatan penyakit primer, sehingga mencegah rumah sakit mengeluarkan biaya mahal untuk mengatasi kondisi kronis seperti asma dan diabetes yang tak terkontrol,” catat OECD.

Tahun lalu Global Burden of Disease merilis hasil risetnya di jurnal The Lancet. Mereka melakukan analisis terhadap akses dan kualitas pelayanan kesehatan dari 195 negara dalam periode tahun 1990-2015. Variabel utamanya pada 32 penyakit yang seharusnya bisa dicegah atau disembuhkan, antara lain kanker testikular, kanker kulit, diabetes, penyakit jantung, tuberkulosis, tetanus, gangguan maternal dan neonatal, dan sebagainya.

Kanada mendapat skor yang baik, yakni 88, dan menempati urutan ke-17 bersama Belgia, Perancis, Austria, dan Irlandia. Kanada berhasil dalam mencegah kematian akibat penyakit radang usus buntu, tuberkulosis, dan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Prestasi negara dengan lambang daun maple merah itu melampaui tentangganya, AS, yang merosot di urutan ke-35.

Melalui Medicare, Kanada juga mendapat reputasi membanggakan lain. Misalnya berada di urutan ke-16 dalam daftar negara dengan sistem kesehatan terbaik versi Legatum Institute (2016), urutan ke-20 negara terbaik untuk menjadi ibu versi Save the Children (2015), urutan ke-12 negara tersehat untuk tinggal pendatang versi InterNations (2017), dan urutan ke-12 di indeks harapan hidup versi WHO (2015) dengan rata-rata 82,2 tahun.

Medicare bukan sistem tanpa cela. Selama ini salah satu kritikan terbesar kepada Medicare adalah waktu tunggu pasien untuk mendapatkan perawatan masih lebih lama dibanding negara lain. Kembali ke riset Commonwealth Fund, pada 2010 ditemukan bahwa 59 persen pasien Medicare harus menunggu hingga lebih dari empat minggu untuk bisa bertemu dengan dokter spesialis.

Pemerintah Kanada tahu jika persoalan tersebut tergolong klasik. Sejak 2005 pemerintah di ke-13 provinsi dan teritorial mulai membuat beragam kebijakan baru untuk memangkas waktu tunggu. Commonwealth Fund mencatat kebijakan-kebijakan baru berhasil mempersingkat waktu tunggu bagi pasien pergantian sendi, masalah penglihatan, operasi jantung, dan pemindaian area tubuh.

Kebijakan Medicare tentu tak terlepas dari kondisi politik di tingkat elite pusat maupun daerah. Jika sudah dirasa mengkhawatirkan, sebagaimana perjuangan para perawat Quebec dalam beberapa bulan terakhir, para pekerja medis Kanada tak segan-segan menekan pemerintah mulai dari bentuk petisi hingga aksi demonstrasi. Muaranya tak jauh-jauh dari pelayanan kesehatan terbaik yang ingin diberikan pada seluruh warga Kanada.

sumber: https://xyz.tirto.id/

 

 

Kemenkes Fokus Eliminasi TBC, Penurunan Stunting serta Peningkatan Cakupan dan Mutu Imunisasi pada 2019!

MENJADI persoalan sekarang ketika dunia semakin canggih akan teknologi, tapi kualitas kesehatan manusianya masih belum mencapai titik baik. Indonesia sendiri masih banyak menyimpan manusia dengan kualitas kesehatan buruk dan tidak bisa dipungkiri, mereka belum bisa mendapatkan akses kesehatan tersebut.

Pemerintah pusat terus berupaya untuk menciptakan kesejahteraan hidup manusia secara menyeluruh. Hidup yang sehat tentunya menjadi impian semua manusia dan untuk mencapai tujuan tersebut, tentunya banyak pihak yang harus membantu.

Nah, bicara mengenai kesehatan menyeluruh, Indonesia pada awal Januari 2019 akan mencanangkan Universal Health Coverage (UHC). UHC ini sendiri merupakan kondisi di mana setiap orang dapat menerima kebutuhan dasarnya berupa layanan kesehatan. Mulai dari upaya promotif, preventif, dan kuratif, serta rehabilitatif.

Tentunya dengan tercapainya konsep besar tersebut, status kesehatan masyarakat Indonesia bisa mencapai titik lebih baik tanpa adanya kekhawatiran kesulitan finansial dalam mengaksesnya. Dalam mewujudkan mimpi ini, tidak bisa kemudian Anda mengandalkan 100% pada pemerintah pusat. Anda sendiri juga bisa menjadi penentu mimpi besar ini dengan menjalani hidup yang lebih sehat.

Lebih lanjut lagi, dalam UHC ini, Pemerintah pusat dala hal ini Kementerian Kesehatan RI lebih berfokus pada 3 hal. Pertama adalah eliminasi TBC yang mana sampai sekarang angkanya masih tinggi. Kedua adalah penurunan stunting, dan yang terakhir adalah peningkatan cakupan dan mutu imunisasi.

"Pemilihan tiga topik prioritas ini dilatarbelakangi berbagai persoalan kesehatan terutama mempertimbangkan potensi kasus jika tidak diantisipasi guna menghindari terjadinya risiko peningkatan atau penyebaran ke tempat lain," ungkap Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek, saat memberikan sambutan di Rakerkesnas 2018 di ICE BSD, Tangerang, Selasa (6/3/2018).

Perlu diketahui juga bahwa upaya menciptakan UHC yang berkualitas ini juga tentunya tidak terlepas dari tantangan. Bukan sekadar melihat angka cakupan kepesertaan jaminan kesehatan nasional (JKN) melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang terus mengalami peningkatan, tetapi ada hal lain yang bisa saja menghambat tercapainya tujuan ini.

Untuk informasi, akhir 2014 tercatat sudah ada 133,4 juta peserta JKN dan angka ini terus meningkat sampai 1 Februari 2018 sudah mencapai 192.029.645 jiwa. Angka ini pastinya akan terus meningkat dan dengan begitu cangkupan pemenuhan hak hidup sehat setiap warga negara bisa terpenuhi.

"Peningkatan angka ini tentu perlu diimbangi dengan kecukupan jumlah dan distribusi fasilitas pelayanan kesehatan baik di tingkat primer maupun rujukan. Karena itu, penguatan fasyankes menjadi salah satu komitmen utama untuk mejaga kualitas pelayanan kesehatan masyarakat," tambah Menkes.

Sementara itu, mesti diperhatikan juga masalah demografi. Sebab, belasan tahun mendatang diprediksi jumlah penduduk usia produktif menjadi sangat besar. Ini menjadi kesempatan emas untuk memperbaiki statsu kesehatan masyarakat.

Lebih lanjut, utamanya adalah memperispkan generasi masa depan yang akan lahir agar status kesehatan mereka baik dan tumbuh kembangnya bisa terpantau dengan baik. Yang terpenting, mereka terbebas dari masalah penyakit infeksi yang membahayakan atau mengancam nyawa.

https://lifestyle.okezone.com/

 

 

Indonesia Prioritaskan Diplomasi Ekonomi Bidang Kesehatan

Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian A. Ruddyard mengatakan diplomasi ekonomi menjadi salah satu prioritas nasional untuk periode 2014-2019.

Beberapa bidang menjadi fokus utama diplomasi ekonomi Indonesia, yaitu perdagangan, investasi, pariwisata, kerja sama pembangunan, serta penempatan tenaga kerja terampil.

"Bidang kesehatan termasuk salah satu yang potensial untuk terus didorong melalui diplomasi ekonomi,"kata Febrian dalam keterangan resminya, Jumat pekan lalu.

Selain dalam kerangka pemasaran produk kesehatan, diplomasi ekonomi di bidang kesehatan juga dapat digunakan dalam kerangka Kerja Sama Selatan–Selatan dan Triangular, serta penempatan tenaga kerja terampil di bidang kesehatan.

Febrian menyebutkan salah satu forum yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat diplomasi ekonomi di bidang kesehatan adalah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang anggotanya mayoritas berada di kawasan Afrika dan Timur Tengah.

Pada pertemuan para Menteri Kesehatan OKI di Jeddah, Desember 2017, Indonesia diputuskan sebagai Co-Lead Country Coordinator untuk medicines, vaccines and medical technologies.

"OKI juga menyepakati Indonesia untuk menjadi tuan rumah OIC Centre of Excellence on Vaccines and Biotechnology Products," ungkap Febrian

Direktur Utama Bio Farma, M. Rahman Rustan mengatakan saat ini Bio Farma terus membuka pasar baru di negara-negara OKI, khususnya potensi dalam mendukung Indonesia sebagai Center of Excellence (CoE).

"Dukungan Pemerintah Indonesia dalam marketing diplomacy yang dilakukan oleh Bio Farma dalam membuka pasar negara-negara OKI, karena G to G akan lebih diperhitungkan," pungkasnya.

sumber: https://www.wartaekonomi.co.id/