1feb15Hari ketiga (terakhir) membahas isu-isu penting pengembangan CHEPSAA dan networkingnya. Isu yang dibahas dan relevan untuk Indonesia antara lain Networking; pengembangan bentuk baru Emerging Leaders, penggunaan Web-based untuk program mendatang.

Dalam pembahasan ini juga dilihat adanya berbagai modul yang sudah dihasilkan dan sifat open dari CHEPSAA.

Sejak tahun 2015 ini CHEPSAA berubah dari sebuah Konsorsium menjadi Komunitas (C dalam Consortium menjadi Community). CHEPSAA sebagai konsorsium selesai pada 2015. Diteruskan dengan menjadi sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai interest sama dalam hal kebijakan dan penelitian serta analisis kebijakan kesehatan. Dengan demikian CHEPSAA mulai tahun 2015 masuk ke babak baru yang mempunyai risiko tinggi, karena harus menjadi dynamo dari sebuah masyarakat kebijakan kesehatan di Afrika. Untuk itu kemampuan networking sangat dibutuhkan yang membutuhkan web sebagai dasar komunikasi ke berbagai pihak. Pada poin ini sangat disadari kebutuhan untuk penyebaran ilmu dari hasil CHEPSAA. Dalam diskusi pengalaman PKMK FK UGM yang mengembangkan web menjadi hal yang menarik untuk CHEPSAA di masa mendatang.

Sebagai penutup dari laporan ke Johannesburg, ada beberapa modul dari CHEPSAA yang menarik untuk dipelajari untuk masa depan yang lebih baik sebagai berikut:

 

ICHS thumbnailNEW Introduction to Complex Health Systems: Module
This module covers topics such as the definition of a health system; frameworks for analyzing health systems; complexity in health systems and the importance of agents and their mindsets, interests and power; and leading change in health systems. It consists of a course outline, notes for facilitators, PowerPoint slides, case studies and handouts.

Get the module

   
 

ICHS thumbnailNEW Introduction to Health Policy and Systems Research: Module
This module covers topics such as the definition of health policy and systems research; generating and framing questions; the important role of researchers' own perspectives and disciplines in research; study design; rigour and ethics. It consists of a course outline, notes for facilitators, PowerPoint slides and handouts.

Get the module

   
 

Health Policy Analysis: Module
The module consists of course outline, teaching materials and facilitator notes for health policy analysis. It takes the form of a 1-week course and out-of-class assignments. Designed to be taught at post-graduate level (Health Policy Analysis in Africa (HEPAA)).

Get the module
and appendices

 
 

Managing Human Resources for Health: Module
The module introduces the scope and context of human resource management in the health sector. It covers the following topics: human resources management in context; being a human resource manager and managing people (University of the Western Cape).

Get the module

   
 

ICHS thumbnailBackground to the Development of CHEPSAA's teaching resources: Background document 
This document explains CHEPSAA's efforts to develop teaching resources for the field of health policy and systems research and analysis. It highlights the courses and other resources CHEPSAA intends to develop and make available as open educational resources.

Read the document

Modul-modul ini dapat diakses di:

http://hpsa-africa.org/index.php/teaching-materials/modulescourses 

Modul-modul ini disebarluaskan dengan prinsip Open menggunakan perjanjian Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 2.5 South Africa (CC BY-NC-SA 2.5 ZA) . Dengan perjanjian ini maka penggunaan dan pengembangannya dapat lebih cepat terjadi.

CHEPSAA. (2013). Principles and practice of good curriculum design. Cape Town, Consortium for Health Policy & Systems Analysis in Africa.

is licensed under a

Creative Commons Attribution-Non-Commercial-Share Alike 2.5 License

December 2013

  You are free:

 

to Share – to copy, distribute and transmit the work

 

to Remix – to adapt the work

 

Under the following conditions:

 

Attribution. You must attribute the work in the manner specified by the author or licensor  (but not in any way that suggests that they endorse you or your use of the work)

 

Non-commercial. You may not use this work for commercial purposes

 

Share Alike. If you alter, transform, or build upon this work, you may distribute the resulting work but only under the same or similar license to this one

  • For any reuse or distribution, you must make clear to others the license terms of this work. One  way to do this is with a link to the license web page: http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/
  • Any of the above conditions can be waived if you get permission from the copyright holder.
  • Nothing in this license impairs or restricts the authors’ moral rights.
  • Nothing in this license impairs or restricts the rights of authors whose work is referenced in this document.
  • Cited works used in this document must be cited following usual academic conventions
  • Citation of this work must follow normal academic conventions

Dengan sistem terbuka ini , CHEPSAA percaya bahwa pengembangan keilmuan penelitian kebijakan kesehatan dapat semakin cepat dilakukan di Afrika. Tidak ada peraturan kaku tentang copy-right yang dapat menghambat perkembangan ilmu penelitian kebijakan kesehatan.

Refleksi dari pertemuan di Johannesburg:
Apa yang dapat dipergunakan untuk Indonesia?


Materi pertemuan CHEPSAA di hari ke 3 ini dapat dipergunakan untuk memperkuat Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) . Jaringan yang dibina PKMK FK UGM saat ini sudah berada pada tahun ke V. Jaringan ini bersifat independen, dengan anggota unit yang terkait dengan penelitian dan pengembangan kebijakan kesehatan di perguruan tinggi, lembaga penelitian di Departemen, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga pelayanan kesehatan, dan juga pengambil kebijakan. Tujuan utama Jaringan ini adalah menghimpun kekuatan bersama dari para peneliti, dosen, dan ahli kebijakan menuju Indonesia yang lebih sehat, sebagai tenaga ahli kebijakan dan manajemen kesehatan di daerah masing-masing.

Selama 5 tahun pengembangan, terlihat masih ada banyak masalah yang menghambat pengembangan anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Salahsatu masalah besar adalah ketidak siapan sumber daya manusia perguruan tinggi untuk berperan aktif dalam penelitian kebijakan, memonitor, mengevaluasi, merencana dan melaksanakan sebuah kebijakan kesehatan. Ketidak siapan ini merupakan suatu gejala yang mempunyai sifat "lebih dulu telur atau ayam" dengan masalah lain yaitu ketersediaan dana untuk melakukan kegiatan aktif dalam proses kebijakan kesehatan. Tanpa ada dana riset, akan sulit menambah SDM peneliti. Saat ini riset kebijakan kesehatan masih sedikit dijalankan dan hanya beberapa perguruan tinggi yang mampu melakukan dengan baik.

Kebutuhan akan Monitoring dan Evaluasi secara Independen

Saat ini Kemenkes dan BPJS di era JKN membutuhkan dukungan penelitian, khususnya dalam rangka monitoring dan evaluasi independen dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional. Sebagai gambaran BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun setiap tahun. Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Saat ini diamati pelaksanaan dana sebesar Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa ada system monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain di pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA, pelayanan rumah sakit. Saat ini di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani.

Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas system pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten perlu mengawasi mutu pelayanan kesehatan primer dan rujukan. Namun fungsi ini belum dijalankan dengan baik. Oleh karena itu Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan system kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk member perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat kelemahan Dinas Kesehatan dalam pengawas, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.

Masalah

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda di sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.

Di sisi lain, para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan, monev. Secara khusus para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Juga ada beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada 1 unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari 1 pusat.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan:

  1. Memperkuat networking di JKKI. Networking ini dapat bermacam-macam, antara lain:
    • antar universitas di Indonesia
    • antar universitas di daerah dengan BPJS setempat, dinas kesehatan setempat, dan pemerintah daerah
    • di dalam universitas sendiri, antara peneliti di fakultas kedokteran/kesehatan masyarakat dengan peneliti di fakultas sospol.
    • antar universitas dengan penyandang dana.
    • network antara universitas dan Bappenas untuk menyusun kebijakan penganggaran untuk penelitian kebijakan dan monitoring/evaluasi.
    • dan berbagai networking lainnya.

Teknik-teknik networking ini perlu dikembangkan oleh JKKI agar para anggotanya dapat memanfaatkan untuk kepentingan efektifitas pembangunan kesehatan.

  1. Melatih para pemimpin penelitian kebijakan di setiap Propinsi. Di lembaga-lembaga penelitian di universitas atau swasta harus ada peneliti yang mampu memimpin dan berkomunikasi dengan pengambil kebijakan di daerah. Dalam pengamatan, tidak banyak ada peneliti yang mampu memimpin sekelompok staff dan juga berhubugan dengan berbagai pihak terkait dalam jaringan. Perlu dilakukan pelatihan kepemimpinan untuk para peneliti di Indonesia.
  2. Memperkuat web www.kebijakankesehatanindonesia.net  untuk mendukung percepatan peningkatan kemampuan universitas dalam meneliti kebijakan dan melakukan monitoring dan evaluasi. Selama 4 tahun ini, web telah dijalankan. Berbagai kekurangan masih ada. Akan tetapi web ini diakui oleh masyarakat internasional sebagai inovasi baru yang perlu dikembangkan terus di Indonesia.
  3. Pengembangan-pengembangan modul pendidikan dan pelatihan antar pusat-pusat pendidikan di Indonesia perlu dicepat. Pengembangan modul ini perlu dilakukan dengan pendekatan Open-System agar kecepatan pengembangan meningkat. Diharapkan di Indonesia akan ada pengembangan bersama antar universitas, termasuk melakukan adaptasi dari modul-modul yang berasal dari CHEPSAA.

Diharapkan pada tahun 2015 ini berbagai kegiatan di atas dapat dilakukan di Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Bersama ini pula laporan kegiatan dari pertemuan CHEPSAA di Johannesburg diahkhiri. Semoga berguna bagi pengembangan penelitian kebijakan dan system kesehatan, serta analisis kebijakan di Indonesia.

Laksono Trisnantoro
29 Januari 2015, Johannesburg, Afrika Selatan.

 

CHEPSAA Networking Meeting

Johannesburg, 27-29 Januari 2015

Oleh: Prof. Laksono Trisnantoro, PhD

Hari I Sesi pagi

johannesburg

Pada Selasa hingga Kamis tanggal 27-29 Januari 2015, Ketua Board PKMK FK UGM Prof Laksono Trisnantoro menjadi tamu undangan menghadiri pertemuan jaringan Consortium for Health Policy and System Analysis in Africa (CHEPSAA) di Johannesburg, Afrika Selatan. Tujuan pertemuan ini antara lain: pertama, membagi pengalaman CHEPSAA dalam mengembangkan HPSR+A di Afrika, dan di luar Afrika. Kedua, melakukan refleksi hasil kerja CHEPSAA selama ini. Ketiga, melakukan refleksi pada evaluasi ke CHEPSAA. Keempat, melakukan identifikasi berbagai pelajaran dari pengalaman dan untuk meningkatkan kemampuan melakukan riset kebijakan dan analisis kebijakan di masa mendatang. Misi Prof Laksono Trisnantoro dalam pertemuan ini untuk mempelajari bagaimana jaringan CHEPSAA dapat berkembang dan kemungkinan risiko mengalami kemunduran, untuk keperluan perbandingan dengan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Pertemuan ini dilakukan di Hotel Crowne Plaza yang terletak di tepian kota Johannesburg.

  Sesi 1: Pembukaan

27jan15-1Nonhlanhla Nxumalo dan Lucy Gilson sebagai pemimpin CHEPSAA menyatakan bahwa jaringan ini dimulai pada tahun 2011. Sebelumnya sudah ada kerjasama di tahun 2003-2008, kemudian berkembang menjadi jaringan yang didanai oleh European Union di tahun 2011.

Mengapa ada jaringan ini?

Health Policy and System Research and Analysis merupakan suatu hal yang penting. Namun, di Afrika jumlah lembaga dan peneliti penelitian kebijakan sangat sedikit dan juga permintaan dari pengambil kebijakan juga rendah. Oleh karena itu, perlu pengembangan jaringan ini di Afrika.

Tujuan CHEPSAA:

Tahun 2016 menjadi pilihan untuk beberapa hal yang dirasa penting, yaitu menjadi pengembangan modul dan pelatihan/pendidikan penelitian dan analisis kebijakan yang bermutu. Ada tiga kegiatan penting yaitu Riset, Network, dan Teaching. Oleh karena itu, ada pengembangan secara sistematis dalam:

  1. Pendidikan/Pengajaran riset dan analisis kebijakan di berbagai negara;
  2. Penelitian kebijakan dan sistem kesehatan serta analisis kebijakan.
  3. Pengembangan jaringan dan kemitraan antar partner dengan pengambil kebijakan.

CHEPSAA didukung oleh berbagai perguruan tinggi di Eropa dan didanai oleh berbagai dana penelitian. Framework yang dipergunakan dijelaskan secara detail di website resminya. Silakan kunjungi link berikut untuk memahami lebih detil: http://hpsa-africa.org. Untuk dokumennya, silakan anda klik Health Policy and Systems Research: Needs, challenges and opportunities in South Africa – a university perspective (Marsha Orgill and team).

 


  Sesi 2: Penilaian Aset

Catatan menarik dari pembicara kedua yaitu Tolib Mirzoev dari University of Leeds yang menjadi konsultan CHEPSAA. Dr. Tolieb menyatakan bahwa kapasitas antar anggota sangat berbeda. Hal ini menjadi fokus penting untuk pengembangan di masa mendatang, antara lain: memahami kapasitas, pendekatan dan metodologi, hasil yang dilihat serta refleksi. Cara menilai kapasitas anggota melalui beberapa indikator berikut:

  1. Memahami konsep kapitasi
  2. Konsep pemetaan, termasuk berbagai aset seperti SDM yang mampu meneliti (junior, senior), fasilitas, kesempatan dalam sisten, dan sebagainya.
  3. Mengukur kemampuan organisasi dan individu
  4. Sintesis antar anggota (7 anggota).

Apa yang dinilai dalam konteks kapasitas?

27jan15-2Infrastruktur yang mencakup antara lain: kepemimpinan, kemampuan organisasi (termasuk governance di sini), dan ketersediaan asset seperti stff penelti, termasuk yang senior, fasilitas, dan berbagai hal lainnya. Kegiatan yang dinilai mencakup Riset, Teaching, dan Networking dengan berbagai pihak yang berada dalam Konteks Demand for HSPR + A dan Lingkungan sumber daya. Hasilnya memang sangat bervariasi antar tujuh anggota CHEPSAA.

  1. Berbeda dengan nama
  2. Berbeda sumber income
  3. Jumlah peneliti senior yang sangat berbeda
  4. dan sebagainya

Catatan penting untuk dana:

  1. Demand sedikit
  2. Limited domestic funding, tergantung dari luar negeri.
  3. Bisa ke international funding

Bagaimana hubungan dengan pengambil keputusan:

  1. Kurangnya koordinasi untuk penentuan prioritas riset,
  2. Sedikit dipakai untuk pengambilan keputusan.

Untuk lebih lengkapnya silakan simak laporan-laporan mereka di bawah ini:

  1. Assessment of capacity for Health Policy and Systems Research and Analysis in seven African universities: results from the CHEPSAA project (Tolib Mirzoev and team).
  2. How to do Capacity Assessments for Health Policy and Systems Research in University Settings: A Handbook
  3. A new methodology for assessing health policy and systems research and analysis capacity in African universities


  Bagaimana Lesson-Learnt untuk Indonesia.

Sejak lima tahun yang lalu, Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia sudah lahir dan berkembang. Ada perbedaan dan persamaan antara JKKI dengan CHEPSAA. Lalu, apa yang berbeda?

  1. JKKI hanya di Indonesia, CHEPSAA merupakan network internasional diantara negara Afrika.
  2. Berbeda dengan CHEPSAA yang didanai proyek dari Eropa, JKKI tidak mempunyai dana pengembangan.
  3. Keanggotaan CHEPSAA sangat formal karena terkait sebuah proyek (7 partner dalam Proyek di Afrika dengan beberapa partner dari Eropa) dari EU.

Persamaan yang dimiliki JKKI dan CHEPSAA:

  1. Tujuan. Siapa yang dituju oleh Jaringan: pengambil keputusan, level nasional dan pemerintah daerah, perguruan tinggi dan NGO.
  2. Mengembangkan modul untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.
  3. Prinsip keilmuan: menggunakan Health Policy and System Research (HPSR) dan Health Policy and System Analysis (HPSA).
  4. Titik atau poin untuk pengembangan penelitian dan analisis kebijakan bertumpu pada perguruan tinggi.
  5. Perbedaan kapasitas antar anggota merupakan hal yang perlu diperhatikan dan diatasi.
  6. Leadership di setiap anggota jaringan perlu ada.

Tantangan CHEPSAA adalah keberlanjutan, karena proyek pengembangan ini berakhir pada tahun 2015. Apakah para anggota dapat mengembangkan diri. Apakah jika proyek berhenti maka kegiatan juga akan berhenti? Sementara, tantangan untuk JKKI adalah; apakah tanda proyek Jaringan ini dapat berjalan?

Pertanyaan-pertanyaan strategis yang akan dibahas di Indonesia:

  1. Bagaimana JKKI dapat dikembangkan? Darimana dananya?
  2. Bagaimana mengembangkan keanggotaan? Apakah melalui pengembangan Bagian IKM di FK dan FKM yang mengajarkan Kebijakan dan Manajemen Kesehatan?
  3. Bagaimana cara mengembangkan kapasitas di berbagai perguruan tinggi Indonesia yang sangat bervariasi?
  4. Bagaimana dana untuk penelitian kebijakan dan analisis kebijakan dapat diperoleh di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Apakah kebijakan dana Monev dari dalam negeri dapat dilakukan?
  5. Dari mana dana pengembangan? Apakah dari lembaga donor luar negeri, ataukah berasal dari dana dalam negeri khususnya dari perguruan tinggi.

Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas dalam kegiatan pengembangan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia setelah berlangsungnya pertemuan di Afrika.

 

 

{jcomments on}

Kick Off Meeting

Strenghtening Capacity in Health Insurance and Finance at KPMAK,
Faculty of Medicine, Gadjah Mada University to Support Impementation of
The New Health Insurance Scheme in Indonesia.

Jogjakarta, 19-23 Januari 2015

 

 

20jan-9Prof. Iwan Dwiprahasto memukul gong dalam pembukaan program kerja sama antara KPMAK FK UGM dengan Dutch Consortium. (dok. KPMAK)

Pada 19 hingga 23 Januari 2015, bertempat di Auditorium Senat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dilakukan pertemuan dalam rangka peluncuran program (Kick-Off Meeting) Penguatan Kapasitas Pengetahuan Asuransi Kesehatan dan Pembiayaan Kesehatan bagi tenaga akademisi di lingkungan Fakultas Kedokteran UGM. Program ini merupakan kerja sama antara Pusat Studi Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) dengan Konsorsium Belanda (Dutch Consortium). Kolaborasi ini direncanakan akan berjalan dalam kurun waktu empat tahun (2015-2018). Kegiatan yang dilakukan mencakup empat area; yaitu Pembahasan Kurikulum untuk Program Pascasarjana terkait Health Economics, Health Insurance, Health Financing (Master dan PhD); Kolaborsi penelitian; Peningkatan kapasitas melalui penyediaan pelatihan dan kuliah umum dengan dosen tamu dari Belanda; serta pembenahan manajemen proyek terkait asuransi kesehatan dan pembiayaan kesehatan.

Dutch Consortium merupakan kolaborasi beberapa institusi akademisi di Belanda yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas dalam rangka bantuan teknis/akademisi terkait ekonomi kesehatan, pembiayaan kesehatan dan asuransi kesehatan. Kolaborasi ini berasal dari Nuffic Program, Vrije Universiteit Amsterdam, AIGHD, dan Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda. Dalam kesempatan ini hadir ekspertise ekonomi kesehatan dari Belanda; Prof. Eddy Van Doorslaer; sebagai project director, dengan tim; Prof Menno Pradhan, Dr. Ellen and de Poel; dan Dr Esther den Hartog; sebagai program manager. Hadir dalam kesempatan ini Prof dr Ali Gufron Mukti MSc, PhD,. Prof dr Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, serta Prof dr Adi Utarini, MSc, PhD, sebagai consortium-partner untuk Indonesia mewakili Fakultas Kedokteran UGM.

Pertemuan tanggal 20 Januari 2015 ini merupakan pertemuan lanjutan sekaligus peluncuran (kick-off) kerja sama akademisi antara UGM dengan Dutch Consortium untuk memberikan dukungan bagi implementasi Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia. Pertemuan inisiasi ini dibuka secara resmi pada Selasa,20 Januari 2015, oleh Wakil Rektor 1 Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Dr Iwan Dwiprahasto, MSc, PhD. Sehari sebelumnya atau Senin (19/1/2015) telah dilakukan diskusi bersama dengan internal tenaga akademisi di lingkungan Fakultas Kedokteran, dan dibuka oleh Dekan Fakultas Kedokteran UGM; dr Teguh Aryandono, SpB (K) Onk.

Kerja sama ini bertujuan untuk ; 1) Peningkatan kapasitas tenaga profesional (dosen dan mahasiswa) untuk lebih memahami dan mampu memberikan dukungan akademisi bagi pemerintah dan penyelenggara jaminan kesehatan di Indonesia, terkait dengan sistem asuransi kesehatan dan pembiayaan kesehatan, 2) Secara aktif akan memberikan advokasi dan mempromosikan isu isu terkini tentang asuransi kesehatan, jaminan kesehatan dan pembiayaan kesehatan kepada para pemangku kepentingan di berbagai tingkat, pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

20jan-10Prof Eddy van Doorslaer, Prof Ali Gufron, dan Prof Iwan Dwiprahasto (dok. KPMAK)

Prof. Iwan Dwiprahasto, dalam sambutannya menyatakan bahwa UGM sangat menyambut gembira adanya kegiatan ini dalam rangka memperkuat kerjasama internasional lintas akademisi. Kegiatan ini akan memperkuat Visi dan Misi UGM sebagai Universitas Berkelas Internasional (World Class International). Terkait dengan isu terkini, harapannya UGM bisa menjadi pemimpin dalam telaah akademisi dan pendamping pemangku kebijakan terkait dengan Jaminan Kesehatan. Sudah banyak kegiatan, penelitian dan sumberdaya yang dihasilkan oleh UGM terkait dengan pembiayaan kesehatannya. Kegiatan seperti ini akan memperkuat posisi UGM dalam mengawal keberlangsungan kebijakan sistem jaminan kesehatan yang ada.

20jan-5Prof Eddy van Doorslaer (dok. KPMAK)Prof. Eddy van Doorslaer, dalam pidato pembukaan menyampaikan bahwa dunia internasional sedang berada dalam euforia menuju pencapaian Universal Health Coverage. Negara-negara berpendapatan menengah seperti Indonesia mempunyai karakteristik yang menarik dan permasalahan yang kompleks dalam perjalanan menuju pencapaian UHC tersebut. Kasus di beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, dan China bisa diambil beberapa poin penting yang bisa dijadikan pelajaran penting bagi perkembangan UHC di Indonesia, seperti penyediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai untuk seluruh wilayah Indoneaia merupakan kunci penting tercapainya UHC, bukan dengan mengupayakan peningkatan cakupan kepesertaan. Dengan karakter unik ini dan permasalahan spesifik yang ada di Indonesia ini, yang kemudian menjadi dasar perlunya ada semacam kolaborasi teknis terkait peningkatan kapasitas dalam rangka pemberian bantuan teknis Asuransi Kesehatan dan Pembiayaan Kesehatan terkait Jaminan Kesehatan Nasional.

Materi Presentasi

 

20jan-5Prof. Menno Pradhan (dok. KPMAK)Prof Menno Pradhan, menyampaikan bahwa secara statistik umum, kondisi status kesehatan dibandingkan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, menunjukkan kondisi yang lebih baik. Peningkatan ini tidak diimbangi dengan pemerataan penyediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai di beberapa daerah. Terjadi kesenjangan antar wilayah. Kondisi membaiknya status kesehatan ini hanya terfokus kepada daerah yang maju dan berpenduduk tinggi, seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan, sedangkan Sulawesi, dan Kepulauan Indonesia Timur (seperti Papua, NTT, dan Maluku) justru mengalami penurunan status kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan belum terjadi dan harapannya JKN nantinya akan mereduksi kesenjangan kondisi seperti ini.

materi presentasi

 

20jan-5Prof. Laksono Trisnantoro (dok. KPMAK)Prof Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, menyatakan bahwa JKN saat ini berada dalam kondisi yang perlu perhatian khusus, adanya kekurangan tenaga kerja dan fasilitas kesehatan yang belum merata dan tersedia diseluruh pelosok tanah air akan menimbulkan penggunaan dana JKN yang tidak merata. Dana JKN di wilayah yang mengalami kekurangan nakes dan faskes akan selalu sisa, dan justru akan menjadi subsidi ke daerah yang relatif tersedia nakes dan faskesnya. Dalam hal ini wilayah seperti NTT, akan selalu under claim dan Jawa over claim. Terjadi realokasi subsidi dari daerah yang seharusnya dibantu secara pendanaan ke daerah yang justru surplus dari berbagai macam sisi. Maka perlu dilakukan evaluasi dan monitoring kebijakan JKN ini, agar pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia ini tercapai. Memburuknya situasi pemerataan dana JKN ini perlu diantisipasi dalam kerangka perbaikan program kerja pemerintah presiden Jokowi saat ini.

Materi presentasi

 

20jan-8Prof.dr Ali Gufron Mukti, MSc, PhD (dok. KPMAK)

Prof. dr. Ali Gufron Mukti, Msc, PhD menyampaikan bahwa proses Jaminan Kesehatan di Indonesia sangat tergantung kepada proses politik yang sedang berjalan. Berganti kebijakan kesehatan, berganti pula nama dan kebijakan pembiayaan kesehatan. Itulah yang terjadi dalam kurun dua dasawarsa ini, sehingga akan menjadi tugas yang berat bagi pemerintah dan pemangku-kepentingan menjaga sustainabilitas program pembiayaan kesehatan ini. Perlu dukungan dari berbagai pihak untuk mengawal jaminan kesehatan ini sehingga mencapai tujuan dari jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage). Saat ini merupakan saat yang tepat bagi kaum akademisi untuk membantu pemerintah memperbaiki kebijakan yang ada, dan membantu BPJS sebagai badan pengelola Jaminan Kesehatan Nasional untuk menyediakan pembiayaan kesehatan yang adil, merata dan berkesinambungan

Materi presentasi

 

 

 

bumiminang

Diselenggarakan Oleh:

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
dan
JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

 

  LATAR BELAKANG

Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia adalah suatu jembatan penyambung berbagai pemangku kepentingan dalam keijakan kesehatan di Indonesia. Mereka yang bergabung : para peneliti, akademisi, pemerhati, praktisi kebijakan, kelompok masyarakat, wakil rakyat, birokrat, penamat dari berbagai profesi dan lembaga.

Forum ini telah 5 kali digelar, setiap tahun berturut-turut di Jakarta (UI), Makasar (UNHAS), Surabaya (UNAIR), Kupang (UNDANA), dan Bandung (UNPAD). Pada tahun 2015 ini kota Padang mendapat kehormatan dengan Universitas Andalas (UNAND) sebagai tuan rumah.

Dalam situasi pembiayaan kesehatan yang dinamis ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia yang dimulai sejak 1 Januari tahun 2014 memberikan andil yang besar terhadap reformasi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. JKN diharapkan secara bertahap menjadi tulang punggung untuk mencapai Universal Health Coverage di tahun 2019 sebagaimana diamanatkan Undang-Undang. Beberapa isu penting pada era JKN antara lain pemanfaatan bagi masyarakat di daerah, kesiapan anggaran investasi di kementerian dan di pemerintah daerah seperti insfrastruktur, peralatan dan SDM kesehatan. Hal ini juga untuk melihat perjalanan JKN pada tahun kedua, apakah semakin membaik atau memburuk.

Selain itu, Tahun 2015 merupakan tahun untuk mencapai MDGs, sekaligus merupakan tahun KABINET KERJA yang akan menentukan arah kebijakan kesehatan. Masih banyak kendala dan hambatan dalam penerapan JKN dan pencapaian MDGs yang tentu akan dapat berpengaruh terhadap pencapaian UCH tahun 2019. Oleh karena itu, perlu dilakukan Kajian terhadap kebijakan – kebijakan kesehatan menuju UHC 2019.

Tema tahun ini adalah "UPAYA PENCAPAIAN UHC 2019 : KENDALA, MANFAAT, DAN HARAPANNYA". Dengan sub tema : "Tantangan Upaya Pencapaian Universal Health Coverage - UHC".

Kelompok kebijakan kesehatan yang akan berkumpul merupakan kelompok yang sudah lebih dahulu berkembang dalam forum sebelumnya serta kajian baru tahun ini:

  1. Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak
  2. Pokja Kebijakan Pembiayaan Kesehatan/Asuransi
  3. Pokja Kebijakan HIV/AIDS
  4. Pokja Kebijakan Pendidikan SDM Kesehatan
  5. Pokja Kebijakan Pelayanan Kesehatan
  6. Pokja Kebijakan Gizi Masyarakat
  7. Pokja Kebijakan Kesehatan Lingkungan
  8. Pokja Penanggulangan Bencana
  9. Pokja Mental Health

 

  TUJUAN

  1. Membahas perkembangan isu – isu strategis kebijakan kesehatan selama dua tahun dilaksanakannya JKN
  2. Membahas reformasi pembiayaan kesehatan dan pelayanan kesehatan di Indonesia dalam mencapai UHC 2019
  3. Meningkatkan kapasitas penelitian oleh perguruan tinggi/pusat penelitiaan dan peneliti dalam penelitian kebijakan kesehatan
  4. Meningkatkan kapasitas peneliti dalam mendiseminasikan hasil penelitian dan menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah lokal dan nasional

 

  WAKTU & TEMPAT

Waktu       : Senin – Rabu/ 24 – 27 Agustus 2015
Tempat     : Hotel Bumi Minang Padang

jadwal 01

 

  PESERTA

Kegiatan Forum Nasional V ini mengundang para pengambil kebijakan, akademisi (dosen dan staf pengajar), peneliti, praktisi kebijakan kesehatan, dan para pengamat serta siapa pun yang tertarik dengan kebijakan kesehatan untuk mengikuti kegiatan ini.

Pendaftaran bagi peserta umum sebagai berikut :

Kegiatan

Early Bird hingga 30 Mei 2015

1 Juni – 23 Agustus 2015

On Site

Seminar (2 Days) 24-25 Agustus 2015

Rp.   750.000

Rp.   850.000

Rp. 1.000.000

Workshop (1 Day) 26 Agustus 2015

Rp.   500.000

Rp.   600.000

Rp.    750.000

Seminar + Workshop 24 -26 Agustus 2015

Rp. 1.000.000

Rp. 1.100.000

Rp. 1.250.000

Field Trip 27 Agustus 2015

Rp.    700.000

Rp.   800.000

Rp. 1.000.000

Biaya dapat ditransfer ke rekening BNI Cab Padang dengan nomor 0374416989 atas nama Panitia FKKI VI.
Biaya sudah meliputi seminar kit, konsumsi selama meeting dan sertifikat ber-SKP. SKP bagi peserta yang disediakan adalah sebagai berikut :

  1. IDI 20 SKP
  2. IAKMI 6 SKP
  3. IBI 5 SKP
  4. PDGI 4 SKP
  5. IAI 15 SKP
  6. PPNI 4 SKP

 

 

  KETERANGAN & PENDAFTARAN

Angelina Yusridar
Hp:  08111498442
Email  : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Wisnu Firmansyah
Hp:  081215182789
Email  : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 
Web : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Workshop GP Mental Health

Fakultas Kedokteran UGM, 13-14 Februari 2015

  Latar Belakang

Masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah besar di dunia, karena jumlah penderitanya yang sangat banyak. Laporan badan kesehatan dunia WHO bahkan memperkirakan bahwa setiap 1 dari 4 orang di dunia mengalami gangguan jiwa. Tak mengherankan jika masalah kesehatan mental pun disebut sebagai salah satu penyebab utama kerugian ekonomi, yang juga dapat berakibat disability jika dibiarkan.

Dokter merupakan ujung tombak penanganan kesehatan jiwa di layanan primer karena penderita masalah kesehatan jiwa sebagian besar datang menemui dokter dengan keluhan fisik. Namun berbagai penelitian melaporkan bahwa masalah kesehatan jiwa ini banyak yang tidak terdeteksi dan tidak tertangani karena beban kerja dokter yang sudah overload. Penajaman ketrampilan asesmen, diagnosis dan intervensi kesehatan jiwa menjadi sangat penting bagi dokter di layanan primer. Alur rujukan yang jelas dan kerjasama multidisiplin juga mutlak diperlukan agar treatment gap antara penderita gangguan jiwa dan pelayanan kesehatan jiwa dapat dipersempit.

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan PKMK Fakultas Kedokteran UGM dan CPMH Fakultas Psikologi UGM menginisiasi sebuah training, yang akan menjadi kesempatan emas untuk memperdalam ketrampilan dokter sebagai elemen penting pelayanan kesehatan jiwa primer. Training ini akan dibimbing langsung oleh para pakar dari The University of Melbourne, Australia.

 

  Tujuan

  1. Memberikan gambaran tentang sistem kesehatan jiwa di layanan primer, belajar dari pengalaman global dan Australia.
  2. Memberikan pemahaman tentang peran dan posisi ideal dokter dalam layanan kesehatan jiwa primer.
  3. Memperkuat ketrampilan prevensi, asesmen, diagnosis dan intervensi dokter dalam layanan kesehatan jiwa primer.
  4. Memahami perspektif multidisiplin dalam penanganan kesehatan jiwa di layanan primer.
  5. Membahas arah clinical pathway dalam penanganan depresi di ranah primer.

 

Bentuk Kegiatan

Bentuk kegiatan adalah presentasi dan diskusi selama 2 (dua) hari yang masing-masing terbagi menjadi 5 (lima) sesi presentasi dengan diskusi tanya jawab pada tiap akhir sesi

 

  Waktu dan Tempat

Hari / Tanggal  : Jumat-Sabtu / 13-14 Februari 2014
Waktu             : 08.00 – 17.00
Tempat            : Ruang teater lt.2, Fakultas Kedokteran, UGM

 

Peserta

Workshop ini terbuka untuk dokter Puskesmas dan dokter-dokter umum se-Indonesia

Penyelenggara

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran UGM
Centre for Public Mental Health - Fakultas Psikologi UGM (CPMH UGM)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan - Fakultas Kedokteran UGM (PKMK UGM)

 

  Susunan Acara, Materi, dan Reportase

Jadwal

Day 1:
Experience from Global and Australia

Waktu

Acara

 Detail

Nara Sumber

08.00-08.30

Opening Remarks

  • Mendorong terciptanya pemahaman pentingnya kerjasama multidisipliner dalam pelayanan kesehatan jiwa dalam layanan primer

Kabag Psikiatri Fakultas Kedokteran UGM

PKMK FK - Prof.dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD.

CPMH Fak Psikologi-
Dr. Rahmat Hidayat

08.30-10.00

Global and Australian experience in:
Mental health in primary care

  • Sejarah perkembangan pelayanan kesehatan mental di ranah primer (pengalaman global dan Australia)
  • Peran dokter umum dalam pelayanan kesehatan jiwa di ranah layanan primer

A/Prof Grant Blashki
Ruth Wraith 

materi

10.00-10.30

Coffee Break

 

 

10.30-12.00

Assessment of common mental health problems in primary health care

  • Teknik-teknik asesmen yang cepat untuk dokter umum di layanan primer
  • Pembuatan mental health plan (lembar rencana penganganan kesehatan jiwa, termasuk rujukan)

A/Prof Grant Blashki
Prof. Dr. Sofia Retnowati 

materi 1

12.00-13.00

Lunch break

 

 

13.00-14.00

Children mental health

  • Masalah kesehatan jiwa yang umum pada anak-anak
  • Assesmen dan intervensi masalah kesehatan jiwa pada anak-anak (kompetensi dokter umum)

Ruth Wraith

materi

14.00-15.00

Domestic Violance and Mental Health/Suicide

  • hubungan atara depresi dan kecenderungan bunuh diri
  • deteksi dini kecenderungan bunuh diri pada pasien 

Dr. Erminia Colucci 

materi

15.30-16.00

Coffee Break

 

 

16.00-17.00

Prevention and intervention

  • Keterlibatan dokter umum dalam pencegahan (teknik-teknik pencegahan penyakit jiwa)
  • Berbagai teknik intervensi yang mungkin dipelajari oleh dokter di layanan primer

Ruth Wraith

materi

17.00-17.30

Penutupan Hari I

   Apa yang dapat dimanfaatkan di Indonesia?

dr. Hasta Yoga, SpKJ
Dr. Diana Setiyawati


Day 2:

Pengembangan Pelayanan Kesehatan Jiwa dalam pelayanan Primer di Indonesia di era JKN

Waktu

Acara

 Detail

Nara Sumber

08.00-09.00

Focused Psychological Strategy

Teknik intervensi ringkas untuk problem psikologis

A/Prof. Grant Blashki
Dr. Diana Setiyawati

materi

09.00-09.30

Coffee break

   

09.30-12.00

Kebijakan Pelayanan Kesehatan Mental di Puskesmas dalam era JKN

  • Strategi kesehatan jiwa: posisi dokter umum dalam layanan kesehatan jiwa primer
  • Pendanaan untuk pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer

dr. Herbert Sidabutar, Sp.Kj

materi

12.00-13.00

Lunch Break

   

13.00-14.00

Aspek mutu pelayanan: Hubungan antara dokter dan psikolog

Studi tentang situasi prosedur pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas daerah Sleman

Aspek pelayanan multidisipliner : peran psikolog dalam layanan kesehatan jiwa primer

dr. Hasta Yoga, SpKJ
Dr. Diana Setiyawati

materi 1

materi 2

14.00-15.00

Pengembangan Clinical Pathways dalam penanganan Depresi di Pelayanan Puskesmas

Proposal clinical pathways dalam penanganan Depresi di Pelayanan primer

dr. Hasta Yoga, SpKJ

materi

15.00-15.30

Coffee Break

   

15.30-16.30

Diskusi tentang Penyusunan Clinical Pathways di Puskesmas

 

dr. Hasta Yoga, SpKJ
Dr. Diana Setiyawati

materi

 

Reportase Diskusi Publik Mencegah Memburuknya Ketidakadilan Sosial di Sektor Kesehatan

paramadina1Ruang Multifungsi, Kampus Pascasarjana Universitas Paramadina Gd. The Energy lt. 22

Kegiatan diskusi yang dilaksanakan di Universitas Paramadina, Jakarta dengan topik "Mencegah memburuknya ketidakadilan sosial di sektor kesehatan" dimulai dengan sambutan dari Prof Laksono dilanjutkan oleh Dinna Wisnu, PhD dari Universitas Paramadina. Rektor baru Universitas Paramadina yaitu Firmanzah juga turut memberikan sambutan dan menyampaikan poin penting dalam rangka kerja sama pengembangan ilmu pengetahuan oleh Universitas Paramadina dengan PKMK UGM dalam berbagai penelitian dan forum. Perwakilan BPJS yang juga memberikan sambutan pada acara ini sekaligus membuka kegiatan diskusi.

Sesi pertama "Kebijakan Jangkauan JKN"

Pada sesi pertama Prof Laksono menyajikan materi mengenai "Kebijakan Jangkauan JKN". Menurut beliau, materi yang diangkat befokus pada public policy yang dinilai memiliki peranan sangat penting. Materi ini dimulai dengan hasil riset dan kajian yang telah dilakukan selama satu tahun terselenggaranya SJSN. Hal pokok yang dipaparkan mengenai isu yang selalu diangkat terkait kepesertaan JKN, namun sebenarnya yang paling penting adalah apa manfaat yang didapat peserta JKN. Diuraikan lebih lanjut bahwa terjadi sebuah ketimpangan dalam pemerataan pemanfaatan oleh peserta JKN. Daerah yang kaya dan memiliki akses fasilitas yang baik menunjukkan tingginya penyerapan anggaran. Namun sebaliknya, daerah miskin dengan akses yang terbatas sangat kecil untuk menyerap anggaran.

Permasalahan yang terjadi di beberapa daerah dengan berbagai kendala tersebut menimbulkan skenario-skenario di masa yang akan datang. Skenario optimis dengan perbaikan keadaan hingga ke skenario yang paling pesimis. Skenario optimis dimungkinkan oleh daerah yang telah berkembang dengan baik. Sedangkan daerah pesimis masih dimotori oleh daerah yang masih tertinggal. Sebenarnya daerah miskin juga sudah mendapatkan beban yang berat seperti kesulitas akses geografi, ekonomi, dan budaya. Sementara jumlah lakalantas dan perilaku merokok juga semakin meningkat.

Prof Laksono juga mengaitkan nawa cita presiden Jokowi terkait dengan semangat pemerataan dan keadilan kesehtaan bagi masyarakat Indonesia. Prinsip ini dinilai menjadi pegangan yang penting dalam pengembangan pemerataan kesehatan. Diceritakan juga sebuah kendala riset kesehatan khususnya JKN adalah transparansi data klaim oleh BPJS.

paramadina3Para pembicara pada sesi pertama

  Pembahas 1

Sebagai pembahas pertama, Kalsum Komariyah dari perwakilan Kemenkes memberi penekanan pada peningkatan suplay yang harus mengimbangi demand. Di samping itu, pencapaian tujuan-tujuan yang direncanakan pemerintah juga selalu harus diukur. Melalui peningkatan dan perbaikan suplai/supply maka akan menurunkan angka kematian dan angka kesakitan. Kementrian kesehatan yang memegang fungsi regulasi dapat berperan dalam memenuhi layanan.

  Pembahas 2

Ridwan Monoarfa sebagai dewan pengawas BPJS mengungkapkan bahwa terjadi diskriminasi dalam pemanfaatan layanan kesehatan bagi peserta BPJS. Sebelumnya memang terjadi perdebatan dalam penyusunan kebijakan ini, antara konsep JKN yang menggunakan segmentasi program dan segmentasi layanan. Namun untuk prinsip pemerataan, maka segmentasi program menjadi pilihan. Ridwan juga kembali menekankan bahwa benefit package tetap harus dipertimbangkan bagi masyarakat rentan. Menurutnya, dengan kebutuhan ini maka anggaran kesehatan tetap harus ditingkatkan.

  Pembahas 3

Asih Eka Putri perwakilan Dewan Jaminan Nasional membahas mengenai aspek demografi peserta BPJS. Menurut Asih, adanya ketimpangan yang terjadi juga menunjukkan sebuah indikasi ketidakcukupan iuran. Ketidakcukupan iuran ini diharapkan dapat diatasi dengan melakukan pengkajian kembali atau merevisi besarnya iuran. Asih melanjutkan, jika hal ini tidak diatasi maka akan mempengaruhi dalam peningkatan eksodus tenaga kesehatan. Beberapa saran yang ditawarkan seperti melakukan investasi dengan melibatkan swasta, atau memanfaatkan daerah dengan jumlah tenaga kesehatan yang melimpah yang dipekerjakan di daerah yang minim tenaganya, hingga usulan tenaga kontrak dari luar negeri. Selain itu untuk jangka panjang, Asih memberikan masukan mengenai pentingnya setiap daerah berinvestasi untuk mengembangkan wilayah masing-masing.

 

paramadina2Para pembicara pada sesi kedua

Sesi Kedua "Pendukung dan Penghambat Cakupan Semesta"

Pada sesi kedua bertindak sebagai penyaji, Dinna Wisnu dari Universitas Paramadina menyajikan materi mengenai Pendukung dan Penghambat Cakupan Semesta. Dalam sesi ini, Dinna melalui risetnya menyatakan bahwa kelemahan JKN pada saat ini teletak pada instrumen yang tidak sesuai. Hal ini dikaitkan pada kebijakan telah mengarah ke yang lebih baik, maka seharusnya hasilnya juga akan baik. Namun pada kenyataannya berbeda, Asih berpendapat bahwa kebijakan belum diturunkan dengan baik dimana aturan-aturan pengkodisian belum ditemukan. Selain itu kelemahan institusi kesehatan terletak pada minimnya inisiasi atau kakunya pengambilan sikap karena harus selalu berdasar pada aturan yang ada. Seperti dalam pendaftaran peserta BPJS sangat birokrat dan tentu menghambat masyarakat utamnaya untuk masyarakat yang rentan. Asih juga menambahkan bahwa seharusnya JKN tidak berprinsip pada pemerataan kualitas layanan kepada semua golongan, namun harus mempertimbangkan fakta bahwa setiap golongan masyarakat memiliki ekspektasi yang berbeda. Penekanannya lebih pada kendali mutu, bukan pada kendali biaya.

  Pembahas 1

Daniel Yusmic yang bertindak sebagai pembahas pertama memaparkan bahwa evaluasi dapat dilakukan jika produk hukum telah seutuhnya diterbitkan. Namun jika dilihat dari peraturan, maka hal ini sering tidak sinkron dengan aturan di bawahnya terkait beberapa peraturan yang sering mengalami amandemen. Meskipun demikian, menurut Daniel, jaminan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara, sehingga negara wajib untuk menyediakannya. Daniel Yusmic juga merekomendasikan perlunya penelitian hingga tahun 2019 untuk melakukan evaluasi JKN lebih mendalam.

  Pembahas 2

Perwakilan dari BPJS Kesehatan selaku pembahas kedua menjelaskan bahwa pentingnya sebuah pengaduan masyarakat yang dapat membantu memperbaiki layanan.

  Pembahas 3

Selaku pembahas ketiga, Timboel Siregar yang menjabat di BPJS Watch mengindikasikan adanya kemauan politik yang rendah oleh pemerintah untuk memperbaiki tatanan dalam JKN. Hal ini diungkapkan dalam budgeting anggaran yang dinilai masih lemah. Selain itu, indikasinya terlihat pada kurang aktifnya badan pengawas rumah sakit yang memberikan peluang besar dalam penyalahgunaan.

(Faisal Mansur, MPH/Asisten Peneliti di PKMK FK UGM)

Tor dan Materi Presentasi

 

14jan paramadina

 

  Latar belakang

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan telah dimulai pada tanggal 1 Januari 2014. Sebagai usaha monitoring keberhasilan JKN khususnya dalam tujuan mencapai cakupan universal dan menjamin bahwa warganegara Indonesia yang selama ini mengalami kesulitan menjangkau jaminan kesehatan yang layak, kami dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) menyelenggarakan diskusi publik berbasis penelitian.

Tema diskusi adalah "Mencegah memburuknya ketidakadilan sosial di sektor kesehatan". Diskusi ini diharapkan dapat mengupas tingkat kemampuan program JKN menjangkau seluruh wilayah dan lapisan masyarakat di Indonesia. Dalam 1 tahun penerapan JKN, siapa saja yang mengklaim tunjangan kesehatan, baik dari kalangan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) ataupun kalangan peserta non-PBI. Klaim tersebut untuk jenis layanan apa saja? Apa saja titik akuntabilitas BPJS Kesehatan di bidang keadilan sosial yang selama ini terlaksana berdasarkan regulasi yang ada?

Dari sisi PKMK FK-UGM, telah dilakukan pengumpulan data dan analisis dari kabupaten/kota di 12 propinsi pada bulan April 2014, yakni provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian kabupaten/kota di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan, NTT, Kalimantan Timur, Bengkulu, Jawa Timur, dan Sulawesi Tenggara. Keduabelas provinsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian: (1) kelompok daerah yang sudah maju dan (2) kelompok yang belum maju. Pembagian ini terutama pada masalah ketersediaan RS, tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung implementasi JKN.

Ditemukan telah terjadi perbedaan akses JKN yang ekstrim antara kedua jenis daerah tersebut. Selain itu, daerah-daerah yang tergolong belum maju juga rendah klaim. Artinya dari sisi serapan dana JKN, terjadi kesenjangan keadilan.

Dari sisi PGSD Univ Paramadina, telah dilakukan pengumpulan data dan analisis di tingkat kebijakan pemerintah pusat terkait respon masyarakat terhadap JKN dan model pengelolaan JKN (baik dari segi dana, kelembagaan maupun regulasinya). Peneliti dari PGSD juga menyajikan hasil studi kasus upaya pencegahan kematian ibu, identifikasi dimana titik kesenjangannya sehingga perempuan di daerah terpencil mengalami kesulitan menikmati fasilitas JKN.

Dalam konteks latar belakang ini dilakukan analisis skenario perbaikan kebijakan JKN agar tujuan mencapai cakupan universal dapat tercapai pada tahun 2019.

  Temuan

Hasil temuan menunjukkan bahwa jika pola ketersediaan fasilitas kesehatan, respon masyarakat dan kelembagaan BPJS Kesehatan berjalan seperti tahun 2014, maka skenario pencapaian cakupan semesta atas dasar prinsip keadilan sosial kemungkinan besar tidak akan tercapai. Kemungkinannya justru terjadi peningkatan kesenjangan antar wilayah dan kurang optimalnya akuntabilitas BPJS Kesehatan serta kementerian/lembaga terkait dalam hal penerapan JKN.

  Tujuan Pertemuan

Berdasarkan temuan pada monitoring ini, tujuan diskusi adalah membahas:

  1. Kebijakan perbaikan jangkauan JKN kepada seluruh warganegara Indonesia;
  2. Kebijakan yg mendukung atau menghambat cakupan semesta dalam JKN saat ini

Undangan: 100 orang (para praktisi & pemikir bidang jaminan sosial dan kesehatan, media massa)

 
  Waktu dan Tempat

Tempat : Ruang Multifungsi, Kampus Pascasarjana Universitas Paramadina
               Gedung The Energy lantai 22, SCBD Lot 11 A, Jl. Jend Sudirman 52-53
               Jakarta, Rabu, 14 Januari 2015
waktu   : 11:30 – 17:00 Wib

 

  Susunan Acara

waktu

Acara

11:30 – 12:30

Makan Siang

12:30 – 12:40

Pembukaan (Sambutan Plt. Rektor Universitas Paramadina & Dirut BPJS Kesehatan)

12:40 – 14:45

Sesi I - Diskusi Kebijakan jangkauan JKN

Penyaji: Bapak Prof. Laksono Trisnantoro (PKMK FK-UGM)

Video   materi         

Pembahas:

Perwakilan dari Kementerian Kesehatan.

Video   materi     

Ibu Asih Ekaputri, MD (Dewan Jaminan Sosial Nasional)

Video   materi     

Bapak Ridwan Monoarfa (Dewan Pengawas BPJS Kesehatan

video 

Moderator: Bapak Djayadi Hanan, Ph.D (PGSD - Univ Paramadina)

14:45 – 15:15

Rehat kopi

15:15 – 17:00

Sesi II - Diskusi Pendukung & Penghambat Cakupan Semesta 

Ibu Dinna Wisnu, Ph.D (Paramadina Graduate School of Diplomacy)

Video   materi           
  • Pembahas:
    1. Bapak Dr. Daniel Yusmic FoEkh, SH (pakar hukum Universitas Atmajaya, Jakarta)
    2. Perwakilan dari BPJS Kesehatan.
    3. Bapak Timboel Siregar, SH (BPJS Watch)

Moderator: Bapak Prof. Laksono Trisnantoro (PKMK FK-UGM)

pena  Reportase Kegiatan 

 

 

outlook nawacita

oleh: Laksono Trisnantoro
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK)
Fakultas Kedokteran UGM

 

  Pengantar

Tahun 2014 merupakan tahun terpilihnya Jokowi sebagai Presiden. Mengawali masa kepresidenannya, Jokowi mempunyai tujuan yang disebut sebagai Nawacita sebagai berikut:

  • C1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara
  • C2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya
  • C3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan
  • C4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
  • C5. Meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia
  • C6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
  • C7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
  • C8. Melakukan revolusi karakter bangsa
  • C9. Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial indonesia

Outlook kebijakan kesehatan tahun 2015 tentunya tidak lepas dari pengaruh Presiden Jokowi. Dalam konteks ini Nawacita merupakan dokumen politik pemerintahan Presiden Jokowi yang mempunyai ideologi. Dalam spectrum ideologi Nawacita mempunyai dasar sosialisme dan peran negara yang besar (welfare-state). Nawacita ketiga, yang menyatakan pembangunan dari pinggiran Indonesia menunjukkan keberpihakan Presiden Jokowi pada manusia-manusia Indonesia di pinggiran, di daerah-daerah dan desa-desa. Dimensi pemerataan antar sosial ekonomi dan antar wilayah menjadi isu penting Nawacita.

  Kenyataan di tahun 2014

Ideologi ini perlu dibahas dalam situasi perkembangan sistem pembiayaan kesehatan yang sangat mempengaruhi situasi sektor kesehatan Indonesia pada tahun 2014. Pertanyaan ideologis yang sering dikemukakan adalah:

Siapa yang mendapat manfaat terbanyak dari penambahan pembiayaan kesehatan Indonesia di tahun 2014?

  • masyarakat kaya atau miskin
  • masyarakat di Jawa atau luar Jawa

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab secara sederhana melalui gambar di bawah ini yang menunjukkan sistem pembiayaan kesehatan.

outlook1Trisnantoro, 2014

Seperti diketahui sejak 1 Januari 2014, dana kesehatan di APBN secara praktis terbagi 2: ke Kemenkes dan ke BPJS. BPJS juga mendapat dana dari pembayaran premium peserta ex PT Askes, PT Jamsostek, dan tenaga kerja berbayar, serta Non-PBI Mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah). (Lihat Gambar di atas).

Apa yang terjadi dengan dana APBN yang tetap di Kemenkes di tahun 2014?

Di tahun 2014 anggaran Kemenkes sangat sedikit. Setelah dikurangi dana PBI yang masuk ke BPPS, Kemenkes tidak banyak mempunyai dana untuk pengembangan atau perbaikan keseimbangan antar wilayah. Pada tahun 2014, tidak banyak kegiatan yang didanai oleh Kemenkes untuk menyeimbangkan fasilitas kesehatan di Indonesia. Di sisi supply kesehatan: Penambahan jumlah RS dan TT RS lebih cepat di Jawa. Penambahan SDM spesialis belum signifikan yang mampu mengejar ketertinggalan. Secara keseluruhan selama 3 tahun terakhir, setelah dikurangi dengan dana BPJS, praktis dana Kemenkes tidak bertambah secara signifikan.

Apa yang terjadi dengan dana APBN kesehatan yang ke BPJS?

Sampai bulan November 2014, ada data (dari BPJS) yang membandingkan antara PBPU (non PBI Mandiri) dengan non PBPU. Data sangat kontras sebagai berikut:

  1. Kelompok PBPU (non PBI Mandiri)
    • Jumlah peserta Non-PBI Mandiri atau yang disebut sebagai Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) berjumlah sangat besar. Per November jumlah PBPU (Non-PBI Mandiri) berjumlah 7.036.200 jiwa. Yang telah memanfaatkan pelayanan kesehatan sebanyak 1.6 juta jiwa (sekitar 23 %) dengan penyerapan biaya Rp 7.9 Triliun.
    • Rata-rata jumlah iuran yang dibayar oleh PBPU perjiwa perbulan sebesar Rp 27.062. Sementara itu biaya pelayanan kesehatan perjiwa sebesar Rp 282. 139,-
    • Klaim rasio untuk peserta PBPU adalah 1.380%,
  2. Kelompok non PBPU
    • Peserta non-PBPU jumlahnya 123.6 juta jiwa. Kelompok ini memanfaatkan pelayanan kesehatan sebanyak 5.4 jiwa (kurang dari 4%). Menyerap biaya sebesar Rp 17.4 T.
    • Rata-rata jumlah iuran yang dibayar oleh non-PBPU perjiwa perbulan sebesar Rp 27.478. Sementara itu biaya pelayanan kesehatan perjiwa sebesar Rp 21.977,-
    • Perbandingan rasio klaim untuk non-PBPU rata-rata 88%.

Telihat dari data tersebut terjadi komposisi dimana banyak peserta (PBPU) non-PBI Mandiri yang sakit dan mempunyai risiko tinggi sakit. Mereka cenderung tidak miskin, tinggal di kota besar, dan menghabiskan dana besar. Sementara itu: Peserta PBI, mencerminkan struktur yang normal (ada yang sakit dan ada yang sehat). Peserta PBI merupakan kelompok miskin namun banyak gagal memanfaatkan JKN karena berbagai faktor termasuk sedikitnya fasilitas kesehatan dan SDM Kesehatan di berbagai daerah.

Dengan data Rasio Klaim PBPU yang tinggi, adanya adverse Selection menunjukkan benefit (Rp) digunakan banyak oleh Non PBI Mandiri. Walaupun data klaim per wilayah belum ada saat ini, data di atas memperkuat dugaan terjadinya subsidi terbalik. Kebijakan JKN mengharapkan peserta Non-PBI Mandiri mensubsidi masyarakat miskin, namun yang terjadi kebalikannya. Masyarakat di daerah pinggiran Indonesia, tidak dapat memanfaatkan paket manfaat BPJS, sementara di Jawa dan kota-kota besar memanfaatkan dengan baik. Hal ini berlawanan dengan Nawacita. Dapat disimpulkan bahwa aliran pembiayaan kesehatan di tahun 2014 menunjukkan arah yang berlawanan dengan prinsip pemerataan. Pertanyaan pentingnya apakah hal ini akan terus terjadi di tahun 2015?

  Bagaimana kemungkinan di tahun 2015?

  1. Penambahan dana untuk kesehatan apakah akan meningkat di tahun 2015?
    Ada hal penting terjadi di tahun 2014. Presiden Jokowi telah menaikkan harga BBM. Tindakan ini membuka ruang fiscal di APBN untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang masuk dalam kaidah tanggung jawab Negara (welfare-state). Pundi-pundi APBN membesar. Pertanyaan penting untuk ditahun 2015 adalah: Bagaimana menyalurkan dana APBN? Apakah semakin banyak melalui BPJS ataukah juga semakin banyak ke Kemenkes.

    outlook2Di penghujung tahun 2014 Menteri Keuangan menyatakan bahwa ada penambahan ruang fiscal sebesar 230 Triliun. Sebagian besar memang akan dipergunakan untuk infrastruktur. Yang menjadi pertanyaan disini apakah sektor kesehatan akan mendapat tambahan dana. Sampai sekarang anggaran kesehatan di APBN masih kurang dari 3%, Tanpa ada penambahan, maka persentase di atas akan semakin menurun.

    Pertanyaan di tahun 2015: Apakah revenue collection untuk kesehatan semakin meningkat atau menurun? Hal ini perlu dilihat di anggaran tahun 2015.

  2. Menjadi pertanyaan di tahun 2015 apakah dana APBN untuk Kemenkes (bukan yang ke BPJS) juga meningkat? Jika meningkat, pertanyaannya akan digunakan untuk apa?

    APBN untuk PBI ke BPJS mungkin meningkat karena kenaikan premi, pertambahan jumlah peserta yang ditanggung, dengan dukungan ruang fiscal yang membesar. Pertayaan penting di tahun 2015: Apakah anggaran Kemenkes akan meningkat?

    outlook3Pertanyaan ini menunjukkan secara teoritis, apakah dana dari kantong APBN akan di pool kan ke BPJS ataukah juga ke Kemenkes dengan jumlah yang besar. Saat ini memang masih ada 2 pool besar dana APBN. Yang menjadi pertanyaan: apa tugas masing-masing pool.

    Saat ini diketahui BPJS membayarkan ke pemberi pelayanan, dan tidak mempunyai tugas untuk melakukan investasi sarana dan fasilitas kesehatan. Pool di BPJS ini dapat membuat pembiayaan menjadi tidak merata. Jika dana hanya diberikan ke BPJS maka daerah yang mempunyai banyak fasilitas kesehatan rujukan dan primer akan mendapat terbanyak. Kesempatan untuk menyeimbangkan faskes dan SDM antar wilayah akan berkurang.

  3. Di tahun 2015: dana yang masuk dari Non-PBI Mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah, PBPU) ada kemungkinan tetap tidak cukup.

    outlook3Dalam hal ini, ada kemungkinan karena prinsip single pool terjadi penggunaan dana PBI untuk peserta PBPU (non PBI mandiri). Rancangan kebijakan BPJS yang single pool mengakibatkan kemungkinan terpakainya dana PBI untuk peserta yang bukan PBI.

    Pertanyaan menarik di tahun 2015: Apakah hal ini akan menjadi masalah hukum?

    Mengapa dapat menjadi masalah hukum?

    • APBN yang masuk ke PBI dilakukan berdasarkan nama dan alamat (by name and by address).
    • Apabila dipakai untuk pasien yang berasal dari Non-PBI Mandiri berarti menyalahi aturan.

      Logika ini dapat ditolak oleh pendapat yang menyatakan bahwa dengan dijadikan one-pool maka merupakan hak BPJS untuk mengelola keuangannya.

      Adanya risiko digunakannya dana PBI untuk peserta Non-PBI Mandiri disebabkan kesalahan kebijakan pada saat penyusunan UU SJSN dan BPJS serta berbagai regulasi di bawahnya. Penggunaan single-pool tanpa ada larangan subsidi antar peserta dapat menjadikan JKN menjadi lebih menguntungkan Non-PBI-Mandiri. Pertanyaan menarik: apakah di tahun 2015 isu single-pool ini akan terus diperhatikan ataukan tidak.

  4. Apakah di tahun 2015 akan ada atau tidak ada perbaikan sisi supply kesehatan (faskes dan SDM) secara signifikan di berbagai daerah yang kekurangan fasiltas kesehatan dan tenaga kesehatan?

    outlook3Dikawatirkan jika perbaikan supply pelayanan kesehatan tidak dilakukan oleh pemerintah maka dana PBI yang masuk ke BPJS tidak sampai ke masyarakat PBI yang membutuhkan karena masalah akses. Penggunaan fasilitas kesehatan untuk peserta PBI akan tetap rendah.

    Dalam diagram diatas terlihat bahwa pemberian dana dari BPJS ke pelayanan primer dan rujukan (purchasing) sangat ditentukan oleh jumlah dan jenis faskes serta SDM kesehatan yang dimiliki. Dalam hal ini jika faskes dan SDM tidak ditambah oleh anggaran Kemenkes atau Pemerintah Daerah (yang mempunyai kemampuan fiscal), maka ketidak seimbangan akan terus terjadi.

    Sementara itu dana dari masyarakat langsung dalam bentuk Modal dapat masuk ke Pelayanan Primer dan Pelayanan Rujukan sehingga terjadi penambahan jenis faskes dan SDM kesehatan di tempat-tempat yang baik seperti Jawa. Hal ini sudah terjadi selama 3 tahun terakhir ini. Jika trend ini dibiarkan maka dana BPJS akan semakin terpakai di Jawa dan kota-kota besar. Keadaan semakin buruk apabila di tahun 2015, potensi fraud semakin tidak terdeteksi dan fraud menjadi tidak terkendali.

  1. Di tahun 2015: Apa risiko untuk dana kesehatan jika penggunaan fasilitas kesehatan oleh peserta Non-PBI Mandiri (PBPU) terjadi terus?
    • Dana APBN dapat semakin terpakai untuk BPJS khususnya yang non-PBI Mandiri, yang berada di kota-kota besar, dan mudah akses ke pelayanan kesehatan;
    • Prinsip portabilitas dan Coordination of Benefit (COB) dengan asuransi kesehatan swasta juga akan menambah pemakaian dana BPJS untuk masyarakat menengah dan atas (mampu);
    • Dana yang masuk ke BPJS (dana kesehatan dari APBN) dapat mendesak dana yang seharusnya masuk ke Kemenkes untuk investasi dan pelayanan promotif dan preventif.

Tanpa perubahan kebijakan, dikawatirkan ketidak merataan pelayanan kesehatan akan semakin meningkat di tahun 2015. Apa arti secara politis? Nawacita gagal dijalankan. Beberapa butir Nawacita yang mungkin gagal terlaksana di tahun 2015 dalam pembangunan sektor kesehatan:

C1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara

C3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan

C4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya

C5. Meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia

 

Menghadapi tantangan tidak meratanya pelayanan kesehatan di tahun 2015, perlu diantisipasi beberapa usaha penting:

  1. Analisis Data klaim 2015: Perlu segara dianalisis penyebaran pasien BPJS di kelas RS; dan penggunaan rasio klaim. Diharapkan ada analis pemerataan antar wilayah. Jika data klaim per propinsi disajikan maka akan ada kemungkinan adanya bukti pemburukan ketimpangan geografis (antar wilayah). Disamping itu perlu dilakukan analisis penggunaan dana yang masuk antar peserta BPJS. Apakah benar dana PBI dipergunakan untuk kelompok lain, karena klaim rasio kelompok PBPU (non-PBI mandiri) sudah melewati 1300 perseb. Diharapkan analisis data dapat dilakukan di bulan Januari 2015.
  2. Kebijakan BPJS dan JKN perlu dikaji secara rinci, mulai dari UU sampai dengan peraturan operasional. Di tahun 2014, sudah terlihat pelaksanaan kebijakan JKN dan operasional BPJS cenderung berlawanan dengan Nawacita. Pembangunan kesehatan di daerah pinggiran Indonesia kesulitan mendapatkan dana kesehatan. Ada kemungkinan terjadi kesalahan dalam penyusunan kebijakan JKN dan lembaga BPJS yang menerapkan konsep single pool dalam pembiayaan jaminan.
  3. Kemenkes dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota yang mampu harus merencanakan berbagai belanja investasi untuk infrastruktur kesehatan dan pengembangan SDM kesehatan. Tantangan di tahun 2015: Bagaimana Kemenkes mampu menarik dana dari APBN. Apa tujuan dana tersebut? Apakah untuk biaya modal (investasi) ataukah operasional saja? Untuk itu perlu melihat sasaran jangka pendek dan panjang;


Secara jangka pendek:

    • Kemenkes dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota adalah lembaga yang bertugas untuk menyediakan fasilitas kesehatan primer dan rujukan, serta SDM. Oleh karena itu diperlukan dana modal (investasi) dan operasonal untuk menyeimbangkan pelayanan kesehatan primer dan rujukan antar wilayah secara cepat.
    • Diperlukan dana cepat untuk pengiriman tenaga-tenaga kesehatan secara team dalam pelayanan primer dan rujukan di berbagai daerah pinggiran Indonesia, sesuai pernyataan Nawacita. Pengiriman tenaga ini merupakan Quick Wins yang dapat dilihat segera. Dalam konteks pengembangan RS-RS Swasta seperti Siloam di Kupang, program ini menjadi sangat penting. Tanpa ada program Quick Wins, Kemenkes terlihat lambat dalam mengatasi ketidak adilan antar wilayah.

Secara jangka panjang:

    • Kemenkes perlu menekankan mengenai tindakan Preventif dan Promotif. Efek keberhasilan tindakan ini tidak instant, tapi jangka panjang.
    • Kemenkes terus merencanakan dan negosiasi untuk biaya modal (dana investasi) secara berkelanjutan di tahun 2015 – 2019 agar keseimbangan antara daerah terpencil/KTI dengan Jawa dan daerah Indonesia barat dapat semakin dikurangi.

 

 

Kaleidoskop Kebijakan Kesehatan Indonesia 2014

Tahun ini, puluhan kebijakan di sektor kesehatan disahkan dan diundangkan. Selain kebijakan yang disahkan, website www.kebijakankesehatanindonesia.net juga mencatat sejumlah seminar, workshop serta konferensi penting seputar kebijakan kesehatan. Beberapa diantaranya terkait era ekonomi kesehatan, monitoring JKN, pemerataan tenaga kesehatan di daerah tertinggal, pencegahan fraud, dan lain-lain. Simak catatan penting tersebut melalui kaleidoskop Kebijakan Kesehatan Indonesia dibawah ini.

januari januari januari
januari januari januari
januari januari januari
januari januari januari