Reportase UHC DAY - Leave No One’s Health Behind: Invest in health systems for all

Tidak Mengabaikan Kesehatan Siapa Pun: Berinvestasi Dalam Sistem Kesehatan Untuk Semua Kelompok Masyarakat

PKMK FK-KMK UGM – (13/12/2021) Memperingati UHC Day yang jatuh pada 12 Desember 2021 menyelenggarakan diskusi dengan topik “Tidak Mengabaikan Kesehatan Siapa Pun: Berinvestasi Dalam Sistem Kesehatan Untuk Semua Kelompok Masyarakat (Leave No One’s Health Behind: Invest in health systems for all)”. Hari Cakupan Kesehatan Universal (Universal Health Coverage (UHC) Day) adalah titik kumpul tahunan bagi para akademisi, peneliti dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengangkat suara mereka dan berbagi cerita tentang jutaan orang yang masih menunggu kesehatan, menyerukan para pemimpin untuk melakukan investasi yang lebih cerdas di bidang kesehatan dan mengingatkan dunia tentang pentingnya cakupan kesehatan universal (UHC). Dengan itu, diskusi ini dilakukan dengan tujuan untuk mendukung pemerintah memperkuat strategi untuk mencapai UHC dan mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkeadilan di Indonesia.

Melalui dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI), PKMK FK-KMK UGM mengundang beberapa pembicara yaitu Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (Staf Khusus Menteri bidang Ketahanan (Resiliency) Industri Obat dan Alat Kesehatan dan Ketua Board PKMK FK-KMK UGM), Dr Yodi Mahendradhata,MSc,PhD, FRSPH (Wakil Dekan Bidang Kerjasama, Alumni dan Pengabdian Masyarakat FKKMK UGM), dr. Tiara Marthias, MPH, PhD - Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM, dan Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.Kes (Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, FK-KMK UGM). Selain itu, diskusi ini juga mengundang beberapa pembahas yaitu Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Direktur Pelayanan, BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dr. Herfina Nababan (Perwakilan WHO di Indonesia) dan Dr. Eko Setyo Pambudi, S.Sos, MKM (Perwakilan World Bank di Indonesia). Selama diskusi berlangsung difasilitasi oleh M. Faozi Kurniawan SE, Akt, MPH selaku peneliti kebijakan JKN di PKMK FK-KMK UGM.

LTSesi pertama dari diskusi ini adalah pembuakaan yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD melalui paparan yang berujudul “Memastikan Semua Masyarakat Memiliki Akses untuk Pelayanan Kesehatan”. Dari paparan tersebut, Prof. Laksono menjelaskan tentang beberapa poin penting yaitu: 1) Klaim rasio BPJS Kesehatan dan pengaruh COVID-19 yang dijelaskan bahwasannya pandemi COVID 19 telah memberikan dampak kepada penurunan pasien dari BPJS Kesehatan dan terdapat perubahan menjadi pasien COVID-19 dengan dibiayai pemerintha; 2) Klaim rasio per segmen sebelum COVID-19 ditemuka terdapat peserta dari JKN yang masih memiliki status left behind. Peserta yang masih menyandang status left behind ini adalah peserta yang belum memanfaatkan JKN karena tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan; 3) Klaim rasio setiap provinsi dan kabupaten, dengan menggunakan data anekdot DIY dan NTT terlihat bahwa klaim di DIY lebih besar daripada NTT.

Hal ini tidak sejalan dengan jumlah kepesertaan dan iurannya kepesertaan dari DIY yang lebih kecil dari pada NTT; 4) Masalah akses, seperti kasus DIY yang kalimnya lebih besar dari NTT ini karena ketersediaan RS yang tidak merata antara provinsi dan kabupaten/kota. Di NTT yang masuk dalam kategori regional 5 dari 2012 – Juni 2020 pertumbuhan RS masih kecil dan cenderung stagnan jika dibandingkan dengan Regional 1 -3; 5) Prinsip keadilian sistem kesehatan di masa mendatang perlu memperhatikan transformasi sistem kesehatan nasional 2021-2024. Prof Laksono mengakhiri paparan pembukaanya dengan melemparkan pertanyaan untuk memantik diskusi “Apakah sebagian dana BPJS yang tersisa akibat Covid19 dapat dipakai untuk menjalankan Kompensasi agar memperbaiki akses?”

YMSetelah pembukaan, moderator memberikan kesempatan kepada narasumber pertama yaitu Dr Yodi Mahendradhata,MSc,PhD, FRSPH untuk memaparkan materi mengenai “Strengthening health systems for universal health coverage and health security”. Dr Yodi menjelaskan bahwa UHC telah ditinggalakn ketika kondisi pandemi COVID-19. Saat ini, ditengah pandemi sangat banyak hasil studi yang merkomendasikan tentang pandemic preparedness dan pandemic prevention tetapi sangat terbatas yang membahas tentang UHC. Sehingga UHC lebih banyak disampingkan, tetapi diberbagai rekomendasi dan hasil temuannya masih mempertahankan equity.

Namun, equity masih terbatas untuk akses dan fasilitas untuk vaksinansi atau masih bersifat sempeit. Sementara equity dalam kesehatan sesuatu yang luas untuk promosi, preventfi, dan pelayanan kesehatan lainnya. Dr Yodi juga menjelaskna bahwa sebetulnya telah ada temuan penelitian yang menjelaskn bahwa telah ada integrasi antara UHC, health security dan health system strengthening. Tidak hanya dari penelitian, suatu contoh hasil temuan empiris dari Haldane et al (2021) menemukan bahwa terdapat negara yang telah menghubungkan atau mengintegrasikan UHC dan health security.

TMNarasumber yang kedua adalah dr. Tiara Marthias, MPH, PhD
Tidak hanya mengenai berapa orang yang memiliki jaminan kesehatan tetapi juga berapa orang yang bisa mengakses layanan kesehatan. Selain itu dijelaskan pula kelompok rentan di Indonesia dari tahun ke tahun masih sama yaitu masyarakat miskin, pendidikan kebawah, dan masyarakat I daerah perdesaan dengan masih tingginya angka kematian ibu dan anak. Sementara dari beban penyakit yang terlihat paling banyak adalah yang berada dikelas menangah ke atas karena memiliki akses untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Sementara masyarakat yang kelas menenangah ke bawah masih belum teridentifikasi dengan optimal untuk mengtahui Riwayat penyakit tersebut karena keterbatasan akses memeriksakan diri. dr Tiara Mathias menjelaskn bahwa “left behind” dalam penyelenggaraan JKN adalah dari segmen yang tidak mampu dan miskin hal ini dibuktikan dari manfaat yang masih terbatas digunakan. Selain itu, dr Tiara juga mengusulkan untuk memonitor OOP dan dampak kemiskinanan akibat dari utilisasi pelayanan kesehatan.

DANarsumber terakhir adalah Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.Kes yang menjelaskan bahwa left behind tidak hanya terjadi pada peserta tetapi juga pada pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan. Pemaparan pertama dari Dr. Diah menjelaskan tentang amanah UU SJSN, Perpres 64/2020 dan PP 47/2021 untuk menyelenggarakan JKN secara adil salah satunya adalah dengan penerapan kelas standar. Dari adanya kelas standar tersebut peserta yang menginginkan kelas lebih tinggi dari pada haknya (kelas standar), dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan. Untuk pelaksanaan kelas standar ini telah dilakukan assessment yang ditemukan baru 3% RS yang siap menyelenggarakan kelas standar sementara 79% masih perlu penyesuaian kecil dan 18% butuh penyesuaian sedang hingga besar.

Pembahas pertama dalam webinar ini adalah perwakilan dari WHO, Herfina, mengatakan bahwa WHO mengadakan survei cepat untuk mengetahui kondisi layanan kesehatan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa layanan kesehatan di Indonesia, seperti pelayanan HIV, TB, dan imunisasi masih belum bisa diberikan secara maksimal. Survei lanjutan yang dilakukan sudah ada perbaikan namun masih menimbulkan kekhawatiran. Ia menjelaskan bahwa penguatan pelayanan kesehatan primer menjadi sangat penting untuk mengatasi permasalahan kualitas pelayanan, termasuk tindakan promotif preventif. Layanan primer ini juga bisa menjadi platform penting untuk mengintegrasikan emergency preparedness dan response menggunakan one health approach.

Pembahas kedua adalah perwakilan dari World Bank, Eko Setio Pambudi, menjelaskan dalam beberapa tahun terakhir alokasi dana kesehatan ke daerah meningkat cukup signifikan. Menurutnya, dari sisi input, upaya pemerintah dalam mewujudkan equity sudah dilakukan dengan pemberian dana alokasi khusus dan program Nusantara Sehat. Sedangkan dari sisi output, ia melakukan survei untuk mengetahui penyebab rendahnya penggunaan pelayanan kesehatan. Hasilnya, hanya 2 persen saja responden yang mengklaim bahwa biaya menjadi permasalahan pelayanan kesehatan. Sekitar 60 persen responden melakukan self treatment. Oleh karena itu, literasi tentang pelayanan kesehatan perlu dilakukan terutama di daerah. Sekitar 30 persen responden merasa bahwa pelayanan kesehatan tersebut tidak diperlukan.

Pembahas ketiga adalah perwakilan dari BPJS Kesehatan, dr. Rahmat Asri Ritonga, menjelaskan bahwa JKN KIS berkontribusi dalam beberapa hal, yaitu mencegah kemiskinan, menurunkan koefisien GINI, meningkatkan akses pelayanan kesehatan, meningkatkan angka harapan hidup, menurunkan porsi out of pocket (OOP) dalam total belanja kesehatan, menggerakkan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja. Saat ini, cakupan kepesertaan JKN mencapai 226,36 juta jiwa atau 83,4 persen penduduk Indonesia. Selain itu jumlah FKTP Kerjasama mencapai 23.219 unit dan FKRTL Kerjasama mencapai 2.584 unit. Ia juga menjelaskan upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan, yaitu peningkatan akses fasilitas kesehatan, digitalisasi layanan, intensifikasi promotif preventif terintegrasi, dan pengembangan sistem pembayaran.

Materi dan Video dapat diakses pada link berikut

klik disini

 

 

 

 

 

 

Reportase Webinar Seri 3 Memperkuat Ideologi Pancasila Untuk Keadilan Sosial Kebijakan Kesehatan Pada Masa Pandemi

23 Juni 2021

23jun

PKMK FK-KMK UGM – Rabu, 23 Juni 2021 2021 Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan mengadakan diskusi seri 3 Forum Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Pendanaan Kesehatan Mendatang: Apakah Prinsip Keadilan Sosial Semakin Diperlukan? Diskusi seri 3 ini mengusung topik. Memperkuat Ideologi Pancasila Untuk Keadilan Sosial Kebijakan Kesehatan Pada Masa Pandemi. Narasumber dalam diskusi ini adalah Ketua Pusat Studi Pancasila UGM yaitu Drs. Agus Wahyudi, M.Si., MA., PhD dengan dipandu oleh Peneliti Kebijakan Pembiayaan Kesehatan dan JKN di PKMK yaitu M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH. Kegiatan ini terbagi atas tiga sesi, yaitu sesi pengantar, pemaparan materi narasumber, sesi pemabahasan dan diskusi.

Mengawali sesi diskusi seri 3, Ketua Board PKMK FK - KMK UGM sekaligus Staf Ahli Kementerian Kesehatan, Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan pemaparan pengantar dengan judul “Memperkuat Ideologi Pancasila dalam Kebijakan Pendanaan Kesehatan Pada Masa Pandemi dan setelahnya”. Dalam sesi pengantar, dijelaskan bahwa pembiayaan kesehatan yang berupa BPJS Kesehatan belum terlaksana sesuai dengan sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dana yang tersedia dalam BPJS Kesehatan baru mencapai prinsip equality belum mencapai prinsip equity. Equality dana diperuntukan bagi masyarakat sama rata, sementara equity dana diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap kelompok masyarakat.

Setelah itu, Prof Laksono juga melakukan review dari diskusi seri 1 dan seri 2 yang telah membahas kondisi ekonomi, APBN, pembiayaan kesehatan, kebutuhan sumber dana baru dalam pembiayaan kesehatan, dan pelaksanaan cost-sharing yang perlu dilakukan untuk pelayanan penyakit katastropik. Di akhir sesi pengantar, Prof Laksono mengusulkan untuk mewujudkan keadilan tersebut, pengambil keputusan perlu melakukan revisi UU SJSN dan UU BPJS yang dimana dari hasil evaluasi kebijakan JKN didapatkan bahwa terdapat narasi dari pasal - pasal tersbeut yang belum mencerminkan keadilan.

Setelah pengantar, dilanjutkan dengan pemaparan narasumber yaitu Agus Wahyudi. Pemaparannya diawali dengan menjelaskan bagaiamana sejarah Pancasila yang awal mulanya dibentuk untuk menangani tantangan dalam mempersatukan bangsa, mengembangkan sistem Kerjasama diantara orang orang yang berbeda. Agus Wahyudi menyatakan Pancasila memiliki nilai utama yaitu adalah Republik yang mengutamakan keadilan. Sementara itu, kesehatan dalam kaitannya dengan Pancasila ini merupakan suatu common goods yang membutuhkan kesadaran masyarakat untuk kebaikan bersama.

Pancasila sendiri memiliki beberapa ranah dalam implementasinya yaitu organisasi terkecil, masyarakat sipil dan negara atau hubungan antar bangsa. “Ranah implementasi Pancasila sendiri dapat dimulai dari keluarga atau hubungan terdekat dalam bentuk etika kepedulian, kemudian berkembang dalam masyarakat sipil, hingga masuk menjadi ranah negara maupun hubungan internasional berupa etika keadilan atau Pancasila sebagai dasar negara” ujar Agus Wahyudi.

Agus Wahyudi menekankan bahwa dalam ranah negara, Pancasila perlu menjadi landasan dasar untuk membentuk suatu nilai, prinsip, kebiajkan dan aturan. Dijelaskan juga bahwa terdapat perbedaan antara prinsip dan kebijakan dimana: prinsip adalah standar yang harus dipatuhi, bukan karena standar ini akan menyebabkan perbaikan situasi sosial, politik atau ekonomi yang diinginkan tetapi karena merupakan kebutuhan rasa keadilan atau kepatutan (fairness) atau karena dimensi moral yang lain; kebijakan. Sejenis standar yang menentukan suatu tujuan yang yang akan dicapai, umumnya sebagai peningkatan keadaan sosial, ekonomi dan politik sebuah masyarakat (meskipun sejumlah tujuan berorientasi negatif misalnya kebijakan untuk melindungi diri dari perubahan yang tidak diinginkan.

Pancasila memiliki hubungan dengan masalah pendanaan kesehatan yang terbagi menjadi tiga level yaitu: level prinsip, mengenai “equity” lebih penting dan seharusnya lebih menentukan dalam pertimbangan kebijakan pendanaan kesehatan dari pada “equality”. Cost-Sharing (untuk PPU dan PBPU) and COB yang berkeadilan merupakan kebijakan yang sesuai dengan prinsip “equity” yang seharusnya melandasi aturan/hukum pendanaan kesehatan; level kebijakan adalah Bagaimana mengatasi defisit dalam pendanaan kesehatan? Dalam ekonomi dengan sistem perpajakan yang lemah, mungkinkah mendorong masyarakat mampu untuk mendanai pelayanan kesehatan dan bagaimana strateginya?. Sedangkan level aturan atau hukum merupakan keharusan untuk merevisi UU SJSN dan UU BPJS.

Setelah narasumber menjelaskan tentang nilai - nilai dalam Pancasila, masing - masing pemabahas mendapatakan kesempatan untuk memberikan respons. Pembahas pertama dari Deputi Bidang Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yaitu Kemas Akhmad Tajuddin, S.H., M.H. Pembahas pertama menyampaikan bahwa terdapat dua level kebijakan berdasarkan pengamatan. Empirik yang menunjukan tidak keselarasan Pancasila apakah karena regulasi yang membuka ruang atau sisi hilir yaitu pelaksanaannya yang membuat persoalan adanya ketidakselarasan dengan Pancasila, sehingga kita perlu benahi dalam pelaksanaannya.

Namun, jika masalahanya hadir dari sisi hulu yaitu karena kebijakan, maka kita membutuhkan evidence untuk menyatakan perlu adanya revisi. Pemaparan dari pengantar dan narasumber mendapatkan sambutan baik dari Kemas Akhmad Tajudin dengan menyampaikan bahwa persoalan ini dapat menjadi kajian untuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. “Sebagaimana wewenangnya, kami memiliki tugas dan fungsi untuk membantu presiden dalam membina ideologi yang salah satunya adalah mengawasi regulasi yang sudah lahir dan dilahirkan telah selaras dengan nilai - nilai Pancasila atau belum. Dari penyampaian Prof Laksono, maka kami akan melakukan kajian dan menyampaikan rekomendasi kepada presiden untuk mendapatkan tindakan revisi” kata Tajudin.

Pembahas kedua adalah drg. Agus Suprato dari Deputi Peningkatan Pelayanan Kesehatan, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan, Kemenko PMK. Agus menjelaskan bahwa kondisi PBI APBN memang pada dasarnya mengalami peningkatan setiap tahun dalam kondisi sebelum pandemi, saat pandemi, dan diprakirakan akan meningkat pula pasca pandemi. Persoalan revisi UU SJSN dan UU BPJS menurutnya perlu mempehatikan dimensi sosial, politik, geografis, karena terdapat dinamika yang berbeda - beda hingga dapat menimbulkan suatu konflik kepentingan.

Selain itu, kebijakan JKN dirasanya tidka cukup jika hanya mempertimbangan sila kelima, Agus mengatakan bahwa terdapat sila ke satu hingga empat yang perlu dipertimbangkan. Hal tersebut dikarenakan, mencapai sila kelima perlu lebih dahulu atau secara bersamaan mewujudkan sila sebelumnya. Revisi kebijakan seperti UU SJSN dan UU BPJS ini merupakan hal ikremental yang juga akan menimbulkan konflik kepentingan antara pemangku kepentingan. Selain itu, ia menjelaskan bahwa persoalan tidak tercapainya keadilan dalam JKN juga bisa hadir karena praktik atau implemetasi yang masih belum optimal. Untuk itu, Agus Suprato mengharapkan usulan revisi ini dapat diperkuat dengan evidence based.

Setelah mendengarkan respons dari berbagai pengambil keputusan, moderator memberikan kesempatan kepada kelompok non pemerintah yaitu Forum Kajian Kebijakan Kesehatan Gunungan, Slamet R Yuwono. JKN dan ideologi tidak boleh dilepaskan juga dengan akar rumput negara ini yaitu UUD 1945 (alinea keempat, pasal 28 ayat 1), dan UU 36/2009. Dengan seluruh dasar tersebut memang sudah seharusnya seluruh masyarakat memiliki jaminan kesehatan. Akan tetapi, jaminan kesehatan untuk orang miskin dan tidak mampu menjadi urusan wajib negara.

Sementara jaminan kesehatan orang mampu dan kaya diatur oleh negara melalui seperti cost-sharing. Slamet mengakhiri responsnya dengan menyampaikan pepatah jawa “Wong mlarat openono, wong sugih urusono”. Negara diharapkan dapat betul - betul hadir untuk orang miskin di daerah yang dengan fasilitas memadai maupun dengan fasilitas kesehatan yang terbatas.

Setelah sesi pembahas, kegiatan seri tiga dilanjutkan dengan sesi diskusi yang mendapatkan tiga peserta. Hasil diskusi dapat iikuti pula melalui link video dan materi berikut.

Reporter: Tri Muhartini

Link Terkait:

 

 

Reportase Penggunaan APBN dan BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Keadilan Sosial

16 Juni 2021

Studi Kasus PBI APBN, Defisit dan Pengeluaran Untuk Penyakit Jantung, Kanker, dan SC

Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan mengadakan diskusi seri 2 Forum Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Pendanaan Kesehatan Mendatang: Apakah Prinsip Keadilan Sosial Semakin Diperlukan? pada Rabu 16 Juni 2021.

Diskusi seri 2 ini mengusung topik Penggunaan APBN dan BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Keadilan Sosial: Studi Kasus PBI APBN, Defisit dan Pengeluaran Untuk Penyakit Jantung, Kanker, dan SC. Narasumber dalam diskusi ini adalah Peneliti Kebijakan Pembiayaan Kesehatan dan JKN PKMK FK - KMK UGM, M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH dan Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, Vini Aristianti, SKM., MPH AAK.

julita2Untuk membuka sesi diskusi seri 2 ini, Dosen Departemen Manajemen Kebijakan Kesehatan dan Peneliti Pusat KPMAK FK-KMK UGM, Dr. Drg. Julita Hendrartini, AAK., M.Kes menyampaikan situasi pembiayaan kesehatan saat ini. “Kenaikan Gross Domestic Product (GDP) dari tahun ke tahun. Namun, share GDP untuk kesehatan menurun. Jika dibanding negara lain, share GDP untuk pembiayaan kesehatan cenderung rendah,” ujar Julita.

Julita menyatakan belanja kesehatan Indonesia dari publik dan non publik menurun dan nilainya hampir sama. Hal ini menunjukkan ada potensi pendanaan dari sektor non-publik. Pembiayaan untuk JKN saat ini 112,1 T dan adanya penambahan dana JKN ialah pembiayaan untuk PBI. Sisa dana PBI setiap tahun digunakan subsidi silang untuk PBPU/Informal. Sektor informal inilah yang paling besar mengalami defisit

“Sektor informal ada orang mampu namun menurut data dari KPMAK juga ada yang kemampuan finansial terbatas”, ujar Julita. Julita menyoroti bahwa dana JKN sebagian besar digunakan untuk kuratif dan ketidakmerataan penggunakan dana JKN membuat equity sulit terwujud.

Julita menyampaikan banyak pertanyaan kebijakan dalam penyelenggaraan JKN. Terlebih pembiayaan kesehatan ke depannya megalami banyak tantangan misalnya mengatur bagaimana proporsi pendanaan publik atau swasta, besarnya pembiayaan dari sisi kuratif, dan bagaimana dengan aspek promotif dan preventif. Julita memberikan gambaran mengenai alternatif yang bisa dikembangkan diberbagai negara adalah implementasi urun biaya, co-payment, co insurance, coordination of benefit, dan coordination of payers.

ojikSesi penyampaian materi diawali dengan presentasi oleh M. Faozi Kurniawan membahas mengenai cost sharing dalam pembiayaan kesehatan di Indonesia serta bagaimana pembiayaan untuk penyakit katastropik. Peneliti yang akrab disapa Faozi menyampaikan beban biaya katastropik penyakit Jantung menjadi biaya tertinggi dalam beban layanan JKN pada 2016 - 2019. “Penyakit jantung kanker menduduki iaya katastropik pertama dan kedua, 18,5 % biaya katastropik pada tahun 2019,” ujar Faozi.

Faozi memaparkan saat ini kepemilikan layanan katerisasi Jantung yang terbatas antar daerah sehingga terjadi kesenjangan. Bedasarkan data sampel BPJS 2015 – 2018 pembiayaan pelayanan pantung tertinggi di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, sedangkan Provinsi di Bagian Timur cenderung lebih rendah. Biaya pelayanan jantung tinggi ini ada pada kelompok PBPU – PPU – BP.

Untuk penyakit kanker, data sampel BPJS 2015 – 2018 menunjukkan Pembiayaan Pelayanan Kanker tertinggi pada Provinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Selatan, sedangkan Provinsi di Bagian Timur cenderung lebih rendah. Biaya pelayanan kanker tinggi pada kelompok PBPU – PPU – BP.

Dengan keadaan seperti ini Faozi menyatakan Potensi Cost Sharing untuk
mengurangi ketimpangan antar peserta dan wilayah sehingga memberikan kesempatan masyarakat untuk mendanai sendiri kesehatannya. Adapun hal yang prlu dilakukan selanjutnya adalah memperbaiki Pasal 22 dalam UU SJSN da melengkapi PMK 51/2018, peraturan teknis/ pedoman cost sharing untuk penyakit katastropik bagi peserta JKN kelompok Mandiri yaitu PBPU.

viniVini Aristianti, SKM., MPH AAK memberikan paparan lebih lanjut mengenai kasus Sectio Caesarea (SC). Vini menjelaskan, rate nasional persalinan SC untuk peserta JKN adalah 28,98%, meningkat 4,26 kali lipat dibandingkan dengan 2010 dimana 75% dari penggunanya adalah peserta JKN Non PBI yaitu peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dan peserta PBPU.

Vini memaparkan saat ini cesar ringan merupakan kode CBGs terbanyak kedua untuk klaim rawat inap dengan jumlah kasus sebanyak 221.968 kasus dengan total biaya terbesar dibanding klaim CBGs rawat inap lainnya sebesar 1,035 trilliun rupiah. Proporsi terbesar yang melakukan klaim persalinan SC di FKTP adalah PBI APBN diikuti oleh PPU.

Data yang dihimpun Vini menunjukkan klaim persalinan tertinggi di FKTP terjadi di di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Adapun proporsi SC di FKRTL pada 2017 sebesar 37% dibandingkan persalinan normal di FKRTL dan proporsi ini menurun, 2018 menjadi sebesar 24%..

Data yang dihimpun Vini menunjukkan proporsi PPU tertinggi untuk klaim persalinan baik normal dan SC di FKRTL. Klaim persalinan normal di FKRTL paling banyak oleh kelompok PPU, diikuti PBPU, dan meningkat jumlahnya dari 2017 ke 2018.

Ada pertanyaan mendasar yakni apakah SC dapat dikenakan Cost Sharing? Vini menyampaikan penelitian dari BPJS Kesehatan pada 2016 mengenai kemauan dan kemampuan peserta Non PBI membayar urun biaya pada pelayanan Sectio Caesarea menunjukkan bahwa jumlah urun biaya yang bersedia dibayarkan oleh rata -rata responden adalah sekitar 3,35% dari total belanja rumah tangga tahunan. Besar urun biaya yang direkomendasikan berada pada rentang 22%-29%.

Peserta dengan Kelas/Pendapatan yang berbeda memiliki kemauan dan kemampuan bayar yang berbeda sehingga pengenaan urun biaya sebaiknya memperhatikan hal tersebut. Prevalensi operasi sesar ini pun memiliki hubungan negatif dengan kemauan bayar namun memiliki hubungan positif dengan kemampuan bayar. Pengenaan urun biaya juga dapat lebih tinggi di daerah dengan prevalensi SC yang tinggi.

doniTerkait paparan narasumber, Doni perwakilan dari PPJK Kemenkes mengarisbawahi bahwa masalah utama di Indonesia adalah ketimpangan dan pelayanan. Doni sepakat pelayanan jantung dan kanker lebih banyak dilakukan di kota besar dibanding dengan di Indonesia Timur. Daerah tertentu yang di kota besar saja yang menikmati. Doni juga menenkankan penting melihat JKN tidak secara segmented. JKN menyadarkan akses menjadi hal yang harus diperhatikan.

Tidak cukup jaminan finansial, jaminan peayanannya bagaimana? Terkait cost sharing intinya mengubah regulasi dasar. Doni menekankan regulasi sekarang tidak memungkinkan menerapkan cost sharing. Semua pihak sudah sepakat cost sharing perlu. Terkait SC, masalah utamanya ialah membuktikan moral hazard sehingga perlu perubahan regulasi besar.

Perwakilan Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Ronald Yusuf juga menanggapi isu cost sharing, co-payment, iur biaya yang sudah sering dibahas di berbagai kesempatan. Berbeda dengan Doni, Ronald menyatakan masih ada peluang menerapkan cost sharing jika melihat UU SJSN.

Ronald menjelaskan penerapan cost sharing, co-payment perlu untuk mengurangi kejadian moral hazard dan cost sharing ini bisa diterapkan di semua jenis penyakit. Ronald menekankan dari beberapa diskusi yang diikuti, ada satu isu yang perlu dijawab mengenai perbedaan mis used dan bukan mis used seperti apa?

ronalPerwakilan Dewan Jaminan Sosial Nasional, Fery Ferdiansyah menyatakan saat ini kebijakan ke depan yang dibahas DJSN adalah perumusan kelas rawat inap standar dan bagaimana peta jalan yang diharmonisasikan dengan KDK yang di-arrange oleh Kemenkes. DJSN sedang menyusun pokok pikiran terkait revisi UU SJSN dan BPJS.

Tantangan saat ini kompleks sehingga, konten regulasi itu perlu disesuaikan. Akar masalah saat ini, terjadi disharomonisasi peraturan perudangan baik vertikal dan horisontal, inkonsistensi kebijakan jaminan sosial, maturitas kelembagaan SJSN,DJSN mendeteksi besaran iuran perlu diseusiakan, pekerja sektor informal yang tidak mau membayar iuran sangat banyak, budaya hukum dan kemampuan BPJS menegakkan hukum reltif rendah, tingginya ekspektasi masyarakat terhadap jaminan social (jamsos) namun compliance relatif rendah. Atas dasar hal tersebut, DJSN ingin perbaikan UU Jamsos.

mafDirektur Eksekutif Prakarsa Ah Maftuchan menyatakan apa yang disampaikan Fery DJSN untuk menengahkan diskusi UU SJSN dan BPJS sangat relevan dari sisi waktu 6 tahun pelaksanaan BPJS Kesehatan (BPJS-K) dan BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK). Jika kita bicara cost sharing dan coordination of benefit yang ditengahkan adalah pendekatan padu antaar pihak pemerintah – swasta - lembaga asuransi - lembaga keuangan untuk punya satu goals pembangunan kesehatan dan kesejahteraan jangka menengah - panjang. Di BPJS-TK ada jaminan kecelakaan kerja yang memiliki hubungan langsung dengan treatment kesehatan. Prakarsa setuju dengan ide menengahkan COP. Hal ini merupakan upaya memberikan ruang bagi yang mampu untuk memiliki kepesertaan lebih.

Dari segi pelaksana JKN, Agus Mustopa perwakilan BPJS Kesehatan (BPJSK) menceritakan kondisi BPJSK pada awal tahun diberitakan mengalami surplus. Namun Agus menekankan faktanya BPJSK belum bisa disebut dalam kondisi surplus. Tahun ini BPJSK terus memantau kondisi keuangannya. Dikaitkan dengan topik cost sharing, BPJS K mendukung upaya eksplorasi sumber pembiayaan yang membuat beban APBN tidak tambah berat. Kondisi keuangan per akhir 2020 belum dapat dikategorikan sehat. Iuran saat ini menjadi sumber pendanaan, tapi juga kenaikan iuran juga menjadi beban masyarakat.

Menambahi pernyataan Agus, perwakilan BPJSK, Elsa Novelia menjelaskan data sampel hingga 2018 dinamikanya masih sama dengan data 2020 yakni penyakit katastropik mengambil proporsi 25% pembiayaan kesehatan. Oleh karena itu, perlu diskusi pembiayaan untuk katastropik. Ketika penyelenggaraan Askes, ada regulasi yang memisahkan pembiayaan umum dan katastropik. Di era JKN tidak membedakan segmentasi apapun. Jika dilihat dari kunjungan primer, saat ini masih didominasi PBI APBN. Untuk layanan rujukan didominasi PBPU. Kunjungan untuk Katastropik saat ini 25% dari proporsi biaya kesehatan sedangkan jantung 63% pembiayaan JKN. Untuk SC dalam beberapa tahun terakir mengisi top 10 pembiayaan kesehatan.

elsaTerkait cost sharing, Elsa menyatakan dalam mengembangkan cost sharing dan memilih sebuah layanan ini apakah dibiayakan dalam cost sharing apa tidak akan pada marwah JKN yakni finansial protection. Biaya yang besar jika tidak dijaminkan maka memiskinkan peserta. Memilih menjaminkan adalah perkara sulit karena harus meninjau kembali indikasi medisnya.

Elsa mencontohkan pertanyaan - pertanyaan seperti, sampai stand keberapa operasi jantung akan dijamin dan operasi mana saja yang dijaminkan. Demikian dengan SC, saat dilihat ke dalam indikasi medis, yang disepakati saat ini adalah indikasi adanya bekas Sectio. Namun melihat kasus apakah SC merupakan permintaan pasien sendiri atau karena indikasi medis masih menjadi tantangan. Selanjutnya sampai anak keberapa SC bisa dijaminkan dan apakah tidak meningkatkan mortality. Elsa menyampaikan kunci maslaah saat ini adalah medical audit untuk menentukan apakah layanan financial protect akan di – cost sharing - kan.

Reporter: Kurnia Putri Utomo

Link terkait:

 

 

Reportase Forum Kebijakan JKN Realitas dan Harapan Sumber Pembiayaan Kesehatan Tahun 2022-2030

9 Juni 2021

SESI 1

Dalam Pengantar yang disampaikan oleh M. Faozi Kurniawan terdapat beberapa poin yang bisa diambil, yakni Efek Pandemi terhadap situasi Ekonomi, kemudian Efek Pandemi Covid-19 terhadap kemampuan fiskal dan Pembiayaan kesehatan serta Pembiayaan untuk Resilience Sistem Kesehatan. Semua alokasi anggaran sebagaimana diketahui secara publik, difokuskan ulang terutama untuk penanganan COVID-19.

Mulai dari re-focusing DAK Fisik, Anggaran Transfer Daerah, Dana Insentif Daerah dan Dana Desa. Langkah kebijakan Ekonomi di tengah Pandemi Covid-19 terbagi menjadi dua, yaitu dalam langkah moneter dan fiskal yang tujuannya untuk menangani pandemi serta mitigasi dampak ekonomi. Terdapat fakta bahwa dalam tahun 2020 belanja yang dilakukan negara naik namun penerimaannya turun, ini mengakibatkan beban utang naik dan beban bunga utang juga menjadi naik. Tekanan yang demikian ini menuntut Kementerian/Lembaga untuk mendapatkan sumber dana pendapatan yang paling cepat maka dari itu beban utang menjadi naik.

Dengan ruang fiskal yang saat ini masih sempit, Pemerintah harus berupaya untuk membuat strategi pembiayaan demi ketahanan Sistem Kesehatan. Sejak tahun 2010 pendanaan Publik untuk sektor kesehatan semakin tumbuh, namun beban APBN semakin besar hingga 2019 ditambah dengan adanya Pandemi apakah akan tercapai keseimbangan pendanaan?. Kemudian, bagaimana proyeksi pembiayaan kesehatan pasca Covid-19 nantinya?.

Sesi 2

Diah menyampaikan bahwa masalah pembiayaan kesehatan merupakan salah satu pilar penting dalam 6 building blocks WHO. Alokasi anggaran yang adekuat, terintegrasi, stabil dan berkesinambungan memegang peran yang penting untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan. hal ini tentu membutuhkan upaya yang besar, terlebih setelah melihat data bahwa ada gap antara pengeluaran dan pendapatan negara sehingga ada defisit sekitar 5%. Belajar dari negara lain yang mengalami keadaan yang sama, seperti Jepang, upaya yang dilakukan oleh Pemerintahnya adalah mengatur tarif/harga obat dan berhasil mereduksi defisit hingga 431,5 juta Yen.

Alokasi belanja di sektor kesehatan Indonesia dan porsi APBN adalah sekitar 5,7% atau setara dengan 117 Triliun Rupiah, masih ada tambahan sekitar 50 Triliun Rupiah yang diperuntukkan khusus bagi perlindungan sosial yaitu pembayaran PBI dan subsidi PBPU. Di Jepang, anggaran antara perlindungan sosial dan kesehatan ini digabung sementara di Indonesia dipisah untuk menghindari penghitungan ganda.

Belanja yang diampu oleh APBN masih menjadi porsi yang terbesar, begitu juga dengan belanja kesehatan yang ditanggung oleh Rumah Tangga. Total belanja menurut fungsi lebih banyak dipakai pada upaya kuratif. Dilihat dari skema JKN kuratifnya cukup tinggi, ini cocok diberlakukan bagi BPJS. Untuk belanja promotif dan preventif dari skema pemerintah lebih banyak diampu oleh kabupaten/kota, meskipun begitu secara keseluruhan dana tersebut dari APBN. Ini menunjukkan APBN masih menduduki posisi sebagai tumpuan terbesar untuk pembiayaan kesehatan.

Dapat disimpulkan dari penjelasan bahwa sebagian porsi anggaran kesehatan terserap untuk pelayanan kuratif. Kemudian terdapat potensi duplikasi penghitungan antara anggaran kesehatan di lingkungan K/L transfer anggaran ke daerah. Mekanisme pendanaan yang terfragmentasi dapat menyebabkan pendanaan ganda yang menimbulkan inefisiensi anggaran, dicontohkan pada pemisahan antara pembiayaan untuk perlindungan sosial dan perlindungan kesehatan sebelumnya. Perlu juga dipikirkan bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasi belanja kesehatan untuk menilai keefektifan alokasi anggaran dalam mencapai output program kesehatan yang diinginkan?.

Sesi 3

Ascobat memberikan gambaran mengenai bagaimana pembiayaan kesehatan hingga lima tahun kedepan, karena data yang ada masih terlalu dini untuk menilai 10 tahun yang akan datang serta keadaan yang masih terus berubah-ubah. Secara umum klaim rawat inap menghabiskan kurang lebih 15 Triliun Rupiah dan diprediksikan tahun berikutnya masih sama, namun yang perlu diperhatikan bukan hanya itu saja.

Ada satu aspek mengenai dampak PHK yang berdampak pada status kepesertaan BPJS seseorang menjadi PBI. Oleh karena itu pemerintah memerlukan sekitar 12 Triliun Rupiah untuk menanggulangi shifting tersebut. Selain itu ada dana yang tak kalah pentingnya untuk dipersiapkan dan bersifat pencegahan. Dana potensi outbreak, kenaikan Penyakit Menular dan Rebound Penyakit Tidak Menular serta kasus stunting.

Mengapa ini penting, karena melihat salah satu aspek seperti cakupan vaksinasi yang hanya 60% ini berpotensi terjadi outbreak kembali. Begitu juga dengan penyakit-penyakit seperti malaria yang programnya menurun dan pemberi dana untuk program ini akan angkat kaki sehingga perlu ada negosiasi untuk pendanaan kepada Global Fund. Untuk menghadapi PTM kita juga perlu mengotak-atik JKN kembali.

Situasi Pembiayaan yang terjadi saat ini adalah, OOP (Out of Pocket) naik tetapi prosentasenya turun. Situasi ini menunjukkan bahwa masyarakat kita mampu, maka bisa dimanfaatkan dengan cara cost sharing bagi aspek-aspek yang tidak membebani masyarakat tapi masih bisa dilaksanakan. Kemudian untuk konteks anggaran kesehatan pemerintah saat ini yang perlu menjadi fokus adalah pada aspek peranan pemerintah kab/kota yang perlu memikirkan kembali efisiensi anggaran. Anggaran ini amat tepat digunakan untuk promotif dan preventif sehingga perlu mendapatkan perhatian dan refocusing.

Kemudian konteks fiskal pemerintah saat ini ternyata defisit pada tahun 2020 mencapai 6% menurut data yang Ascobat dapatkan. Utang Indonesia telah mencapai 41% PDB dan ini perlu ditanyakan kepada Kemenkeu apakah angka ini masih termasuk aman bagi kondisi fiskal negara?. Kemudian dari sektor pajak yang selama tahun 2020 terkontraksi sebesar 19,7% dibanding tahun 2019.

Keadaan di daerah, yang sama-sama diakui oleh Ascobat dan Diah merupakan dana transfer dari Pemerintah Pusat yang sifatnya sudah tetap dan tidak ada ruang inovasi di dalamnya. Selain itu ada dilema dimana 46% terpakai untuk belanja pegawai yang alasannya terkait dengan dampak politik praktis dalam kegiatan pemilu. Ini menyebabkan makin sempitnya ruang fiskal APBD Daerah. Kegiatan seperti kajian dan studi banding yang dilakukan Pemda disarankan untuk dikurangi untuk upaya efisiensi.

Sering sekali dalam pembicaraan mengenai anggaran ada anggapan terlalu kecil atau lebih rendah dari negara lain ini hal yang kurang dibicarakan. Terutama peruntukannya, untuk apa dana tersebut?. Apabila dirujuk dari muaranya, upaya kesehatan terbagi dua yaitu UKM dan UKP. Sering kali yang diperbaiki adalah kedua hal tersebut hingga melupakan masalah di hulunya yaitu Health Strengthening System. Untuk apa memperbaiki kapitasi dll, tetapi faskes pun tidak ada atau tidak layak dan apakah ini melahirkan keadilan sosial?.

Sistem juga perlu diperkuat dalam hal penanganan Wabah, misalnya dalam surveillans berapa tenaga yang tersedia dan yang dibutuhkan. Kemudian, harapannya Indonesia tidak berpuas diri dengan capaian testing yang mendekati target WHO. Ini disebabkan oleh jumlah testing yang hanya memenuhi capaian hanya ada di Pulau Jawa sementara di daerah lain tidak demikian.

Harapannya Indonesia tidak terlalu euforia seperti yang dilaksanakan oleh India, kemudian memicu perilaku yang tidak memerhatikan kondisi wabah sehingga kasus Covid-19 justru mengalami eskalasi. Perlu ada affirmative policy untuk di daerah dengan memberikan sertifikasi yang sifatnya darurat, sehingga tenaga kesehatan yang non-dokter bisa memberikan layanan testing.

Ascobat juga mengusulkan supaya ada pembagian beban untuk berobat dalam UKP dengan menggunakan skema tiket. Tiket ini dibayar di muka (misalnya) sebesar Rp. 150.000 Rupiah, jika dikalikan dengan jumlah peserta di Rumah Sakit ini bisa meringankan beban pembiayaan kesehatan sebesar 3,8 Triliun Rupiah dalam satu tahun. Meskipun demikian, skema ini ditegaskannya tidak diperuntukkan bagi pasien dengan penyakit kronis dan peserta PBI.

Ascobat berharap sumber pembiayaan ini beragam dengan skema demikian:

11jun

Sesi 3

Didik Kusnaini merupakan Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Kementerian Keuangan, ia mengaminkan presentasi yang telah disampaikan oleh pembicara. Didik sepakat bahwa apa yang disampaikan oleh pembicara bahwa dana yang banyak belum tentu berbanding lurus dengan kualitas yang akan didapatkan. Dalam pandemi ini penerimaan pajak turun karena kegiatan ekonomi turun sehingga Rupiah di APBN turun, sementara ketika swasta melemah maka satu-satunya yang bisa hidup adalah Pemerintah. Ini disebabkan karena Pemerintah masih bisa upaya mencari pinjaman.

Jumlah anggaran yang disampaikan oleh Diah tadi dibenarkan oleh Didik, bahwa Sebagian besar dikeluarkan untuk sisi kuratif. Ada 3 PR bagi Pemerintah, yaitu mengenai kuantitas SDM, kemudian kualitas SDM serta yang ketiga masalah distribusi SDM Kesehatan. Meskipun keadaan fiskal sedang tidak baik pengembangan SDM tetap harus dilaksanakan dan kita harus lebih bisa memilih prioritas.

Dengan demand dan supply yang tidak seimbang, Didik menyepakati untuk mengembangkan sumber-sumber pendanaan yang lain, dan sharing. Pola pembiayaan pemerintah tetap berjalan, kemudian yang bersumber dari masyarakat perlu dipikirkan coordination of benefitnya, kemudian dari pihak swasta mereka akan selalu menghitung profit dan ini PR bagi pemerintah untuk menarik swasta agar mau berpartisipasi.

Pembahas berikutnya disampaikan oleh Bappenas yang diwakili oleh Dewi Amilla. Dewi sepakat bahwa tidak lagi relevan membahas soal kurangnya anggaran terus menerus. Dilihat dari sisi jumlah meningkat secara keseluruhan, namun revenue negara masih kecil dibanding PDB sehingga kita sulit untuk menaikkan anggaran per kapita.

Masalahnya bukan hanya anggaran Kesehatan tetapi lebih luas lagi yaitu keuangan negara. Kemudian Dewi juga menanggapi mengenai SPM yang ternyata dimaknai membuat ruang fiskal sempit seperti yang dijelaskan oleh Ascobat di awal, hal ini memberi kesan bahwa ini adalah mandate yang unfunded. Perlu dikaji ulang juga mengapa sampai dana transfer ke daerah ini justru lebih banyak digunakan untuk operasional padahal sudah diatur oleh Kementerian Dalam Negeri. Dewi juga sepakat untuk meninjau Kembali dana transfer ke daerah untuk optimasi upaya nasional. Mengenai keikutsertaan swasta dalam reformasi SKN, hal ini perlu juga untuk ditekankan.

Terutama pada pengembangan kontrak pelayanan dengan swasta untuk perluasan cakupan imunisasi dasar lengkap dan pelayanan Kesehatan terutama di daerah yang sulit. Isu lain mengenai upaya promotive preventif yang harus lebih diperjelas potongannya dimana, Bagaimana sebaiknya proporsi anggaran dalam rangka penguatan promotive dan preventif dan spesifik peruntukkannya. Kemudian bagaimana proporsi yang seharusnya dibagi untuk perluasan Antigen IDL dan Vaksinasi Rutin HPV?. Skrining Penyakit PTM juga perlu diperjelas, apakah perlu regulasi khusus? Kemudian apakah perlu alokasi DAK Non Fisik? Mengingat harganya yang cukup mahal. Isu selanjutnya adalah peningkatan literasi Kesehatan melalui KIE.

Pembahas terakhir yaitu Athia Yumna berpendapat bahwa keberlanjutan pembiayaan di sektor Kesehatan itu tidak sekedar untuk JKN tapi juga untuk keseluruhan. Di beberapa diskusi kebijakan yang diselenggarakan SMERU terdapat bahasan-bahasan yang sama, misalnya seperti peningkatan ruang fiskal dan meningkatkan efisiensi. Selain itu bagaimana privat bisa memenuhi ruang kontribusi juga menjadi bahasan SMERU. Athia mengingatkan ada satu aspek yang mungkin belum dibahas secara khusus yaitu sin tax atau pajak dosa dan perlu dijadikan opsi untuk diimplementasikan.

Lebih khusus soal kontribusi swasta, Athia menyoroti mengenai asuransi komersial agar dapat berkolaborasi dalam pembiayaan Kesehatan Bersama BPJS. Meskipun demikian, jalannya tidak mudah karena perbedaan prinsip asuransi komersial yang menganut indemnity dan manage of care. Hal ini yang perlu dipikirkan agar dapat terjadi sinergi. Lalu hal yang diusulkan untuk dibahas adalah prinsip farmako-ekonomi untuk efisiensi, karena terdapat prinsip keadilan. Menutup bahasan, Athia menyimpulkan bahwa banyak bahasan yang telah dibicarakan namun jangan lupa untuk menentukan arah prioritas untuk eksekusi jangka pendek, menengah dan panjang

 

Link Terkait:

 

 

Reportase Webinar Diseminasi Aplikasi Eksplorasi Data Sampel BPJS Kesehatan 2015 - 2018 dalam Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK)

Jumat, 4 Juni 2021

Pada Jumat (4 Juni 2021) telah diselenggarakan webinar tentang “Diseminasi Aplikasi Eksplorasi Data Sampel BPJS Kesehatan 2015 - 2018) dalam Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK)” yang berisi mengenai pengenalan aplikasi eksplorasi data sampel BPJS Kesehatan 2015 - 2018. Webinar ini diselenggarakan oleh PKMK FK - KMK UGM dan didukung oleh WHO Indonesia. Webinar berlangsung pada pukul 13.00 - 14.30 WIB di Gedung Litbang, FK - KMK UGM dan disiarkan secara langsung melalui Zoom Meeting serta YouTube Live Streaming.

Tujuan dari webinar ini untuk mengenalkan aplikasi eksplorasi data sampel BPJS Kesehatan 2015 - 2018 untuk umum, menjelaskan cara mengakses dan menggunakannya, serta menjelaskan pemanfaatan aplikasi tersebut. Narasumber pada webinar ini adalah Insan Rekso Adiwibowo, M.Sc. dan M. Faozi Kurniawan, SE. Akt, MPH, keduanya merupakan peneliti di PKMK FK - KMK UGM. Pembahas dalam webinar ini adalah dr. Donni Hendrawan (BPJS Kesehatan), Dedy Revelino Siregar, M.Si (BPJS Kesehatan), dan dr. Asih Eka Putri, MPPM (Anggota DJSN). Diskusi pada webinar dipandu oleh moderator yaitu Widy Hidayah, MPH.

7jun

Materi 1: Pengenalan Aplikasi Eksplorasi Data Sampel BPJS Kesehatan 2015 -2018

Oleh: Insan Rekso Adiwibowo, M.Sc.

7jun1Insan menjelaskan adanya aplikasi eksplorasi data sampel BPJS Kesehatan 2015 - 2018. Aplikasi ini dapat diakses melalui website DaSK maupun KKI. Pada aplikasi ini terdiri dari dua tema. Tema pertama adalah portabilitas rujukan menjelaskan peserta yang harus berpindah dari satu provinsi ke provinsi lain untuk menerima layanan kesehatan. Visualisasi peta menunjukkan asal provinsi dan provinsi tujuan dari peserta.

Tema kedua adalah utilisasi layanan yang dapat dilihat dalam tiga tingkatan, yaitu nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Pengguna dapat memilih tingkatan faskes, jenis angka yang ditampilkan, serta jenis kelompok. Selain visualisasi dalam bentuk peta, pengguna juga bisa melihat dalam bentuk grafik maupun data tabel. Pengguna dapat memilih jenis klaim/penyakit. Pada aplikasi ini juga bisa membandingkan segmen peserta.

 

Materi 2: Utilisasi Penyakit Jantung, Kanker, dan Utilisasi Sectio Caesarea Era JKN

Oleh: M. Faozi Kurniawan, SE. Akt, MPH

7jun2Faozi menyampaikan tentang penggunaan data sampel BPJS, terutama dilihat dari sisi pembiayaan. Berdasarkan data Riskesdas 2018, data kasus jantung, kanker, dan sectio caesarea (SC) mengalami kenaikan. Data sampel BPJS Kesehatan bisa ditampilkan berdasarkan tahun, dimulai pada 2015 hingga 2018. Data penyakit jantung, kanker, dan SC bisa dilihat melalui aplikasi tersebut. Namun, pengguna masih bisa mengembangkan analisis data lebih lanjut.

Pembahasan 1

Oleh: dr. Donni Hendrawan (BPJS Kesehatan)

Data sampel BPJS Kesehatan ini memang ditujukan untuk bisa dimanfaatkan. Peran dukungan berbagai pihak diperlukan untuk keberlangsungan pelaksanaan kebijakan yang ada. Usulan berikutnya adalah membuat aplikasi korelasi antar data yang ada. DaSK juga bisa ditambahkan ke website BPJS sehingga bisa diakses oleh lebih banyak pihak.

Pembahasan 2

Oleh: Dedy Revelino Siregar, M.Si (BPJS Kesehatan)

7jun3Apresiasi untuk adanya aplikasi eksplorasi data sampel BPJS Kesehatan 2015 –
2018 ini. Salah satu permasalahan dalam sistem kesehatan ini adalah terkait portabilitas, jumlah peserta yang masuk lebih banyak daripada jumlah peserta yang keluar. Kepemilikan rumah sakit juga penting untuk ditunjukkan. Kanker dan jantung bermasalah di tindakan penanganan.

Pembahasan 3

Oleh: dr. Asih Eka Putri, MPPM (Anggota DJSN)

7jun4Indikator yang dimunculkan adalah jumlah total, hal ini perlu diperhatikan karena perbandingan dengan tempat lain sebaiknya menggunakan rate. DJSN sudah melakukan pengolahan big data yang telah dimulai sejak 2014. SISMONEV dapat diakses melalui link berikut ini. 

 

Reporter Rokhana Diyah Rusdiati

Tautan terkait:

 

 

 

Reportase Webinar Kebijakan Penanggulangan Penyakit Kanker di Era JKN

Kamis, 3 Juni 2021

Pada Kamis (3 Juni 2021) telah diselenggarakan webinar tentang “Kebijakan Penanggulangan Penyakit Kanker di Era JKN” yang berisi penjelasan tentang data penyakit kanker di Indonesia serta kebijakan kesehatan terkait. Webinar ini diselenggarakan oleh PKMK FK - KMK UGM dan didukung oleh WHO Indonesia. Webinar berlangsung pada pukul 13.00-15.00 WIB di Gedung Litbang, FK - KMK UGM dan disiarkan secara langsung melalui Zoom Meeting serta YouTube Live Streaming.

Tujuan dari webinar ini adalah menampilkan hasil kajian tentang pembiayaan penyakit kanker, memahami kebijakan penanggulangan penyakit kanker, mendukung proses pengembangan kebijakan penyakit kanker, serta mengaplikasikan proses pengembangan kebijakan kesehatan berbasis data. Narasumber pada webinar ini adalah Dr. dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD-KHOM dan M. Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH. Pembahas dalam webinar ini adalah Aldrin Neilwan P., Sp.Ak, MARS, M.Biomed (Onk), M.Kes, S.H, dr. R. Soeko W. Nindito D., MARS, dan Rahmadi (Dinas Kesehatan Kalimantan Timur). Diskusi pada webinar dipandu oleh moderator yaitu dr. Yasjudan Rastrama Putra, Sp.PD.

Pembukaan

gb7jun

MC membuka acara dengan memperkenalkan diri, dilanjutkan dengan menjelaskan rincian acara hari ini. Kemudian moderator memperkenalkan diri serta memperkenalkan narasumber dan materi yang akan disampaikan, serta para pembahas dalam kegiatan webinar ini.

Materi 1: Pemerataan Pelayanan Kanker di Indonesia

oleh: Dr. dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD-KHOM, FINASIM

gb7jun1Ibnu memulai materinya dengan menyampaikan data kanker di Indonesia, posisi pertama yaitu kanker payudara. Permasalahan kanker di Indonesia yaitu sebagian besar terdiagnosis pada stadium lokal lanjut dan lanjut. Selain itu, adanya kesintasan relatif rendah. Kemungkinan penyebab pasien datang pada stadium lanjut adalah pasien mencari pertolongan alternatif terlebih dahulu serta sistem rujukan yang kurang cepat. Deteksi dan pengenalan dini juga masih kurang dari sisi tenaga kesehatan maupun pasien. Tenaga kesehatan masih belum mampu untuk melakukan deteksi dini terkait penyakit kanker. Selain itu pasien juga belum familiar dengan gejalanya.

Kurangnya jumlah cancer multidisciplinary team. Berdasarkan data dari DaSK, satu orang dokter bisa memberikan pelayanan di tiga rumah sakit yang berbeda. Kerja sama antar disiplin perlu ditingkatkan agar bisa meningkatkan safety dan efficiency. Penyebaran layanan kanker yang tidak merata juga menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan, khususnya terkait penyebaran SDM, layanan diagnostik, serta layanan terapeutik terutama mesin radioterapi.

Modalitas diagnostik juga masih terbatas, hanya ada di beberapa kota di Indonesia. Berdasarkan ulasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa jumlah tenaga kesehatan berbanding jumlah penduduk untuk layanan kanker masih kurang. Pemerataan juga masih kurang, hal ini terlihat bahwa Indonesia bagian barat cenderung lebih lengkap dibandingkan Indonesia bagian timur.

Pasien kanker di Indonesia terdiagnosis dalam stadium lanjut, terapi yang di - cover oleh JKN kurang optimal, serta perlunya meningkatkan ketersediaan fasilitas pendukung terapi kanker (radioterapi, imunohistokimia PA). Solusi yang diusulkan untuk jangka pendek adalah pemerataan SDM, sedangkan untuk jangka panjang adalah memberikan tugas belajar untuk SDM potensial dengan ikatan hukum yang kuat. Selain itu, perlu adanya kebijakan untuk meningkatkan deteksi dini, perizinan cost sharing JKN dan biaya mandiri pada terapi yang tidak dijamin JKN, serta peningkatan bertahap pada fasilitas pendukung terapi kanker.

Materi 2: Pembiayaan Penyakit Kanker di Era JKN

Oleh: M. Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH

gb7jun2Faozi memulai materi dengan menyampaikan grafik kematian yang diakibatkan oleh neoplasms pada skala global, Indonesia, maupun provinsi di Indonesia. Data Riskesdas 2018 menjelaskan bahwa prevalensi kanker di Indonesia mencapai 1,79 per 1.000 penduduk. Setidaknya 18 dari 1.000 orang (atau sekitar 1.017.290 individu) di Indonesia menderita penyakit kanker. Ketersediaan rumah sakit dan dokter bedah onkologi sebagian besar ada di Jawa dan Sumatra, hal ini berkaitan dengan populasi penduduk yang besar, kondisi geografis yang relatif mudah, serta investasi yang lebih terjangkau.

Daerah Indonesia di bagian barat adalah yang paling banyak penyebarannya. Biaya pelayanan kanker di Provinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Selatan lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Umumnya terjadi peningkatan biaya pelayanan jantung setiap tahunnya (2015 - 2018). Penguatan kebijakan pelayanan jantung perlu memperhatikan siapa sasarannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah melakukan pemenuhan fasilitas kesehatan (rumah sakit rujukan) di tingkat provinsi, pemerataan dokter spesialis kanker, cost sharing (asuransi swasta, pemerintah, BPJS Kesehatan), penguatan program deteksi dini, serta edukasi Gerakan Kesehatan Masyarakat (GERMAS).

Pembahasan 1

Oleh: Aldrin Neilwan P., Sp.Ak, MARS, M.Biomed (Onk), M.Kes, S.H

Terkait dengan masalah kanker, maka harus diperhatikan secara luas dan komprehensif dari sisi promotif maupun preventif. Kemenkes RI menerapkan strategi pendekatan 4 pilar dalam menanggulangi masalah kanker di Indonesia. Pertama terkait promosi kesehatan, meningkatkan kesadaran dan kemauan pencegahan untuk kanker. Kedua adalah perlindungan khusus, misalnya imunisasi HPV. Ketiga adalah upaya skrining atau deteksi dini untuk beberapa kanker di FKTP, misal kanker payudara dan kanker serviks. Keempat adalah pengobatan, hal ini berkaitan dengan diagnosis dan ketersediaan terapi yang sesuai dengan standar.

Harus ada keseimbangan antara sumber daya yang dibutuhkan dengan pengetahuan dan kepedulian masyarakat yang menjadi sasaran. Upaya pencegahan spesifik juga perlu ditingkatkan, harapannya imunisasi HPV bisa menjadi program nasional. Terkait upaya meningkatkan kesadaran masyarakat, cost sharing ini menjadi semacam punishment di dalam meningkatkan kesadaran masyarakat. Terdapat dua pendekatan yang bisa digunakan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, yaitu dengan edukasi dan coercion (pemaksaan) untuk bisa mengubah perilakunya.

Pembahasan 2

Oleh: dr. R. Soeko W. Nindito D., MARS

gb7jun3Soeko menyampaikan bahwa materi yang telah disampaikan telah selaras dengan gagasan pengembangan pelayanan kanker di Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akses dan kualitas pelayanan kanker, namun belum semua daerah di Indonesia memiliki layanan kanker yang merata. Sehingga diperlukan pendampingan yang terstruktur dan kontinyu kepada rumah sakit yang belum memadai. Perlu langkah - langkah konkrit sehingga pengembangan kanker ini bisa disesuaikan dengan jaminan pembiayaan yang ada.

Pembahasan 3

Oleh: Rahmadi (Dinas Kesehatan Kalimantan Timur)

gb7jun4Kegiatan disini adalah deteksi dini yang dirangkum dalam kegiatan Pusbindu. Akibat terjadi pandemi COVID-19, kegiatan di Pusbindu dikurangi. Ke depannya akan ada beberapa kegiatan pendukung lainnya. Selain itu ada juga kerja sama dengan bidang Kesmas untuk melakukan promosi kesehatan kepada masyarakat agar masyarakat lebih memahami tentang penyakit kanker.

Reporter: Rokhana Diyah Rusdiati

Referensi

 

 

Reportase Webinar Kebijakan Penanggulangan Penyakit Jantung di Era JKN

Pada Jum’at (28 Mei 2021) telah diselenggarakan webinar tentang “Kebijakan Penanggulangan Penyakit Jantung di Era JKN).” Webinar ini diselenggarakan oleh PKMK FK-KMK UGM didukung oleh WHO Indonesia. Webinar berlangsung pada pukul 13:00-15:00 WIB di Gedung Litbang, FK-KMK UGM dan disiarkan secara langsung melalui Zoom Meeting serta YouTube Live Streaming.

Tujuan dari webinar ini adalah untuk menyampaikan inisiasi para pemangku kepentingan dalam rangka pengembangan dan perbaikan kebijakan jantung di Indonesia. Narasumber pada webinar ini adalah M. Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH (PKMK FK-KMK UGM) dan dr. Anggoro Budi Hartopo, M.Sc., Ph.D, Sp.PD, Sp.JP (Departemen Kardiologi FK-KMK UGM/RS Sardjito). Pembahas dalam webinar ini adalah Dirjen Pelayanan Kesehatan (Kemenkes RI), Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kemenkes RI), RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, serta Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diskusi pada webinar dipandu oleh moderator yaitu Relmbuss Biljers Fanda, MPH.

Pengantar Kegiatan

Oleh: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Laksono menyampaikan pengantar bahwa kegiatan ini merupakan awal dari proses penanggulangan masalah jantung di era JKN agar bisa dianalisis, sehingga harapannya akan ada berbagai rekomendasi kebijakan yang bisa disampaikan ke Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta pemerintah daerah.

Materi 1: Pembiayaan Penyakit Jantung

Oleh: M. Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH

ojiFaozi menyampaikan materi tentang pembiayaan penyakit jantung di Indonesia serta penguatan kebijakan pelayanan jantung. Indonesia memiliki tingkat kematian akibat CVD yang semakin meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menjelaskan bahwa prevalensi merupakan angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Setidaknya ada 15 dari 1000 orang, atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita penyakit jantung. Terdapat 11 provinsi di Indonesia dengan tingkat prevalensi di atas 1,5%. Namun, jumlah ketersediaan rumah sakit sebagian besar ada di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang memiliki populasi penduduk lebih besar, kondisi geografis relatif mudah, serta investasi lebih terjangkau.

Sebagai contoh dari data sampel BPJS Kesehatan 2015-2018, terlihat bahwa banyak orang dari daerah di luar Pulau Jawa yang melakukan rujukan ke rumah sakit di Pulau Jawa. Biaya pelayanan Jantung di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta lebih tinggi daripada provinsi lainnya. Segmen kepesertaan yang banyak mengeluarkan biaya yaitu PPU, PBPU, dan PBI APBN. Penguatan kebijakan pelayanan jantung perlu memperhatikan siapa sasarannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah melakukan penguatan promotif dan preventif, screening jantung, memberikan sosialisasi masif ke masyarakat, menciptakan kawasan tanpa rokok, serta menyediakan pengobatan dengan prosedur yang jelas.

Materi 2: Produksi dan Distribusi Dokter Spesialis Jantung

dr. Anggoro Budi Hartopo, M.Sc., Ph.D, Sp.PD, Sp.JP

Anggoro menyampaikan materi tentang produksi dan distribusi dokter spesialis jantung. Sebagai informasi, sebanyak 86% kematian secara global tahun 2016 didominasi oleh penyakit tidak menular, salah satunya adalah kardiovaskuler. Kematian akibat penyakit kardiovaskuler diperkirakan mencapai 23,3 juta pada 2030. Terdapat ketimpangan ketersediaan dokter spesialis penyakit jantung-pembuluh darah, dengan jumlah terbanyak ada di DKI Jakarta.

Saat ini terdapat 751 calon Sp.JP dan sudah ada 1.196 orang Sp.JP yang tersebar di seluruh Indonesia. Produksi Sp.JP harus selaras dengan penyebaran Sp.JP, namun masih ada ketidakmerataan pelayanan di daerah. Kebijakan jangka pendek yang dapat dilakukan yaitu melakukan standarisasi penyebaran Sp.JP, penerapan kebijakan bersama tentang penerimaan PPDS JP dan penempatan, serta meneruskan program kemitraan, LPDP dan TUBEL Kemenkes untuk Sp.JP. Sedangkan untuk kebijakan jangka panjang yaitu memperbanyak beasiswa, pembukaan prodi jantung yang lebih merata, penetapan wilayah binaan, serta meningkatkan fasilitas termasuk insentif untuk alat-alat Sp.JP di daerah.

Pembahasan 1

Oleh: Dr. dr. Yout Savithri, MARS

youtYout menyampaikan bahwa 10 kasus terbanyak pada kode INACBGs mencapai jumlah ratusan ribu kasus. Ada beberapa kompetensi fasyankes yang perlu diperhatikan sehingga bisa dibuat standar pedoman cath lab, harapannya bisa menekan angka kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung. Terkait dengan SDM, pembentukan prodi khusus sudah dilakukan serta penentuan standar SDM untuk memberikan pelayanan. Masih ada beberapa hambatan, misal terbatasnya SDM, alat kesehatan di daerah terpencil, tenaga kesehatan yang masih terkonsentrasi di kota besar, kurangnya peningkatan kapasitas kompetensi SDM dan rumah sakit, antrian pasien yang panjang karena pola rujukan yang belum optimal, serta perlunya memperhatikan rencana strategis bisnis rumah sakit untuk pengembangan kompetensi rumah sakit.

Pembahasan 2

Oleh: dr. Cut Putri Arianie, M.H.Kes

cutpCut menyampaikan harapannya terhadap fakultas yang terkait kesehatan masyarakat terkait upaya promotif dan preventif yang direkomendasikan. Kemudian terkait distribusi dan pengadaan Sp.JP, harapannya kolegium dapat memproduksi para dokter Sp.JP dengan peminatan sosial. Data Riskesdas terkait beban penyakit tidak menular (PTM) menunjukkan bahwa selama 2014-2020 (BPJS) menghabiskan biaya 118,16 triliun untuk PTM.

Pada masa pandemi ini, PTM meningkatkan jumlah mortalitas dan morbiditas, serta meningkatkan penundaan vaksinasi. Kemenkes RI menerapkan kebijakan P2PTM (dalam Permenkes No. 71/2025 tentang penanggulangan PTM), yaitu dengan melakukan promosi kesehatan, deteksi dini, perlindungan khusus, serta penanganan kasus. Regulasi perlu dikuatkan, kepatuhan masyarakat perlu ditingkatkan, maka harapannya insiden PTM akan semakin berkurang.

Pembahasan 3

Oleh: Dr. dr. Isman Firdaus, FIHA, FESC, FACC, FSCAI

Isman memulai pembahasan dengan menjelaskan pemetaan pelayanan kardiovaskuler di Indonesia, dengan adanya 1.413 dokter Sp.JP di Indonesia namun penyebarannya belum merata. Pemetaan layanan faskes kardiovaskuler terbagi dalam 5 kriteria warna yang berbeda, yaitu merah, ungu, hijau, kuning, dan biru dengan rincian fasilitas, strategi, dan target yang berbeda-beda (dapat dilihat melalui gambar di bawah ini).

Pembahasan 4

Oleh: Nur Azizah, SKM, M.Kes

nuraAzizah menyampaikan tanggapannya tentang pembiayaan penyakit jantung. Menurut Riskesdas 2018, prevalensi penyakit jantung di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah 0,7%. Kasus tertinggi di NTT adalah hipertensi, sedangkan penyakit jantung ada di posisi ke-6. Penyebaran SDM Sp.JP di NTT masih sangat terbatas, oleh sebab itu diagnosa yang diperoleh dari 22 kabupaten/kota di NTT itu dilakukan oleh dokter umum, sehingga kebanyakan mengarah ke hipertensi dan diabetes melitus. Harapan ke depan adalah meningkatkan jumlah SDM yang berkompetensi di bidang penyakit jantung dan pemerataan pelayanan.

Penutup

Diskusi dilaksanakan dengan dipandu oleh moderator. Peserta webinar terlibat secara aktif dalam memberikan pertanyaan dan/atau melakukan diskusi dengan narasumber. Kegiatan webinar diakhiri dengan penyampaian kesimpulan oleh moderator diskusi, bahwa program program pengendalian penyakit jantung itu sangat bergantung terhadap besar populasi yang ada, misal populasi orang sehat, populasi orang berisiko, maupun populasi orang dengan PTM.

Reporter: Rokhana Diyah Rusdiati

YouTube Live Streaming

 

 

Reportase Pertemuan ke-6 Evaluasi Delapan Sasaran Peta Jalan JKN Provinsi Sulawesi Selatan

Forum Aspirasi Akademisi dan Pemerintah Daerah

30 April 2021

Sesi 1: Dr. Irwandy, SKM., MSc.PH., M.Kes – Akademisi UNHAS

Dalam paparannya mengenai Evaluasi Delapan Sasaran Peta Jalan JKN di Provinsi Sulawesi Selatan, Irwandy menyampaikan beberapa aspek yaitu tata kelola, pemerataan layanan kesehatan dan mutu layanan. Pada aspek tata kelola, ada beberapa masalah yang disoroti seperti tunggakan iuran peserta JKN, kemudian pencegahan kecurangan program JKN dan keterbukaan akses data.

Peserta yang tercatat tidak aktif dalam partisipasi iuran sebesar 10,5% yang mana lebih kecil daripada angka nasional sebesar 11,6%. Segmen yang paling banyak menunggak adalah PBPU yaitu 54,6%. Prosentase jika diamati ini dari tahun ke tahun terus meningkat dari data Sismonev DJSN 2016 hingga 2021. Meskipun demikian, tren di Provinsi Sulawesi Selatan masih di bawah angka nasional.

Tingkat kolektibilitas dari seluruh segmen mencapai 86,95%. Kemudian untuk aspek pencegahan kecurangan, setelah diteliti pada tahun 2019 menunjukkan fakta bahwa tim anti fraud belum terbentuk secara menyeluruh pada setiap faskes di Provinsi Sulawesi Selatan, sosialisasi regulasi mengenai anti-fraud juga belum berjalan optimal, belum ada regulasi yang dibentuk untuk tingkat daerah dan program anti-fraud seperti pembangunan sistem pelaporan, investigasi dan pemberian sanksi belum dijalankan. Lalu dalam keterbukaan akses data menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan belum menggunakan data - data BPJS Kesehatan untuk perencanan daerah yang disebabkan karena akses data yang terbatas.

Sasaran berikutnya yakni ekuitas dalam bentuk cakupan kepesertaan per Februari 2021 menyatakan bahwa ada 92,44% jiwa yang menjadi peserta. Angka ini masih jauh dari target yang diharapkan lebih dari 95%. Tren cakupan kepesertaan di Provinsi Sulawesi Selatan setiap tahunnya naik sejak 2014, namun pada 2020 mengalami penurunan. Hal ini menjadi pertanyaan, apakah penurunan terjadi dikarenakan dampak pandemi COVID-19?. Irwandy juga menyoroti di 11 kabupaten bisa memiliki capaian hingga 95% namun wilayah lainnya belum mencapai, lalu di beberapa daerah angka cakupannya bisa lebih dari 100%. Hal ini menjadi pertanyaan, apakah terdapat isu akurasi dan validasi data kepesertaan?.

Sasaran berikutnya, yaitu mengenai pemerataan akses dan pemanfaatan. Setelah ditelisik, dalam aspek ini terdapat isu adverse selection dan akses yang tidak merata. Hal ini dibuktikan oleh jumlah peserta PBI yang lebih banyak dibanding Non-PBI namun dari segi pemanfaatan peserta Non-PBI yang lebih banyak memanfaatkan layanan. Sebaran faskes yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan per 2018 adalah sebesar 93,5% untuk FKRTL, kemudian untuk FKTP adalah senilai 89,6%. Sebesar 19% kondisi Puskesmas dinyatakan rusak, dengan kategori rusak ringan, sedang atau berat. Kondisi Puskesmas pembantu yang rusak ada 34%, dan akses ke Puskesmas yang belum aspal/beton terdapat sekitar 12%.

Kesimpulan yang didapat dari materi ini pada tata kelola diperlukan upaya yang giat untuk mengatasi tunggakan dan mencegah kecurangan pada penyelenggaraan program JKN. Pada aspek keterbukaan dan akses data diperlukan peningkatan, begitu juga dengan aspek cakupan kepesertaan yang masih perlu upaya yang lebih untuk meningkatkan hingga target yang sesuai UHC. Pemerataan jumlah faskes telah tercapai, namun perlu upaya untuk meningkatkan kondisi fasilitas dan ketersediaan obat-obatan. Terakhir, dari segi mutu menurut kepuasan peserta sudah sesuai dengan target yang diharapkan.

Dr. Andy, M.Si (Kabid Pemerintahan dan Pembangunan Manusia)

Andy menjelaskan dari perspektif Bappeda, bahwa dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan terdapat misi untuk memperbaiki kesehatan. Lebih khusus lagi, meningkatkan kualitas SDM secara inklusif dengan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Kerjasama antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten diwujudkan dalam pengobatan gratis yang terintegrasi dengan program JKN, hal ini termuat dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 9 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Kesehatan Gratis.

Upaya yang dilakukan untuk penyelenggaraan kesehatan gratis ini adalah dengan sharing dana sesuai dengan kapasitas fiskal masing-masing. Andy mendapatkan data dari BPJS ada sekitar 11 daerah Kota/Kabupaten yang telah mencapai UHC per bulan Maret. Daerah yang belum UHC ada 8, dan yang mendekati UHC ada 5 kabupaten. Ia juga mengamini bahwa puskesmas dan pustu yang disebutkan oleh Irwandy memang ada yang kurang layak kondisinya, begitu juga problem mengenai kualitas penyebaran SDM Kesehatan di Provinsi Sulawesi Selatan.

Sorotan berikutnya dari Andy adalah mengenai survei regional yang semestinya segera dilakukan untuk mengetahui tingkat kepuasan di daerah, karena data yang ditampilkan oleh Irwandy baru dari tingkat Nasional. Setelah survei dilaksanakan, harapannya hasil tersebut bisa membantu penyusunan dan pengambilan kebijakan kedepannya. Dalam aspek tata kelola, feedback yang diberikan adalah supaya ada rekomendasi untuk penerapan kebijakan di masa yang akan datang.

dr. H. Muhammad Ichsan Mustari, MHM (Kadinkes Prov. Sulawesi Selatan)

Ichsan mengiyakan soal isu tunggakan yang selalu berulang-ulang tidak bisa diselesaikan, hal ini berakibat dengan iuran yang menurun dan layanan tidak meningkat. Hal ini disebutkan sebagai efek domino yang saling mempengaruhi antar aspek. Ichsan memberikan rekomendasi untuk memberikan reward bagi para peserta yang taat membayar iuran, meskipun mereka tidak sakit dan menggunakan manfaat dari kepesertaan BPJS Kesehatan.

Hal ini diutarakan oleh Ichsan karena di masyarakat terdapat stigma apatis, mengapa peserta harus membayar jika tidak mendapatkan manfaatnya sama sekali. Isu mengenai persebaran SDM Kesehatan juga sama dengan yang diutarakan oleh Andy, bahwa jumlah SDM Kesehatan itu cukup namun kualitas persebarannya yang membuat tidak cukup. Diharapkan supaya ada upaya yang dibungkus dalam bentuk regulasi untuk mengatur persebaran ini, sebab jika tidak maka hukum “dimana ada gula, disitu ada semut” akan terus berjalan dan hal inilah yang membuat persebaran SDM Kesehatan tidak merata.

Saat ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga sedang menggodok peraturan bagi SDM Kesehatan untuk dapat fokus memberikan layanan di satu tempat dan melarang mereka memberikan layanan di tempat lain dalam waktu yang bersamaan. Pekerjaan rumah berikutnya bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan adalah bagaimana caranya agar DAK dapat optimal yang tentu memerlukan kesepakatan bersama. Otomatis koordinasi antar lembaga perlu untuk ditingkatkan.

Mengenai mutu dan kepuasan menurut Ichsan adalah dua hal yang berbeda karena kepuasan didasarkan pada penilaian subyektif sedangkan mutu memiliki standar tertentu yang harus dicapai. Kemudian keterbukaan data ini penting untuk diterapkan untuk mengetahui efisiensi dana yang dikeluarkan oleh tertanggung yaitu Pemerintah Daerah.

dr. Beno Herman, M.A.R.S (Deputi Direksi Wilayah Sulselbartramal)

Beno menanggapi bahwa secara keilmuan data - data yang ditampilkan oleh Irwandy sudah real. Titik tekan yang krusial saat ini adalah untuk mengikuti amanah dari Perpres No. 64 tentang Kontribusi, Iuran dan Subsidi Pemerintah Daerah. Beliau juga menyampaikan bahwa ada perbedaan data yang dipaparkan oleh Irwandy dan data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan mengenai jumlah FKTP.

Jumlah yang dicatat oleh BPJS Kesehatan adalah sekitar 906 FKTP sementara yang ditampilkan oleh Irwandy kurang lebih 400. Tanggapan lainnya terhadap penelitian yang dilakukan oleh Irwandy adalah pada aspek tunggakan ini sebetulnya dilatarbelakangi oleh willingness to pay atau ada faktor ketidakmampuan. Mengenai pencegahan kecurangan, dari peraturan yang sudah ada di tingkat Pusat sudah ditambah lagi dengan peraturan regional yang mengharuskan tim pencegahan kecurangan ini harus ada akan tetapi hal ini belum optimal di Provinsi Sulawesi Selatan.

Kemudian, untuk aspek keterbukaan BPJS telah menyediakan dua dashboard yang sudah disampaikan hingga ke kabupaten/kota yaitu pemanfaatan JKN dan data mengenai COVID-19. Permasalahannya hingga saat ini adalah permintaan data yang dari lembaga yang tidak boleh diekspos seperti data by name by address. Data ini harus diolah terlebih dulu di pusat.

Reporter: Eurica Wijaya

Link terkait: