Reportase Monev
JADWAL
|
KEGIATAN
|
|
10.00-10.10
|
Pembukaan oleh Prof. Laksono Trisnantoro
|
materi
|
10.10-10.20 |
Pemaparan materi oleh Prof. Laksono Trisnantoro
|
video
|
|
Pembahasan Oleh: |
|
10.20-10.30 |
Togar Siallagan - Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat |
materi video |
10.30-10.40 |
dr. Arida Oetami, M.Kes - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY |
materi video |
10.40-10.50 |
dr. Budiono Santoso, MSc, PhD - FK UGM |
materi video |
10.50-11.00 |
Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA - FK UGM |
video |
11.00-12.00 |
Diskusi dan tanya jawab |
video |
Pentingnya Peran Leadership dalam Penelitian Monev yang Dilakukan Perguruan Tinggi
Poin yang disampaikan Prof. Laksono :
Permasalahan kesehatan banyak yang belum terselesaikan.
- AKI yang tidak kunjung turun
- TB yang permasalahannya terungkap makin meningkat, dari segi cost dan sebagainya.
- Dari sisi obat, penyelenggaraan pengadaan obat masih menimbulkan masalah. Salah satu pabrik obat melakukan kesalahan, yaitu anaestesi Buvanest Spinal tertukar dengan Asam Trakseranat.
- Penyelenggaraan JKN yang diduga memicu terjadinya kasus fraud.
Selama ini, penyelenggaraan program kesehatan oleh Dinas Kesehatan tidak dikontrol melalui monev oleh pihak independen. Kontrol kualitas dan output dari suatu program kesehatan berbeda dengan Dinas Pekerjaan Umum yang terbiasa dengan keberadaan pihak monev independen. Di Dinas PU, Bahkan monev independen ini justru memiliki sekian persen dari anggaran untuk pembiayaannya. Sementara, dinas kesehatan belum terbiasa dengan ini.
Dampak tidak adanya monev independen, akhirnya terjadi ketidaklengkapan sistem kesehatan. Bappenas paling diharapkan untuk merealisasikan gagasan perlunya anggaran untuk kegiatan monev independen.
Bagaimana seharusnya?
Sumber anggaran untuk Monev ini bisa 1% dari anggaran BPJS untuk kegiatan monev independen.
Salah satu caranya yaitu mendorong Dinkes Provinsi dan DInkes Kabupaten/Kota yang selama ini telah menjalin kerja sama untuk monev independen namun masih bersifat sukarela. Faktanya, belum ada dana khusus, maka perlu juga mendorong juga untuk peningkatan jumlah konsultan monev independen (bukan sekedar surveyor). Ke depan, perlu kampanye untuk para pemimpin di lembaga penelitian untuk pentingnya meningkatkan peran PT/lembaga penelitian sebagai konsultan monev independen. Selain itu, dibutuhkan juga kampanye untuk policy maker agar menyadari kebutuhan monev indpenden sebagai bagian dari sistem kesehatan.
Poin penting yang disampaikan Dr. Budiono Santoso
Hal yang perlu diwujudkan ialah Universal access, dimana setiap orang berhak mendapat pelayanan bahkan meski tidak datang ke pelayanan kesehatan. Faktanya, ketersediaan obat dan vaksin 2010 – 2014 : pelaporan yang diberikan adalah nilai uang dari komoditas obat di daerah. Tetapi tidak mencerminkan ketersediaan komoditas obat tersebut (contoh: tidak tersedia oksitosin di PKM). Banyak Provinsi dan Kabupaten yang ketersediaan obatnya lebih dari 100%, sebaliknya terjadi kekurangan di level faskes primer. Kemudian, perbandingan harga e-catalog dengan international referrence price : harga obat di Indonesia di bawah 100% standar internasional. Kemungkinan yang dapat terjadi yaitu kualitas obat buruk
Dampaknya:
- Perlu adanya ketaatan supplier
- Mutu obat yang tidak terjaga
- Ketersediaan obat yang kurang
- Kesehatan industri generik : kita mempunyai success story untuk industry generik selama 40 tahun. Namun, penerapan kebijakan populis yang tidak berdasarkan bukti, tidak realistis. Karena pabrik obat dari India dan China yang murah dengan kualitas buruk, membuat pabrik obat yang bagus selama 40 tahun ini gulung tikar.
Pilihan :
- Jejaring pemantauan di provinsi dan kabupaten
- Jejaring pemantauan di PT/pusat penelitian/NGO
- Pemantauan difokuskan pada indikator2 yang peka (pusat sering tidak menggunakan indikator yang peka)
- Memanfaatkan IT
- Sistem monitoring yang dinamis (jangan laporan tahunan)
Poin penting yang disampaikan dr. Arida Oetami:
Peran Dinkes dalam Monev Pelaksanaan JKN
Banyak peraturan yang sudah ada untuk JKN. Namun, bagaimana posisi dinas kesehatan untuk menyiapkan fasyankes (melakukan monitoring)? Salah satunya melalui Diskusi Komisi VIII Rakernas Fraud yang melibatkan, peserta BPJS, faskes dan BPJS.
Monev khusus dapat dilakukan pihak yang memang mengurus hal tersebut, yaitu OJK untuk monev kesehatan keuangan BPJS, kemudian DJSN untuk monev kepesertaan serta Kemkes untuk monev faskes.
Temuan:
Ada praktik menarik dana kapitasi ke praktek mandiri, Puskesmas (PKM) jam 11 siang sudah tidak melayani. Namun, usai jam tersebut, dokter mantan PKM ini kemudian membuka praktek sendiri di samping PKM. Temuan lain menyatakan satu tahun pasca JKN, belum ada peningkatan untuk kondisi faskes, faktanya: tidak tersedia MgSO4 tidak ada di PKM tapi ada di tempat praktek mandiri.
Lalu, kemampuan Dinkes dalam monev terbatas. Muncul Forum Koordinasi Jamkesta yang dipimpin Sekda Provinsi. Kemudian, evaluasi pelayanan BPJS (forum kemitraan) juga dilakukan. Badan Pengawas RS (hingga saat ini tidak didanai kemkes) meski sudah ada regulasinya namun belum ada anggaran untuk honorarium. Kesimpulannya, jadi kebutuhan monev sudah ada namun tradisi di sektor kesehatan belum ada sehingga ini tradisi ini melemahkan akuntabilitas bidang kesehatan kita.
Poin penting yang disampaikan Togar Siallagan (DJSN) :
Skema Monev JKN menyatakan adanya peran lembaga pengawas independen dalam skema monev JKN bersama DJSN. Pengawas eksternal yaitu BPJS Watch, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Serikat pekerja dan lain-lain. BPJS sudah banyak melakukan kerja sama dengan PT hanya belum secara resmi. Jadi, program Kemitraan sudah dianggarkan dan sudah direalisasikan serta dashboard JKN sudah dibuat dengan Anis Fuad (FK UGM). Kebijakan yang ada yaitu sebaiknya menggunakan dana operasional yang diberikan pemerintah kepada pihak BPJS atau jangan presentase 0,5% dari 40 trilyun (iuran kepesertaan). Faktanya, pola belum jelas, peran monev masih dalam kerangka lembaga keuangan (OJK dan BPK).
Poin penting yang disampaikan Dr. Mubasysyir Hasanbasri:
Semua badan merasa sudah mempunyai sistem monev. Tetapi menempatkan perguruan tinggi (PT) sebagai pihak monev independen masih menimbulkan kekhawatiran. Jangan-jangan PT bisa jadi sama saja dengan semua lembaga yang mengklaim sudah melakukan monev selama ini. Selama ini bahkan PT pemimpinnya lebih memiliki menjadi politisi yang sebenarnya tidak memperjuangkan kepentingan publik tetapi cenderung kepentingan pribadi yang dikedepankan. Padahal seharusnya PT itu sebagai leader yang fokus memperjuangkan kepentingan publik.
Perlu tidak?
Sebenarnya ingin mengatakan tidak perlu karena lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki pemimpin yang tidak memiliki hati. Maka, lebih tepat kita sebut kita bersama-sama mengubah dan memperbaiki lembaga tsb untuk memiliki hati, good governance. Bukan profesional karena belum tentu memiliki hati. PT memiliki tantangan, membutuhkan leadership yang komitmen sehingga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, kepentingan lembaga PT. Maka gerakan yang tepat adalah koalisi lembaga penelitian dan koalisi perguruan tinggi bergerak bersama (pergerakan sosial) sehingga kepentingan pribadi menjadi minimal.
Sesi Diskusi :
- Dominirsep Dodo menanyakan
- Data sekunder tersentral di Pusat dan tidak dimiliki kantor cabang penelitian. Jadi peneliti local sulit mengaksesnya.
- Lalu, peneliti local menemukan kantor cabang tidak melayani wawancara untuk keperluan penelitian.
Togar (DJSN) :
- Memang data sekunder terpusat, masukan akan diterima dan akan disosialisasikan bagaimana cara/prosedur memperoleh data tersebut
- Prosedur dan sosialisasi akan ditingkatkan oleh BPJS Pusat dengan daerah.
Prof. Laksono:
- Gubernur Riau ingin memperoleh data agar bisa merumuskan kebiajkan terutama terkait program kesehatan yang bisa dilakukan di level pemda.
- Perlu SOP untuk pengajuan permohonana data. Contoh email permohonan, 1 jam kemudian data sudah diterima BPJS daerah untuk diberikan kepada pemohon.
- dr. Endang mengkonfirmasi untuk permohoanan keperluan data yang lebih lengkap, apakah bisa?
Togar (DJSN) : segera menindaklanjuti agar pihak BPJS melengkapi data yang diinginkan.
- Dr. Budiono : Sebaiknya desentralisasi software untuk data JKN atau akan tetap sentralisasi?
Togar (DJSN) : Kita masih terpusat, namun apabila dibutuhkan maka data akan di-share. Ke depan mulai tahun ini, monev akan dilakukan maksimal melalui sistem website, kode diberikan kepada Bupati untuk melihat utilisasi (bukan clear dananya).
- Prof. Laksono, Kekhawatiran pemanfaatan dana BPJS di daerah rural justru digunakan oleh daerah maju (kota).
Togar (DJSN) : JKN itu prinsipnya membaur, sehingga memang ada persilangan dana. Maka kewajiban peningkatan utilisasi ada di pihak pemda dan bukan di pihak BPJS (karena prinsip membaur dan pengelolaan dana). Jika perspektif Prof. Laksono tadi maka akan menimbulkan reaksi dari berbagai pihak speerti kalangan pemuda dengan utilisasi lebih oleh kelompok lansia.
- Dr. Budiono : Lebih tepat fokus dulu pada OOP yang bisa diminimalkan dengan BPJS. Pihak BPJS merupakan lembaga yang masih terus berkembang.
- dr. Arida menambahkan penerjemahan hasil penelitian para akademisi oleh birokrat. Para birokrat diharapkan tidak terlalu awam dengan hasil penelitian akademisi untuk direalisasikan dalam kebijakan pemerintah.
- Prof. Laksono menyatakan leadership perlu terutama dengan prinsip trust antar pihak. Prinsip menari tango, harus kedua belah pihak yang saling trust. Kalau trust tidak terbangun, maka justru akan saling menyakiti. Kewajiban PT itu adalah mengingatkan, apa yang mungkin terjadi 5 tahun ke depan jika hal ini terus berlanjut.
Closing statement :
- dr. Arida Oetami : Dinkes memerlukan PT untuk pihak monev indpenden.
- Togar (DJSN) : Tahun 2015 BPJS siap untuk memajukan monev dengan konsep input dan impact oelh pihak PT, jadi bukan monev struktural.
- Dr. Mubasysyir : Monev selama ini digunakan untuk mengubah mindset dan untuk kepentingan pribadi atau lembaga. Lepaskan, fokus pada kepentingan publik.
- Dr. Budiono : memajukan dan memanfaatkan teknologi informasi. Indonesia harus bisa memaksimalkan teknologi informasi terutama dalam monev dan transparansi.
- Prof. Laksono : akhir yang menarik, tetapi mengawali proses yang lebih panjang setelah ini. Para pembahas sepakat bahwa monev indpenden perlu dilakukan.
Pembahasan oleh Prof. Laksono :
Data yang ditampilkan oleh dr. Arida : lembaga perguruan tinggi masih menjadi penonton dalam sistem permainan JKN. Para pihak (BPJS, PPK, Peserta) sedang bermain dengan model yang belum sempurna. Kami, PKMK bermaksud memfasilitasi Perguruan Tinggi untuk mengikuti pelatihan konsultan. Para pengambil keputusan bisa mengikuti seminar-seminar yang bisa menjadi inspirasi dalam pengambilan keputusan. Biaya 10 juta rupiah bisa mengikuti pelatihan ini bagi PT, Blended Learning selama tiga bulan ke depan.
Anis Fuad (FK UGM) :
Terkait tenaga peneliti internal BPJS masih minimal, tetapi sistem data sudah bagus (jauh lebih bagus dari kemkes). Tetapi kerahasiaan data masih penting untuk di-filter sebelum dibagai ke daerah. Karena banyak friksi yang mungkin muncul karena content data yang menunjukan lemahnya cleaning data dari faskes.
Kesimpulan :
Transparansi data penting terutama untuk pedoman perumusan dan pengelolaan bidang kesehatan di lokal/daerah. Baik pemangku kepentingan maupun universitas di daerah akan bisa memanfaatkan kekayaan data ini sehingga tidak hanya menjadi penonton.
Notulen: Dhini Rahayu Ningrum (Asisten Peneliti PKMK FK UGM)
TOR KEGIATAN
Apa yang terjadi di tahun 2015 ini?
Kebijakan JKN BPJS mengatur besaran klaim rasio di atas 100%. Klaim rasio sangat tinggi terutama untuk kelompok non-PBI mandiri. Pihak BPJS sendiri mengharapkan kenaikan premi karena tahun 2014 sudah menggunakan dana talangan. Kemudian, pertanyaan yang muncul yaitu : Apakah kenaikan premi tidak disertai dengan perbaikan pemerataan yang mendapatkan manfaat BPJS dan meningkatkan efisiensi (termasuk mengurangi fraud?)
Pelayanan KIA, masih banyak Kabupaten/Kota yang jumlah kematian ibu dan bayinya meningkat. Pertanyaannya, Apakah target MDG akan tercapai?
Untuk program TB, Ada pemburukan situasi, pertanyaannya: Bagaimana sistem pengawasan dari Global Fund yang mendanai kegiatan pengurangan TB?.
Manajemen obat, kebijakan e-procurement berjalan dengan berbagai masalah tanpa ada kejelasan solusi. Di dalam pemberian obat juga terjadi masalah pada labeling sehingga produk obat dari PT K ditarik dari seluruh Indonesia.
"Mengapa terjadi situasi ini?"
Pada tahun 2014 atau era JKN, BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun . Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Jika diamati, penggunaan atau pemanfaatan dana Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa diikuti sistem monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu, potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.
Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA,serta pelayanan rumah sakit. Saat ini, di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani. Akhir-akhir ini, dilaporkan juga bahwa pelaksanaan kebijakan TB dan kebijakan obat juga bermasalah.
Beda Sektor Kesehatan dengan Pekerjaan Umum
Sektor kesehatan berbeda dengan sektor pekerjaan umum, dimana seluruh proyek PU selalu mempunyai komponen perencanaan dan pengawasan oleh pihak independen. Dengan demikian, kebijakan dan proyek-proyek PU dapat disebut lebih akuntabel dibanding kebijakan dan program kesehatan. Kegagalan proyek fisik lebih dapat diketahui dan dicegah dibanding dengan proyek kesehatan. Patut dicatat, program kesehatan sama dengan proyek PU yang dapat membahayakan nyawa manusia. Kegagalan program kesehatan dapat menambah kematian yang tidak perlu misalnya kematian ibu yang seharusnya dapat dicegah.
Oleh karena itu, adanya Monitoring dan Evaluasi merupakan suatu keharusan dan diperlukan perjuangan untuk mewujudkannya. Apa masalahnya? Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda dengan sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.
Budaya tidak diawasi dan tidak adanya peraturan
Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Monev oleh pihak luar dalam program Kemenkes dan BPJS tidak ada dalam peraturan. Selama ini juga tidak ada tradisi monitoring dan evaluasi pihak luar. Kemenkes dan DinKes merencanakan kebijakan dan program, melaksanakan, dan mengevaluasi sendiri tanpa ada pihak luar yang membantu.
Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas sistem pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, akibatnya kebijakan dan program kesehatan di Indonesia berjalan tanpa ada logika yang tepat. Terjadi apa yang disebut sebagai kesulitan atau hambatan dalam menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan atau program.
Bagaimana seharusnya?
Kemenkes dan BPJS perlu menyadari bahwa kebijakan dan program kesehatan seharusnya dimonitor dan dievaluasi oleh pihak independen di level nasional. Harapannya dapat terjadi akuntabilitas, transparansi dan peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan dan program. Di propinsi dan kabupaten kota, Kemenkes perlu mengaktifkan Dinas Kesehatan sebagai pengawas sistem kesehatan yang dapat bekerja sama dengan pihak independen.
Sebagai contoh: Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan sistem kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk memberi perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) di Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat lemahnya Dinas Kesehatan dalam pengawasan, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan/atau lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.
Ketidaksiapan lembaga independen melakukan monitoring dan evaluasi
Sebagaimana telur dan ayam, karena selama ini tidak ada anggaran dan kebijakan monitoring dan evaluasi independen, maka jarang ada lembaga yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan kesehatan khususnya monev. Secara khusus, para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Selain, tugas pokok mereka yaitu beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada satu unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari satu pusat. Sementara itu, lembaga penelitian swasta di sektor kesehatan juga belum banyak yang melakukan monitoring dan evaluasi. Kondisi ini perlu diperbaiki, salah satunya melalui kegiatan ini.
Apa yang perlu dilakukan?
- Meningkatkan kepemimpinan para peneliti di sektor kesehatan, khususnya dalam monitoring dan evaluasi;
- Meningkatkan kemauan atau minat para pemimpin/pengambil kebijakan di sektor kesehatan untuk melakukan monitoring dan evaluasi;
Strategi Kegiatan:
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM memulai kampanye untuk terselenggaranya Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen melalui berbagai cara, salah satunya melalui seminar.
Waktu & tempat pelaksanaan
Hari |
: Rabu, 25 Februari 2015 |
Waktu |
: Pukul 10.00 – 12.00 Wib. |
Tempat |
: Ruang Theater Gedung Perpustakaan Lt.2 FK UGM |
Pembicara: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc PhD
materi presentasi
Pembahas:
- Dr. Budiono Santoso, M.Sc PhD
- Kepala Biro Perencanaan Kemenkes
- Kepala Dinas Kesehatan DIY
- BPJS Pusat
Kampanye dilakukan melalui kegiatan pasca Seminar pada bulan Maret – Mei 2015 yang menggunakan Blended Learning dan penulisan Policy Brief untuk berbagai pihak.
Pengembangan Pelatihan dengan Pendekatan Blended Learning dilakukan untuk:
- Para peneliti di bidang kesehatan dengan judul Pengembangan Kemampuan Lembaga Perguruan Tinggi untuk melakukan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan;
- Para pengambil kebijakan/pejabat yaitu Apa yang harus dilakukan oleh Kemenkes, BPJS, dan DInas Kesehatan di tahun 2015 untuk terselenggaranya Monev oleh pihak independen.
Pendaftaran:
Sdr. Wisnu Firmansyah
Gedung IKM Baru Lt.2 Sayap Utara
Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax (hunting) (+62274) 549425
Kontak: 081215182789
email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.