Indonesia HealthCare Forum (INDO HCF)

Bekerjasama dengan

Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO)

Menyelenggarakan

INDO-HEALTHCARE PANEL DISCUSSION 1-2015
MEMBEDAH PENGARUH JKN TERHADAP PROGRAM UKM DI PUSKESMAS

Kamis, 28 Mei 2015  |  10:00 – 13:00 WIB
di Gedung Granadi (S2 MMR FK UGM), Lantai 10 Sayap Utara

 

REPORTASE

 

INDONESIA HEALTHCARE FORUM (INDO HCF) PANEL DISCUSSION

Laporan : Edna Novitasari

granadi28mei

Mengangkat topik "Membedah Pengaruh JKN terhadap Program UKM di Puskesmas", Indonesia Healthcare Forum Panel Discussion digelar Kamis siang (28/5/2015) di Gedung Granadi Jakarta. Diprakarsai oleh Indonesia Healthcare Forum (Indo HCF) bekerjasama dengan Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO), serta PKMK FK UGM (siaran live melalui webinar). diskusi panel kali ini menghadirkan sejumlah pembicara di bidang kesehatan masyarakat baik dari kalangan praktisi, akademisi, hingga pembuat kebijakan.

Dalam pidatonya Chairman IndoHCF, Rufi I. Susanto menjelaskan bahwa IndoHCF ini merupakan bentuk dari Corporate Social Responsibility (CSR) 8 perusahaan penyedia alat kesehatan di Indonesia, yang concern pada edukasi dan perbaikan sektor kesehatan di Indonesia. Harapannya, dari forum-forum diskusi seperti ini akan dihasilkan rekomendasi-rekomendasi yang berguna bagi perbaikan kebijakan di sektor kesehatan.

Sementara itu, keynote speaker IndoHCF Panel Discussion kali ini, dr. Anung Sugihantono, M.Kes selaku Dirjen Bina Gizi dan KIA Kementrian Kesehatan RI mengakui bahwa sebagai tumpuan kesehatan wilayah, puskesmas belum maksimal dalam fungsinya terutama di era JKN ini. Ada beberapa komponen yang belum siap secara pembiayaan, seperti di sektor Promosi Kesehatan (Promkes). Ironisnya anggaran nasional yang dialokasikan untuk puskesmas cukup besar. Bahkan yang cukup memprihatinkan, belum semua tenaga kesehatan di puskesmas memahami secara utuh dan menyeluruh tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) dari puskesmas sendiri sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama, yang memiliki pertanggungjawaban kewilayahan.

Menyambung materi dari keynote speaker, Ascobat Gani dari IKKESINDO mencoba menyajikan potret puskesmas sebagai faskes tingkat pertama yang dibebani banyak tugas dan tanggungjawab sebagai tumpuan kesehatan wilayahnya. Sedangkan menurut Gani ada dua malapetaka yang membuat puskesmas makin bergeser dari tanggungjawab kewilayahannya, yakni krisis multidimensi di tahun 1998, serta euforia otonomi sampai ke kabupaten sejak tahun 2000. Di era JKN sekarang ini, pergeseran semakin jelas terlihat sehingga puskesmas semakin berlomba dengan klinik pengobatan untuk mendapatkan pasien.

Sedangkan dari perspektif Social Determinant of Health, Laksono Trisnantoro selaku Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM mencoba menawarkan dua inovasi untuk menyiasati makin tergesernya program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) di era JKN oleh puskesmas yang sudah banyak tersita waktu dan tenaganya untuk fungsi Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Pertama dengan membagi tupoksi UKM dengan lembaga lain baik di jajaran pengambil kebijakan hingga organisasi masyarakat. Misalnya untuk sektor promosi kesehatan bisa menggandeng Dinas Pendidikan atau LSM yang bergerak di bidang terkait. Inovasi kedua yakni dengan sistem kontrak atau meng-kontrak-kan program UKM ke sektor swasta. Menurut Laksono, diakui atau tidak , banyak program yang dijalankan sendiri oleh pemerintah dan tidak menggandeng pihak swasta sehingga kurang maksimal hasilnya.

Materi presentasi

  Pengaruh pelaksanaan JKN terhadap program KIA - Trihono

  Perspektif Puskesmas Sebagai Pembina Kesehatan Wilayah - Ascobat Gani

Berbagai kemungkinan pelaksanaan UKM di Puskesmas: Perspektif Social Determinant of Health - Laksono Trisnantoro

 

 

 

 {jcomments on}

Diskusi Terkait Permenkes No.36 Tahun 2015


  Sugino Samura, ARSADA menanggapi adanya Permenkes:

Pak, Kenapa pasal 28 ada ayat 5 hukum pidana sedangkan yang lain tidak ada pidananya . Mohon komentarnya terima kasih pak. Ada kecenderungan masih fokus pada faskes saja dilapangan masih oknum-oknum yang bisa keluarkan kebijakan-kebijakan yang insidentil yang merugikan pasien sampai dengan mencelakakan pasien.

Jawaban Laksono Trisnantoro, Dosen FK UGM

Logikanya ada pak. Ini pasalnya:

Pasal 28 ayat 5
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut tafsiran saya sebagai berikut:
Di atas PMK ini ada UU KUHP yang dapat dipergunakan untuk segala bentuk kecurangan/penipuan, termasuk ditambah dengan penipuan asuransi. Hukumannya pidana kurungan. PMK sebagai aturan yang ditetapkan di level Kementerian tidak bisa menghilangkan power UU KUHP.

Ini pasalnya (378 KUHP):
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun" .

Pasal yang terkait Asuransi Pasal 381:
Barang siapa dengan jalan tipu muslihat menyesatkan penanggung asuransi mengenai keadaan-keadaan yang berhubungan dengan pertanggungan sehingga disetujui perjanjian, hal mana tentu tidak akan disetujuinya atau setidak-tidaknya tidak dengan syarat- syarat yang demikian, jika diketahuinya keadaan-keadaan sebenarnya diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Jadi kalau dibaca secara makna keseluruhan, Permenkes ini berusaha untuk mencegah yang melakukan fraud dengan ancaman administratif dan pengembalian/pembayaran klaim/kapitasi sebelum masuk ke pidana. Ini yang harus diambil maknanya.

Konsekuensinya Kemenkes dan Dinas Kesehatan harus mampu menjadi pengawas yang baik untuk JKN. Pengawasan ini perlu didanai secara cukup dan dilakukan oleh orang-orang/pihak yang kompeten. Juga BPJS dan faskes (termasuk tenaga kesehatan) harus bersedia diawasi. Kalau tidak Permenkes ini hanya di atas kertas, dan teman-teman di faskes dan/atau di BPJS dapat langsung berhadapan dengan ancaman pidana di KUHP.

  Tanggapan Dr. Hanna Permana MARS, mantan Ketua ARSADA

Betul...pak Laksono yang muncul hanya sanksi administrasi. Pidana melekat pada hukum pidana dan tidak menghilangkan hukum pidananya
artinya ada dua sanksi administrasi dan pidana jika mengandung unsur pidana

Tanggapan: Prof. DR. Dr.Budi Sampurna, Anggota Dewan Pengawas BPJS, Dosen FKUI

Pendapat pak Laksono benar sekali. Permenkes ingin memberi kesan kepada penegak hukum bahwa pengawasan dan sanksi administrasi yang dilakukan Kemenkes dan Dinkes cukup memberi kenyamanan bagi mereka utk tidak bertindak "sedikit-sedikit pidana". Bila pelaksanaannya lemah, atau tujuan shock therapy, bisa saja penegak hukum bertindak. Saya sepakat agar mari kita bersama-sama mematuhi agar nyaman bagi semua pihak. Jangan lupa, bila ada masalah antara provider dengan BPJS, dapat diajukan ke Menkes.

Silahkan Anda komentari:

{jcomments on}

Praktikum Program Menggunakan Software Project Libre

Pertemuan BL Konsultan tahap kedua pada minggu keempat adalah praktikum program menggunaakan software project libre. Sealvy Kristianingsih dan Anantasia Noviana menjadi pemateri dalam sesi ini. Kegiatan ini dilaksanakan di Yogyakarta yang diikuti oleh berbagai tim konsultan dengan tatap muka langsung dan via webinar.

Materi ini diajarkan melalui praktek langsung dan dikerjakan oleh masing-masing peserta. Hal ini dilakukan karena pertemuan ini adalah kegiatan praktikum yang dapat lebih mudah diketahui jika langsung diterapkan.Pemateri menyajikan pemahaman fungsi penggunaan project libre. Penggunaan project libre sangat berguna dalam penjadwalan kegiatan konsultasi. Selain penjadwalan, project libre ini dapat membantu mengatur sumber daya yang akan dilibatkan beserta besar biaya yang dikeluarkan dari sebuah project.Pada kesempatan ini, pemateri hanya menyajikan project libre yang dapat digunakan untuk melakukan penjadwalan dan penggunaan sumber daya.

Pemateri menjelaskan komponen yang ada dalam project libre dahulu, Sealvy menerangkan fungsi komponen-komponen itu. Peserta selanjutnya diminta membuka project libre masing-masing dan mengisi form memulai sebuah project. Setelah membuka, peserta mengisi agenda kegiatan yang akan dilakukan, mulai dari perencanaan hingga kegiatan evaluasi. Peserta selanjutnya menentukan durasi (waktu) yang akan digunakan pada setiap kegiatan. Peserta juga dibantu cara memasukkan penanggung jawab untuk masing-masing kegiatan.

Selama kegiatan berlangsung, peserta cukup antusias dengan praktikum ini. Beberapa peserta mengajukan pertanyaan kepada pemateri. Namun, peserta tidak menemui masalah yang begitu berarti dalam memahami program ini.

(Faisal M)

 

 

Masyarakat Praktisi (Community of Practice) dalam penelitian dan pendidikan kebijakan kesehatan.

Kelompok ini anggotanya adalah praktisi yang aktif dalam penelitian dan pendidikan ilmu kebijakan dan manajemen kesehatan di Indonesia. Tujuan kegiatan Masyarakat Praktisi ini adalah untuk:

  • Berbagi tips dan pengalaman-pengalaman dalam penelitian dan pendidikan kebijakan kesehatan;
  • Tempat berlatih, diskusi dan saling mendukung antar anggota;
  • Kerjasama operasional di suatu hal.

Siapa Anggota Masyarakat Praktisi?

  • Dosen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di FK, FKM, FKG, Poltekes dan berbagai fakultas lain termasuk FISIPOL, Fakultas Ekonomi, dan sebagainya
  • Peneliti-peneliti kebijakan kesehatan di berbagai lembaga dan unit penelitian.

3 Masyarakat Praktisi diantaranya :

Penggunaan sistem telekomunikasi di jaringan kebijakan kesehatan indonesia

  Aplikasi sistem kontrak di sektor kesehatan

  Hubungan antara Peneliti dengan Pengambil Kebijakan


Silahkan klik untuk memahaminya

 

 

Reportase: Pelatihan Konsultan Tahap 2 Pertemuan Ketiga

Broto Wasisto - Kode Etik Konsultan Kesehatan

video

Anita Lestari - Kecerdasan Emosiona dan Komunikasi 

video 1  video 2

Pertemuan tahap dua sesi ketiga pelatihan konsultan pekan ini menghadirkan para narasumber yang sudah ahli dan berkecimpung dalam bidangnya masing-masing. Pembicara pertama adalah dr. Broto Wasisto, MPH yang menjabat sebagai Ketua Dewan Etik dari IKKESSINDO. dr. Broto pada kesempatan ini memberikan materi seputar kode etik konsultan. Sedangkan pemateri selanjutnya adalah Anita Lestari dari Fakultas Psikologi UGM. Anita merupakan konsultan dan tenaga pengajar yang membidangi psikologi. Anita memberikan materi terkait Kecerdasan Emosi dan Komunikasi. Materi-materi ini dinilai sangat penting dan krusial diperhatikan dan dimiliki oleh setiap konsultan agar hubungan antara klien dapat berjalan lancar tanpa menimbulkan permasalahan bagi kedua belah pihak.

Pada sesi pertama yang dibawakan oleh Broto Wasisto. Broto menyatakan bahwa etik itu memiliki pedoman yang baik bagi konsultan dalam pelaksanaan kegiatan konsultasi. Beberapa poin penting yang harus dimiliki oleh seorang konsultan seperti seorang konsultan harus memiliki akhlak
dan bersih dari KKN. Lebih jauh, Broto menjelaskan butir-butir dari kode etik konsultan kesehatan yang mencakup: 1) pengambilan sikap secara independen dan profesional, 2) Wajib menghindarkan diri dari sifat menyobongkan diri, 3) Wajib memberikan pelayanan yang kompeten, 4) Wajib bersikap jujur terhadap sejawat dan mengingatkan sejawatnya yang memiliki kekurangan. 5) Wajib melindungi klien, 6) Wajib menjalin kerjasama dengan stakeholder lainnya. 7) Jika belum merasa kompeten maka dapat merujuk ke konsultan lainnya yang lebiih kompeten, 8) Wajib merahasiakan segala sesuatu tentangpemberi tugas. 9) Memperlakukan teman sejawat sebagaimana ingin diperlakukan, 10) Memelihara gaya hidup sehat dan mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.

Anita Lestari melanjutkan materi dengan kecerdasan emosional. Anita memulai dengan menyebarkan form dan selanjutnya para peserta melakukan penilaian diri sendiri. Hasilnya, beberapa konsultan masih memiliki bagian yang perlu dikembangkan. Pada penjelasan berikutnya, Anita menekankan seorang konsultan dapat mengetahui kondisi klien meskipun tanpa ada komunikasi verbal sebelumnya. Konsultan juga sangat penting untuk melakukan kontrol pada dirinya sendiri serta menggunakan kecakapan sosial (empati). Poin lain yang menarik yaitu komunikasi non verbal memiliki dampak lebih besar dibandingkan bahasa verbal.

Faisal M

 

Pelatihan Webinar Konsultan Tahap 2 Bagian Kedua

Pembicara 1: Supriyantoro

Mengawali pertemuan untuk tahap kedua sesi kedua dalam pertemuan webinarkonsultan kali ini, Supriyantoro membawakan materi seputar peran IKKESINDO dalam sertifikasi tenaga ahli kesehatan. Supriyantoro menyebutkan alasan adanya asosiasi profesi konsultan kesehatan. Dalam materi tersebut, Supriyantoro menyebutkan bahwa seorang konsultan memiliki ciri antara lain: terlatih, memberi jasa untuk umum, besertifikat,dan merupakan anggota organisasi profesi.

Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa peran IKKESINDO merupakan sebuah wadah untuk menghimpun dan mengawal para konsultan. Saat ini IKESINDO banyak menangani akreditasi dan lain-lain. Akreditasi diberikan kepada lembaga-lembaga konsultan kesehatan yang ada di Indonesia. IKKESINDO juga memberikan sertifikasi kompetensi kepada konsultan. Pemberian sertifikasi ini didasarkan pada kapasitas konsultan yang memiliki kompeten dan standar kompetensi. Kompeten sendiri diartikan sebagai kepemilikan kemampuan dan kewenangan. Standar kompetensi sendiri sudah ditetapkan di Indonesia berdasarkan kerangka kualifikasi nasional di Indonesia. Menurut Supriyantoro, kegiatan BL konsultan ini sendiri sudah menjadi bagian dari standarisasi kompetensi untuk konsultan.

Pembicara 2: Harmein Harun

Harmein Harun yang juga sebagai anggota IKKESINDO membawakan materi "Kontrak Konsultan" pada bagian kedua. Harmein memulai dengan menjelaskan arti sebuah kontrak dan mengapa kontrak sangat diperlukan bagi konsultan maupun klien. Dijelaskan bahwa kontrak sangat diperlukan untuk mendifinisikan pekerjaan yang akan dilaksanakan, jadwal pelaksanaan kegiatan hingga harga dan kompensasi untuk pekerjaan ini.
Hal lain yang perlu dipahami oleh konsultan adalah dengan memiliki asumsi pra kontrak. Asumsi yang dipenuhi oleh konsultan seperti telah bertemu dengan calon klien, telah merespon proposal yang diajukan klien secara tertulis, memiliki kapsitas dalam menyelesaikan masalah klien, serta memahami persyaratan yang ditetapkan oleh calon klien. Bagian yang paling ditekankan oleh Harmein adalah bentuk dokumen, ia juga menjelaskan model-model dari dokumen kontrak dengan peruntukannya masing-masing.

Pembicara 3: Sealvy Kristianingsih

Pembicara ketiga pada tatap muka ini adalah Sealvy Kristianingsih yang merupakan manajer operasional di PKMK UGM. Sealvy memberikan pengantar untuk pengenalan software project untuk mendukung kegiatan konsultasi. Software yang dimaksud adalah project-libre, software ini dpilih karena mampu mempermudah kerja dalam penjadwalan dan detail kegiatan dan pendanaan dalam sebuah project.

video presentasi

Faisal M

 

Seminar Pencegahan Korupsi dalam Bidang Pengembangan Kapasitas Desa dan Potensi Fraud pada Pelayanan Kesehatan

Korupsi dana desa berpotensi mengakibatkan kerugian negara hingga Rp. 20 T (1% dari APBN), jika terjadi indikasi 20% aliran dana ke desa dikorupsi. Demikian pula dengan upaya pencegahan korupsi di sektor kesehatan, dengan rawannya potensi fraud di era JKN ini. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan perkembangan dan kemajuan desa, serta meningkatkan kualitas pelayanan publik di bidang kesehatan, Anti Corruption Learning Centre (ACLC) bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada menggelar Seminar setengah hari "Pencegahan Korupsi dalam Bidang Pengembangan Kapasitas Desa dan Potensi Fraud pada Pelayanan Kesehatan". Acara tersebut diselenggarakan pada Selasa, 14 April 2015 di Auditorium Lantai 1, Graha Sabha Pramana (GSP) UGM.

Pauline Arifin dari KPK mengawali sesi pertama dengan memaparkan bahwa sektor kesehatan masuk dalam fokus area KPK untuk road map 2011-2014, apalagi dengan dimulainya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan alokasi dana yang cukup besar sekitar 30-42 Trilyun rupiah untuk tahun 2014. Dari hasil kajian Litbang KPK terkait pengelolaan dana kapitasi pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik Pemerintah Daerah, memang dinilai rawan korupsi karena belum adanya prosedur pengembalian dana tersebut bila sudah diserahkan ke faskes tingkat pertama, dalam hal ini Puskesmas. Sementara belum ada prosedur pengawasan dana kapitasi di tingkat Pemerintah Daerah untuk program JKN. Sehingga KPK merekomendasikan agar pemerintah pusat atau BPJS perlu segera melakukan monitoring dan evaluasi utuk dana kapitasi di daerah, untuk mencegah terjadinya penyimpangan dana.

Sementara terkait potensi fraud atau kecurangan dalam pelayanan kesehatan di era JKN, dr. Hanevi Djasri, MARS selaku Kepala Divisi Mutu Pelayanan Kesehatan, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM, mengapresiasi bahwa program JKN Indonesia merupakan yang terbaik di dunia untuk sistem klaim-nya. Oleh karena itu, cukup disayangkan bila pencapaian yang sudah sangat bagus ini terhambat oleh adanya potensi fraud atau kecurangan dalam pelayanan kesehatan. Ironisnya, masih banyak penyedia jasa atau pelaku pelayanan kesehatan yang belum paham tentang fraud yang juga merupakan bentuk korupsi, sehingga potensi ini kemungkinan masih marak terjadi. Latar belakang terjadinya fraud bisa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : tenaga medis bergaji rendah, inefisiensi dalam sistem, kurangnya transparansi dalam faskes, dan faktor budaya. Hanevi Djasri juga menjelaskan bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan bersama timnya yakni Prof. Laksono Trisnantoro dan drg. Puti Aulia Rahma; pihaknya telah menemukan instrument yang dapat mendeteksi potensi fraud di rumah sakit yakni dengan:

  1. Data mining dari data klaim RS ke BPJS digali melalui analisa tren dari berbagai variabel yang ada dari data klaim (masuk dalam software Ina CBG's versi 4)
  2. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan melalui penggalian persepsi dan pengalaman para klinisi dan manajer RS tentang berbagai potensi fraud
  3. Audit klinis dilakukan melalui penetapan kriteria adanya potensi fraud lalu melakukan audit rekam medik

Menutup sesi akhir seminar, terkait pengembangan kapasitas desa, Arie Sudjito, M. Si, Sosiolog UGM mengajak peserta seminar untuk mengubah sedikit pandangan tentang desa berikut perangkatnya. Perangkat desa selama ini hampir selalu dipandang sebelah mata akan kredibilitasnya. Hal ini menyangkut lahirnya Undang-Undang tentang desa, yakni UU No. 6 tahun 2014 yang didalamnya mengatur pengelolaan dana desa oleh pemerintah desa sekitar 1 trilyun rupiah per tahun. Harapannya transformasi desa akan terwujud melalui kucuran dana ini, dengan perbaikan di berbagai sektor antara lain agraria, politik, social, ekonomi, dan budaya. Sehingga disinilah peran akademisi dan generasi muda dituntut untuk menjadi pengawal dan pendamping keberhasilan program peningkatan kapasitas desa, agar dana ini tidak menyimpang dari sasaran dalam pengelolaannya, tutup Arie Sudjito.

Materi Presentasi - Hanevi Djasri

 

Reporter: Edna Novitasari

 

  • slot resmi
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot