Dalam web ini, telah terbentuk Masyarakat Praktisi (Community of Practice) tentang Sistem Kontrak di pelayanan kesehatan.
Tujuan (misi) Masyarakat Praktisi ini adalah:
Membahas mengenai konsep sistem kontrak dan kerjasaman dengan sektor swasta dalam sektor kesehatan;
Membahas pengalaman-pengalaman (best & bad practices) di Indonesia dan dunia dalam melakukan sistem kontrak di pelayanan kesehatan;
Mendorong tersusunnya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengggunakan kerjasama sama dengan lembaga swsata atau antar lembaga untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat;
Mendorong penggunaan konsep sistem kontrak di lembaga anggota CoP untuk meningkatkan kinerja lembaga.
Siapa anggota CoP ini?
Pimpinan dan Staf Pemerintah Pusat-Kementerian Kesehatan/Pemerintah Propinsi/Pemerintah Kabupaten yang terkait dengan opsi sistem kontrak;
Pimpinan LSM atau perusahaan yang bergerak dalam pelayanan kesehatan;
Peneliti dan akademisi;
Pengelola lembaga-lembaga donor.
dan semua pihak yang mempunyai minat dalam aplikasi sistem kontrak di pelayanan kesehatan.
Keanggotaan Masyarakat Praktisi ini bersifat terbuka. Namun bagi anda yang ingin mendapatkan alert melalui WA atau e-mail harap mendaftar sebagai anggota aktif. klik untuk Pendaftaran
Kegiatan Masyarakat Praktis ini akan dilakukan bertahun-tahun, seiring dengan perkembangan aplikasi system kontrak di sektor kesehatan. Dalam kegiatan jangka pendek ada diskusi yang dibagi dalam beberapa periode. Silahkan klik pada bagian Arsip Diskusi disertai pula dengan pertemuan-pertemuan ilmiah tatap muka dan Policy Brief yang dihasilkan. Disamping itu pengelola web juga menyediakan berbagai referensi utuk sistem kontrak yang dapat di klik pada tab perpustakaan.
Melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), penekanan untuk kegiatan promotif dan preventif di puskesmas tergambar jelas. Dana BOK ini diarahkan untuk meningkatkan kinerja Puskesmas melalui upaya kesehatan promotif dan preventif dalam mendukung pelayanan kesehatan di luar gedung.
Untuk itu, dana BOK dapat digunakan untuk membayar 1 (satu) orang per puskesmas tenaga kontrak Promosi Kesehatan yang kontraknya ditetapkan melalui SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang mengacu pada peraturan yang berlaku. Adapun Ketentuan Khusus terkait dengan tenaga kontrak promoter kesehatan dan rincian kegiatan yang harus dilakukan juga tertera dalam Petunjuk Teknis tersebut.
Ketentuan khusus terkait dengan tenaga kontrak promoter kesehatan adalah:
Berpendidikan minimal D3 Kesehatan jurusan/ peminatan Kesehatan Masyarakat diutamakan jurusan/peminatan Promosi Kesehatan/Ilmu Perilaku, dengan pengalaman kerja minimal 1 tahun di bidangnya.
Diberikan honor minimal sesuai upah minimum di Kabupaten/Kota yang berlaku dengan target kinerja bulanan yang ditetapkan secara tertulis oleh Kepala Puskesmas (output based performance).
Diberikan hak/fasilitas yang setara dengan staf puskesmas lainnya termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Lama kontrak maksimal 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai ketersediaan anggaran dan capaian target kinerjanya.
Saat ini pelaksanaan anggaran sudah memasuki Triwulan II di tahun 2016. Tentunya sudah cukup banyak cerita sukses atau sebaliknya terkait implementasi kontrak tenaga promkes tersebut.
Berangkat dari konteks demikian, tema Diskusi Tahun 2016 Tahap I dari Masyarakat Praktisi (CoP) Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan adalah "bagaimana realisasi awal implementasi kontrak tenaga promkes dengan dana BOK?"
Dalam web ini, telah terbentuk Masyarakat Praktisi (Community of Practice) tentang Sistem Kontrak di pelayanan kesehatan.
Tujuan (misi) Masyarakat Praktisi ini adalah:
Membahas mengenai konsep sistem kontrak dan kerjasaman dengan sektor swasta dalam sektor kesehatan;
Membahas pengalaman-pengalaman (best & bad practices) di Indonesia dan dunia dalam melakukan sistem kontrak di pelayanan kesehatan;
Mendorong tersusunnya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengggunakan kerjasama sama dengan lembaga swsata atau antar lembaga untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat;
Mendorong penggunaan konsep sistem kontrak di lembaga anggota CoP untuk meningkatkan kinerja lembaga.
Siapa anggota CoP ini?
Pimpinan dan Staf Pemerintah Pusat-Kementerian Kesehatan/Pemerintah Propinsi/Pemerintah Kabupaten yang terkait dengan opsi sistem kontrak;
Pimpinan LSM atau perusahaan yang bergerak dalam pelayanan kesehatan;
Peneliti dan akademisi;
Pengelola lembaga-lembaga donor.
dan semua pihak yang mempunyai minat dalam aplikasi sistem kontrak di pelayanan kesehatan.
Keanggotaan Masyarakat Praktisi ini bersifat terbuka. Namun bagi anda yang ingin mendapatkan alert melalui WA atau e-mail harap mendaftar sebagai anggota aktif. klik untuk Pendaftaran
Kegiatan Masyarakat Praktis ini akan dilakukan bertahun-tahun, seiring dengan perkembangan aplikasi system kontrak di sektor kesehatan. Dalam kegiatan jangka pendek ada diskusi yang dibagi dalam beberapa periode. Silahkan klik pada bagian Arsip Diskusi disertai pula dengan pertemuan-pertemuan ilmiah tatap muka dan Policy Brief yang dihasilkan. Disamping itu pengelola web juga menyediakan berbagai referensi utuk sistem kontrak yang dapat di klik pada tab perpustakaan.
Referensi Terkait Isu Kontrak di Sektor Kesehatan.
Ameli, O., and Newbrander, W. (2008). Contracting for health services: effects of utilization and quality on the costs of the Basic Package of Health Services in Afghanistan. Bulletin of the World Health Organization. [Online] 86(12). p.920-928. Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/86/12/08-053108.pdf?ua=1
Bath, R., Maheshwari, S., and Saha, S. (2007). Contracting-out of reproductive and child health (RCH) services through mother NGO scheme in India: experiences and implications. [pdf] Available at: http://www.iimahd.ernet.in/publications/data/2007-01-05_rbhat.pdf
Baqui, A.H., Rosecrans, A.M., Williams, E.K., Agrawal, P.K., Ahmed, S., Darmstadt, G.L., Kumar, V., Kiran, U., Panwar, D., Ahuja, R.C., Srivastava, V.K., Black, R.E., and Santosham, M. (2008). NGO facilitation of a government community-based maternal and neonatal health programme in rural India: improvements in equity. Health Policy and Planning. [Online] 23. p.234-243. Available from: http://heapol.oxfordjournals.org/content/23/4/234.full.pdf+html
Cockcroft, A., Khan, A., Ansari, N.M., Omer, K., Hamel, C., and Andersson, N. (2011). Does contracting of health care in Afghanistan work? Public and service-users' perceptions and experience. BMC Health Services Research. [Online] 11(Suppl 2). p.511. Available from: http://www.biomedcentral.com/1472-6963/11/S2/S11
Connor, C. (2000). Contracting non-governmental organizations for HIV/AIDS: Brazil case study. Special Initiative Report No. 30. [pdf] Available at: http://www.abtassociates.com/reports/sir30fin.pdf
Cristia, J. P., Evans, W. N., and Kim, B. (2012). Improving the health coverage of the rural poor: does contracting out medical mobile teams work? Discussion Paper Series No. 1203. [pdf] Available at: http://econ.korea.ac.kr/~ri/WorkingPapers/w1203.pdf
Heard, A., Awasthi, M.K., Ali, J., Shukla, N., and Forsberg, B.C. (2011). Predicting performance in contracting basic health care to NGOs: experience from large-scale contracting in Uttar Pradesh, India. Health Policy and Planning. [Online] 26. p.113-119. Available from: http://heapol.oxfordjournals.org/content/26/suppl_1/i13.full.pdf+html
Liu, X., Hotchkiss, D.R., and Bose, S. (2008). The effectiveness of contracting-out primary health care services in developing countries: a review of the evidence. Health Policy and Planning. [Online] 23. p.1-13. Available from: http://heapol.oxfordjournals.org/content/23/1/1.full.pdf+html
Loevinshon, B., and Harding, A. (2004). Contracting for the delivery of community health services: a review of global experience. [pdf] Available at: http://www-wds.worldbank.org/
Lönnroth, K., Uplekar, M., and Blanc, L. (2006). Hard gains through soft contracts: productive engagement of private providers in tuberculosis control. Bulletin of the World Health Organization. [Online] 84(11). p.876-883. Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/84/11/06-029983.pdf
Nigenda, G.H., and Gonzalěz, L.M. (2009). Contracting private sector providers for public health services in Jalisco, Mexico: perspectives of system actors. Human Resources for Health. [Online] 7(79). Available from: http://www.human-resources-health.com/content/pdf/1478-4491-7-79.pdf
Randive, B., Chaturvedi, S., and Mistry, N. (2012). Contracting in specialists for emergency obstetric care – Does it work in rural India? BMC Health Service Research. [Online] 12(485). Available from: http://www.biomedcentral.com/1472-6963/12/485
Siddiqi, S., Masud, T. I., and Sabri, B. (2006). Contracting but not without caution: experience with outsourcing of health services in countries in the Eastern Mediterranean Region. Bulletin of the World Health Organization. [Online] 84(11). p.867-875. Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/84/11/06-033027.pdf
World Health Assembly. (2003). The role of contractual arrangements in improving health systems' performance. Resolution of the World Health Assembly, Fifty-sixth World Health Assembly, WHA56.25. [pdf] Available at: http://www.who.int/contracting/resolution_en.pdf
World Health Organization. (2005). Application of contracting in health systems: Key messages. Technical Brief for Policy-Makers Number 4. [pdf] Available at: http://www.who.int/contracting/pb_number_4_en.pdf
Zurn, P., and Adams, O. (2004). A framework for purchasing health care labor. [pdf] Available at: [Accessed 23 December 2008]. http://siteresources.worldbank.org/
PENGANTAR DISKUSI TAHAP IV
Mengacu kepada kebijakan Rencana Penggunaan Kenaikan Anggaran Kementerian Kesehatan RI Tahun 2016, peluang implementasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan sangat terbuka di level provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini dimungkinkan karena alokasi DAK Kesehatan & Keluarga Berencana tahun 2016 meningkat menjadi Rp. 19,6 T (Catatan: tahun 2015 hanya Rp. 6,8 T). Dana DAK Kesehatan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan non fisik. Dalam BOK misalnya bisa untuk kegiatan outreach (ANC, KB, Neonatal, Bayi, Program penanggulangan ATM, Penanggulangan Gizi Buruk, Penyediaan Air Bersih).
Kegiatan outreach ini bisa kurang optimal dilaksanakan akibat terbatasnya jumlah SDM dan tingginya beban kerja di puskesmas. Meskipun Kementerian Kesehatan tahun 2016 berencana untuk meningkatkan jumlah penugasan tim ke daerah dan penugasan khusus 5 jenis tenaga preventif dan promotif, tetapi tentu belum cukup untuk mengatasi kendala yang ada dan belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah. Dalam hal ini, daerah tentu lebih tahu kebutuhannya. Dengan alokasi DAK yang lebih besar (belum lagi dari APBD "murni"), peluang untuk melakukan inovasi (termasuk contracting out) sangat dimungkinkan.
Untuk dapat "menangkap" peluang tersebut, IAKMI telah didorong untuk mempersiapkan diri sebagai calon provider dalam Forum Ilmiah Tahunan IAKMI di Bandung 22-23 Oktober 2015 yang lalu. Selain IAKMI, diharapkan LSM dan organisasi nirlaba lainnya berpotensi untuk itu.
Berangkat dari konteks demikian, tema Diskusi Tahap IV Masyarakat Praktisi (CoP) Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan adalah "Bagaimana kesiapan calon provider untuk menjadi pelaksana kontrak, dan apa yang harus dilakukan oleh calon provider untuk itu?"
INDONESIA HEALTHCARE FORUM (INDO HCF) PANEL DISCUSSION
Laporan : Edna Novitasari
Diskusi Panel INdo HCF Membedah Pengaruh JKN Terhadap Program UKM di Puskesmas - Gd. Granadi, MMR FK UGM, Jakarta (28/5/2015)
Mengangkat topik "Membedah Pengaruh JKN terhadap Program UKM di Puskesmas", Indonesia Healthcare Forum Panel Discussion digelar Kamis siang (28/5/2015) di Gedung Granadi Jakarta. Diprakarsai oleh Indonesia Healthcare Forum (Indo HCF) bekerjasama dengan Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO), serta PKMK FK UGM (siaran live melalui webinar). diskusi panel kali ini menghadirkan sejumlah pembicara di bidang kesehatan masyarakat baik dari kalangan praktisi, akademisi, hingga pembuat kebijakan.
Dalam pidatonya Chairman IndoHCF, Rufi I. Susanto menjelaskan bahwa IndoHCF ini merupakan bentuk dari Corporate Social Responsibility (CSR) 8 perusahaan penyedia alat kesehatan di Indonesia, yang concern pada edukasi dan perbaikan sektor kesehatan di Indonesia. Harapannya, dari forum-forum diskusi seperti ini akan dihasilkan rekomendasi-rekomendasi yang berguna bagi perbaikan kebijakan di sektor kesehatan.
Sementara itu, keynote speaker IndoHCF Panel Discussion kali ini, dr. Anung Sugihantono, M.Kes selaku Dirjen Bina Gizi dan KIA Kementrian Kesehatan RI mengakui bahwa sebagai tumpuan kesehatan wilayah, puskesmas belum maksimal dalam fungsinya terutama di era JKN ini. Ada beberapa komponen yang belum siap secara pembiayaan, seperti di sektor Promosi Kesehatan (Promkes). Ironisnya anggaran nasional yang dialokasikan untuk puskesmas cukup besar. Bahkan yang cukup memprihatinkan, belum semua tenaga kesehatan di puskesmas memahami secara utuh dan menyeluruh tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) dari puskesmas sendiri sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama, yang memiliki pertanggungjawaban kewilayahan.
Menyambung materi dari keynote speaker, Ascobat Gani dari IKKESINDO mencoba menyajikan potret puskesmas sebagai faskes tingkat pertama yang dibebani banyak tugas dan tanggungjawab sebagai tumpuan kesehatan wilayahnya. Sedangkan menurut Gani ada dua malapetaka yang membuat puskesmas makin bergeser dari tanggungjawab kewilayahannya, yakni krisis multidimensi di tahun 1998, serta euforia otonomi sampai ke kabupaten sejak tahun 2000. Di era JKN sekarang ini, pergeseran semakin jelas terlihat sehingga puskesmas semakin berlomba dengan klinik pengobatan untuk mendapatkan pasien.
Sedangkan dari perspektif Social Determinant of Health, Laksono Trisnantoro selaku Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM mencoba menawarkan dua inovasi untuk menyiasati makin tergesernya program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) di era JKN oleh puskesmas yang sudah banyak tersita waktu dan tenaganya untuk fungsi Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Pertama dengan membagi tupoksi UKM dengan lembaga lain baik di jajaran pengambil kebijakan hingga organisasi masyarakat. Misalnya untuk sektor promosi kesehatan bisa menggandeng Dinas Pendidikan atau LSM yang bergerak di bidang terkait. Inovasi kedua yakni dengan sistem kontrak atau meng-kontrak-kan program UKM ke sektor swasta. Menurut Laksono, diakui atau tidak , banyak program yang dijalankan sendiri oleh pemerintah dan tidak menggandeng pihak swasta sehingga kurang maksimal hasilnya.
Program Jaminan Kesehatan Nasional/ SJSN bidang kesehatan yang telah bergulir sejak 1 January 2014 merupakan salah satu program nasional yang secara bertahap diharapkan seluruh penduduk Indonesia akan memperolah Jaminan Kesehatan pada tahun 2019 yang kita sebut sebagai Universal Health Coverage (Jaminan menyeluruh). Dalam implementasinya di pelayanan primer maka pada saat ini yang menjadi pelaksana sebagian besar adalah Puskesmas dalam pola pembiayaan Kapitasi dan Non-Kapitasi. Dana Kapitasi/ Non-kapitasi yang diterima Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama, dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional upaya kesehatan perorangan.
Sesuai Permenkes RI No. 75 tahun 2014 Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Sesuai pasal 35 & 36 Permenkes RI No. 75 tahun 2014, UKM dan UKP harus dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan. UKM tingkat pertama meliputi UKM esensial (Promkes, Kesling, KAI dan IKB, Gizi, Pencegahan dan pengendalian penyakit) dan UKM pengembangan (upaya yang sifatnya inovatif dan / bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan sesuai prioritas masalah pelayanan dan potensi sumber daya di wilayah kerjanya. UKP di tingkat pertama (Puskesmas) dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, pelayanan gawat darurat, pelayanan satu hari (one day care), home care, dan/ rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional dan standard pelayanan (pasal 27 Permenkes tahun 2014).
Dihadapkan kepada kondisi tersebut di atas dimana Puskesmas mempunyai tugas/ tanggungjawab yang kompleks dan berat tetapi di sisi lain pada umumnya SDM Tenaga Kesehatan terbatas, maka dengan beban pelayanan peserta JKN yang pada umumnya relatif berat maka pada diskusi panel & webinar ini akan melakukan kajian/ analisa sejauh mana pengaruhnya terhadap program UKM yang pada umumnya anggaranya relatif kecil dan dalam jangka panjang sangat menentukan tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat.
Diskusi panel ini akan diikuti oleh para pakar khususnya di bidang kesehatan masyarakat, akademisi, praktisi, komunitas media, serta stakeholder lainnya. Serta melalui web seminar (webinar) yang akan diikuti secara langsung (online) oleh para akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, maupun berbagai kelompok peserta yang mendaftar sebagai peserta webinar.
TUJUAN KEGIATAN
Tujuan umum Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh program JKN di Puskesmas terhadap program UKM (risk & benefit), sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.
Tujuan khusus Untuk memperoleh gambaran pengaruh program JKN di Puskesmas terhadap program UKM :
Dalam perspektif Puskesmas sebagai Pembina Kesehatan Wilayah (Comprehensive Health Financing viability, affordability, dan sustainability JKN dengan penguatan Public Health).
Dalam Perspektif Social Determinant of Health (SDoH).
Dalam Perspektif : Kapasitasi profesi kesmas di era JKN.
Dalam mendukung/ menunjang rencana penelitian tentang : "KAJIAN PENGARUH PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) TERHADAP PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK (KIA)".
Peserta Kegiatan dibagi menjadi 2 (dua) :
Peserta Diskusi Panel :
Unsur Pemerintah (Kemenkes RI, DJSN, BPJS Kesehatan, dll)
Assosiasi Profesi terkait
Akademisi
Pakar dan Praktisi di bidang JKN dan Kesehatan Masyarakat
Media Cetak maupun elektronik
Unsur Swasta dan perorangan lainnya
Peserta diskusi Panel yang mengikuti acara baik di Gedung Granadi ataupun UGM dibatasi hingga 50 peserta.
Peserta Webinar (Dikoordinir oleh PMPK UGM)
Akademisi dari perbagai perguruan tinggi di Indonesia
Para pakar/praktisi/ kelompok masyarakat lainnya/ individu
Mahasiswa
SUMBER DANA
Seluruh Anggaran didanai oleh INDO HCF (INDONESIA HEALTHCARE FORUM)
RENCANA KEGIATAN
Kegiatan akan dilaksanakan pada : Hari& Tanggal : Kamis, 28 Mei 2015 Waktu : 10:00 – 13:00 WIB Tempat : Gedung Granadi (S2 MMR FK UGM), lantai 10 sayap utara Jalan HR Rasuna Said Blok X-1 Kav. 8-9, Jakarta Selatan
WAKTU/ JAM
KEGIATAN
NARA SUMBER
9:00 – 10:00
Pendaftaran
Panitia
10:00 – 10:05
10:05 – 10:10
Pembukaan MC
Sambutan dari INDO HCF dan IKKESINDO
Laporan Ketua Panitia INDO HCF
DR. dr. Supriyantoro, Sp.P. MARS
(Ketua Umum IKKESINDO)
10:10 – 10:30
Keynote Speech Dirjen GKIA KEMENKES
dr. Anung Sugihantono, M.Kes
(Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA)
10:30 – 11:30
Presentasi dipimpin oleh Moderator
Dalam perspektif Puskesmas sebagai Pembina Kesehatan Wilayah (Comprehensive Health Financing viability, affordability, dan sustainability JKN dengan penguatan Public Health)
Dalam Perspektif Social Determinant of Health (SDoH)
Dalam Perspektif : Kapasitasi profesi kesmas di era JKN
Dalam mendukung/ menunjang rencana penelitian tentang : “Kajian Pengaruh Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Terhadap Program Kesehatan Ibu dan anak (KIA)”.
Moderator : DR. dr. Supriyantoro, Sp.P. MARS
Prof. Ascobat Gani, MPH, DrPH
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc,Ph.D
Dr. dr. Trihono, MSc
11:30 – 13:00
Sesi Diskusi
13:00 – 13:30
Makan Siang
INFORMASI
Kartika Indrawaty Indonesia HealthCare Forum Wisma 76 Lt. 17, Jl. Letjen S. Parman Kav. 76, Slipi – Jakarta 11410 Phone : +62 21 2567 8989 Mobile : +62 85959 488436 Fax : +62 21 53661038 Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. Website : http://indohcf.com
Sugino Samura, ARSADA menanggapi adanya Permenkes:
Pak, Kenapa pasal 28 ada ayat 5 hukum pidana sedangkan yang lain tidak ada pidananya . Mohon komentarnya terima kasih pak. Ada kecenderungan masih fokus pada faskes saja dilapangan masih oknum-oknum yang bisa keluarkan kebijakan-kebijakan yang insidentil yang merugikan pasien sampai dengan mencelakakan pasien.
Jawaban Laksono Trisnantoro, Dosen FK UGM
Logikanya ada pak. Ini pasalnya:
Pasal 28 ayat 5 Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut tafsiran saya sebagai berikut: Di atas PMK ini ada UU KUHP yang dapat dipergunakan untuk segala bentuk kecurangan/penipuan, termasuk ditambah dengan penipuan asuransi. Hukumannya pidana kurungan. PMK sebagai aturan yang ditetapkan di level Kementerian tidak bisa menghilangkan power UU KUHP.
Ini pasalnya (378 KUHP): "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun" .
Pasal yang terkait Asuransi Pasal 381: Barang siapa dengan jalan tipu muslihat menyesatkan penanggung asuransi mengenai keadaan-keadaan yang berhubungan dengan pertanggungan sehingga disetujui perjanjian, hal mana tentu tidak akan disetujuinya atau setidak-tidaknya tidak dengan syarat- syarat yang demikian, jika diketahuinya keadaan-keadaan sebenarnya diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Jadi kalau dibaca secara makna keseluruhan, Permenkes ini berusaha untuk mencegah yang melakukan fraud dengan ancaman administratif dan pengembalian/pembayaran klaim/kapitasi sebelum masuk ke pidana. Ini yang harus diambil maknanya.
Konsekuensinya Kemenkes dan Dinas Kesehatan harus mampu menjadi pengawas yang baik untuk JKN. Pengawasan ini perlu didanai secara cukup dan dilakukan oleh orang-orang/pihak yang kompeten. Juga BPJS dan faskes (termasuk tenaga kesehatan) harus bersedia diawasi. Kalau tidak Permenkes ini hanya di atas kertas, dan teman-teman di faskes dan/atau di BPJS dapat langsung berhadapan dengan ancaman pidana di KUHP.
Tanggapan Dr. Hanna Permana MARS, mantan Ketua ARSADA
Betul...pak Laksono yang muncul hanya sanksi administrasi. Pidana melekat pada hukum pidana dan tidak menghilangkan hukum pidananya artinya ada dua sanksi administrasi dan pidana jika mengandung unsur pidana
Tanggapan: Prof. DR. Dr.Budi Sampurna, Anggota Dewan Pengawas BPJS, Dosen FKUI
Pendapat pak Laksono benar sekali. Permenkes ingin memberi kesan kepada penegak hukum bahwa pengawasan dan sanksi administrasi yang dilakukan Kemenkes dan Dinkes cukup memberi kenyamanan bagi mereka utk tidak bertindak "sedikit-sedikit pidana". Bila pelaksanaannya lemah, atau tujuan shock therapy, bisa saja penegak hukum bertindak. Saya sepakat agar mari kita bersama-sama mematuhi agar nyaman bagi semua pihak. Jangan lupa, bila ada masalah antara provider dengan BPJS, dapat diajukan ke Menkes.
Pertemuan BL Konsultan tahap kedua pada minggu keempat adalah praktikum program menggunaakan software project libre. Sealvy Kristianingsih dan Anantasia Noviana menjadi pemateri dalam sesi ini. Kegiatan ini dilaksanakan di Yogyakarta yang diikuti oleh berbagai tim konsultan dengan tatap muka langsung dan via webinar.
Materi ini diajarkan melalui praktek langsung dan dikerjakan oleh masing-masing peserta. Hal ini dilakukan karena pertemuan ini adalah kegiatan praktikum yang dapat lebih mudah diketahui jika langsung diterapkan.Pemateri menyajikan pemahaman fungsi penggunaan project libre. Penggunaan project libre sangat berguna dalam penjadwalan kegiatan konsultasi. Selain penjadwalan, project libre ini dapat membantu mengatur sumber daya yang akan dilibatkan beserta besar biaya yang dikeluarkan dari sebuah project.Pada kesempatan ini, pemateri hanya menyajikan project libre yang dapat digunakan untuk melakukan penjadwalan dan penggunaan sumber daya.
Pemateri menjelaskan komponen yang ada dalam project libre dahulu, Sealvy menerangkan fungsi komponen-komponen itu. Peserta selanjutnya diminta membuka project libre masing-masing dan mengisi form memulai sebuah project. Setelah membuka, peserta mengisi agenda kegiatan yang akan dilakukan, mulai dari perencanaan hingga kegiatan evaluasi. Peserta selanjutnya menentukan durasi (waktu) yang akan digunakan pada setiap kegiatan. Peserta juga dibantu cara memasukkan penanggung jawab untuk masing-masing kegiatan.
Selama kegiatan berlangsung, peserta cukup antusias dengan praktikum ini. Beberapa peserta mengajukan pertanyaan kepada pemateri. Namun, peserta tidak menemui masalah yang begitu berarti dalam memahami program ini.
Seminar Pengorganisasian Perangkat Daerah Pelaksana Urusan Kesehatan telah diselenggarakan Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) pada 25 April 2015 di Ruang Gradhika Bhakti Praja, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Semarang. Seminar ini diikuti oleh : Kepala Dinas Kesehatan Provinsi , Kepala Biro Organisasi Pemerintah Provinsi , Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota , Kepala Bagian Organisasi Pemerintah Kabupaten/Kota, para Direktur Rumah Sakit Daerah, Akademisi, dan pemerhati Rumah Sakit. Seminar ini membahas implikasi UU baru mengenai Pemerintahan Daerah dalam tata kelola perangkat daerah di sektor kesehatan. tema secara lebih khusus mengenai hubungan RSD dengan DInas Kesehatan. Seminar dibuka dengan keynote address oleh Sekda Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Para pembicara yang mengisi Sesi 1 antara lain: Kepala Biro Organisasi Kementerian Dalam Negeri, Kepala Biro Organisasi Kementerian PAN & RB, dan Kepala Biro Organisasi Kementerian Kesehatan. Akademisi dan Ketua Adinkes menjadi pembahas kali ini, yaitu Prof. dr Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD dan Dr. Krishnajaya MS. Kemudian, pada sesi 2, Ketua Umum Adinkes, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur dan Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta tampil sebagai pembicara.
Melalui kesempatan ini, secara keseluruhan dalam Pengorganisasian Perangkat Daerah dalam Sektor kesehatan, para peserta mengharapkan RSD tidak masuk menjadi UPT DInas Kesehatan. Demikian pula harapan Ketua Adinkes Dr. Krishnajaya dalam pembahasannya, jangan sampai RSD menjadi UPT Dinkes kembali. Alternatif yang sangat tepat yaitu sesuai dengan Pasal 231 UU Pemerintah Daerah yang baru. Harapannya, kelembagaan RSD merupakan perangkat daerah yang langsung bertanggungjawab kepada Kepala Daerah {namun RSD mempunyai otonomi manajemen}, tetapi secara operasional (teknis fungsional kesehatan) bertanggungjawab kepada Dinas Kesehatan sebagai penanggungjawab sektor kesehatan (termasuk fungsi regulator) di daerah. Rekomendasi ini didasarkan pada pasal 231 Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 yang disandingkan dengan Undang Undang nomor 44 Tahun 2009 tentang RS. (Laksono Trisnantoro)
Kelompok ini anggotanya adalah praktisi yang aktif dalam penelitian dan pendidikan ilmu kebijakan dan manajemen kesehatan di Indonesia. Tujuan kegiatan Masyarakat Praktisi ini adalah untuk:
Berbagi tips dan pengalaman-pengalaman dalam penelitian dan pendidikan kebijakan kesehatan;
Tempat berlatih, diskusi dan saling mendukung antar anggota;
Kerjasama operasional di suatu hal.
Siapa Anggota Masyarakat Praktisi?
Dosen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di FK, FKM, FKG, Poltekes dan berbagai fakultas lain termasuk FISIPOL, Fakultas Ekonomi, dan sebagainya
Peneliti-peneliti kebijakan kesehatan di berbagai lembaga dan unit penelitian.
Pertemuan tahap dua sesi ketiga pelatihan konsultan pekan ini menghadirkan para narasumber yang sudah ahli dan berkecimpung dalam bidangnya masing-masing. Pembicara pertama adalah dr. Broto Wasisto, MPH yang menjabat sebagai Ketua Dewan Etik dari IKKESSINDO. dr. Broto pada kesempatan ini memberikan materi seputar kode etik konsultan. Sedangkan pemateri selanjutnya adalah Anita Lestari dari Fakultas Psikologi UGM. Anita merupakan konsultan dan tenaga pengajar yang membidangi psikologi. Anita memberikan materi terkait Kecerdasan Emosi dan Komunikasi. Materi-materi ini dinilai sangat penting dan krusial diperhatikan dan dimiliki oleh setiap konsultan agar hubungan antara klien dapat berjalan lancar tanpa menimbulkan permasalahan bagi kedua belah pihak.
Pada sesi pertama yang dibawakan oleh Broto Wasisto. Broto menyatakan bahwa etik itu memiliki pedoman yang baik bagi konsultan dalam pelaksanaan kegiatan konsultasi. Beberapa poin penting yang harus dimiliki oleh seorang konsultan seperti seorang konsultan harus memiliki akhlak dan bersih dari KKN. Lebih jauh, Broto menjelaskan butir-butir dari kode etik konsultan kesehatan yang mencakup: 1) pengambilan sikap secara independen dan profesional, 2) Wajib menghindarkan diri dari sifat menyobongkan diri, 3) Wajib memberikan pelayanan yang kompeten, 4) Wajib bersikap jujur terhadap sejawat dan mengingatkan sejawatnya yang memiliki kekurangan. 5) Wajib melindungi klien, 6) Wajib menjalin kerjasama dengan stakeholder lainnya. 7) Jika belum merasa kompeten maka dapat merujuk ke konsultan lainnya yang lebiih kompeten, 8) Wajib merahasiakan segala sesuatu tentangpemberi tugas. 9) Memperlakukan teman sejawat sebagaimana ingin diperlakukan, 10) Memelihara gaya hidup sehat dan mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.
Anita Lestari melanjutkan materi dengan kecerdasan emosional. Anita memulai dengan menyebarkan form dan selanjutnya para peserta melakukan penilaian diri sendiri. Hasilnya, beberapa konsultan masih memiliki bagian yang perlu dikembangkan. Pada penjelasan berikutnya, Anita menekankan seorang konsultan dapat mengetahui kondisi klien meskipun tanpa ada komunikasi verbal sebelumnya. Konsultan juga sangat penting untuk melakukan kontrol pada dirinya sendiri serta menggunakan kecakapan sosial (empati). Poin lain yang menarik yaitu komunikasi non verbal memiliki dampak lebih besar dibandingkan bahasa verbal.